Anda di halaman 1dari 9

LANDASAN SOSIOKULTURAL DALAM KURIKULUM PAI

SOCIO-CULTURAL FOUNDATIONS IN THE ISLAMIC


EDUCATION CURRICULUM
Ari Nuryana1, Dayat Indra Hidayat2, Endar Pratama3
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Email korespondensi:
2190040037@student.uinsgd.ac.id
2190040041@student.uinsgd.ac.id
2190040045@student.uinsgd.ac.id

Abstrak: Penelitian ini adalah studi pustaka untuk menjawab suatu masalah mengenai bagaimana
dimensi sosiokultural dalam kurikulum pendidikan Islam. Penelitian menyimpulkan bahwa
kurikulum Pendidikan Agma Islam menekankan pada pentingnya interaksi sosial dan budaya bagi
perkembangan belajar seseorang, pengembangnnya terjadi di lingkungan di mana individu tersebut
berada, dan akan berlangsung seumur hidup seiring dengan perubahan-perubahan yang ada di
lingkungannya tersebut sehingga akan membentuk kepribadian dan pola pikir seseorang. Kurikulum
Pendidikan Islam memandang bahwa interaksi sosial dan budaya merupakan sebagian dari
pendekatan-pendekatan yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran, lebih dari itu pendidikan
Islam mengutamakan pembinaan semangat dan sikap keagamaan, yaitu berusaha mengembangkan
semua daya dan aspek yang ada pada manusia demi tercapainya tujuan akhir pendidikan yaitu
membentuk manusia seutuhnya (insan kamil). Kurikulum Pendidikan Islam dalam proses pembelajaran
memandang bahwa interaksi sosial dan budaya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam
proses pembelajaran, karena hal itu dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan pola pikir
individu dalam proses pembelajaran.
Kata kunci: Sosiokultural, Kurikulum, PAI

Abstract: This research is a literature study to answer a problem regarding how the socio-cultural dimension is
in the Islamic education curriculum. The research concludes that the Islamic Education curriculum emphasizes
the importance of social and cultural interactions for the development of one's learning, its development occurs in
the environment where the individual is located, and will last a lifetime along with the changes in the environment
so that it will shape personality and patterns thought someone. The Islamic Education Curriculum considers that
social and cultural interactions are part of the approaches that must be considered in the learning process, more
than that Islamic education prioritizes fostering religious enthusiasm and attitudes, namely trying to develop all
the power and aspects that exist in humans in order to achieve the ultimate goal of education namely to form a
whole human (insan kamil). The Islamic Education curriculum in the learning process views that social and
cultural interactions are important things that must be considered in the learning process, because it can affect
the development of personalities and individual mindsets in the learning process.

