Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

FENOMENA BARU PENDIDIKAN DAN TRAINING ISLAM

Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Kajian Sejarah Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing:
Mohammad Zuhurul Fuad,M.pd.I

Di Susun Oleh:
Deni saputra
Fajar Sidik

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
BANJARNEGARA
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik, dan ilham-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga maklah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca. Makalah ini disusun dalam rangka untuk melaksanakan tugas dari dosen
kami Bapak Mohammad Zuhurul Fuad,M.pd.I selaku pengampu materi Sejarah
Pendidikan Islam.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak banyak kekurangan karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Agama, Pendidikan Keagamaan dan Perjalanannya. 4
B. Corak pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah.............. 8.
C. Faham Keagamaan Di Masyarakat................................................................. 11
D. Pemberlakuan Kurikulum 2013..................................................................... 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
1. Dalam Konteks Kurikulum 2013 merupakan hal yang penting dan menarik,
dengan beberapa latar belakang pemikiran sebagai berikut. Pertama, bahwa
dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan Madrasah
merupakan salah satu objek kajian ilmiah yang sangat menarik. Dari segi
keberadaannya dalam kurikulum, pendidikan agama dan keagamaan telah
menimbulkan perdebatan sengit di antara para pejabat pengambil kebijakan,
pemuka agama, dan lainnya. Kehadiran pendidikan agama dan keagamaan di
Madrasah dan Sekolah merupakan hasil dari perjuangan panjang para pemuka
agama, tokoh masyarakat dan lainnya. Tidak hanya mengkaji soal
pendidikan, bahwa mengkaki masalah-masalah keislaman lainnya di
Indonesia termasuk masalah yang menarik. Hal ini diakui oleh Robert
Hefner, John Esposito, Fuad Jabali, dan para peneliti lainnya.
2. Kedua, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah
akan lebih meningkat lagi, sehubungan dengan lahirnya Kurikulum Tahun
2013 yang memiliki paradigma, prinsip, pendekatan, metode dan sistem
penilaian, sarana prasarana dan lainnya yang berbeda dengan paradigma,
prinsip, pendekatan, metode dan lainnya yang terdapat pada kurikulum
sebelumnya, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK:2004), dan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dinamika ini terus terjadi,
karena keadaan sekolah dan madrasah yang diharuskan melaksanakan
kurikulum 2013 secara umum masih dalam keadaan belum siap dalam
berbagai aspeknya. Beberapa sekolah dan madrasah yang sudah masuk dalam
SBI (Sekolah Bertarap Internasional), atau yang sekolah dan madrasah yang
telah mendapatkan akreditasi A, misalnya, diidentifikasi sebagai sekolah dan
madrasah yang sudah siap melaksanakan kurikulum 2013. Sedangkan sekolah
dan madrasah yang memiliki akreditasi B, C atau yang belum terakreditasi,
tentu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyiapkan dirinya agar
dapat melaksanakan kurikulum 2013.

1
3. Ketiga, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah
juga terjadi, karena pendidikan agama dan keagamaan bukan hanya sebagai
pengetahuan atau keterampilan sebagaimana mata pelajaran lainnya,
melainkan lebih dari itu, pendidikan agama dan keagamaan akan menjadi
sumber nilai yang dapat membentuk sikap dan perilaku manusia. Diketahui
bahwa saat ini paham keagamaan amat beragam; di samping ada paham
keagamaan yang inklusif, juga ada yang eksklusif;
Di samping ada paham keagamaan yang moderat (tawasuth), juga ada paham
keagamaan yang ekstrim (tatharruf); di samping ada yang paham keagamaan
yang lunak (soft) dan akomodatif, juga ada paham keagamaan yang keras,
non kooperatif, konfrontatif, dan seterusnya.
Demikian pula kekeliruan dalam memberikan pemahaman agama dan
keagamaan dapat berakibat fatal bukan saja bagi yang bersangkutan,
melainkan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Lahirnya sikap eksklusif,
fundamentalis, radikal dan anarkhis misalnya, dapat lahir dari pemahaman
agama dan keagamaan yang keliru:sempit, parsial, dangkal, tektualis,
doktriner, dan sebagainya.
4. Keempat, dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan
madrasah juga terjadi, karena adanya perbedaan pandangan, sikap politik dan
ideologi yang dianut oleh pemerintah yang berganti-ganti. Pemerintahan
kolonial Belanda yang diskriminatif, Pemerintahan Orde Lama yang berada
dalam tarik menarik antara kekuatan Islam Ideologis, Nasionalis dan
Komunis; Pemerintah Orde Baru yang sebagian waktunya kurang bersahabat
dengan ummat Islam, dan sebagian waktunya lagi bersahabat dengan ummat,
serta memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi; dan pemerintah era
reformasi yang ditandai oleh multi partai dan lahirnya berbagai paham
ideologi dan paham keagamaan yang semakin beragam, menyebabkan
dinamika pendidikan agama dan keagamaan semakin meningkat.
Melalui kajian literatur ditambah dengan pengalaman empirik sebagai
tenaga pendidik dan pengajar, makalah ini akan menjelaskan dinamika
pendidikan agama dan keagamaan yang terjadi di Indonesia pada khususnya, dan
di negara lain pada umumnya. Selain itu, makalah ini juga akan membahas

