Anda di halaman 1dari 38

STUDI HADITS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu:
Ghulam Falach L.C., M.Ag.

Disusun Oleh:
Vevi Anisatul (21402012)
Aida Ayu Yulaikha (21402017)
Ahmad Taufiqi (21402103)
Hana Fifiana (21402110)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyususnan makalah Metodologi Studi
Islam ini, dengan judul “Studi Hadits”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Metodologi
Studi Islam (MSI) pada semester 3 Prodi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam di Institut Agama Islam Negeri Kediri.
Di dalam makalah ini kami menyadari jika masih terdapat benyak kesalahan
dalam penyusunan ini, oleh karena itu kami meminta agar pembaca berkenan
memberikan kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki dan menyusun
makalah yang lebih baik lagi kedepannya. Kami juga mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini. Semoga makalah Metodologi Studi Islam ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Amin.
Kediri, 03 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................. 2
C. TUJUAN ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Pengertian Hadits ......................................................................................... 3
B. Sejarah Perkembangan Hadits ..................................................................... 3
C. Masa Kodifikasi Hadits ................................................................................ 9
D. Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya ...................................................... 14
E. Hadits Ditinjau dari Segi Kualitasnya ........................................................ 17
F. Ruang Lingkup Metodologi Hadits ............................................................ 23
G. Ulum al- Hadits .......................................................................................... 27
H. Perkembangan Modern dalam Studi Hadits ............................................... 29
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 33
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 33
B. SARAN ...................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama Allah memiliki 2 sumber utama sebagai pedoman,
yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua
setelah Al-Qur’an. Istilah hadits biasanya berkaitan dengan segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik itu berupa sabda,
perbuatan, dan persetujuan, yang ada ketika Nabi telah diangkat menjadi
Rasul hingga wafat. Lahirnya hadits pada masa Nabi yaitu adanya interaksi
rasulullah sebagai pemberi penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an kepada
umat atau sahabat dengan tujuan penyampaian risalah hingga karena adanya
berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat yang membutuhkan solusi
jalan pemecahan masalah dari Nabi, lalu seiring munculnya hal tersebut para
sahabat memahami dan menghafal apa yang telah disampaikan nabi dan apa
yang telah diterima.
Rasulullah juga sangat baik dalam memanfaatkan kesempatan, beliau
berdialog kepada para sahabat dengan berbagai media, dari hal ini hadits
Rasul yang telah disampaikan dan sudah diterima oleh para sahabat dicatat
dan dihafal. Terkait hal ini menjadikan beberapa periode dalam sejarah
perkembangan hadits. Dari hadits yang telah disampaikan, para sahabat juga
kembali memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadits Rasulullah adalah sebagai pedoman hidup yang utama bagi umat
Islam setelah Al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan
ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak
diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut dalil
yang masih mutlak dalam Alquran, hendaklah dicarikan penyelesiannya dalam
hadits. Menatap prespektif keilmuan hadits, ajaran hadits telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah
memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan.

1
Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan
kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari
perhatian, adalah sebab-sebab dimana Al-Qur’an diturunkan. Seiring dengan
perkembangan ulumul Hadits, maka terdapat beberapa kalangan yang serius
sebagai pemerhati hadits. Hal ini tidak lain bertujuan untuk
mengklasifikasikan hadits dari aspek kualitas hadits baik ditinjau dari segi
matan hadits maupun sanad hadits. Maka dari itu, dalam pembahasan makalah
ini penulis akan menyajikan materi mengenai pengertian, sejarah kodifikasi
hadits dan pembagian hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pengertian hadits?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan dan kodifikasi hadits itu?
3. Bagaimana pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya?
4. Bagaimana ruang lingkup metodolgi hadits?
5. Bagaimana perkembangan modern dalam studi hadits?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadits.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan kodifikasi hadits.
3. Untuk mengetahui pembagian hadits jika ditinjau dari segi kuantitas dan
kualitasnya.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup metodologi hadits.
5. Untuk mengetahui perkembangan modern dalam studi hadits.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
Hadits menurut istilah ahli, hadits adalah apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan
sifat, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.1 Menurut ahli ushul fisih,
hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun
sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud
dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.2

Kata “al hadits” dapat dipandang sebagai istilah yang lebih umum
dari kata “as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan istilah as sunnah
digunakan untuk perbuatan (amal) dari Nabi SAW saja. Al-Hadits di
kalangan Ulama‟ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat. Dengan
demikian, gabungan kata „Ulum al-Hadits mengandung pengertian “ilmu-
ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”. Ilmu Hadits
merupakan kaidah, dasar-dasar serta pedoman dalam menerima dan menolak
suatu Hadits. Ilmu Hadits memberikan saham bagi pemeliharaan Hadits dan
penjelasannya, membedakan antara Hadits yang shohih dan yang dho’if,
yang selamat dan yang cacat, serta yang nasikh dan yang mansukh.3

B. Sejarah Perkembangan Hadits


Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur'an,
mempunyai posisi yang sangat penting untuk memahami pesan Rasulullah.
Para sahabat mengambil sumber ajaran Al-Qur’an melalui tafsir yang

1
Syaikh Manna Al Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, 22
2
Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, 10
3
Ahmad Zuhri, ed. al. Ulumul Hadis, (Medan: Manhaji, 2014), 57-58

3
diberikan oleh Nabi. Selain itu, Hadits adalah penafsiran al-Quran dalam
praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.4 Dalam
perkembangannya, hadits Nabi sangat menarik perhatian sejak masa awal
Islam, ketika pada masa Nabi terjadi tradisi mentransformasikan segala yang
dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum
maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi. Sebagai seorang suri
tauladan, Nabi menjadi sentral perhatian dalam konstalasi sebagai pemimpin,
teladan, dan penyampai syari’at Allah yang hampir semua perkataan dan
perbuatannya memiliki nilai-nilai hukum, kecuali sebagian hal-hal yang
berkaitan dengan urusan duniawi.5
Hadits yang umat Islam pahami yaitu, sebagai suatu sabda sekaligus
kesaksian para sahabat tentang perbuatan, watak, budi pekerti, pekerjaan,
ketetapan dan perilaku yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada
umatnya adalah salah satu tata cara yang mempunyai kedudukan atau posisi
yang cukup peting dalam memahami agama Islam setelah Al-Qur’an.6 Dalam
sejarah Islam, Haditst sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
sejak pra-pembukuan dari zaman Nabi hingga masa para sahabat. Dari yag
awlanya hanya dijadikan tradisi lisan dan hafalan saja, kini telah dapat
dinikmati dalam bentuk kitab Haditst. Meski begitu, pada awal mula penulisan
Haditst telah mendapat berbagai macam tanggapan, baik dari nabi sendiri
hingga dari para Sahabat.7 Dalam catatan sejarah, penyebarluasan Hadits
hingga abad pertama Hijriah berakhir hanya dilakukan melalui mulut ke mulut
saja.
Khalifah Umar bin Abdul Azis merupakan orang pertama yang memiliki
gagasan atau ide untuk menuliskan sebuah Hadits secara formal. Pada saat itu,
Khalifah sampai berniat mengirimkan surat kepada Abu Bakar bin

4
Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher
dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), pp. 24-25.
5
Idri, Hadis Dan Orientalis: Perspektif Ulama Hadis Dan Orientalis Tentang Hadis Nabi (Jakarta:
Kencana, 2017)
6
Ahmad Paishal Amin, ‘Historiografi Pembukuan Hadis Menurut Sunni Dan Syia’h’, Al-Dzikra:
Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, 12.1 (2018)
7
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994)

4
Muhammad bin Hazm, yang berisi perintah memeriksa dan menulis seuruh
Hadits karena khawatir terdapat Hadits yang hilang. Selain menulis surat
untuk Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Azis
pun memerintahkan sekaligus memberikan tugas untuk mengumpulkan dan
menuliskan kembali Hadits yang dipercayakan kepada Ibnu Syihab al-Zuhri
dan lain-lain. Pendapat ini pun kemudian dikuatkan oleh salah satu imam
empat mazhab, yaitu Imam Malik yang sependapat bahwa Ibnu Syihab al-
Zuhri merupakan orang pertama yang menulis Hadits secara formal dan bukan
atas inisiatif sendiri.8
Mayoritas umat Islam pada zaman Nabi dan para sahabat tidak memiliki
motivasi khusus untuk menulis Hadits apa yang paling mungkin mereka
amalkan mengilustrasikan Nabi baik dengan hafalan maupun dari mulut ke
mulut. Namun, karena sejumlah faktor, termasuk usia dan jumlah penghafal
Hadits yang meninggal, Sama seperti tradisi menghafal yang mulai menurun,
sehingga timbul rasa kekhawatiran di kalangan para Ulama saat itu akan
punahnya Hadits di kalangan umat Islam apabila tidak segera dilakukan
penulisan Hadits. Muncullah nama Ibnu Syihab al-Zuhri sebagai orang
pertama yang diberi tugas oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis untuk
mengumpulkan mushaf-mushaf Hadits dan menuliskannya kembali dalam satu
mushaf sekitar akhir abad pertama Hijriah. Barulah setelah itu, mulai
bermunculan tulisan-tulisan tentang Hadits yang berkembang begitu pesat dan
diiringi dengan buku-buku keislaman lainnya.9
Tradisi kisah Hadits tidak diakui di kalangan umat Islam Cendekiawan
Barat yang dikenal sebagai Orientalist. Kebanyakan orientalist menilai bahwa
Hadits-Hadits itu palsu dibuat oleh umat Islam pada abad kedua dan ketiga
Hijriah. Mereka juga tidak mengakui kaidah dan konsep-konsep yang terdapat
dalam ilmu (studi) Hadits dan membuat teori-teori sendiri tentang ke otentikan
dan sejarah perkembangan Hadits. Termasuk perkembangan ilmu Hadits
periode pra-pembukuan hingga pembukuan yang dianggap sebagai kreasi