Keywords: Socio-Cultural, Curriculum, Islamic Education

1
2 │ Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama

PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan sebagai
sarana untuk mengembangan potensi diri yang ada. Salah satu komponen penting dari sistem
pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan
yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun
penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah (Nana Syaodih Sukmadinata, 2001).
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
memberikan arahan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan yang dapat memberikan
pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi dan proses pendidikan.
Kurikulum akan selalu berkembang agar dapat memenuhi kebutuhan suatu lembaga.
Ketika kurikulum tidak dikembangkan sesuai dengan meningkatnya kebutuhan suatu
lembaga, maka lembaga itu akan mengalami ketertinggalan. Penyusunan kurikulum
membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan oleh hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam dan sesuai dengan tantangan zaman.
Kurikulum ibarat sebuah rumah yang harus mempunyai pondasi agar dapat berdiri
tegak, tidak rubuh dan dapat memberikan kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya,
pondasi tersebut ialah landasan-landasan untuk kuriulum sebagai rumahnya, agar bisa
memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi peserta didik untuk menuntut ilmu dan
menjadikannya produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama, masyarakat dan
negaranya. Bila landasan rumahnya lemah, maka yang ambruk adalah rumahnya sedangkan
jika landasan kurikulum yang lemah dalam pendidikan maka yang ambruk adalah
manusianya (Nana Syaodih Sukmadinata, 2001).
Pendidikan merupakan media yang sangat efektif dalam membentuk dan membangun
sikap dan pikiran serta kepribadian manusia. Kelemahan sistem pendidikan oleh suatu
kelompok masyarakat akan berimpilikasi pada keterbelakangan yang pada gilirannya akan
mempengaruhi keharmonisan pada hubungan masyarakat secara umum. Pendidikan adalah
sesuatu yang sangat esensial bagi manusia, melalui pendidikan manusia bisa belajar
menghadapi berbagai fenomena kehidupan yang semakin kompleks. Melihat urgensi
pendidikan Islam memposisikan pada tempat yang sangat tinggi dan mulia dalam doktrin
agama.
Islam bukan hanya sebuah agama tetapi juga basis peradaban. Islam, bukan hanya
sebagai konsep, tetapi juga implementasi dan pelaksanaan. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi membawa fenomena baru dalam dunia pendidikan Islam dalam menjawab
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Hubungan antara pendidikan Islam dengan
masyarakat sangat erat. Hal ini dilihat lewat peranan pendidikan Islam dalam menyikapi
fenomena sosial.
Dewasa ini bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan sosial dimana output
pendidikan formal kurang dapat menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam
kehidupan sosial sebagai akibat dari perubahan yang terjadi melalui perkembangan sosial dan
teknologi modern. Slogan Life Long Education (pendidikan seumur hidup) secara sosial
kultural harus dibangun dan ditumbuh kembangkan untuk mewujudkan kebutuhan dan
harapan masyarakat (Anirah, 2007). Oleh karena itu, keberadaan lembaga pendidikan Islam
mempunyai peranan yang sangat signifikan untuk memberi arah dan nilai terhadap setiap
perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat (Sudirman, 1987).

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama │3

Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan di atas, sebenarnya bertujuan mengajak
pembaca untuk memahami sebuah pembahasan pokok dari jurnal ini. Poko pembahasan yang
akan dikaji adalah perihal landasan sosiokultural pada kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Namun selain itu, perlu diketahui bahwa aspek-aspek yang melandasi kurikulum PAI selain
landasan sosiokultural ada juga landasan filosofis-teologis, psikologis serta ilmu
pengetaahuan dan teknologi. Oleh karena itu, untuk memahami lebih dalam perihal landasan
sosiokultural pada kurikulum PAI, penulis sajikan pada poin pembahasan.

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif sebagai rancangan,
pedoman, ataupun acuan. Menurut Strauss dan Corbin sebagaimana yang dikutip oleh Pupu
Saeful Rahmat (2009:2), pendekatan kualitatif adalah jenis pendekatan penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik. Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen, pendekatan kualitatif
adalah salah satu pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan
atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Pupu, 2009).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode content analysis (kajian isi).
Lexy J. Moleong (2017:220) mengutip pernyataan Weber yang menyatakan bahwa kajian isi
adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik
kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Penelitian ini dilakukan dengan
mengkaji isi buku-buku dan kajian pendidikan Islam yang berkaitan dengan tema penelitian,
yaitu tentang landasan sosiokultural dalam kurikulum PAI.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sebagaimana
pernyataan Lofland yang dikutip Lexy J. Moleong (2017:157), data kualitatif berbentuk data
lunak, berupa kata-kata, tindakan, sumber data tertulis, foto. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan jenis data tertulis, yaitu data tentang landasan sosiokultural dalam kurikulum
PAI.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer yaitu buku-buku yang membahas tentang landasan
sosiokultural dalam kurikulum PAI. Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan
yaitu segala bentuk literatur yang ada kaitannya dengan judul penelitian.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu studi kepustakaan. Studi
kepustakaan ini merupakan penelaahan terhadap pemikiran para pakar pendidikan Islam
serta penelaahan terhadap literatur yang berkaitan dengan penelitian. Data yang telah
terkumpul akan dilakukan penganalisisan melalui proses satuan (unityzing), kategorisasi,
penafsiran dan penarikan simpulan (Lexy J. Moleong, 2017).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Sosiokultural dalam kurikulum pendidikan Islam


Setiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan dan kebutuhan
masyarakat. Sudah sewajarnya pendidikan harus memperhatikan dan merespon suara-suara
dalam masyarakat. Pendidikan harus memberi jawaban atas tekanan-tekanan yang datang
dari desakan dan kekuatan-kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan pada saat tertentu.
Keputusan yang akan diambil mengenai kurikulum akhirnya bergantung pada bagaimana

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
4 │ Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama

pengembang kurikulum memandang dunia tempat ia hidup, bagaimana ia bereaksi terhadap


berbagai kebutuhan yang dikemukakan oleh berbagai golongan dalam masyarakat, dan juga
oleh falsafah hidup dan falsafah pendidikannya.
Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke
dalam kelompok-kelompok berbeda atau sekelompok individu yang terorganisasi yang
berpikir tentang dirinya sebagai sesuatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat
lainnya. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang membedakan
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai
implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang dan reaksi seseorang
terhadap lingkungannya sangat bergantung kepada kebudayaan dimana ia hidup. (Heri
Gunawan, 2012)
Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat
untuk dikembangkan melalui proses pendidikan yaitu logika, estetika dan etika. Logika
adalah aspek pengetahuan yang berkaitan dengan aspek emosi. Sedangkan estetika dan etika
berkaitan dengan aspek nilai kebudayaan, yakni nilai-nilai yang bersumber pada logika
(pikiran) sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya
adalah hasil kebudayaan manusia. Oleh karena itu, kehidupan manusia semakin luas semakin
meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. (Imam Suparyogi dan Tobroni, 2001)
Pendidikan Harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan
anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam
konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan
tuntutan masyarakat untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari
segi isi kurikulumnya saja melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya.
Oleh karena itu guru sebagai pembina dan pelaksanaan kurikulum dituntut lebih peka
mengantisipasi perkembangan masyarakat agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan
berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat. (Heri Gunawan, 2012)
Penerapan teori, prinsip, hukum dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu
pengetahuan yang ada dalam kurikulum harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam
kehidupan. Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan masyarakat
dan perkembangan masyarakat.
Tyler, Taba, Tanner, Tenner mengatakan bahwa tuntutan masyarakat adalah salah
satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, ligh, dan Keller (1997) memaparkan
tujuan fungsi sosial pendidikan yaitu: mengejar keterampilan, mentransmisikan budaya,
mendorong adaptasi lingkungan, membentuk kedisiplinan, mendorong bekerja kolompok,
meningkatkan perilaku etik, memiliki bakat dan memberi penghargaan prestasi. Perubahan
sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah kebutuhan masyarakat. Kebutuhan
masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri. Masyarakat kota berbeda
dengan masyarakat desa, masyarakat tradisional berbeda dengan masyarakat modern.
Adapun perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain adalah sebagian
besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.
Di sisi lain kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap individu-
individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum yang hanya