2
dinamika pendidikan agama dan keagamaan dalam konteks kurikulum 2013 dan
pendidikan agama dan keagamaan yang cocok untuk masyarakat Indonesia,
dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian pendidikan agama dan
keagamaan. Melalui kajian ini selain dapat diketahui corak dan sifat pendidikan
agama dan keagamaan yang diajarkan di sekolah, madrasah, dan di masyaraka,
juga dapat diketahui metode dan pendekatan pembelajaran yang tepat untuk
digunakan sesuai tuntutan kurikulum 2013.

B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian supervisi pendidikan
2 . Untuk memahami fungsi supervisi pendidikan
3. Untuk memahami peranan supervisi pendidikan
4. Untuk mempelajari pelaksanaan supervisi pendidikan
5. Untuk mengetahui teknik-teknik dalam supervisi pendidikan

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Agama, Pendidikan Keagamaan dan Perjalanannya.


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, Bab I, Pasal 1 ayat
(1) tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dinyatakan, bahwa pendidikan
agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Sedangkan pendidikan keagamaan,
sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan, bahwa
pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menutut penguasaan pengetahuan tentang ajaran
agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tersebut
dijelaskan tentang kedudukan, fungsi, tujuan, kurikulum, bentuk:formal, non-
formal dan informal, jenjang, pendidik, sarana prasarana, tempat dan lainnya
tentang pendidikan agama dan keagamaan. Bahkan dalam peraturan tersebut
dibahas pula pendidikan agama dan keagamaan Kristen,Katolik, Hindu, Buddha
dan Khong Hucu, serta syarat-syarat pendirian satuan pendidikan keagamaan.
Dengan demikian, jika titik tekan atau fokus utama pada pendidikan
agama untuk menumbuhkan sikap religiousitas (rasa keberagamaan) yang kokoh,
maka pada pendidikan keagamaan, selain ditujukan untuk menumbuhkan sikap
religiousitas, juga untuk menjadi ahli ilmu agama Islam, yakni Ulama/Colon
Ulama.
Pendidikan agama inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah umum dan
madrasah dalam arti sekolah umum yang berciri khas keagamaan, misalnya
keagamaan Islam untuk madrasah. Pada sekolah umum dan madrasah ini, materi
utamanya bukan agama atau bukan untuk menjadi ahli agama, tetapi pengetahuan
umum atau keterampulan lainnya, sedangkan agama menjadi dasar yang
menjiwainya. Sedangkan pada pendidikan keagamaan mata pelajaran utamanya
bukan umum, tapi pengetahuan agama (tafaqquh fid din), sedangkan pengetahuan
umum seperti kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu
pengetahuan diajarkan dalam rangka pelaksanaan wajib belajar, dan ditujukan
bukan untuk menjadi ahli dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut.
Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di Indonesia bukan hanya
sekedar mata pelajaran, tetapi sebuah konsekwensi logis dari pilihan bangsa
terhadap falsafat bangsa, yakni Pancasila, yang mensyaratkan seluruh bangsa
Indonesia harus beragama sesuai dengan pilihannya:Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghuchu.
Selain itu juga disebabkan, karena setiap agama tersebut mengemban
missi dakwah, yakni selain menanamkan nilai-nilai agama dalam setiap pribadi,

4
juga mencetak para ahli agama yang secara terus menerus dapat mengkader para
ahli dalam bidang ilmu agama tersebut. Dengan cara demikian, agama akan terus
bertahan dan eksis sepanjang zaman, dan ajaran-ajarannya dapat terus
dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman. Sejalan dengan itu, maka masing-
masing penganut agama berusaha untuk menyebarluaskan agamanya ke tengah-
tengah masyarakat.
Dalam kerangka penyebar-luaskan agama atas motivasi keagamaan yang
kuat dari para penganut agama masing-masing, maka mereka mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan dan melahirkan para ahli agama.
Selanjutnya, karena demikian pentingnya agama bagi kehidupan masyarakat agar
beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, maka para tokoh agama melalui
berbagai posisi, jabatan dan wewenangnya berupaya memasukan pelajaran
agama ke sekolah umum dan lainnya.
Dalam konteks agama Islam, upaya memasukan pendidikan agama ke
dalam kurikulum sudah berlangsung dari sejak zaman kolonial Belanda. Akh
Minhaji dan M. Atho Mudzhar misalnya mengatakan, “Sebenarnya upaya-upaya
menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah umum telah
dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Dalam sidang-sidang
Volksraad, usulan tersebut selalu disampaikan, namun tidak pernah membuahkan
hasil.
Upaya memasukkan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum
lebih intensif lagi terjadi setelah kemerdekaan RI. Dalam hubungan ini, Ki Hajar
Dewantara selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dalam
Kabinet Pertama RI, mengusulkan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-
sekolah negeri. Selanjutnya berdasarkan keputusan BP-KNIP No. 15 Tahun 1945
tertanggal 22 Desember 1945, antara lain ditegaskan bahwa dalam rangka
memajukan pendidikan dan pengajaran yang ada, maka pendidikan yang ada di
langgar-langgar dan madrasah-madrasah kendaknya mendapat perhatian dan juga
bantuan pemerintah. Kemudian pada rapat tanggal 27 Desember 1945, BP-KNIP
mengusulkan kepada pemerintah, melalui Menteri PPK, tentang perlunya
pembaruan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Usulah tersebut antara lain
terkait dua hal. Pertama, pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang
teratur, seksama dan mendapat perhatian yang semestinya. Kedua,madrasah-
madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber
pendidikan dan pengajaran rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya mendapat perhatian dan
bantuan yang nyata, berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Usulah-usulan tersebut mendapat respon positif dari Menteri PPK. Dengan
dikeluarkannya SK Menteri PPK No. 104/Bhg, tanggal 1 Maret 1946,
dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran yang dipimpin Ki Hajar Dewantara
dan beranggotakan 51 orang.