8
Luthfi Maulana, ‘Periodesasi Perkembangan Studi Hadits (Dari Tradisi Lisan/Tulisan Hingga
Berbasis Digital)
9
Ibid., 64.

5
kaum Muslim. Gugatan para orientalis terhadap Hadits bermula pada
pertengahan abad ke-19 M., ketika hampir seluruh bagian dunia Islam
mengalami kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Sprenger, yang pertama
kali mempersoalkan status Hadits dalam Islam dengan mengklaim bahwa
Hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).10
Untuk waktu yang tidak begitu lama muncul Ignaz Goldziher. Menurut
dia, Hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik aliran dan
kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada
periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal
perkembangan Islam.11 Kemudian hasil penelitian Ignaz Goldziher diolah dan
diproduksi lagi oleh Joseph Schacht, orientalis asal Jerman. Menurut Schacht,
tidak ada Hadits yang benar-benar asli dari Nabi, dan kalaupun ada dan bisa
dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali.12
Tujuan para orientalis ini adalah untuk melemahkan dan menyebarkan
sikap keraguan terhadap sumber ajaran Islam setelah al-Quran, yakni Hadits.
Menurut Schacht, Ignaz Goldziher telah menegaskan pula bahwa Hadits-
Hadits yang berkembang pada masa pemerintahan Bani Umayah tidak ada
hubungannya dengan ilmu fiqih, tapi lebih kepada masalah akhlak, zuhud,
akhirat, dan terakhir masalah politik. Pandangan Joseph Schacht mengenai
Hadits telah menimbulkan pro-kontra di kalangan sarjana Barat sendiri, salah
satunya kritik dari Michael Cook yang menyimpulkan bahwa tradisi (Islam)
harus diberi tanggal berdasarkan kriteria eksternal, terutama dari termin yang
berasal dari sebuah dokumen.13 Cook tidak menerima data historis yang telah
ditemukan, dikumpulkan dan dikemukakan oleh para sarjana Muslim. Para
ulama Hadits berupaya untuk menunjukkan bukti-bukti konkret tentang
pencatatan dan penulisan Hadits yang sudah dimulai semenjak kurun pertama
Hijriah Nabi Muhammad saw.

10
Syamsuddin Arif, Orientalis Dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008)
11
Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien (Halle: Max Niemeyer, 1890), p. 5.
12
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950)
13
Ignace Goldziher and Joseph DeSomogyi, A Short History of Classical Arabic Literature
(Hildesheim: Olms Verlag, 1966), p. 31.

6
Di antaranya pendapat dari ulama kontemporer, Muhammad Musthafa
Azami.14 Menurut Azami, terdapat lima kekeliruan dan kesesatan Joseph
Schacht dalam memahami dan meneliti Hadits; pertama, sikap Schacht tidak
konsisten dalam berteori dan menggunakan rujukan. Kedua, bertolak dari
asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah. Ketiga, salah
dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta. Keempat, ketidaktahuannya
akan kondisi politik dan geografis yang dikaji. Kelima, salah faham mengenai
istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama Islam.15 Sanggahan-sanggahan
yang dikemukakan oleh Azami ini juga dituangkannya di bab II dan IV dalam
buku Studies in Early Hadits literature. Secara garis besar, pemikiran pokok
Azami terkait ilmu Hadits dibagi menjadi dua tema besar; pertama tentang
teori-teori Azami, dan yang kedua tanggapan Azami terhadap Joseph Schacht.
Untuk tema pokok yang pertama, yakni teori-teori Azami, terbagi menjadi dua
pembahasan;
1. Penulisan Hadits dan
2. Kritik Hadits, yang mencakup kritik matan, kritik sanad, dan peran akal
dalam kritik Hadits.
Sedangkan untuk tema pokok yang kedua, yakni tanggapan Azami
terhadap Joseph Schacht, terbagi juga ke dalam enam pembahasan;
1. konsep fitnah
2. konsep Sunnah
3. family isnad
4. cammon link
5. projecting back
6. e silentio.16

Tetapi, karena fokus penelitian ini terkait dengan perkembangan ilmu


Hadits pra-pembukuan hingga pembukuan saja, maka secara kuantitas yang
14
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981)
15
Muhammad Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford:
Oxford Centre for Islamic Studies ; Cambridge : Islamic Texts Society, 2013), p. 115-53.
16
Umayyah Syarifah, ‘Kontribusi Muhammad Musthafa Azami Dalam Pemikiran Hadis (Counter
Atas Kritik Orientalis)’, Ulul Albab Jurnal Studi Islam, 15.2 (2015), 222–41 .

7
dibahas hanya pada wilayah tema pokok yang pertama saja, dan sedikit
menyinggung pada tema pokok pemikiran Azami yang kedua. Di sinilah letak
penting dan menariknya penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana
perkembangan ilmu Hadits periode pra-pembukuan hingga pembukuan dalam
analisis historis ulama kontemporer Muhammad Musthafa Azami. Fokus
tulisan ini adalah tentang perkembangan ilmu Hadits periode pra-pembukuan
hingga pembukuan dengan analisis historis Muhammad Musthafa Azami.
Tujuannya untuk menemukan perkembangan ilmu Hadits dan transformasi
Hadits pra-pembukuan hingga pembukuan, dari mulai masa Nabi hingga
Tabiin.
Pada masa Nabi sendiri, ditandai dengan belum adanya tradisi tulis-
menulis Hadits secara resmi dan lebih pada inisiatif pribadi oleh para Sahabat.
Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis segala sesuatu selain al-
Quran, termasuk sabda-sabdanya.

Artinya; Janganlah kamu menuliskan apa-apa yang datang dariku, siapa yang
menuliskan sesuatu dariku selain al-Quran, maka hapuslah”. (HR. Muslim).
Meski begitu, ditemukan juga beberapa karya Hadits dari para Sahabat
yang hidup semasa dengan Nabi. Sebab larangan tersebut merupakan bentuk
dari kekhawatiran Nabi akan tercampurnya antara Hadits dan al-Quran, serta
dapat membingungkan umat Muslim pada saat itu untuk membedakannya.
Menurut Azami ada sekitar 52 Sahabat Nabi yang memiliki tulisan Hadits.
Bahkan Azami turut meluruskan pemahaman para muhadditsin yang
cenderung meyakini bahwa kegiatan tulis-menulis Hadits baru berkembang
pada masa al-Zuhri. Untuk itu Azami mengemukakan gagasannya tentang
makna awwalan man dawwana al-ilmi Ibnu Syihab al-Zuhri yang selama ini
dipakai oleh para muhadditsin mengandung arti “pengumpul” bukan “penulis”
seperti yang selama ini dipahami.17
Sedangkan mengenai Hadits yang melarang penulisan Hadits, Azami
memahaminya sebagai bentuk rambu-rambu. Mengingat Hadits merupakan

17
Syarifah, 222-41

8
salah satu sumber atau pedoman yang sangat penting bagi umat Islam setelah
al-Quran. Sehingga, banyak hal yang akan dikaji dalam artikel ini dan
mengerucut pada pembahasan perkembangan sejarah Ilmu Hadits secara
mendalam dan komprehensif. Hal inilah yang menjadikan penelitian ini
menarik untuk dikaji karena mengungkap alasan orientalis meragukan
keautentikan perkembangan ilmu Hadits, terutama pada periode awal hingga
pembukuan.

