Anda di halaman 1dari 10

LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM KURIKULUM PAI

PSYCHOLOGICAL FOUNDATION IN THE PAI CURRICULUM


Aditya Pratama
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Email korespondensi: tama.aditiya29@gmail.com

Devi Nur Aeni


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Email korespondensi:devi.nuraeni96@gmail.com

Evi Syarif Hidayat


Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Email korespondensi:evi.hidayat@sman4sukabumi.com

Abstrak

Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui 1) konsep dasar landasan psikologi dalam kurikulum
Pendidikan Agama Islam; 2) Unsur-unsur landasan psikologi dalam kurikulum Pendidikan Agama
Islam; 3) Aktualisasi landasan psikologi dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Pendekatan
pada penelitian ini, menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode content analysis (kajian isi). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi sumber data primer dan sekunder. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif. Pendidikan Agama Islam memiliki peran strategi bagi pembentukan karakter peserta
didik yang sangat dibutuhkannya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam proses
keberlangsungannya, Pendidikan Agama Islam berpijak pada AL-Quran dan As-Sunnah. Pendidikan
tersebut bisa terealisasi dengan diawali oleh penyusunan kurikulum. Kurikulum merupakan
komponen pendidikan yang sangat penting dan memiliki pengaruh luar biasa dalam mencapai suatu
tujuan pendidikan. Melihat pentingnya peranan kurikulum, maka dalam penyusunannya tidak
mungkin dibuat secara sembarangan. Penyusunan kurikulum perlu didasarkan pada landasan yang
kuat, salah satunya dengan diterapkan landasan psikologi. Pendidikan harus melihat kondisi
psikologi individu dalam hal ini adalah peserta didik, utamanya dalam menyusun dan melaksanakan
kurikulum sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal. Adapun dalam pendidikan
Agama Islam psikologi yang dijadikan sebagai acuan adalah psikologi yang berwawasan pada al-
Qur’an dan al-Hadith. Dimana akhirnya menghasilkan output yang berorientasi ketuhanan, insan
kamil bahagia di dunia dan akhirat.

Kata Kunci Landasan; Psikologis; Kurikulum; Pendidikan Agama Islam

Abstract

This journal aims to determine 1) basic concepts of psychology in the Islamic Religious Education
curriculum; 2) The basic elements of psychology in the Islamic Religious Education curriculum; 3)
Actualization of psychological foundations in the Islamic Religious Education curriculum. The
approach to this research uses a qualitative approach. The method used in this research is content
analysis method. Sources of data used in this study include primary and secondary data sources. The
type of data used in this research is qualitative data. Islamic religious education has a strategic role
for the character building of students who are very much needed in living their daily lives. In the
process of its continuity, Islamic Religious Education is based on the Al-Quran and As-Sunnah. This
education can be realized by starting with the preparation of a curriculum. The curriculum is an
educational component that is very important and has a tremendous influence in achieving an
educational goal. Seeing the important role of the curriculum, it is impossible to make it carelessly in
its preparation. Curriculum development needs to be based on a strong foundation, one of which is
the application of a psychological foundation. Education must see the psychological condition of the
individual, in this case the students, especially in compiling and implementing the curriculum so that
educational goals can be achieved optimally. As for Islamic education, the psychology that is used as
a reference is psychology that has an insight into the al-Qur'an and al-Hadith. Where it finally
produces a divinely oriented output, we are happy in this world and the hereafter.