5
Panitia tersebut tugasnya adalah merencanakan susunan baru tiap-tiap
sekolah; menetapkan bahan-bahan pengajaran yang sifatnya praktis dan tidak
terlalu berat; dan menyiapkan rencana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-
tiap kelas.
Permasalahan yang dibahas oleh Panitia tersebut antara lain pendidikan
dan pengajaran agama, budi pekerti, kewajiban belajar dan bahasa. Dalam sektor
pengajaran agama, panitia tersebut melahirkan beberapa keputusan, antara lain:
(1) hendaknya agama menjadi salah satu pelajaran yang diberikan di Sekolah
Rakyat (SR);
(2) Guru agama disediakan oleh pihak Kementerian dan dibayar oleh Pemerintah;
(3) Guru agama harus mempunyai pengetahuan umum, dan untuk itu harus
didirikan Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA);
(4) Pesantren dan madrasah harus dipertinggi mutunya.
Selain itu, dinamika pendidikan agama dan keagamaan pada sekolah dan
madrasah juga ditandai oleh adanya usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus.
Dialah salah satu tokoh yang berupaya memperjuangkan masuknya pendidikan
agama Islam ke sekolah umum. Setelah Mahmud Yunus pindah ke
Pematangsiantar pada bulan November 1946, sebagai kepala bagian Islam pada
Jawatan Agama Propinsi Sumatera Utara, ia mengusulkan kepada Kepala
Jawatan PPK Provinsi Sumatera Utara, Abdullah Nawawi, agar pelajaran agama
dimasukkan ke dalam daftar pelajaran sekolah-sekolah negeri, mulai dari SR,
SMP dan SMA. Usulan tersebut direspon positif oleh Kepala Jawatan PPK
Provinsi Sumatera Utara dan rencana pengajaran agama yang sudah ditetapkan di
Sumatera Utara dapat diterima dengan baik pada bulan Januari 1947.
Upaya memasukan pendidikan agama Islam ke dalam sekolah umum
lebih lanjut terjadi pada proses lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran. Pada Bab XII, Pasal 20 ayat (1)
Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa dalam sekolah negeri diadakan
pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran agama tersebut atau tidak. Selanjutnya pada ayat (2) Pasal tersebut
dinyatakan, bahwa cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah
negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama
Dalam perjalanan selanjutnya, pendidikan agama baru benar-benar masuk
ke dalam kurikulum sekolah umum, setelah keluarnya Undang-undang Repulik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada ayat
(2) Bab IX, Pasal 37 Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa isi kurikulum
setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: (a)pelajaran Pancasila;
(b)pendidikan agama, dan (c)pendidikan kewarganegaraan.
Masuknya pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib pada
sekolah umum lebih lanjut dikukuhkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab X, Pasal 37 ayat (1)