C. Masa Kodifikasi Hadits


Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Sedangkan menurut istilah,
kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan Hadits Nabi secara resmi
berdasarkan pada perintah khalifah dengan melibatkan ahli di bidang Hadits,
bukan di lakukan secara individual ataupun demi kepentingan sendiri.
Kodifikasi Hadits dimaksudkan untuk menjaga Hadits Nabi dari kepunahan
dan kehilangan baik dikarenakan banyaknya periwayat penghafal Hadits yang
yang meninggal maupun karena adanya Hadits-Hadits palsu yang dapat
mengacaubalaukan keberadaan Hadits-Hadits Nabi. Jadi, kodifikasi Hadits
adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan Hadits Nabi Muhammad
SAW yang dilakukan atas perintah resmi dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz,
khalifah kedelapan dari Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya
ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah sampai pada masa Hadits
terbukukan dalam kitab Hadits.18
Sebagian ulama berpendapat, dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’ad,Tahdzib
al-Tahdzib dan Tadzkirah al-Huffazh, bahwa pengumpulan Hadits sudah
dimulai pada masa Abd al-Aziz ibn Marwan ibn Hakam. Umar ibn Abdul
Aziz memerintahkan secara resmi dan massal kepada para gubernur untuk
membukukan Hadits. Dikatakan resmi karena dalam kegiatan penghimpunan
Hadits tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara, dan dikatakan massal
karena perintah kepala negara tersebut ditujukan kepada para gubernur dan

18
Idris,Studi Hadis,93.

9
ulama ahli Hadits pada zamannya. Yang melatarbelakangi kebijakan Umar
ibn Abdul Aziz untuk membukukan Hadits secara resmi, yaitu :
1. Sebelumnya Hadits tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing
sahabat, misalnya sahifah yang dimiliki Abdullah ibn Umar, Jabir dan
Hammam ibn Munabbih. Ahli Hadits menyerahkan semua yang berurusan
tentang penulisan Hadits kepada hafalan para sahabat yang lafadznya
mereka terima dari Nabi, namun ada juga sahabat yang hanya tahu
maknanya dan tidak pada lafadznya, hal itulah yang kemudian menjadikan
adanya perselisihan riwayat penukilan sekaligus rawinya. Dari situ ada
kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz jikalau nanti Hadits Nabi disia-
siakan oleh umatnya.
2. Penulisan dan penyebaran Hadits yang terjadi dari masa Nabi sampai masa
sahabat masih bersifat kolektif individual, dan juga ada perbedaan para
sahabat dalam menerima Hadits. Dengan kondisi yang seperti itu
dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan pada lafadz
Hadits yang diriwayatkan.19
3. Semakin meluasnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang kemudian
memiliki pengaruh besar pada tiga benua, yaitu Asia, Afrika dan sebagian
benua Eropa. Dengan demikian juga menjadikan para sahabat tersebar ke
negara-negara tersebut. Dari sana muncul berbagai masalah yang berbeda
yang dihadapi para sahabat, yang berefek pada melemahnya hafalan
mereka. Belum lagi banyak sahabat yang meninggal di medan perang demi
membela panji-panji keislaman, untuk itulah Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz merasa cemas dan khawatir kalau hafalan para sahabat hilang begitu
saja.
4. Banyak bermunculan Hadits-Hadits palsu, terutama setelah wafatnya
khalifah Ali ibn Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang
membuat umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan yang membawa
mereka untuk mendatangkan keterangan Hadits yang diperlukan untuk
mengabsahkan sebagai golongan yang paling benar.

19
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis,68.

10
Berikut pembagian masa kodifikasi hadits:
a. Kodifikasi Hadits abad ke II Hijriah
Pembukuan Hadits pada abad ke II belum tersusun secara sistematis
dalam bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih
memasukkan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in di samping Hadits dari
Nabi Muhammad SAW. Semua dibukukan secara bersamaan, dari situlah
kemudian terdapat kitab Hadits yang marfu’, mauquf dan maqthi’. Di
antara kitab-kitab Hadits abad ke II H yang mendapat perhatian ulama
secara umum adalah kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik, al-Musnad
dan Mukhtalif al-Hadits yang disusun Imam al-Syafi’i dan al-Sirah al-
Nabawiyyah atau al Maghazi wa as-Siyar karya Muhammad Ibn Ishaq.
Secara keseluruhan, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat
sambutan yang paling meriah dari para ulama, karena banyak para ahli
yang membuat penjelasan (syarah) dan ringkasannya (mukhtashar).20
Meskipun pada abad kedua Hadits tidak dipisahkan dari fatwa
sahabat dan pendapat tabi’in, pada abad ini sudah ada pemisahan antara
Hadits-Hadits umum dengan Hadits-Hadits tafsir, sirah, dan maghazi.
Abad kedua juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan Hadits yang telah
ada semenjak masa khalifah Ali ibn Abi Thalib dan menyebabkan
sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari keadaan
periwayat Hadits.
b. Kodifikasi Hadits abad ke III Hijriah
Abad ketiga hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan
antara sabda rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa
penyeleksian terjadi pada zaman bani abbasiyah yakni masa al-ma’mun
sampai al-muktadir. Periode penyeleksian terjadi karena pada masa tadwin
belum bisa dipisahkan antara Hadits marfa’,mawquf, dan maqthu, Hadits
yang dha’if dari yang sahih ataupun Hadits yang mawdhu masih tercampur
dengan yang sahih.

20
Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadis, 57.

11
Pada masa ini juga dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan apakah suatu Hadits itu shahih atau dha’if. Para ulama
mengkodifikasi Hadits-Hadits dalam kitab-kitab mereka dalam keadaan
masih tercampur antara ketiga macam Hadits tersebut. Mereka hanya
menulis dan mengumpulkan Hadits-Hadits Nabi lengkap dengan
sanadnya, yang kemudian kitab-kitab Hadits hasil karya mereka disebut
musnad. Musnad karya Ahmad ibn Hanbal merupakan yang terlengkap
21
dan paling luas cakupannya. Ulama-ulama Hadits pada pertengahan
abad III Hijriah memilih Hadits-Hadits yang sahih saja.
c. Kodifikasi Hadits abad IV-VII Hijriah.
Abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan, dan penghimpunan (ashr al-tahdzib wa altartib wa al-
istidrak wa al-jam’u). Dengan karakteristik penulisan Hadits berbentuk
Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih (himpunan Shahih saja), mustadrak
(susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan antara dua atau beberapa
kitab Hadits), ikhtishar (resume), istikhraj dan syarah (ulasan). Ulama
yang terlihat pada sebelum abad keempat disebut ulama mutaqaddimûn
dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi Hadits pada abad keempat dan
seterusnya disebut ulama mutaakhirun.
Pembukuan Hadits pada periode ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab Hadits yang
sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-Kutub al
Sittah, al-Muwaththa' Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn
Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab
yang berbentuk jawami, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan
menyusun Hadits untuk topik-topik tertentu.
Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya
disebut dengan masa penghimpunan dan pembukuan Hadits secara
sistematik (al-Jam’u wa at-Tanzhim). Setelah pemerintahan Abbasiyyah
jatuh ke bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan

21
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, al- Sunnah qabl al-Tadwin, 339.

12
pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan India. Pada masa ini banyak
kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu Hadits,
seperti al-Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari ulama India dalam
mengembangkan kitab-kitab Hadits. Di antaranya Ulumul Hadits karangan
al-Hakim. Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian
Hadits sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat
dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang
Hadits, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan
syarah Hadits-Hadits yang telah terhimpun sebelumnya.
d. Kodifikasi Hadits Abad VII Hijriah sampai sekarang
Kodifikasi Hadits yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan
dengan cara menertibkan isi kitab-kitab Hadits, menyaringnya, dan
menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami' yang umum,
kitab-kitab yang mengumpulkan Hadits-Hadits hukum, men-takhrij
Hadits-Hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, men-takhrij Hadits-
Hadits yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf,
mengumpulkan Hadits-Hadits disertai dengan menerangkan derajatnya,
mengumpulkan Hadits-Hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, men-tashhih sejumlah Hadits yang belum di-tashhih oleh ulama
sebelumnya, mengumpulkan Hadits-Hadits tertentu sesuai topik, dan
mengumpulkan Hadits dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya
ketika muncul kitab-kitab Hadits yang model penyusunannya hampir sama
seperti penyusunan kitab-kitab jami', kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali
penulisan dan pembukuan Hadits-Hadits yang tidak terdapat dalam kitab
Hadits sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah kitab
zawaid. .22

22
M.M.Azamiy, Dirasat fi al-Hadi al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, 123- 300

13
D. Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadits atau segi jumlah sanadnya.Jumhur ulama membagi hadits secara
garis besar menjadi dua macam,yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian
Kata Mutawatir secara bahasa, berati mutatabi’ atau yang datang
berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian hadits
mutawatir secara istilah adalah sebagai berikut:

ِ ‫ما رواهُ َع َد ٌد َكثِ رْي ٌٌِتريل ارلع َادةُ تَواطَُؤُهم َعلَى ارل َك ِذ‬
‫ب‬ ‫ٌ ُ َ َ ر‬ ََ َ
Artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, dan diterima
dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
untuk berdusta”23
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut haruslah
berdasarkan tanggapan dari pancaindera.
Maksudnya Riwayat yang disampaikan tersebut benar-benar
merupakan hasil dari pendengaran atau penglihatan perowi.
2) Diriwayatkan Oleh Perawi Yang Banyak
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawai
yang membawa keyakinan bahwa mereka tidak besepakat untuk
berdusta. Para ulama berbeda pendapat ada beberapa yang
menetapkan jumlah tertentu ada juga yang tidak menetapkannya.
Al-qadi Al-baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawair kurang lebih 5 orang. Selain itu Astikhary menetakan
bahwa yang paling baik minimal 10 orang.
3) Keseimbangan antar perawi thabaqat (lapisan) pertama dan
thabaqat berikutnya.
Jika hadits diriwayatkan 10 sahabat, kemudian di terima oleh 10
tabi’in tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawair sebab

23
Sulaemang, Ulumul Hadits, Kedua (Kendari: AA-DZ Gradika, 2017), 128.

14
jumlah perawinya tidak seimbang antara thaqabat pertama dan
thaqabat seterusnya.24
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafzhi
dan Mutawatir Ma’nawi. Namun ada juga di antara ulama yang
membaginya menjadi tiga bagian, yaitu mutawatir lafzhi, ma’nawi dan
‘amali.
1) Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits mutawatir lafzi ialah hadits yang mutawatir lafadz dan
maknanya. Contohnya hadits dari Abu Hurairah dari Rasulullah
Saw.

‫ب َعلَ َّى ُمتَ َع ِِّم ًدا فَ رليَ تَ بَ َّوأر َم رق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬
َ ‫َم رن َك َذ‬
Artinya: “Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja
maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di
neraka.” [Hadits riwayat Al-Bukhari di dalam shahih Al-Bukhari
no. 1291 dari Al-Mughirah bin Syu’bah].
Menurut Abu Bakar as-Sairi, hadits tersebut diriwayatkan secara
marfu’ oleh 60 sahabat. Ada juga Sebagian ahli huffazh
mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk 10
sahabat yang telah diakui akan masuk surga. Menurut mereka,
tidak diketahui hadits lain yang di dalam perawinya terkumpul 10
sahabat yang diakui masuk surga, kecuali hadits tersebut. Ibrahim
al-Harbi dan Abu Bakar mengatakan, jika hadits tersebut
diriwayatkan oleh 40 sahabat. Abu al-Qasim ibn Manduh
berpendapat, bahwa hadits ini diriwayatkan lebih dari 80 orang.
Namun ada juga yang menyatakan, diriwayatkan oleh 100 sahabat,
bahkan menurut yang lainnya berpendapat ada 200 orang.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawy
Hadits mutawatir maknawi ialah hadits yang mutawatir maknanya
saja bukan pada lafazhnya. Atau sejumlah perawi yang mereka
percayai itu mustahil bersepakat untuk berdusta, mereka

24
Suja’i Alfiah, Fitriadi, Studi Ilmu Hadis (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2016).

15
meriwayatkan beberapa peristiwa yang berbeda, namun pada satu
perkara tertentu memiliki kesamaan, sehingga perkara tersebut
menjadi perkara yang mutawatir.25
Contohnya hadits Nabi Saw yang berbunyi:

‫ي بيَا ُظ اِبرطَري ِه ِِف َشري ٍئ ِمن‬ ِ ِ


َ ‫صلِّى هللا َعلَريه َو َسلِّم يَ َديره َح ِّّت ُرِؤ‬
َ ‫َما َرفَ َع‬
‫ ُمتِّفق عليه‬. ‫اال رستِ رس َق ِاء‬
ِ ‫دعائِِه االِّ ِِف‬
َُ
Artinya: “Rasulullah SAW, tidak mengangkat kedua tangannya
dalam do’a-do’a beliau, kecuali dalam sholat istisqo’, dan beliau
mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya. (HR. Bukhari)”.
3) Hadits Mutawatir ‘Amaly
Hadits yang menyangkut perbuatan Rasulullah yang disaksikan
dan di tiru tanpa perbedaan oleh banyak orang,kemudian juga
dicontoh dan diperbuatannya tanpa perbedaan oleh orang banyak.
Contoh: Hadits hadits yang berkenaan dengan waktu shalat-shalat
fardhu, jumlah rakaat sholat fardhu, shalat jenazah, shalat id, dan
kadar zakat harta yang wajib dikeluarkan26
2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah suatu hadits yang jumlah pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir, baik pemberita tersebut
satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, akan tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian
bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir. Atau dapat
disebut juga suatu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
mutawatir.
b. Pembagian Hadits Ahad
1) Hadits Masyhur

25
Sulaemang, Ulumul Hadits, 132.
26
Rofiah Khusniati, Studi Ilmu Hadis (Ponorogo: IAIN PO Press, 2018), 123.

16
Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat
mutawatir.
2) Hadits Aziz
Dari segi bahasa kata aziz adalah bentuk sifat musyabbahah dari
kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang. Bisa juga
berasal dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti kuat atau keras
(sangat). Suatu aziz dinamakan dengan hadits aziz karena
sedikitnya perawi. Menurut istilah, Hadits azis adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh dua orang meskipun hanya pada satu tingkatan
(generasi) saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh banyak
orang. Jadi bisa saja sanad sebuah Hadits ‘azis terdiri dari dua dua
orang pada setiap generasi, atau hanya pada satu generasi dari
sanad Hadits itu yang terdiri dari dua orang, sedang pada generasi
sesudahnya terdiri dari banyak orang.
3) Hadits Gharib
Hadits Gharib ialah hadits yang dalam meriwatkannya hanya satu
perawi saja atau tidak ada orang lain yang ikut meriwayatkannya.27
E. Hadits Ditinjau dari Segi Kualitasnya
1. Hadits Shahih
Menurut Imam al-Nawawi, Hadits shahih merupakan Hadits yang
sanadnya bersambung, Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
adil dan dhabit, dan terhindar dari syuduz dan illat. dari defenisi tersebut
terdapat lima syarat Hadits shahih, yaitu:
a. Sanadnya Bersambung (ittishal al-Sanad), Artinya setiap perawi
menerima hadits langsung dari perawi sebelumnya , dan begitu
seterusnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.Hadits yang
sanadnya tidak bersambung berarti tidak tergolong Hadits Shahih
contohnya seperti Hadits Munqathi'Mu'adal, Muallaq, dan Mudallas.

27
Ibid, 127-128.

17
b. Periwayat Adil (at-‘adalat), Meskipun ungkapan "Adil" masih
diperdebatkan oleh Muhaddisin, tetapi masalah sebenarnya adalah
pada moral Islami perawi tersebut. Dalam hal ini, Muhanunad Ajaji
Al-Khatib telah membuat empat syarat bagi seorang perawi untuk
sebutan"Adil". yaitu memelihara muru'ah, tekun dalam beragama,
tidak berbuat, dan baik akhlaknya. Bila perawinya tidak memiliki
sifatsifat tersebut, maka Hadits yang dikemukakan tergolong Hadits
Maudhu'
c. Periwayat yang dhabit (al-tam dhabth). Istilah dhabith berarti setiap
hafalan (dhabith sadr) dan baik catatannya(dhabith kitab), sehingga
jikadimana saja Hadits tersebut bisa disampaikan dengan sempurna.
Pengertian ini juga memerlukan seorang perawi yang tidak memiliki
sifat lalai dan lupa, baik ketika shighat al-tahamul maupun shighat al-
ada'. Dengan demikian dhabith bukan saja harus kuat hafalan, tetapi ia
juga harus memiliki pemahaman tentang apa yang dihafalnya. Bila adil
saja tetapi kurang dhabit disebut shaduq dan menempati peringkat
kedua dalam sanad. Sedang perawi yang adil dan menempati peringkat
tertinggi dalam sanad.
d. Tidak ada kejanggalan (adam al-syuduz). Disebut syadz apabila
seorang perawi yang tsiqat, meriwayatkan Hadits yang bertentangan
dengan Hadits yang diriwayatkan Hadits yang bertentangan dengan
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqat, atau oleh
beberapa perawi yang tergolong tsiqat, dan Hadits tersebut tidak
mungkin dikompromikan..
e. Tanpa cacat (Adam illat). Illat yaitu cacat yang samar-samar dan
mengakibatkan lemahnya Hadits. Dapat dianggap illat sisipan yang
terdapat dalam matan Hadits.
2. Haditst Hasan
Jalaluddin al-Suyuthi memberi batasan Hadits Hasan yaitu Hadits
yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh orang-orang adil, kurang
dhabithnya, dan tidak ada syuduz dan 'illat. Dari defenisi di atas dapat