Key Word Foundation; Psychological; Curriculum; Islamic Religious Education

PENDAHULUAN
Alur pendidikan diatur dalam suatu kurikulum. Kurikulum merupakan komponen
pendidikan yang sangat penting dan memiliki pengaruh luar biasa dalam mencapai suatu
tujuan pendidikan. Melihat pentingnya peranan kurikulum, maka dalam penyusunannya
tidak mungkin dibuat secara sembarangan. Penyusunan kurikulum memerlukan landasan-
landasan yang kuat agar bisa mencapai suatu tujuan secara tepat sasaran. Penyusunan
kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat, maka akan berpotensi
kegagalan dalam pembelajaran dan perkembangan manusia.
Kurikulum ibarat sebuah rumah yang harus mempunyai pondasi agar dapat berdiri
tegak kuat, tidak roboh, dan dapat memberikan kenyamanan bagi yang tinggal di dalamnya
dari latar belakang yang beragam, pondasi tersebut adalah landasan-landasan kurikulum
sebagai rumahnya, agar bisa memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi siswa untuk
menuntut ilmu dan menjadikannya produk yang berguna bagi dirinya sendiri, agama,
masyarakat dan negaranya. Bila landasan/pondasi rumahnya lemah, makaakan
menyebabkan rumahnya ambruk, sedangkan jika landasan kurikulum yang lemah dalam
pendidikan maka yang ambruk adalah manusianya.
Dengan demikian, penyusunan kurikulum membutuhkan landasan yang didasarkan
pada hakikat manusia itu sendiri. Agar perancangan dalam pengembangan kurikulum
sesuai dengan potensi yang dimiliki setiap individu. Salah satu landasan yang berkaitan
dengan pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis, yaitu landasan yang
mengacu dan didasarkan pada aspek individu siswa itu sendiri yang didalamnya memiliki
potensi (keunikan), latarbelakang, bahasa, agama, suku dan ras berbeda-beda yang
dikembangkan, dihargai, dan dihormati. Adanya latarbelakang yang beragam tersebut
dapat berimplikasi pada tipe/gaya belajar siswa yang berbeda-beda, sebab siswa dalam
proses pendidikan merupakan seorang individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan baik itu fisik, intelektual, sosial emosional, moral, mental, dan sebagainya.
Oleh karena itu untuk menjawab persoalan tersebut, dibutuhkan kurikulum
pendidikan Agam Islam yang lebih efektif dan relevan dengan hakikat manusia. Salah
satunya dengan didasarkan pada landasan psikologis. Sebagaimana tulisan ini yang
membahas tentang Landasan Psikologis dalam Kurikulum PAI.

METODOLOGI

Pendekatan pada penelitian ini, menggunakan pendekatan kualitatif sebagai rancangan,


pedoman, ataupun acuan. Menurut Strauss dan Corbin sebagaimana yang dikutip oleh
(Mahmud, 2011), pendekatan kualitatif adalah jenis pendekatan penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik. Dengan kata lain, penelitian ini dilakukan secara deskriptif
yang berupa penjelasan mengenai fenomena yang terjadi dan telah diamati serta dikaji yang
berkaitan dengan landasan psikologis dalam kurikulum PAI.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode content analysis (kajian
isi). Lexy J. Moleong (2017: 220) mengutip pernyataan Weber yang menyatakan bahwa
kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk
menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Penelitian ini dilakukan
dengan mengkaji isi buku-buku atau pandangan-pandangan yang berkaitan dengan
landasan psikologis dalam kurikulum PAI.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer yaitu tentang landasan psikologis dalam kurikulum PAI.
Sedangkan sumber data sekunder yang penulis gunakan diantaranya jurnal pendidikan
Islam dan buku-buku penunjang lainnya yang relevan dengan judul penelitian.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Sebagaimana
pernyataan Lofland yang dikutip Lexy J. Moleong (2017: 157), data kualitatif berbentuk data
lunak, berupa kata-kata, tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik. Dalam penelitian
ini penulis menggunakan jenis data tertulis, yaitu data tentang landasan psikologis dalam
kurikulum PAI. Teknik yang digunakan dalam pengumpulkan data yaitu studi
kepustakaan. Studi kepustakaan ini merupakan penelaahan terhadap pemikiran para tokoh
tentang landasan psikologis dalam kurikulum PAI. Data yang telah terkumpul akan
dilakukan penganalisisan melalui proses satuan (unityzing), kategorisasi, penafsiran dan
penarikan simpulan (Lexy J. Moleong: 2016).

PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Landasan Psikologis dalam Kurikulum PAI
Di antara karakteristik pendidikan yang paling penting ialah bahwa pendidikan itu
merupakan proses yang kompleks, yang bertujuan mengembangkan perilaku manusia
secara proporsional. Secara fisik, pendidikan hendak memelihara dan menjaga sosok ahsani
taqwim yang telah dianugerahkan Allah. Secara psikologis, pendidikan berupaya
mengembangkan berbagai potensi manusia sehingga dia menjadi individumuslim, mu`min,
muttaqin, dan sebilangan predikat lainnya yang pada gilirannya akan membentuk keluarga
sakinah, yang berkontribusi bagi terciptanya khairu ummah (umat terbaik). Untuk mencapai
tujuan tersebut, sistem pendidikan dibangun di atas tiga pilar utama yang merupakan
jawaban atas tiga pertanyaan: Mengapa kita mendidik? Dengan apa kita mendidik?
Bagaimana kita mendidik? Ketiga pertanyaan ini berkaitan dengan landasan filosofis,
sosiologis, dan psikologis. Jawaban terhadap dua pertanyaan pertama dan kedua
melahirkan landasan filosofis dan sosiologis, sedangkan pertanyaan ketiga lebih
terarahpada upaya perumusan landasan psikologis(Syihabuddin, 2013).
Landasan psikologis ini memandang individu manusia sebagai titik keberangkatan
pembahasannya. Karena itu, para pendidik mengambil sejumlah prinsip dari disiplin
psikologi untuk diaplikasikan dalam pengajaran dan dalam menelaah perilaku manusia
dalam rangka mengarahkan dan mengendalikan manusia. Tugas landasan psikologis ialah
memberikan arahan, acuan, dan landasan kepada para pendidik dalam memahami
manusia, mengembangkan potensinya, dan menjabarkan tujuan kehadiran dan keberadaan
manusia di muka bumi ke dalam sejumlah kebiasaan berperilaku yang akan dicapai dan
diperoleh anak-anak dalam berbagai tahap pendidikan dan pembelajaran melalui sebuah
program pendidikan. Landasan psikologis bertugas memberikan kesimpulan-kesimpulan
dan teori-teori kepada para praktisi pendidikan. Kesimpulan dan teori tersebut menjelaskan
perilaku manusia dan membantu para pendidik dalam memilih metode pembelajaran yang
paling tepat.
Guru, para pengembang kurikulum, penulis buku, dan selainnya perlu mengetahui
karakteristik siswa; perlu memahami cara terbaik untuk berinteraksi dengan mereka, perlu
memahami perbedaan di antara siswa, dan perlu memahami hal lainnya yang penting
dalam membangun proses pembelajaran. Landasan psikologis berupaya memberikan
kontribusi teori dan prinsip-prinsip psikologi dalam membangun sistem pendidikan.
Maksudnya prinsip dan landasan psikologi dimanfaatkan untuk memperbaiki praktik
pendidikan. Perbaikan ini dilakukan melalui pengkajian tentang kemampuan akal, jenis-
jenis keterampilan, dan faktor-faktor yang memperngaruhi kemampuan dan keterampilan
tersebut, serta kondisi yang mendukungdalam mempertajam keduanya, serta bagaimana
memanfaatkan potensi yang dimiliki siswa.
B. Unsur-Unsur Landasan Psikologis dalam Kurikulum PAI
Nana Syaodih Sukmadinata yang dikutip dalam (Yusuf, 2019) mengemukakan bahwa
minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1)
psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar.Psikologi perkembangan merupakan ilmu
yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam
psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan,
aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Sedangkan psikologi
belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam belajar. Belajar
merupakan key term (istilah kunci) yang paling penting dalam pendidikan. Dapat dikatakan
bahwa tanpa belajar, sesungguhnya tak akan pernah ada pendidikan. Karena demikian
pentingnya belajar maka tidak heran bila masalah-masalah belajar terus menjadi kajian
menarik bagi banyak ahli pendidikan.
Landasan psikologis dalam kurikulum PAI memiliki peranan yang sangat signifikan
dan berkembang. Sebab, psikologis memberikan gambaran terkait deskripsi, keterangan,
prediksi dan investigasi tingkah laku manusia. Menurut Berliner (1993) dalam (Ansyar,
2015), bahwa psikologis telah memberikan perspektif berdasarkan pada temuan riset ilmiah
tentang pengetahuan bagaimana berpikir dan belajar saling berkaitan. Berikut akan
dijelaskan mengenai psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang terkait dengan
pengembangan kurikulum :
1. Psikologi Perkembangan Peserta Didik
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses pengembangan
kurikulum adalah perkembangan peserta didik. Pentingnya pemahaman terhadap
peserta didik setidaknya didasarkan pada dua alasan. Pertama, setiap anak didik
memiliki tahapan dan perkembangan tertentu. Kedua, anak didik yang sedang
berkembang merupakan periode yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan
kesuksesan hidup mereka. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak akan
memudahkan dalam melaksanakan tugas – tugas pendidikan (Sanjaya, 2013).
Perkembangan diartikan sebagai serangkaian proses dan perubahan progresif yang
terjadi sebagai akibat kematangan dan pengalaman (Reksoatmodjo, 2010).
Perkembangan tidak bisa disamakan dengan pertumbuhan. Perkembangan cenderung
kepada hal – hal yang bersifat kepribadian seperti sikap, kematangan berpikir dan
sebagainya. Sedangkan pertumbuhan terkait pada fisik manusia.
Seorang pakar psikologi, Robert J. Harvighust (1961) membagi perkembangan
manusia ke dalam enam tahapan. Di setiap tahapan perkembangan, manusia memiliki
permasalahan – permasalahan yang harus diselesaikan. Dan upaya untuk mengatasi
masalah – masalah tersebut disebutnya sebagai development tasks. Berikut tahapan –
tahapan perkembangan manusia menurut Robert J. Harvighust (1961) :
a. Masa Kanak – kanak
Periode perkembangan pada tahapan ini berlangsung sejak umur 2 tahun
sampai 12 tahun. Pada tahapan ini, anak – anak cenderung akan mulai mengalami
penurunan masa pertumbuhan fisik, dan mulai mengenal pola – pola permainan
dan keterampilan. Menurut J. Pikunas (1976), “play enhances self – teaching as the
child often attempts to organize and master, to think and to plan, through the medium of
playing it out. Sejalan dengan hal itu, Piaget dalam(Reksoatmodjo, 2010),
mengemukakan bahwa bermain adalah proses asimilasi antara kenyataan dengan
diri anak. Dalam proses bermain, anak merespons dengan apa yang telah
diketahuinya dan apa yang dianggap baru olehnya.
Tugas – tugas perkembangan tahap anak – anak menurut Havighurst (1972)
adalah (1) mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan
umum, (2) membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai makhluk
yang sedang tumbuh, (3) belajar menyesuaikan diri dengan teman – teman sebaya,
(4) mulai mengembangkan peran sosial atau wanita, (5) mengembangkan
keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, (6) mengembangkan
pengertian – pengertian yang diperlukan dalam 8 Ibid, hlm. 28. 7 kehidupan sehari
– hari, (7) mengembangkan kebebasan pribadi, dan (8) mengembangkan sikap
terhadap kelompok – kelompok social (Reksoatmodjo, 2010).
b. Masa Remaja Masa remaja
Berlangsung mulai usia 12 – 18 tahun. Pada umumnya, pada usia ini anak mulai
mengalami pubertas, yakni perubahan fisik dan perangai yang sudah mulai
terbentuk dan akan mencapai puncaknya pada usia dewasa. Tugas – tugas
perkembangan menurut Havighurst adalah (1) mencapai hubungan baru yang
lebih matang dengan teman sebaya, (2) mencapai peran sosial sebagai pria atau
wanita, (3) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif,
(4) mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab, (5) mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang – orang dewasa, (6)
mempersiapkan karier ekonomi, (7) mempersiapkan perkawinan dan membentuk
keluarga, (8) memperoleh peringkat nilai dan sistem etika sebagai dasar perilaku
dalam mengembangkan ideology(Reksoatmodjo, 2010).
c. Masa Dewasa Masa dewasa
Berlangsung mulai umur 18 tahun sampai 40 tahun. Beberapa tugas
perkembangan pada masa dewasa, yakni (1) mulai bekerja, (2) memilih pasangan
untuk berumah tangga, (3) belajar hidup bersama tunangan, (4) mulai membina
keluarga, (5) mengasuh anak, (6) mengelola rumah tangga, (7) mengambil
tanggung jawab sebagai warga negara, dan (8) mencari kelompok yang
menyenangkan.
d. Masa Tua
Pada tahap ini, Havighurst membagi perkembangan ke dalam dua fase, yakni
fase usia pertengahan (40 – 60 tahun), dan fase lanjut usia (60 tahun ke atas).
Menurutnya, pada setiap fase manusia masih memiliki tanggung jawab untuk
mencapai suatu perkembangan dalam hidup. Berikut penjelasannya :
1) Usia Pertengahan, memiliki tanggung jawab perkembangan sebagai berikut :
a) Mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara dewasa.
b) Membantu anak – anak dan remaja belajar untuk menjadi orang dewasa
yang bertanggung jawab.
c) Mengembangkan kegiatan – kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi
waktu luang.
d) Menghubungkan diri dengan pasangan hidup sebagai individu.
e) Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan – perubahan fisiologi
yang berlangsung.
f) Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier
pekerjaan.
2) Usia Lanjut, memiliki tanggung jawab perkembangan sebagai berikut:
a) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan kesehatan.
b) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga.
c) Menyesuaikan dengan kematian pasangan hidupnya.
d) Membentuk hubungan dengan orang – orang seusianya.
e) Mengatur kehidupan fisik yang memuaskan.
f) Menyesuaikan diri dengan peran sosial