6
Undang-undang Sisdiknas tersebut dinyatakan, bahwa kurikulum pendidikan
dasar dan menengah memuat (a) pendidikan agama, (b)pendidikan
kewarganegaraan, (c)bahasa Indonesia, (d)matematika, (e)imu pengetahuan alam;
(f)ilmu pengetahuan sosial (g)seni dan budaya; (h)pendidikan jasmani dan
olahraga; (i)leterampilan/kejuruan, dan (j)muaatan lokal.
Uraian tersebut memperlihatkan, bahwa dari segi masuknya pendidikan
agama dan keagamaan ke dalam kurikulum sistem pendidikan diwarnai oleh
dinamika yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai
berikut. Pertama, dari segi waktunya, perjuangan memasukkan pendidikan agama
ke dalam kurikulum sistem pendikan nasional memakan waktu lebih dari 63
tahuan. Yakni mulai dari tahuan 1940 sampai dengan tahun 2003. Kedua, dalam
kurun waktu yang panjang ini, telah melibatkan sejumlah tokoh nasional seperti
Ki Hajar Dewantara, Mahmud Yunus, dan tokoh-tokoh lainnya yang duduk
dalam Panitia Penyidik Pengajaran yang beranggotakan 51 orang, Menteri
Agama, seperti K.H.Fathurrahman Kafrawi, para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, para tokoh partai dan sebagainya. Ketiga, bahwa sebab-sebab begitu
sulitnya pendidikan agama masuk ke dalam kurikulum sekolah umum, memang
amat kompleks. Sebab-sebab tersebut bukan saja karena masalah sosial
masyarakat Indonesia yang heterogeen dari segi strata sosial, politik, ideologi,
dan agama, melainkan juga terkait dengan masalah hak-hak asasi manusia,
budaya, serta peran dan fungsi agama yang bukan hanya sebagai pengetahuan
dan keterampilan melainkan juga sebuah sikap dan pandangan hidup yang
mempengaruhi manusia bukan hanya di dunia ini, melainkan juga di akhirat
nanti.
Sejalan dengan ini Ki.Hajar Dewantara pernah mengatakan, bahwa agama
di dalam pengajaran sekolah adalah soal lama dan akan terus menerus menjadi
persoalan yang sulit. Hal ini disebabkan karena:
1. sifat pokok dari agama (pemeliharaan rasa Ketuhanan) sebetulnya tidak ada
antitesis yang berarti. Sebagian besar rakyat memang berjiwa religius;
2. kesulitan timbul sejak ada tuntutan supaya sifat keagamaan tadi diberi bentuk
“pengajaran agama”, hakikat religi diwujudkan dengan syari’at agama yang
pasti dan tertentu;
3. Tiap-tiap golongan agama sudah selayaknya memajukan tuntutan masing-
masing, menurut organisasi keagamaannya;
menurut rencana dari pihak Pemerintah Republik Indonesia memang
semua aliran agama (Islam, Kristen dan Katolik) dapat kesempatan untuk
memelihara agamanya masing-masing itu di dalam sekolah, akan tetapi cara
pelaksanaanya belum memuaskan semua golongan agama, atau lebih tegasnya
golongan Islam memajukan syarat yang agak berat bagi pemerintah;
Di samping itu, ada golongan-golongan yang tidak mufakat pelajaran
agama tadi dimasukkan ke dalam daftar pelajaran sebagai “imperatif: vak; dan
ada pula yang menuntut pelajaran tersebut hendaknya ditempatkan di luar jam

7
pelajaran. Selain itu timbul pula tuntutan supaya jumlah jam pelajaran itu
diperbanyak, juga isi pelajaran, misalnya ditambah dengan bahasa yang dianggap
perlu bagi pelajatan agama itu

B. Corak Pendidikan Agama dan Keagamaan di Sekolah dan Madrasah


Dinamika pendidikan agama dan keagamaan di sekolah dan madrasah
dapat pula dilihat dari sifat-sifat dan coraknya. Keadan ini disebabkan karena
karakter dari ajaran agama Islam itu sendiri yang cenderung adaptif dan
akomodatif terhadap berbagai pengaruh dari luar. Dalam hal ini Amin Abdulah
mengatakan, bahwa wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan
manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat
dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu-
meskipun fenomena ini sampai kapanpun adalah ciri khas dari agama-agama
yang ada, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait dengan historisitas
pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok-kelompok terhadap
norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek
ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu Jalaluddin Rahmat mengemukakan adanya dua macam cara
beragama:Ekstrinsik dan Intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai
sesuatu yang untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use
but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya
sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motiv-motiv lain:kebutuhan akan
status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini
melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa, salat, naik haji dan
sebagainya, tetapi tidak di dalamnya. Kata Allport, cara beragama seperti ini erat
kaitannya dengan penyakit mental. Sedangkan beragama secara instrinsik yang
dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat agama
dipandang sebagai comprehensive commitmen, dan driving integrating motive,
yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemandu
(unifying factor). Cara beragama seperti terhunjam ke dalam diri penganutnya.
Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih
sayang.
Dinamika pendidikan agama dan keagamaan juga terjadi karena
perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam konteks agama yang berkembang di Barat,
misalnya, Amin Abdullah, mengemukakan tentang adanya 4 (empat) model atau
pendekatan dalam memahami agama. Pertama, model local, yaitu ketika agama
hanya berbicara masalah-masalah lokal yang disampaikan secara verbal atau
kata-kata tanpa tulisan. Otoritas keagamaan berada di tangan tokoh lokal yang
terkadang bersifat feodal dan oriter.
Model dan pendekatan keagamaan yang demikian itu terjadi ketika
budaya dan kemampuan teknik tulis menulis belum dijumpai di masyarakat.