18
disimpulkan bahwa Hadits hasan memiliki semua persyaratan Hadits
shahih, kecuali rawinya kurang dhabith. Walaupun demikian, apabila
terdapat Hadits hasan dengan sanad lain yang sama tingkatannya atau
lebih, maka hasan lidzatihi naik menjadi shahih lighairihi. Sama halnya
dengan Hadits shahih, Hadits hasan pun terbagi kepada dua, yaitu hasan
lidzatihi dan hasan lighairihi. Hadits hasan lidzatihi adalah Hadits yang
memenuhi persyaratan seperti disebutkan dalam defenisi Hadits hasan di
atas.
Sedangkan Hadits hasan lighairihi adalah Hadits yang dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak dikenal atau tidak dapat dipastikan
keahliannya, tetapi ia bukan seorang yang sangat lalai, terlalu banyak
pelupa, dan tidak pula tertuduh pendusta serta tidak memiliki sifatsifat
yang menyebabkan ia fasiq. Pada dasarnya Hadits hasan lighiarihi berasal
dari Hadits Hadits dha'if yang didukung oleh Hadits lain.Hampir semua
ulama Ushul dan Muhaddisin menerima Hadits shahih dan Hadits hasan
untuk dijadikan hujjah dan dasar pengalaman. Kendatipun Hadits hasan
tidak sederajat dengan Hadits shahih, tetapi kekurangan dhabithnya tidak
berarti menyebabkan keluar dari prediket ahliyyah al-ada'. Di samping itu
sifat-sifat Hadits shahih tidak jauh berbeda dengan Hadits hasan, hanya
dibedakan pada tingkatannya bahwa Hadits hasan lebih rendah.
3. Hadits Dha'if
Hadits dha'if adalah Hadits yang tidak memenuhi persyaratan qabul,
seperti halnya Hadits shahih ataupun Hadits hasan, baik sacara
keseluruhan maupun sebagian persyaratan, yaitu dan segi ittishal sanad
atau adil dan dhabith perawi serta adanya`illat atau syaz. Tingkat
kedha'ifan Hadits berbeda-beda tergantung berat atau ringannya kedha'ifan
perawimya, ada dha'if yang ringan, yang berat dan dha'if yang sangat berat
sekali. Hadits dha'if yang ringan biasa meningkat kualitasnya bila
didukung oleh Hadits yang sama melalui sanad yang lain. Nilai kedha'ifan
sanad terletak pada para perawi selain sahabat raja, karena semua sahabat
dinilai`udul.

19
Dengan memperhatikan defenisi di atas, dapat disimpulkan sebab-sebab
kedha'ifan Hadits itu ada tiga hal :
a. Dha'if karena cacat atau terputus sanad
b. Dha'if karena tidak 'adalat atau dhabith perawi dan
c. Dha'if karena syuzuz atau `illat. Berikut ini dikemukakan Hadits-
Hadits yang tergolong dhaif disertai statusnya, maqbul atau mardud.28
4. Hadits Maudhu’
Secara bahasa maudhu berarti menggugurkan, meninggalkan, dan
memalsukan. Sedangkan secara istilah, hadits maudhu adalah sesuatu yang
dinisbahkan kepada Rasulullah SAW dengan cara mengada-ada dan dusta.
Hadits ini tidak pernah beliau sabdakan, kerjakan maupun taqrirkan.
a. Sejarah Hadits Palsu (Hadits al-Mawdhu')
Ada beberapa perbedaan pendapat para tokoh ahli ilmu Hadits
dan juga beberapa penyebab factor yang terjadi mengenai awal mula
muncul terjadinya Hadits palsu (Hadîs al-Mawdhu') di tengah-tengah
kalangan umat Islam. Menurut pendapat Ahmad Amin, bahwa Hadits
palsu (Hadits al-Maudhu') sudah muncul sejak Nabi Muhammad Saw
masih hidup, pendapat ini berlandasan dengan Hadits Nabi yang
mutawwatir, mengancam kepada orang yang berbohong atas nama
Nabi. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,Imam
Muslim dan lainya.
Pendapat kedua ini diutarakan oleh al-Adlabi, menurutnya bahwa
Hadits palsu (hadits maudhu’) yang bersinggungan dengan perkara
dunia telah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw, namun yang
menyinggung perihal tentang agama Islam itu belum terjadi. Hadits
palsu muncul akibat peristiwa besar dalam sejarah dunia Islam, yaitu
peristiwa fitnah kubra yang terjadi pada zaman era kekhalifahan
Utsman bin Affan . Dan bersambung terus ke zaman era sahabat Ali
bin Abi Thalib. Peristiwa fitnah kubra inilah awal mula percikan api
pertama dalam munculnya Hadits palsu (hadits maudhu’). Dan

28
Suja’i Alifiah, Fitriadi, Studi Ilmu Hadis (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2016).

20
berakibat pada terpecahnya umat Islam terbagi ke beberapa sekte aliran
dalam teologi, mulai dari sekte aliran teologi sunni, syiah, khawarij,
qadariyah, murjiah dan lain-lainnya.
Sehingga dampak buruknya berkelanjutan sampai sekarang
dalam kehidupan sosial politik umat Islam di dunia. Masing-masing
dari sekte aliran teologi tersebut memiliki peta sosial, budaya, politik,
ideologi yang berbeda-beda. Dari pemaparan dan penjelasan di atas,
pendapat yang lebih disepakati bahwa awal muculnya Hadits palsu
(hadits maudhu’) sejak adanya peristiwa besar dalam sejarah dunia
Islam, yakni peristiwa fitnah kubra.
Akibat peristiwa besar tersebut menjadi landasan paling masuk
akal untuk diterima atas terjadinya dan tersebarnya Hadits palsu (hadits
maudhu’) dalam keilmuan Hadits di dunia Islam. Berawal dari
peristiwa fitnah kubra tersebut, para ulama ḥadîs lebih selektif dan
ketat lagi dalam menyeleksi perawi-perawi ḥadîs dengan status
keadilannya dan kecerdasannya dalam meriwayatkan sebuah Hadits.
b. penyebab Adanya Hadits Palsu (Hadits al-Maudhu’)
Ada beberapa faktor penyebab yang melatar belakangi terjadinya
Hadits palsu,diantaranya:
1) Faktor Politik
Menurut Ajjaj al-Khatib, peristiwa fitnah kubra merupakan
percikkan api pertama yang kemudian menjadi kekacauan besar
pada awal-awal abad pertama di tahun hijriyah dalam sejarah
peradaban dunia Islam. Peristiwa tersebut berakhir saat
terbunuhnya sahabat Nabi saw yang menjadi khalifah ketika itu,
yakni Utsman bin Affan dan meninggalkan bekas jejak yang
negative untuk umat Islam di dunia ini hingga dampaknya masih
terasa saat sekarang ini.Setelah sepeninggalan Rasulullah saw
wafat, sahabat Abu Bakar as Siddiq dan Umar bin Khatab
keduanya yang maju menjadi khalifah untuk menjalankan roda
kepemimpinan umat Islam.

21
2) Faktor Dendam Musuh Islam
Umat Islam setelah berhasil menaklukkan dua negara
adidaya di masanya, yakni negara Romawi dan Persia. Ajaran
agama Islam begitu cepat tersebar secara masif ke berbagai penjuru
dan pelosok dunia. Sementara orang-orang yang membenci dan
memusuhi Islam tidak sanggup melawan kekuatan Islam secara
terbuka, mereka justru masuk dan melawan kekuatan Islam melalui
sendi-sendi ajaran agama Islam itu sendiri dengan cara membuat
Hadits-Hadits paslu (hadits maudhu’) yang dilakukan oleh orang-
orang yang memusuhi Islam. Hal tersebut dilakukkan guna untuk
membikin bias dan menjijikan kepada pemeluk ajaran agama Islam
sehingga umat Islam lari dan keluar dari ajaran Islam
3) Faktor Fanatisme Kesukuan, Madzhab Fikih.
Umat Islam dikala waktu sebagian pemerintahan daulah bani
Umawiyah begitu nampak sekali ke-fanatismean Arabnya,
sehingga sampai-sampai orang yang bukan dari Arab mereka
merasa terdiskriminasi dan terisolasi dari lingkungan
pemerintahan. Dari situasi demikian, ada diantara mereka (non-
arab) yang membuat Hadits paslu guna untuk memperkuat
kedudukan posisinya dalam pemerintahan.
4) Faktor Tukang Cerita (Qasasash)
Hadits palsu (Hadits maudhu') dapat muncul dan tersebar
dari lisan-lisan para sang ahli dongeng yang bertujuan untuk
mencari dan menarik perhatian para jama'ah pendengar setianya.
Para pendengar setianya yaitu orang-orang yang kurang memahami
ajaran agama Islam sehingga di manfaatkan agar undangan untuk
naik panggung bercerita banyak diterima dan memperoleh banyak
sejumlah uang. Materi kisah yang disampaikan kepada para
pendengar setianya adalah materi propaganda susupan Hadits palsu
(Hadits maudhu’). Hal tersebut telah mashur ketika abad ke 3 H
yang hanya duduk-duduk di masjid serta di pinggiran jalan.