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama │5

berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat dipenuhi kebutuhan masyarakat
modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi pengembangan kurikulum juga
harus ditekankan pada pengembangan individu dan ketertarikannya dengan lingkungan
sosial setempat. (Moh Uzer Usman, 2001)
Berdasarkan uraian di atas sangatlah penting memperhatikan faktor karakteristik
masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu
berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK
dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut
ketersediaannya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang
sesuai dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan
pengembangan nya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
Menurut Hasan Lannggulung (1980:21), bahwa pendekatan yang menganggap
pendidikan sebagai pewarisan budaya, atau memindahkan (transmisi) nilai-nilai budaya dari
satu generasi ke generasi berikutnya maksudnya adalah unsur luar yang masuk ke dalam diri
manusia, sebagai kebalikan dari unsur dalam diri manusia yang menonjol keluar seperti
pengembangan potensi. Yakni sukar kita membayangkan seseorang tanpa wawasan yang
memberi corak kepada watak dan kepribadiannya. Wawasan inilah yang berusaha
mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya kepada setiap anggotanya dengan tujuan
memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman.
Pendidkan Islam dalam mengupayakan agar materi pendidikan dan pengajaran Islam
dapat diterima oleh objek pendidikan dengan menggunakan pendekatan yang multi approach
yang akan pelaksanaannya meliputi: (1) Pendekatan religius, yang menitik beratkan bahwa
pandangan manusia adalah makhluk yang berjiwa religius dan bersifat keagamaan; (2)
Pendekatan filosofis yang memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo
rasional” yang mampu berkembang sejauh mana daya berfikirnya; (3) Pendekatan
sosiokultural yang bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang
bermasyrakat dan berkebudayaan sehingga di pandang sebagai homo sosius dan homo sapien
dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan; (4) Pendekatan scientific dimana titik
beratnya terletak pada pandangan bahwa manusia memiliki kemampuan menciptakan
(kreatif), berkemauan (konatif) dan merasa (emosional dan afektif). Pendidikan harus dapat
mengebangkan kemampuan anlitis-analitis dan reflektif dalam berfikir. (Malik Fajar, 1999)
Berdasarkan kosep-konsep yang telah disebutkan itu maka pendidkan pada hakikatnya
merupakan upaya manusia sebagai manusia yang sesuai dengan fitrahnya atau hakikat
kemanusiaannya hingga mampu memainkan perannya sebagai kholifah dalam rangka
mencapai tujuan hi dupnya. Hal ini karena tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan
tujuan hidup tersebut. Yakni manusia pengabdi kepada Allah, yang dirumuskan sebagai
insan kamil, sebagai tujuan pendidikan yang akan mengantarkan manusia mencapai tujuan
teologinya, kembali ke hadirat Allah SWT.

Unsur-unsur Sosiokultural dalam Kurikulum Pendidikan Islam


Menurut Hamalik (2000:134), kebudayaan merupakan suatu hal yang kompleks, karena
dalam prakteknya kita tidak dapat melihat berbagai dimensi kebudayaan yang terpisah. Akan
tetapi untuk kepentingan analisis, para ahli berpendapat bahwa kebudayaan memiliki unsur
atau dimensi tertentu. Herkonverts dalam Hamalik, contohnya mengajukan empat unsur
pokok dari kebudayaan yaitu: technological equipment (alat-alat teknologi), economic

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
6 │ Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama

system (sistem ekonomi), family (keluarga) dan political control (kekuasaan politik). (Ramayulis,
2000)
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan cita-cita pengetahuan,
kepercayaan, cara berpikir, kesenian dan nilai-nilai yang telah disepakati oleh masyarakat.
Daoed Yusuf (1981) medefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan
hasil pikiran (logika) kemampuan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka
perkembangan kepribadian manusia, perkembangan hubungan dengan manusia, hubungan
manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci
kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
Pertama, Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan dan nilai lain-lain. Wujud
kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga
masyarakat di tempat kebudayaan itu berbeda.
Kedua, kegiatan yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini
disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial aktivitas manusia bersifat konkret bisa dilihat dan
diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang
pertama. Artinya sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide,
konsep, gagasan, nilai dan norma yang telah dimilikinya.
Ketiga, Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga inilah seluruh fisik
perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat. Oleh karena itu wujud kebudayaan yang
ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua. (Wina Sanjaya,
2009)
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum
dengan pertimbangan:
Pertama, Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan cita-cita sikap
pengetahuan keterampilan dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar dan sekolah lembaga
pendidikan. Oleh karena itu sekolah lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk
memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut
kurikulum.
Kedua, Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya.
Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat
beragam seperti masyarakat industry, pertanian, nelayan dan sebagainya. Pendidikan di
sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup
berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lain serta
meningkatkan kualitas hidupnya sebagai makhluk berbudaya. Hal ini implikasi bahwa
kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan
kebudayaan yang bersifat umum seperti nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan dan kecakapan.
(Wina Sanjaya, 2009)