2. Psikologi Belajar Peserta Didik


Di dalam proses pengembangan kurikulum pendidikan, selain memperhatikan
faktor perkembangan fisik peserta didik juga harus memperhatikan gaya dan model
belajar yang dimiliki oleh mereka. Satu orang dengan yang lain pasti memiliki karakter
yang berbeda – beda, ada yang belajar menggunakan metode audio, visual maupun
audiovisual. Oleh karena itu, pembentukan dan pengembangan kurikulum juga harus
memperhatikan faktor – faktor yang berkaitan dengan metode belajar peserta didik.
Maka, untuk memetakan kondisi – kondisi belajar peserta didik, terdapat beberapa teori
belajar yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan kondisi belajar peserta didik,
sebagai berikut :
a. Teori Behaviorisme
Teori ini lahir pada abad ke – 1911 yang dipelopori oleh B. F. Skinner dan
didasarkan pada karya – karya dari Pavlov, Thorndike, Hull dan Spence.
Behaviorisme pada hakikatnya adalah sebuah teori yang mengfokuskan kajian
pada stimulus dan respons dari obyek yang diteliti (peserta didik). Selanjutnya,
konsep ini dikenal dengan istilah S – R atau S – O – R (O = organisme)(Nasution,
2010).
Pavlov sebagai acuan dasar dari pemikiran B. F. Skinner melakukan percobaan S
– R kepada binatang. Binatang diuji dengan diberikan stimulus – stimulus yang
mendorong terbentuknya sebuah tingkah laku. Atas dasar hasil penelitian tersebut,
Pavlov mengemukakan bahwa “Tiap bentuk kelakuan spesifik (R) dapat
dibangkitkan bila diberikan stimulus yang sepadan (S)”(Nasution, 2010).
Untuk melengkapi eksperimen dari Pavlov, Skinner mencoba dengan cara yang
sama, tetapi berbeda penggunaan media eksperimennya. Kali ini ia mencoba
meneliti perlakuan binatang yang dimasukkan ke dalam box, kemudian dirancang
untuk mendapatkan makanan dengan diberikan reinforcement yang berbeda.
Penelitian ini kemudian melahirkan sebuah kesimpulan bahwa manusia lebih
mudah untuk belajar apabila mendapatkan reinforcement yang bersifat positif,
bukan negatif. Teori ini memandang peserta didik sebagai organisme yang
memberikan renspons terhadap stimulus – stimulus yang ada di lingkungan
sekitarnya.
Apabila guru sebagai aktor utama pemegang kendali proses pembelajaran
memberikan stimulus – stimulus yang bersifat positif, maka peserta didik pun akan
lebih mudah untuk menangkap materi yang diberikan. Adapun proses belajar
peserta didik menurut teori behaviorisme adalah : 1) Reinforcement positif yang
berupa pujian dan angka baik. 2) Hukuman, celaan atau tidak memberi
penghargaan kepada peserta didik yang masih gagal. 3) Memberikan contoh
melalui demonstrasi untuk ditiru. 4) Latihan, dan ulangan untuk memantapkan S –
R.14
b. Teori Gestalt
Tokoh dari teori ini adalah Max Wertheimer, Kurt Lewin dan John Dewey.