22
5) Faktor Penjilat Penguasa
Semua cara akan dilakukan hanya untuk mempertahankan
posisi kedudukan dalam pemerintahan untuk mencari perhatian
dari sang penguasa disaat itu. Hal yang dilakukan untuk
melancarkan segala urusannya adalah dengan membuat Hadits
palsu (hadîs mauḏhû'), bahwa seakan-akan ungkapan yang
diucapkannya tersebut Hadits dari Nabi Muhammad Saw.29

F. Ruang Lingkup Metodologi Hadits


Mempelajari sebuah hadits berarti mengkaji kualitas hadits tersebut.
Dari segi kehujjahan (argumen) hadits yang bersangkutan, sangat penting
untuk mengetahui kualitas hadits tersebut. Hadits yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat tidak dapat dijadikan hujjah. Syarat tersebut harus dipenuhi
karena Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Karena munculnya
nama-nama banyak orang, penelitian hadits dilakukan secara besar-besaran
yang melibatkan banyak orang. Dengan demikian, kajian Hadits menunjukkan
bagaimana kegiatan penelitian menjadi tradisi ilmiah dan keharusan di
kalangan umat Islam saat itu.
Para peneliti hadits dalam melakukan penelitian berbekal metodologi
yang baku dan ketat. Mereka menggolongkan hadits kedalam empat golongan
utama, yaitu shahih atau asli, hasan atau baik, dha’if atau lemah, dan maudhu’
atau palsu. Apabila kita akan meneliti keshahihan sebuah hadits tersbut satu
persatu mulai dari sanadnya, matannya, rawinya. Caranya dengan metode
yang disebut takhrijul-hadits.30
1. Metode Takhrij atau Penelitian Hadits
Menurut Muhaimin, metode mempelajari hadits disebut takhrijul
hadits. Secara istilah, Takhrij berarti menunjukkan letak hadits pada
sumber aslinya (primary source), di mana dijelaskan mata rantai sanadnya
dan jika perlu, nilai hadits tersebut. Takhrij hadits sangat berguna antara

29
Abil ash.Rekonstruksi Hadish Mawdu’.(Sukabumi,Haura Publishing:2021), 27
30
Alvi Risalatul Janah, “sejarah metodologi tafsir al-qur’an dan al-hadits,” Paper Knowledge .
Toward a Media History of Documents 3, no. April (2015): 49–58.

23
lain menambah pengetahuan tentang detail kitab-kitab hadits dalam
berbagai format dan sistem penyusunannya, memudahkan siapa saja untuk
dengan mudah mengembalikan hadits yang terdapat pada sumber aslinya,
dan juga dengan mudah menilai derajat keotentikan hadits tersebut.
Sebelum melakukan langkah-langkah dalam melakukan takhrij
Hadits, hal yang paling utama adalah mengetahui metodenya agar
mendapatkan kemudahan dan terhindar dari berbagai hambatan. Karena
metode merupakan hal terpenting dalam tehnik bagaimana menelusuri
Hadits dengan mudah. Serta perlu diketahui bahwa dalam membukukan
Hadits, para ulama muHaditsin terdahulu masing-masing mempunyai
keragaman dan keunikan tertentu, seperti dalam pengurutannya ada yang
menggunakan huruf alphabet Arab seperti pada kitab al-Jami’ ash-Shaghir
karya Imam as-Suyuthi. Kemudian ada juga yang menggunakan cara
tematik (maudhu’i) yakni berdasar tema-tema tertentu, seperti kitab al-
Jami’ ash-Shahih li al-Bukhari dan sunan Abu Dawud. Metode seperti itu
digunakan oleh para Ulama MuHaditsin semata-mata untuk memberi
kemudahan bagi orang yang membaca dan mengkajinya, terutama umat
Islam.31
2. Metode Pemahaman Hadits
Menurut Bukhari, ada beberapa kecenderungan ulama dalam
memahami hadits Nabi, untuk mendapatkan pelajaran dengan berbagai
metode. Maka metode-metode pemahaman hadits dimaksud dapat
diklasifikasikan kepada metode pemahaman hadits tradisional dan metode
pemahaman hadits modernis. Berikut ini akan dideskripsikan kedua
metode tersebut:
a. Metode Pemahaman Hadits Tradisional
Metode ini memahami hadits dalam pendekatan berbasis konteks
sejarah atau historis. Metode ini dapat dibagi menjadi metode analitik,
metode global, dan metode komparatif.

31
Arif Maulana, “Peran Penting Metode Takhrij dalam Studi Kehujjahan Hadis,” Jurnal Riset
Agama 1, no. 1 (2021): 233–46, https://doi.org/10.15575/jra.v1i1.14406.

24
1) Metode Analitik, ialah metode memahami suatu hadits dengan
menjelaskan semua aspek yang terkandung di dalam hadits yang
dipahami dan menjelasakan makna yang terkandung di dalamnya,
sesuai dengan keahlian dan kencenderungan perawi untuk
memahami hadits tersebut.
2) Metode Global, ialah memahami hadits secara ringkas, namun
menyajikan makan harafiah hadits dalam bahasa yang lugas,
mudah dipahami dan mudah dibaca.
3) Metode Komperatif, yaitu memahami hadits dengan
membandingkan hadits yang sama atau serupa dalam kasus yang
sama, atau hadits yang berbeda dalam kasus yang sama, dan
perbedaan pendapat dalam riwayat.
Dapat dilihat bahwa ada dua sisi dari tujuan (objek) pembahasan,
terdapat dua aspek yang dapat dikaji dalam metode komparatif atau
perbandingan, yaitu perbandingan hadits dengan hadits, dan pendapat
para ulama. Dalam operasionalisasinya, metode tersebut dapat
diterapkan pada semua hadits, penggunaan mufrodat, baik susunan
kata maupun kemiripan redaksinya. jika akan membandingkan
kemiripan redaksi maka langkah-langkahnya sebagai berikut:
1) Mengidentifikasikan dan menghimpun hadits yang redaksinya
bermiripin sehingga diketahui mana yang mirip dan mana yang
tidak
2) Membandingkan hadits dengan redaksi yang sama yang membahas
satu atau dua kasus berbeda dalam redaksi yang sama.
3) Mengalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi
yang mirip, baik mengenai konotasi hadits maupun redaksinya.
Metode
b. Metode Pemahaman Hadits Modern
Cara memahami Hadits modernis adalah dengan memahami
Hadits Nabi dengan pendekatan ilmiah dan logika deduktif (filosofis).
Cara modernis dalam memahami hadits ini dapat dibagi lagi untuk

25
memahami hadits dengan pendekatan ilmiah dan logika deduktif
(filsafat). Pendekatan ilmiah berarti memahami sebuah hadits dengan
mengevaluasi istilah-istilah yang dikandungnya dan mempelajari
berbagai pandangan ilmiah dan filosofis yang dikandungnya.
Memahami hadits dengan pendekatan filosofis berarti memahami
hadits Nabi dengan membuat pernyataan-pernyataan yang logis.
Seperti hadits tentang air minum yang dihinggapi lalat.
Bukhari kemudian juga memaparkan pendekatan metodologis
untuk memahami hadits. Berikut langkah-langkahnya:
1) Menentukan tema hadits yang akan dipahami
2) Penghimpunan hadits-hadits mengenai tema yang dipilih
3) Menentukan orisinalitas hadits yang dijadikan sampel
4) Pemahaman makna hadits dengan meneliti:
a) Komposisi tata bahasa hadits dan bentuk pengungkapannya
b) Korelasi konteks kemunculan hadits secara sosio-historis
psikologis
c) Pengambilan pandangan hidup yang terkandung dalam
keseluruhan hadits
Ilmu-ilmu Musthalah hadits, Rijalul hadits, dan lain-lain ialah
bentuk campur tangan keilmuan para ulama hadits lewat metodologi
yang mereka gunakan untuk menentukan mana yang sahih, hasan dan
maqtu’, mursal, dha’if, dan lain sebagainya. Hadits-hadits yang
menyangkut persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya merupakan
celah untuk dapat dilakukan kajian mendalam dan sekaligus perlunya
pembaruan penafsiran, pemahaman, dan pemaknaan terhadap
khazanah literatur hadits.
Menurut Amin Abdullah, diperlukan ijtihad atau pemikiran yang
keras untuk mencapai kemungkinan- kemungkinan penafsiran baru
yang tetap sesuai dengan ruh dan jiwa keislaman dengan tetap