8
Kedua, model canonical, yaitu ketika agama sudah dituangkan dalam
bentuk tulisan dalam bentuk kitab suci. Keadaan ini terjadi ketika budaya dan
teknik tulisan sudah dijumpai dalam masyarakat. Ketiga,model critical, yaitu
ketika kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang didasarkan pada model
berfikir eksperimen, empirik dan rasional sudah berkembang luas. Temuan-
temuan dalam bidang penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
selanjutnya mempertanyakan doktrin-doktrin agama yang selama ini dianut dan
dipegang teguh. Dalam keadaan demikian terkadang timbul konflik dan
ketegangan, bahwa pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Fenomena
seperti ini selanjutnya menimbulkan pemisahan antara agama dan ilmu
pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sekuler di Barat.
Keempat, model global, yaitu ketika agama tidak hanya bermain di ruang privat,
melainkan sudah bermain di ruang global yang bersentuhan dengan berbagai
aspek kehidupan. Agama harus mampu menyelesaikan konflik sosial, ketegangan
sosial, peperangan, penggunaan nuklir, kerusakan lingkungan hidup, ketidak-
adilan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, demokrasi, perdagangan dan
sebagainya. Dalam keadaan demikian, agama tidak lagi dapat menjawab berbagai
masalah sosial dengan dirinya sendiri, melainkan harus bekerja sama dengan
berbagai bidang keahlian.
Fenomen kuatnya pengaruh dari luar berupa perkembangan masyarakat
yang menyebabkan terjadinya dinamika paham agama sebagaimana tersebut di
atas, terjadi pula pada agama Islam. Dalam hubungan ini, Amin Abdullah
merekam tentang adanya empat model pemahaman agama Islam. Pertama,
model Ulum al-Din; kedua model al-Fikr al-Islamiy dan ketiga, model Dirasat
Islamiyah atau Islamic Studies. Pada model Ulum al-Din, kajian terhadap ilmu
agama terbagi-bagi antara tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sebagainya. Masing-
masing ilmu tersebut berdiri sendiri-sendiri, tanpa tegur sapa, bahkan saling
menyerang dan mengkafirkan.
Model Ulum al-Dinyang sebagian besar masih dijumpai pada pesantren
salafiyah ini ditandai antara lain oleh sifatnya yang mengulang-ulang (repitifif)
dengan assumsi, bahwa ilmu agama sudah selesai (final); mempertahankan yang
sudah ada (defensif) dengan assumsi bahwa yang sudah ada itu merupakan hasil
karya yang terbaik, dimana generasi yang datang
berikutnya tidak akan mampu melampaui ketinggiannya; sektarian, yakni
memandang hanya pendapat tertentu yang terbaik, sedangkan pendapat yang
lainnya kurang baik, bahkan dianggap keliru; normatif, yakni bahwa yang
disampaikan itu merupakan ajaran yang dijamin benar, tanpa mempertanyakan
bagaimana membuktikan atau pengoperasikan ajaran yang benar itu dalam
realitas; doktriner, yaitu bahwa yang dikemukakan itu merupakan ajaran yang
harus diikuti tanpa harus dipetanyakan lagi; a-historis, yakni ajaran tersebut tanpa
disertai penjelasan tentang latar belakang kelahirannya, penjelasan tentang tahun,
tempat, para pelaku, tujuan dan sebagainya; a-social, yakni ajaran tersebut tidak