Aktualisasi Landasan Sosiokultural dalam Kurikulum Pendidikan Islam


Dilihat dari karakteristik sosial budaya, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas
mengenai adat-istiadat, tata krama, pergaulan, kesenian, bahasa lisan maupun tulisan,
kerajinan dan nilai-nilai kehidupan. Keanekaragaman tersebut bukan hanya dalam
kebudayaan, tetapi juga kondisi alam dan lingkungan sosial dan ini merupakan kekayaan

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama │7

hidup bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan melalui upaya
pendidikan perancang dari kenyataan tersebut maka pengembangan kurikulum sekolah
harus mengakomodasi unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam penetapan materi
kurikulum muatan lokal.
Gagasan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan kurikulum muatan lokal
tersebut yang dimulai pada sekolah dasar telah diwujudkan dalam keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 Tanggal 11 Juli 1987 tentang Penerapan
Muatan Lokal Sekolah Dasar kemudian disusul dengan penjabaran pelaksanaannya dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 173 /C/Kep/M/ 1987
Tanggal 7 Oktober 1987.” Dalam sambutannya Mendikbud menyatakan dalam hal ini harus
diingat bahwa adanya muatan lokal dalam kurikulum bukan bertujuan agar anak terjerat
dalam lingkungannya semata-mata semua anak berhak mendapat kesempatan guna lebih
terlibat dalam mobilitas yang melampaui batas lingkungannya sendiri” (Umar Tirtarahardja
dan La Sula, 2000: 274). (Wina Sanjaya, 2009)
Faktor sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum yang relevan, karena
kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan, sebagai salah satu
dimensi dari kebudayaan. Implikasi dasarnya adalah sebagai berikut: Pertama, Kurikulum
harus disusun berdasarkan kondisi sosial-budaya masyarakat. Kurikulum disusun bukan saja
harus berdasarkan nilai, adat istiadat, cita-cita dari masyarakat, tetapi juga harus
berlandaskan semua dimensi kebuadayaan seperti kehidupan keluarga, ekonomi, politik,
pendidikan dan sebagainya.
Kedua, Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan
perubahan masyarakat, maka kurikulum harus disusun dengan memperhatikan unsur
fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga kurikulum tersebut senantiasa relevan dengan
masyarakat. Konsekuensi logisnya, pada waktunya perlu diadakan perubahan dan revisi
kurikulum, sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya yang ada pada saat
itu.
Ketiga, Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam
masyarakat. Ini bukan hanya dimaksudkan untuk membudayakan anak didik, tetapi sejalan
dengan usaha mengawetkan kebudayaan itu sendiri. Kemajuan dalam bidang teknologi akan
memberikan bahan yang memadai dalam penyampaian teknologi baru itu kepada siswa, yang
sekaligus mempersiapkan mempersiapkan para siswa tersebut agar mampu hidup dalam
teknologi itu. Dengan demikian, sekolah benar-benar dapat mengemban peran dan fungsinya
sebagai lembaga modernisasi. (Muhaimin, 2005)
Kurikulum di sekolah-sekolah kita harus disusun berdasarkan kebudayaan nasional yang
mencakup perkembangan kebudayaan daerah. Integritas kebudayaan nasional akan
tercermin dalam isi dan organisasi kurikulum, karena sistem pendidikan kita bermaksud
membudayakan anak didik kita berdasarkan kebudayaan masyarakat dan bangsa kita sendiri.
Selain itu, sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugasnya, maka para pengembang
kurikulum harus melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Mempelajari dan memahami
kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, keputusan
pemerintah, peraturan-peraturan daerah dan lain sebagainya. 2) Menganalisis budaya
masyarakat tempat sekolah berada. 3) Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah. 4)
Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja. 5) Menginterpretasi kebutuhan individu
dalam kerangka kepentingan masyarakat. (Muhaimin, 2005)