26
memberi kemungkinan perluasan dan pengembangan wilayah pranata
sosial budaya, politik dan ekonomi yang sudah ada.32

G. Ulum al- Hadits


Dalam mempelajari hadits, para ahli membutuhkan seperangkat ilmu
pengetahuan mengenai seluk beluk hadits. Ilmu-ilmu hadits ini telah
ditemukan oleh para ilmuan hadits dari waktu ke waktu, terlebih Ketika pada
masa klasik. Ilmu-ilmu tersebut sampai sekarang telah dipergunakan, dan
masih terus dikembangkan oleh para ahli studi-studi Islam. Ilmu-ilmu hadits
tersebut antara lain:
1. Tahammul Hadits
Tahammul hadits merupakan ilmu yang menjelaskan mengenai cara-cara
yang ditempuh oleh para sahabat Rasulullah sekaligus menyampaikannya
kepada para sahabat yang lain. Dalam menerima hadits dipergunakan 8
cara:
a. Metode al-sima’ yaitu mendengar langsung dari nabi
b. Metode al-qira’ah yaitu membaca dihadapan guru atau sahabat.
c. Metode al-ijazah yaitu seorang huru memberikan ijazah atau
sertifikat kewenangan kepada murid untuk menerima dan
menyemapaikan hadits
d. Metode al-munawalah yakni seorang guru ahli hadits memberikan
hadits kepada muridnya agar ia meriwayatkannya dari sang guru.
e. Mukatabah, yakni seorang guru menulis dengan tangannya sendiri
atau meminta orang lain untuk menulis dari Sebagian hadits untu
seorang murid yang ada dihadapannya, atau murid yang berada
ditempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid
Bersama orang yang dapat dipercaya.
f. Metode I’lam, yaikni syaikh memberitahukan kepada muridnya
bahwa Hadits tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat
miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang.

32
Janah, “sejarah metodologi tafsir al-qur’an dan al-hadits.” 14-16.

27
g. Metode al-washiyyah, yaitu seorang syaikh mewasiatkan kepada
seseorang agar Hadits atau bukunya diriwayatkan darinya.
Mungkin syaikh akan meninggal atau bepergian jauh.
h. Metode al-wijadah, yaitu penerimaan suatu Hadits dari shahifah
tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah, ataupun proses
munawalah.
2. Ilmu Tarikh al-Ruwat
Ilmu Tarikh al-ruwat merupakan ilmu yang bertujuan memahami para
perawk hadits dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka
terhadap hadits. Dalam ilmu ini menerangkan mengenai keadaan para
perwi, sejara kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, sejarah belajarnya,
perjalanan ilmiah yang pernah ditempuh, peristiwa penting yang pernah
dialaminya, dan pikiran-pikirannya yang terkait dengan Hadits. Ilmu ini
penting untuk mengetahui sejauhmana seorang perawi berhak untuk
meriwayatkan Hadits- Hadits. Salah satu contoh kitab yang membahas
biografi para rawi Hadits, al-Thabaqat al-Kubra karya Muhammad ibn
Sa’ad (168-230 H.). Buku ini ditulis berdasarkan sistem perangkingan
tingkatan para perawi.
3. Ilmu Jarkh wa Ta’dil
lmu Jarkh wa Ta’dil yaitu ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari
segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Ilmu ini merupakan ilmu Hadits
terpenting dan sangat banyak pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat
dibedakan antara yang sahih dan yang cacat, yang dierima atau yang
ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh (mencatat) dan ta’dil
(meluruskan) memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.
4. Ilmu Gharib al-Hadits
Ilmu gharīb al-hadīs adalah ilmu yang menjelaskan kata-kata Hadits yang
kurang jelas maknanya. Ilmu ini mendapat perhatian besar dari ulama
karena ilmu ini memperkenalkan lebih jauh tentang makna-makna yang
masih mengandung misteri dan kontroversi.
5. Ilmu Mukhtalif al-Hadits

28
Ilmu mukhtalif al-hadīs ialah ilmu yang mengkaji Hadits yang tampaknya
kontroversi dari segi maksudnya, dan berusaha mengkompromikannya dan
membahas Hadits-Hadits yang sulit dipahami, dan berusaha mencari jalan
keluarnya.
6. Ilmu ‘llal al-Hadits
Ilmu I’llal al-Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang
tersembunyi (I’llal) yang menyebabkan suatu Hadits yang asalnya
berkedudukan tertentu harus diberikan catatan setelah diketahui sebab-
sebab yang tersembunyi itu.
7. Ilmu Musthalah al-Hadits
Ilmu musthalah al-Hadits adalah ilmu yang membahas hakikat
periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum- hukumnya;
keadaan perawi-perawinya serta syarat-syaratnya; dan macam-macam
yang diriwayatkan, serta hal-hal yang berhubungan dengannya. Melalui
ilmu ini diketahui kedudukan Hadits dari sisi kualitas perawinya maupun
dari sisi kuantitas perawinya, Dari sisi kualitas perawinya, Hadits Nabi
dibagi menjadi Hadits sahih, hasan dan daif, serta berbagai cabang-
cabangnya. Sedangkan dari sisi kuantitas perawinya, Hadits Nabi dibagi
menjadi Hadits mutawatir dan Hadits ahad, serta berbagai cabang-
cabangnya.33

H. Perkembangan Modern dalam Studi Hadits


Hadits adalah salah satu sumber ajaran islam yang terpenting setelah Al-
qur’an sebagai landasan dalam pembentukan hukum islam. Haditst adalah
segala yang disandarkan kepada Rasulullah baik perkataan perbuatan maupun
ketetapan, Hadits memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-
qur’an. Karena keberadaanya sebagai sumber ajaran islam, perhatian umat
islam sejak zaman sahabat terhadap Hadits begitu besar. Mereka

33
Muhammad Arif, Metodologi Studi Islam (Sumantra Barat: Insan Cendekia Mandiri, 2020), 81-
84.

29
mengumpulkan Hadits semaksimal mungkin kemundian menyampaikannya
sebagai mana aslinya.
Mengingat pentingnya kedudukan Hadits tersebut, maka kajian-kajian
Hadits menjadi semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan
Hadits itu sendiri secara historis telah dimulai pada masa sahabat yang
dilakukan secara selektif demi menjaga kontentikan Hadits itu sendiri.
Mayoritas umat muslim memandang Hadits sebagai salah satu sumber
pengetahuan keagamaan yang penting dan dipahami sebagai sumber normatif
kedua setelah al-qur’an. Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini, terdapat
sebuah adagium terkenal, yaitu “al-qur’an lebih membutuhkan Hadits
daripada Hadits yang membutuhkan al-qur;an”. Maknanya, al-qur’an tidak
dapat ditafsirkan jikalau tidak dibarengi dengan Hadits namun sendiri.
Dalam sebuah riwayat al-Darimi diinformasikan, yahya bin abi katsir,
seseorang tabi’in kecil berkata “al-sunnah qadhiyatun’ala al-qur’an wa laisa
al-Qur’an biqadhim’ala al-sunnah”, lafadz tersebut memiliki makna yaitu
sunnah menjadi hakim atas al-Qur’an, tetapi al-Qur’an tidaklah dapat
menghakimi atas sunnah. Hal ini melukiskan betapa sunnah mempunyau
posisi penting dan kekuatan yang superior dalam tradisi keislaman sejak era
klasik. Akan tetapi, pada tataran praksisnya, Hadits tidaklah selalu
mendapatkan penghargaan yang tinggi. Terkadang ada pula golongan yang
mempertanya-kan otoritasnya dalam kaitannya dengan hukum islam, jika
dituntut secara historis, perdebatan ini sudah dimulai sejak era klasik ketika
kalangan teolog Mu,tazilah banyak yang menyaksikan fungsi Hadits sebagai
sumber yang otoritatif bagi pengetahuan.34
Hadits pada era modern atau kontemporer, perkembangan Hadits hanya
berkutat biasa saja tanpa adanya sebuah kemajuan, hal ini mungkin yang
menjadi penyebabnya ialah dominasi masyarakat islam kala itu, dan sudah
terhegemoni dengan budaya eropasentris, sehingga umat islam masih saja
bersikap pasif terhadap kajian Hadits. Berulah pada abad ke 20, beberapa

34
Abd Karim, Pergulatan Hadis Di Era Modern, Jurnal Study Hadis, no 2, Vol 3, 2018, : http//;
journal.stainkudus.ac.id/index.php/Riwayah//. 172.