9
disertai dengan penjelasan mengenai situasi sosial yang melatar belakangi
lahirnya, serta hubungannya dengan berbagai faktor yang ada di sekitarnya.
Model ajaran Ulum al-Din ini cenderung idealis, tapi tidak realistik dan tidak
aplicable.
Selanjutnya pada model al-Fikr al-Islamiy, kajian Islam dilakukan dengan
cara menghubungkan antara satu bidang ilmu agama dengan ilmu agama lainnya,
mengemukakan latar belakang sejarah dan sosial yang melatar-belakangi
lahirnya. Dengan cara demikian, ilmu agama yang diajarkan tidak bersifat
doktriner atau normatif, melainkan bersifat historis dan sosiologis, rasional, dan
toleran. Melalui kajian ini, semua aliran dalam setiap bidang ilmu diperkenalkan
sambil diberikan penilaian, bahwa semua aliran tersebut sebagai sederajat. Yakni
betatapun hebatnya pemikiran tersebut tetap mengandung berbagai kelemahan,
dan karenanya tidak dapat mengklaim sebagai yang paling benar. Dengan cara
demikian, anggapan yang memandang bahwa satu madzhab benar, dan madzhab
lain sebagai yang keliru tidak dilakukan lagi. Dengan cara demikian terjadilah
sikap toleransi, saling menghargai dan berdialog dalam suasana kemitraan dan
saling mengisi. Tidak hanya itu, kajian al-Fikr al-Islamiy ini juga
memperkenalkan bahwa Islam bukan hanya sistem peribadatan, melainkan
sebuah sistem kebudayaan dan peradaban yang utuh. Model pemahaman Islam
dengan pendekatan al-Fikr al-Islamiyini buat pertama kali diperkenalkan oleh
Harun Nasution melalui bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I
dan II. Pada jilid I selain dibahas pengertian agama, unsur-unsurnya, dan
pengertian Islam dalam arti yang sebenarnya, juga dibahas tentang Aspek Ibadah
dan hubungannya dengan moral, aspek sejarah dalam Islam, teologi, dan fikih.
Sedangkan pada jilid II dibahas tentang aspek filsafat, tasawuf, aliran modern dan
pranata sosial. Dalam membahas tentang kalam misalnya, selain dikemukakan
aliran Asy’ariyah, juga dikemukakan tentang Mu’tazilah, al-Maturidiyah,
Khawarij, Murjiah, Qadariyah, dan Jabariyah yang dilakukan secara seimbang
dan sejajar. Demikian pula dalam bidang fikih, selain dikemukakan berbagai
mazhab dalam fikih disertai latar belakang timbulnya juga mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Hal yang serupa juga dilakukan dalam bidang
filsafat, tasawuf dan lain sebagainya. Upaya yang dilakukan Prof.Harun Nasution
ini ternyata cukup efektif. Hal ini terbukti dari hilangnya gesekan, pertentangan
atau konflik antara sesama ummat Islam sebagaimana yang terjadi di masa lalu.
Kelompok Islam Muhammadiyah yang shalat tarawih 8 raka’at, dengan
Nahdlatul Ulama yang shalat tarawih 20 raka’at nampak sudah dapat berjalan
berdampingan. Bahkan banyak anggota masyarakat Muslim yang dahulu shalat
tarawih 20 rakaat memilih shalat tarawih menjadi 8 raka’at, dengan memandang
bahwa perbedaan tersebut dalam posisi yang sama kuatnya.
Dalam pada itu model kajian Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies yang
selain memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dijumpai pada al-Fikr al-Islamy
sebagaimana tersebut di atas, juga telah dilengkapi dengan berbagai disiplin ilmu

10
lainnya. Kajian Dirasat Islamiyah (Islamic Studies) ini didasarkan pada adanya
perubahan baru dalam memandang ilmu. Dahulu ilmu asyik dengan dirinya
sendiri. Namun di masa sekarang, setiap ilmu harus berkontribusi dalam
memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Untuk dapat
melaksanakan perannya yang demikian itu, maka setiap ilmu sudah harus saling
mendekat dan salaing membantu atau melakukan hubungan mutual simbiotik.
Temuan tentang teknik pengobatan dalam Ilmu kedokteran, atau ditemukanya
berbagai jenis obat-obatan dalam ilmu farmakologi misalnya, terlebih dahulu
harus bertanya kepada fikih mengenai hukum penggunaan teknik pengobatan
atau obat-obatan tersebut. Untuk itu masing-masing ilmu harus saling membantu.
Demikian pula studi Islam ketika berhadapan dengan adanya persoalan yang
menyangkut adanya perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita dalam fikih
seperti mengumandangkan adzan, imam shalat, khatib Jum’at, jumlah harta
warisan, kesaksian dalam pengadilan, hak menjatuhkan thalaq,masa iddah dalam
perceraian bagi kaum wanita, batasan aurat, dan masih banyak lagi, memerlukan
bantuan tentang ilmu femenimologi. Demikian pula ketika adanya perbedaan
masyarakat dalam menganut paham agama, perbedaan dalam kesadaran
menjalankan ibadah, naik turunya gairah beribadah, perpindahan agama, dan
sebaganya, maka memerlukan ilmu psikologi agama. Demikian seterusnya. Atas
dasar inilah, maka diperlukan adanya pendekatan jamak (multi approaches)
dalam menjelaskan fenomena beragama.
Dengan demikian, adanya model dan pendekatan studi agama:Ulum al-
Din, al-Fikr al-Islamiydan Dirasat Islamiyah ini telah menimbulkan dinamika,
bahkan ketegangan yang kreatif, karena masing-masing model paham keagamaan
tersebut berupaya menyebarkannya. Namun dalam konteks aplikasinya,
sebaiknya ketiga model kajian tersebut melakukan kolaborasi. Dari satu sisi ia
bersifat global, menerapkan pola studi Islam (Dirasat Islamiyah) yakni mampu
melakukan analisis secara mendalam dan komprehensif dengan menggunakan
berbagai macam pendekatan:antropologis, sosiologis, historis, filosofis dan
sebagainya; namun pada saat yang sama ia juga seorang yang rasional dan toleran
sebagaimana yang diajarkan pada al-Fikr al-Islamy; dan pada saat yang
bersamaan ia juga seorang pengamal Islam model Ulum al-Din, denga cara
menjadi seorang muslim yang ta’at menjalankan ibadah, tawadlu, rendah hati,
shalih, rajin baca al-Qur’an, shalat berjama’ah, berdo’a, shalat tahajjud, puasa
sunnah, dan lain sebagainya.