Gestalts sendiri diartikan sebagai field theory, yakni sebuah teori yang
berpandangan bahwa keseluruhan lebih bermakna dari bagian – bagian(Arifin,
2011). Menurut teori ini, unsur – unsur yang digunakan merupakan hasil
penyerapan dari teori behaviorisme dengan menambahkan unsur O ke dalam
konsepnya (O = Individu). Interpretasinya adalah belajar merupakan
mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan – hubungan antara
unsur situasi problematis sehingga melihat makna baru dalam situasi tersebut.
Selama proses pembelajaran, peserta didik melakukan kegiatan eksplorasi,
imajinasi dan berpikir kreatif. Berikut prinsip - prinsip yang dimunculkan oleh
teori gestalt : 1) Bahan pelajaran disajikan dalam bentuk masalah yang disesuaikan
dengan bakat dan minat. 2) Mengutamakan proses untuk kegiatan problem
solving. 3) Belajar dimulai dari keseluruhan menuju ke bagian. 4) Belajar
memerlukan insight atau pemahaman. 5) Belajar memerlukan reorganisasi
pengalaman yang bersifat kontinu.
c. Teori Perkembangan Kognitif
Untuk dapat memahami pemahaman peserta didik di ranah kognitif, salah satu
teori yang banyak digunakan adalah teori pembelajaran kognitif Piaget(Sanjaya,
2013).
Menurutnya, perkembangan intelektual setiap individu berlangsung dalam
tahap – tahap sebagai berikut :
1) Sensorimotor (0 – 2 tahun)
Pada tahapan ini, kemampuan kognitif anak masih sangat terbatas. Piaget
menyebutnya dengan istilah kemampuan primitif ; sebuah kemampuan
yang masih didasarkan pada perilaku terbuka. Kemampuan kognitif pada
masa ini menentukan perkembangan kognitif anak di masa – masa
selanjutnya.
2) Praoperasional (2 – 7 tahun)
Menurut Piaget, pada tahap ini ditandai dengan beberapa ciri17, yakni (a)
adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek, (b) kemampuan anak
dalam berbahasa mulai berkembang, (c) anak mulai mengetahui perbedaan
antara objek – objek sebagai suatu bagian individu atau kelasnya, (d)
pandangan terhadap dunia yang hidup, dan (e) pengamatan dan
pemahaman anak terhadap situasi lingkungan.
3) Operasional Konkret (7 – 11 tahun)
Pada tahap ini, anak mengalami keterbatasan pikiran pada objek – objek
yang ia jumpai dari pengalaman – pengalaman langsung. Maksudnya, anak
akan berpikir ketika menjumpai benda – benda yang ia temukan langsung
dari hasil inderanya. Anak juga mampu mengkombinasikan berbagai hasil
pengamatannya, dan mulai bisa mempelajari hal – hal yang berkaitan
dengan matematika.
4) Operasional Formal (11 – 14 tahun)
Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir secara sistematis dan meliputi
proses – proses yang kompleks. Piaget menyebutnya dengan istilah formal
operations. Aktivitas berpikir tahap ini mulai menyerupai cara berpikir
orang dewasa, dan mulai memahami hal – hal yang abstrak.