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
8 │ Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama

Ornstein & Hunkins berpendapat bahwa faktor-faktor sosial budaya yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum adalah ras, kelas sosial, dan gender. Ras
berkenaan dengan kelompok etnik yang merupakan sekelompok orang yang memiliki
kesamaan bahasa, agama, keyakinan, atau moral yang berbeda dengan kelompok lainnya. Isu
penanganan perbedaan ras ini akan terus berpengaruh terhadap bidang kurikulum dengan
perkembangan konsep asimilasi berbagai kelompok etnis dan konsep pluralitas dalam
pendidikan di sekolah. (Wina Sanjaya, 2009)
Isu kelas sosial juga perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Hal ini
disebabkan setiap kelompok kelas sosial menganut nilai-nilai yang berbeda antara kelompok
sosial yang satu dengan yang lainnya, yang berpengaruh terhadap perilaku. Cara berinteraksi
dengan orang lain, pandangan tentang masa depan, persepsi tentang keberhasilan, dan ide-
ide yang berkenaan dengan pendidikan akan berbeda antara satu kelompok sosial dengan
kelompok lainnya. (Muhaimin, 2005)

SIMPULAN DAN IMPLIKASI


Simpulan
Ajaran Islam yang diturunkan oleh Allah swt. bukan hanya sekedar ajaran-ajaran yang
perlu diketahui, tetapi juga perlu diterapkan di seluruh dimensi kehidupan manusia. Oleh
karena itu, pendidikan Islam sebagai sarana aktualisasi pendidikan bukan hanya ditujukan
untuk melakukan transper ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar memahami ajaran
Islam, tetapi diamalkan oleh umat Islam secara kaffah dalam perilaku sehari-hari. Hal ini bisa
diaktualisasikan kepada bibit-bibit generasi penerus bangsa melalui kurikulum pendidikana
agama Islam yang di dalamnya kaya akan nilai sosial dan budaya.
Implikasi
Hasil dari analisis tentang landasan sosiokultural pada kurikulum PAI ini masih banyak
kekurangan. Oleh karenanya, diharapkan bagi para pembaca, peneliti/ penulis berikutnya
dapat mengkaji ulang penulisan ini, dengan harapan ada koreksi dan penyempurnaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anirah, A. (2007). Pendidikan Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural. Jurnal Hunafa2007, 4(3),
237–248.

Heri Gunawan. (2012). Kurikulum da nPembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: Alfabeta.

Imam Suprayogi, Tobroni. (2001). Metodologi Penelitiain Sosial Agama. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Langgulung. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: PT Al-Ma'arif

Lexy J. Moleong. (2017). Matodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Malik Fajar. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Fajar Dunia.

Moh. Uzer Usman. (2001). Menjadi guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. (2005). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo.

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H
Landasan Sosiokultural dalam....– Ari Nuryana, Dayat Indra Hidayat, Endar Pratama │9

Nana Syaodih Sukmadinata. (2001). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Pupu, S. R. (2009). Penelitian Kualitatif. Journal Equilibrium, Vol. 5, pp. 1–8. Retrieved from
yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf

Ramayulis. (2000). Ilmu Pendidikan Islam. Jalarta: Kalam Mulia.

Sudirman. (1987). Ilmu Pendidikan (1st ed.). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wina Sanjaya. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Kencana

JIPAI; Jurnal Inovasi Pendidikan Agama Islam Volume 1, No. 2, Desember 2020 M/1442 H

Anda mungkin juga menyukai