C. Faham Keagamaan di Masyarakat


Seiring dengan terjadinya trans-national sebagai akibat dari terjadinya
mobilitas vertikal dan horizontal yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi menyebabkan timbulnya paham keagamaan yang beragam di
masyarakat. Abuddin Nata dalam bukunya Studi Islam Komprehensifmisalnya
melaporkan tentang adanya Islam yang normatif, ideologis, politis, formalitas,

11
dogmatis, eksklusif, tekstualis literalis, radikal, fundamentalis, tradisionalis,
historis kultural, rasional dan intelektual, substantif, moderat, humanis,
transformatif, nusantara, dinamis, aktual, reformis, alternatif, interpretatif,
inklusif-pluralis, modernis, kosmopolitan, esoteris, liberal, warna-warni,
Islamku, Islam anda, Islam kitam Islam nazhab HMI dan Islam Rahmatan lil
Alamin.
Dari sekian paham keagamaan tersebut secara garis besar dapat dibagi ke
dalam dua bagian. Pertama yang lunak (soft) seperti paham Islam moderat, Islam
Inklusif, Islam Rahmatan lil Alamin, Islam humanis, Islam transformatif, Islam
Nusantara dan Islam kultural. Kedua yang keras (hard) seperti Islam ideologis,
politis, radikal, dan fundamentalis. Kedua macam Islam ini nampak terus
menunjukkan eksistensinya dengan menggunakan berbagai metode serta
menggunakan media teknologi informasi. Keadaan ini terkadang menimbulkan
dinamika dan ketegangan yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat
menimbulkan kerugian bagi ummat Islam sendiri. Islam radikal seperti yang
diwakili oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Fron Pembela
Islam (FBI), dan Hizbuttahrir di Indonesia, misalnya terkadang memunculkan
gerakannya.
Dalam menghadapi dinamika dan ketegangan ini, pemerintah dan
sebagian besar kelompok Muslim Indonesia sebagaimana diwakili oleh
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) mengedepankan paham Islam yang
moderat (tawasuth),
Islam yang seimbang (tawazun), Islam Rahmatan lil Alamin, dan juga
Islam Nusantara. Namun Islam yang disebut terakhir ini mendapatkan tanggapan
dan kritikan dari banyak pihak. Islam yang bercorak lunak ini dikedepankan demi
mencapai tujuan yang lebih besar, berjangka panjang, mengutamakan
kepentingan bersama, dan lebih khusus lagi dalam rangka menjaga NKRI,
Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan simbol-simbol kenegaraan
lainnya. Melalui model Islam yang soft ini, kita ingin memelihara NKRI sebagai
rumah bersama, tempat mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki,
berkprah dalam berbagai bidang kehidupan, dan tidak ingin rumah Indonesia ini
rusak, atau roboh, karena bahayanya amat besar bagi seluruh bangsa
Indonesia, lebih khusus lagi bagi umat Islam sebagai mayoritas. Dengan
demikian menjadi jelas, bahwa adanya paham keagamaan yang beragam di
masyarakat telah menimbulkan dinamika kehidupan yang luar biasa, dan agar
dinamika tersebut tidak menimbulkan bencana, maka diperlukan upaya
mengedepankan paham Islam yang ramah, santun, rahmatan lil alamin.

D. Pemberlakuan Kurikulum 2013


Kurikulum Tahun 2013 disusun berlandaskan
(1) Yuridis, berupa Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Peraturan Pemerintah

12
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun2006
tentang Standar Kompetensi Luludan, dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
(2) Landasan filosofis, yaitu bahwa pendidikan adalah proses pengembangan
potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan
pengembang budaya bangsa;
(3) Landasan teoritis, yang melihat kurikulum sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan ajar, serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
(4) landasan empiris, yang menekankan, bahwa momentum pertumbuhan
ekonomi harus terus dijaga dan ditingkatkan dengan membina generasi
muda yang berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur dan mandiri.
Kurikulum Tahun 2013 memiliki prinsip
(1) bahwa kurikulum bukan hanya sekedar daftar mata pelajaran, tetapi sebagai
proses atau totalitas pengalaman belajar peserta didik;
(2) standar kompetensi,
(3) berbasis kompetensi,
(4) membina sikap, keterampilan dan pengetahuan sebagai kemampuan dasarl;
(5) memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk
mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat,
(6) berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta
didik
(7) relevan dengan kehidupan;
(8) diarahkan pada pengembangan proses pengembangan, pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik;
(9) penilaian ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki kompetensi.
Berdasarkan landasan dan prinsip-prinsip tersebut, maka disusunlah
berbagai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang
berkaitan dengan pelaksanaan Kurikulum Tahun 2013. Misalnya Permendikbud
Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SD/MI,
Permendikbud Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum SMP/M.Ts; Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/MA; Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013
tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK. Dalam seluruh
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum tersebut, pendidikan agama menempati
urusan pertama sebelum mata pelajaran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam Kurikulum Tahun 2013, pendidikan agama mendapatkan prioritas utama.
Dibandingkan dengan kurikulum tahun sebelumnya (2004-KBK, dan
2006-KTSP), kurikulum tahun 2013 memiliki ciri-ciri antara lain:
(1) pada proses pembelajarannya lebih dipusatkan pada aktivitas peserta didik
(student centred);