C. Aktualisasi Landasan Psikologis dalam Kurikulum PAI


Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian
muslim, mu’min, dan muhsin yang menitikfokuskan segala amal perbuatannya hanya
untuk mencari keridhaan Allah Swt..Ketercapaian tersebut, perlu disertai dengan proses
pembelajaran secara efektif. Hal tersebut tidak cukup dengan mengajarkan suatu ilmu
pengetahuan, melainkan perlu disertai dengan pendidikan karakter. Dalam pengembangan
kurikulum PAI, psikologi merupakan salah satu landasan penting yang harus
dipertimbangkan dalam dunia pendidikan. Pengembangan kurikulum harus
memperhatikan tingkat perkembangan psikologi peserta didik. Hal ini perlu dilakukan agar
peserta didik dapat belajar dan berkembang secara maksimal sesuai dengan masa
perkembangan yang mereka alami.
Sumbangsih psikologi terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam sangatlah besar.
Landasan psikologis ini bisa berpengaruh terhadap penentuan materi dan tujuan yang ingin
dicapai sesuai dengan kemampuan peserta didik. Materi yang diberikan perlu disesuaikan
dengan tingkat perkembangan psikologinya. Materi Sekolah Dasar diperuntukkan bagi
siswa Sekolah Dasar, Materi Sekolah Menengah Pertama diperuntukkan bagi siswa yang
Sekolah Menengah Pertama, begitupun selanjutnya. Landasan psikologispun dapat
berpengaruh terhadap metode, media, atau cara yang digunakan dalam proses
pembelajaran.

Penutup
1. Konsep dasar landasan psikologi dalam kurikulum PAI, dimana landasan psikologi ini
memandang individu manusia sebagai titik keberangkatan pembahasannya. Karena
itu, para pendidik mengambil sejumlah prinsip dari disiplin psikologi untuk
diaplikasikan dalam pengajaran dan dalam menelaah perilaku manusia dalam rangka
mengarahkan dan mengendalikan manusia. Tugas landasan psikologis ialah
memberikan arahan, acuan, dan landasan kepada para pendidik dalam memahami
manusia, mengembangkan potensinya, dan menjabarkan tujuan kehadiran dan
keberadaan manusia di muka bumi ke dalam sejumlah kebiasaan berperilaku yang
akan dicapai dan diperoleh anak-anak dalam berbagai tahap pendidikan dan
pembelajaran melalui sebuah program pendidikan. Landasan psikologis bertugas
memberikan kesimpulan-kesimpulan dan teori-teori kepada para praktisi pendidikan.
Kesimpulan dan teori tersebut menjelaskan perilaku manusia dan membantu para
pendidik dalam memilih metode pembelajaran yang paling tepat.
2. Unsur-Unsur Landasan Psikologi dalam Kurikulum PAI, terdapat dua bidang psikologi
yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2)
psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Sedangkan psikologi belajar
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam belajar.
3. Aktualisasi Landasan Psikologi dalam Kurikulum PAI. Sumbangsih psikologi terhadap
kurikulum Pendidikan Agama Islam sangatlah besar. Landasan psikologis ini bisa
berpengaruh terhadap penentuan materi dan tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan
kemampuan peserta didik. Materi yang diberikan perlu disesuaikan dengan tingkat
perkembangan psikologinya. Materi Sekolah Dasar diperuntukkan bagi siswa Sekolah
Dasar, Materi Sekolah Menengah Pertama diperuntukkan bagi siswa yang Sekolah
Menengah Pertama, begitupun selanjutnya. Landasan psikologispun dapat
berpengaruh terhadap metode, media, atau cara yang digunakan dalam proses
pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, M. (2015). Kurikulum; Hakikat, Fondasi, Desain, dan Pengembangan. Jakarta: Kencana.

Arifin, Z. (2011). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mahmud. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Nasution, S. (2010). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Reksoatmodjo, T. N. (2010). Pengembangan Kurikulum PAI. Bandung: Refika Aditaman.

Sanjaya, W. (2013). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Syihabuddin. (2013). Landasan Psikologis Pendidikan Islam. Bandung: Universitas Pendidikan


Indonesia.

Yusuf, A. (2019). Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural. Al-Murabbi Jurnal


Pendidikan Agama Islam, 252.

Anda mungkin juga menyukai