30
ulama kalangan Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad
Abduh sempat geger dengan menggembar-gemborkan pembaharuan mereka
untuk menganjurkan umat islam agar “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”
dengan keemasan modernisnya35, dan sejak aksi tokoh pembaharu tersebut
akhirnya beberapa kalangan sepakat untuk kembali pada konsep al-Qur’an dan
Hadits, sehingga itulah akhirnya Hadits mulai mendapatkan perhatian sendiri
sehingga kajian Hadits menempati posisi kajian yang sangat penting.
Kemudian pasca setelah itu, studi Hadits kembali berkembang di era ini,
bahkan kritik pada Hadits sudah merambah dari berbagai hal, bahkan kritik
tidak hanya dari para muhaddist maupun sarjana muslim, melainkan para
orientalis (barat) juga geram ikut ambil dalam hal ini, Hal ini terbukti pengkaji
Hadits dikalangan muslim banyak bermunculan, seperti Muhammad al-
Ghazali, Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Syahrur, Mustafa al-
Azami, dan fazlur Rahman, para tokoh tersebut mencoba mengembangkan
dan mengkritisi pemikiran tentang Hadits, sedangkan dikalangan non muslim
muncul seperti Sprenger, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, ini merupakan
bukti bahwa kajian pemikiran Hadits mendapat respon yang sangat luar biasa
dan senantiasa dikaji.
Bentuk standarisasi ke shahihan Hadits yang tertuang kanonik seperti
Shahih Bukhari. Pada era ini mengalami sedikit pembaharuan, berawal ketika
tahun 1890 M yaitu setelah terbitnya buku yang berjudul Muhammadenische
Studien (Studi Islam) yang ditulis oleh Ignaz Goldziher, dimana ia menolak
kriteria dan persyaratan otensitas. Hadits seperti tersebut. Metode kritik matan
yang dipakai oleh para ulama’. Menurutnya, kritik matan yang dipakai oleh
para ulama’ adalah Hadits yang mencakup berbagai aspek seperti politik,
sains, sosiolokultural, dan lain-lain.
Pada modern/Kontemporer ini model kajian Hadits tidak hanya
menekankan pada kualitas periwayatan akan tetapi kuwantitas36. Sebagai

35
Mochammad Samsukadi, Paradigma studi Hadis di Dunia Pesantren, jurnal study islam, vol 06,
no 01, April, 2015, 47
36
Lufthi maulana, Periodesasi Perkembangan Studi Hadis, jurnal Studi Hadis, vol 17, no 01, April
2016 , 119.

31
contoh misalnya dari model kajian Hadits yang melahirkan beberapa teori
seperti common link, yaitu teori “Projecting Back” oleh joseph Schacht, yaitu
yang menyatakan bahwa matan Hadits pada awalnya berasal dari generasi
tabi’in yang diproyeksikan ke belakang kepada generasi sahabat dan akhirnya
kepada nabi dengan cara mudah menambah dan memperbaiki isnad yang
sudah ada.37

37
Ibid, 120.

32
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai studi hadits ini dapat disimpulkan beberapa
kesimpulan sebagaimana berikut:
1. Hadits menurut istilah ahli, hadits adalah apa yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapansifat,
baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
2. Sejarah perkembangan Hadits pra-pembukuan dibagi menjadi tiga masa.
Pertama, Masa Nabi, yaitu masa Nabi menerima wahyu dan
mengajarkannya. Kedua, Masa Khulafa ar-Rasyidin, yaitu masa
pembatasan riwayatriwayat Hadits dari tahun 12-40 H. Ketiga, Masa
Sahabat kecil dan Tabiin besar ditandai dengan masa perluasan riwayat
dan perlawatan-perlawatan ke kota-kota untuk mencari Hadits dan atas
perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis Hadits dibukukan. Tidak
diragukan lagi, terjadinya proses transformasi dari pra-pembukuan hingga
pembukuan, sudah dimulai dari usaha para Sahabat dan Tabiin untuk
mengumpulkan ash-shahifah (lembar-lembar Hadits), kemudian ditulis
kembali secara resmi atas perintah Khalifah untuk disebarluaskan
keberbagai kota-kota Islam lainnya
3. Pembagian hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya terbagi menjadi dua
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Kuantitas hadits disini yaitu dari
segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau segi jumlah
sanadnya.
4. Hadits Shahih Yaitu Hadits yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, terhindar dari syuduz
dan illat.
5. Hadits Hasan yaitu Hadits yang sanadnya bersambung,diriwayatkan oleh
orang-orang adil, kurang dhabithnya, dan tidak ada syuduz dan 'illat.

33
Hadits hasan terbagi kepada dua, yaitu hasan lidzatihi dan hasan
lighairihi..
6. Hadits dha'if adalah Hadits yang tidak memenuhi persyaratan qabul,
seperti halnya Hadits shahih ataupun Hadits hasan, sebab-sebab kedha'ifan
Hadits pada tiga hal :dha'if karena cacat atau terputus sanad,dha'if karena
tidak 'adalat atau dhabith perawi dan dha'if karena syuzuz atau `illat.
7. Hadits Maudhu’ adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW
dengan cara mengada-ada dan dusta. Hadits ini tidak pernah beliau
sabdakan, kerjakan maupun taqrirkan.
8. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa modern-kontemporer ini
kajian Hadits lebih menitik beratkan pada kajain dalam matan. Karena
mau tidak mau perkembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu-ilmu social,
antropologi, filsafat turut mewarnai akan kontekstualisasi Hadits tersebut
yang terfokus dalam pemahaman seputar kajian matan, dalam hal ini
Muhammad Tasrif memberikan rasionalisasi terhadap perkembangan
Hadits, menurut Howard M. Federspiel dalam hasil penelitiannya terhadap
literatur ilmu Hadits yang berisi analisis terhadap autentitas dan validitas
Hadits yang berkembang pada masa awal islam masuk untuk menentukan
autentitas dan validitasnya.

B. SARAN
Dari makalah yang telah kami buat ini diharapkan dapat membantu
teman-teman sekalian sebagai pembaca untuk memahami materi yang telah
kami uraikan diatas. dengan keterbatasan sumber serta bahan referensi yang
kami kumpulkan tentunya tidak menutup kemungkinan adanya suatu
kesalahan. Oleh karena itu sebagai pertimbangan, kami selaku penulis
menyarankan teman-teman sekalian untuk mencari dan membaca dari
referensi yang lain dan tidak berpatok dengan makalah kami. Kami selaku
penulis sangat membuka tangan menerima segala saran maupun kritik dari
teman-teman sekalian untuk memperbaiki kekurangan dari makalah kami.

34
DAFTAR PUSTAKA

Abil ash. Rekonstruksi Hadish Mawdu’.Sukabumi,Haura Publishing. 2021


Zuhri, Ahmad, ed. al. Ulumul Hadis, Medan: Manhaji, 2014.
Alifiah, Fitriadi, Suja’i. Studi Ilmu Hadis. Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2016.
Arif, Muhammad. Metodologi Studi Islam. Sumantra Barat: Insan Cendekia
Mandiri, 2020.
Azami, Muhammad Mustafa, Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi Dan
Literatur Hadis. Jakarta: Lentera, 1995.
Darmalaksana, Wahyuddin, Hadis Di Mata Orientalis: Telaah Atas Pandangan
Ignaz Goldziher Dan Joseph Schacht. Bandung: Benang Merah Press,
2004.
Goldziher, Ignace, and Joseph DeSomogyi, A Short History of Classical Arabic
Literature. Hildesheim: Olms Verlag, 1966.
Idris, Studi Hadis, Jakarta: Kencana, 2010
Janah, Alvi Risalatul. “sejarah metodologi tafsir al-qur’an dan al-hadits.” Paper
Knowledge . Toward a Media History of Documents 3, no. April, 2015.
Karim, Abd, Pergulatan Hadis Di Era Modern. Jurnal Study Hadis. no 2, Vol 3,
2018. http//;journal.stainkudus.ac.id/index.php/Riwayah//.
Khusniati, Rofiah. Studi Ilmu Hadis. Ponorogo: IAIN PO Press, 2018.
Maulana, Arif. “Peran Penting Metode Takhrij dalam Studi Kehujjahan Hadis.”
Jurnal Riset Agama 1, no. 1 (2021): 233–46.
https://doi.org/10.15575/jra.v1i1.14406.
Maulana, Lufthi, Periodesasi Perkembangan Studi Hadis. Jurnal Studi Hadis. vol
17, no 01, April 2016.
Samsukadi, Mochammad, Paradigma studi Hadis di Dunia Pesantren. Jurnal
Study IIlam. vol 06, no 01. April, 2015,
Sulaemang. Ulumul Hadits. Kedua. Kendari: AA-DZ Gradika, 2017.
Syaikh Manna Al Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, Jakarta, 2005.
Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH,
Bogor, 2001.

35

Anda mungkin juga menyukai