13
(2) pada pendekatannya menggunakan sacientific approach, discovery dan
inquiry learning, baik pada ranah sikap (menerima, menjalankan,
menghargai, menghayati dan mengamalkan), pengetahuan (mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis dan menerapkan), maupun
keterampilan (mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji dan
mencipta); serta penilaian yang bersifat autentik dalam bentuk deskripsi hasil
pengamatan, portofolio, uji kemampuan dan sebagainya yang selanjutnya
dituangkan dalam kata-kata dan angka. Paradigama baru yang diterapkan
pada kurikulum 2013 ini banyak dipengaruhi oleh teori pembelajaran
contructivismesebagaimana digagas oleh John Piaget, John Dewey, William
Stern, dan sebagainya. Model pembelajaran ini dipilih dalam rangka
menghasilkan lulusan yang kreatif, inovatif, imajinatif, progressif dan
mandiri. Sifat-sifat manusia yang demikian itu amat diperlukan dalam rangka
menghasilkan manusia yang siap menghadapi tantangan zaman, serta keluar
sebagai pemenang (the winner) dalam rangka merebutkan peluang yang
tersedia.
Adanya kurikulum tahun 2013 dengan ciri-cirinya yang demikian itu pada
saatnya harus pula digunakan oleh madrasah dalam mengajarkan pengetahuan
agama. Keadaan ini akan menimbulkan permasalahan ketika madrasah tersebut
belum siap. Ketersediaan tenaga guru yang terlatih, sarana prasarana, media,
bahan ajar, information technologi (IT), ruang laboratorium, bahan pustaka, dan
lingkungan sering kali menjadi kendala bagi pelaksanaan kurikulum tahun 2013.
Untuk itu guna penerapan kurikulum ini perlu ditempuh cara yang bijaksana dan
gradual. Bagi sekolah yang selama ini sudah mencapai tarap internasional
(Sekolah Bertarap Internasional-SBI), dan yang telah mendapat akreditasi A,
dapat dianjurkan menerapkan kurikulum 2013 dengan waktu persiapan yang
lebih singkat. Sedangkan bagi sekolah yang baru mencapai akreditasi B, C atau
yang belum terakreditasi diperlukan persiapan yang lebih lama lagi.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.
- Pertama, bahwa pendidikan agama dan keagamaan telah mengalami dinamika
yang luar biasa. Dinamika ini harus dilihat sebagai sebuah proses yang harus
dilalui dalam rangka mencapai sosok pendidikan agama dan keagamaan yang
lebih dewasa, matang dan sempurna. Namun demikian, proses ini harus disertai
dengan usaha perbaikan dan peningkatan dari lembaga pendidikan agama dan
keagmaan itu sendiri, terutama dari aspek sumber daya manusia, khususnya
tenaga pendidiknya.
- Kedua, bahwa di antara yang dapat menimbulkan dinamika pendidikan agama
dan keagamaan tersebut adalah proses masuknya pendidikan agama ke dalam
kurikulum sekolah umum, munculnya paham keagamaan yang beragam,
munculnya paham keagamaan garis keras, serta lahirnya kurikulum 2013 yang
memiliki paradigma dan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum
sebelumnya.
- Ketiga, agar dinamika pendidikan agama dan keagamaan tersebut memberi
dampak positif bagi keberlangsungan pendidikan agama dan keagamaan di
masa depan, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. membangun kerja sama yang solid dan harmonis di antara para pengambil
kebijakan (DPR) dan pelaksana kebijakan (eksekutif), tokoh masyarakat dan
segenap komponen bangsa lainnya dalam mengawal perjalanan pendidikan
agama dan keagamaan di Indonesia;
2. mengembangkan paham keagamaan yang moderat (tawasuth), seimbang
(tawazun), peduli pada kemaslahatan ummat manusia dalam jagat raya
(rahmatan lil alamin) dalam rangka ikut mempertahankan NKRI, Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya;
(3)khusus dalam rangka menghadapi kurikulum 2013, lembaga pendidikan
agama dan keagamaan agar lebih menyiapkan diri, terutama dari segi
kesiapan tenaga pendidik, sarana prasarana, perpustakaan, laboratoriim,
Information technology (IT), lingkungan dan manajemen.

15
DAFTAR PUSTAKA

Arief,Armai. SejarahPertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam


Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa,2005.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Husna, 1988.
Nata, Abuddin, Pendidikan Islam Perspektif Hadits. Ciputat: UIN Jakarta Press,
2005
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT.Hidakarya Agung,
1992
Zuhairini,dkk,

16

16

Anda mungkin juga menyukai