Anda di halaman 1dari 12

PENTINGNYA TAKHRIJUL HADITS DALAM ISTINBATH

HUKUM

Makalah Ini Disusun Guna Menempuh MataKuliah Takhrijul Hadits

Disusun oleh: Kelompok 2

1. Maya Syafitri (1830202237)


2. Meilija Shafarina Az zahra (1830202238)
3. Mustiza Inanimataka (1830202255)

Dosen pengampu: Muslim, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2021
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum dalam sebuah masyarakat bertujuan untuk mengendalikan
masyarakat, Ia merupakan satu sistem yang harus ditegaskan terutama untuk
melindungi hak-hak individu atau masyarakat. Sistem hukum di setiap
masyarakat memiliki ciri dan ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga Islam
dengan sistem hukumnya yang dikenal dengan fiqh. Hukum ini mencakup
seluruh bidang kehidupan agama, politik, ekonomi dan lainnya yang
bersumber dari wahyu Ilahi.1
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan merupakan satu sistem yang
ditegakkan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak
masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki karakter, sifat dan
ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga Islam yang memiliki sistem hukum
sendiri yang dikenal dengan fiqh. Hukum ini mencakup seluruh bidang
kehidupan; etika, keagamaan, politik dan ekonomi yang pada dasarnya
bersumber dari wahyu Ilahi sumber hukum dan acuan umat Islam yang harus
diikuti.
Dalam Al-Qur’an (sumber induk) secara jelas ayat-ayat hukum itu dapat
ditemui seperti mengenai kewajiban berpuasa dalam surat al-Baqarah: 183 dan
lainnya. Namun kekonkritan ayat hukum itu dalam al-Qur’an tidak banyak
ditemui. Senada dengan yang diutarakan Abdul wahab khalaf mengenai ayat-
ayat hukum konkrit dalam al-Qur’an itu sedikit jumlahnya dan yang lainnya
perlu adanya interpretasi lebih lanjut baik itu tekstual ataupun konstektual.
Sejak masa sahabat hingga sekarang interpretasi-interpretasi terhadap al-
Qur’an masih terus dilakukan dan ditelusuri karena perubahan zaman yang
terus bergerak maju dan persoalan-persoalan pun yang muncul semakin
kompleks dan beragam. Hal ini dituntut perlunya dilakukan perombakan
dalam menyelesaikan hukum suatu persoalan sesuai dengan kondisinya
(fleksible). Interpretasi yang dilakukan untuk dijadikan sebuah ijtihad tidak
bias dilakukan oleh sembarang orang, karena dapat dibayangkan betapa

1
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, 2001), hlm. xv.

1
kacaunya tata kehidupan umat manusia jika sekiranya setiap orang melakukan
ijtihad dalam mengamalkan agamanya.2 Akan tetapi ijtihad itu dilakukan oleh
orang-orang khusus dengan criteria-kriteria yang telah disepakati dan
ditentukan.
Proses sebuah ijtihad itu sendiri tidak terlepas dari konsep induk umat
Islam yaitu, al-Qur’an dan hadits serta ditambah beberapa sumber lain yang
tentunya juga merujuk kepada dua hal yang diatas. Di masa sekarang, tatacara
dalam mengambil sebuah ijtihad ataupun fatwa beragam metode dan konsep.
Pengistinbatan hukum yang dilakukan pun semakin berkembang. Ini
dikarenakan persoalan yang terus muncul dan berkembang dan perlu segera
diselesaikan.
Salah satu ilmu yang harus pahami adalah takhrijul hadist yaitu ilmu yang
mempelajari lebih dalam mengenai suatu hadist, muali dari asal-usulnya,
sanad, matan rawi hingga keshahihan suatu hadist. Oleh karena itu, makalah
ini akan mengulas lebih mendalam mengenai pentingnya takhrijul hadist
dalam istinbah hukum.
2. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Takhrijul Hadits?
b. Apa Pengertian Istinbath Hukum?
c. Bagaimana Pentingnya Takhrijul Hadits dalam Istinbath Hukum?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Takhrijul Hadits.
b. Untuk Mengetahui Istinbath Hukum.
c. Untuk Mengetahui Pentingnya Takhrijul Hadits dalam Istinbath Hukum.

2
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung:
al-Ma’arif, 1986), hlm.403.

2
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Takhrijul Hadist
Takhrij menurut bahasa Arab yaitu berasal dari asal kata kharaja yang
berarti tampak atau jelas. Takhrij secara bahasa bahasa juga berarti istinbath
(mengeluarkan), tadrib (memperdalam), dan taujih (menampakkan). Menurut
istilah muhadditsin (ahli hadits), takhrij diartikan dalam beberapa pengertian:
a. Sinonim dari ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadits
dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadits tersebut.
b. Mengeluarkan hadits-hadits dari kitab-kitab, kemudian menyebutkan
sanad-sanadnya.
c. Menukil hadits dari kitab-kitab sumber (diwan hadits) dengan
menyebut sanadnya serta dijelaskan martabat haditsnya.
Kata al-hadist secara bahasa berarti al-jadidu (sesuatu yang baru) lawan
dari al-qodiim yang artinya hadist al-binai menunjukkan kepada waktu yang
dekat atau singkat. Hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkatan, perbuatan, takrir, maupun sifat
beliau.3
Jadi, takhrijul hadist adalah ilmu yang memperlajari dan mengetahui
sumber asal hadist yang di takhrij, mengetahui ditolak atau diterimanya hadist-
hadist tersebut, dan dapat mengetahui cara membedakan hadist yang shahih,
dan mana yang palsu atau tidak jelas asal-usulnya dengan meneliti sanad,
matan dan juga rawinya.4
Adapun sebab perlunya dilakukan takhrijul hadist yaitu:
1) Hadits merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah
saw, sehingga segala sesuatu itu sangat berpeluang dianggap bernilai
risălah. Adanya kepastian bahwa memang betul hal tersebut berasal
dari sang pembawa risălah tadi itulah yang menyebabkan hadits perlu
diteliti.

Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm.
3

2-3
4
Baldi Anggara, Studi Ilmu hadits, (Palembang: NoerFikri, 2019), hlm. 139

3
2) Hadits tidak sempat dibukukan seperti al-Quran, sehingga untuk
menjamin otentitasnya diperlukanlah cara-cara tertentu yang kemudian
dikenal dengan nama takhrij. Cara ini kemudian didefinisikan sebagai
proses penunjukan hadits pada al-Mashadir al-Ashliyyah kitab-kitab
hadits induk yang mencantumkan hadits secara lengkap sanad dan
matannya untuk kemudian dilakukan penelitian martabat (validitas)-
nya jika memang masih diperlukan.
3) Secara empirik, periwayatan hadits berlangsung dengan
mempergunakan dua cara; yaitu 1) riwayat hadits bi al-lafzh dan 2)
riwayat hadits bi al-ma‟na. Dalam perbedaan redaksi itu, boleh jadi
terdapat kesamaan makna. Namun, tidak tertutup kemungkinan,
terdapat pula perbedaan makna yang ditangkap oleh perawi berikutnya,
sehingga pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam matan
hadits pun menjadi berbeda.
4) Ketika sampai pada tahap kodifikasinya, banyak hadits yang tidak
sempat diteliti, sehingga banyak hadits yang tidak diketahui kepastian
kualitasnya. Dan hanya kitab Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim) yang selamat dari cacat yang terdapat pada hadits selama
proses periwayatan dan kodifikasinya. Di luar dua kitab tersebut, hadits
masih memerlukan penelitian ulang.
Tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, 'Abd al-Mahdi melihatnya secara
terpisah antara yang satu dan yang lainnya. Menurut 'Abd al-Mahdi, ada dua
hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu: (1) untuk mengetahui sumber dari suatu
hadits; dan (2) mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat diterima
(shahih atau hasan) atau ditolak (dha'if). Sedangkan manfaat takhrij menurut
'Abd al-Mahdi sebagai berikut:
a) Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu
hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
b) Menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang
ditunjukkannya.
c) Memperjelas keadaan sanad.

4
d) Memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayat.
e) Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
f) Memperjelas perawi hadits yang sama, karena dengan adanya takhrij
dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
g) Memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan di antara sanad-sanad.
2. Pengertian Istinbath Hukum
Di dalam disiplin ilmu ushul fikih, terdapat perbedaan mendasar yang
berkaitan dengan istinbath hukum, yakni sumber hukum dan dalil hukum.
Sumber dalam hal ini berarti dasar utama yang bersifat orisinil yang
melahirkan hukum itu sendiri. Seperti, al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan
dalil hukum dalam hal ini berarti cara-cara yang ditempuh melalui ijtihad
untuk menemukan hukum Islam. Seperti, ditempuh dengan cara menggunakan
istihsân, istishâb, qiyâs, dan lain sebagainya5
Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda an-nabt, bentuk
masdar dari nabata-yanbutu-nabtan, yang berarti air yang keluar dari dalam
sumur yang kali pertama digali. Sehingga kata istinbath digunakan dalam arti
al-istikhraj (mengeluarkan) yaitu mengeluarkan atau menjelaskan sesuatu yang
sebelumnya masih belum jelas.Sedangkan secara terminologi kata istinbath
berarti upaya mengeluaran makna dari nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang
berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan kekuatan nalar atau
pikiran.
Dalam pengertian lain mengatakan istinbath secara bahasa memiliki arti
menemukan, menciptakan, sedangkan secara istilah dapat diartikan sebagai
proses penemuan hukum yang dilakukan oleh seorang mujtahid melalui ijtihad.
Adapun dalam ilmu fiqh, istinbath hukum dikenal sebagai metode deduktif,
yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil yang umum
(al-Qur’an dan Hadist).6

5
M, Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai dan
Mustholah Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 76
6
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm 114.

5
Jadi, istinbath hukum merupakan suatu wujud usaha pencaritahuan cara-
cara yang dilakukan para ulama di dalam proses berijtihad sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan hukum berdasarkan hasil ijtihad tersebut
dengan menggunakan metode istinbâth al-Hukm (penggalian hukum) yang
dijadikan pijakan dalam ber-ijtihâd.
Berdasarkan kesepakatan jumhur ulama tidak setiap individu dapat
melakukan ijtihâd atau disebut sebagai mujtahid. Dalam hal ini Abdurrahman
Dahlan menegaskan bahwa secara umum seseorang yang patut mendapatkan
gelar mujtahid sehingga ia berhak untuk melakukan penggalian hukum
langsung berdasarkan nash haruslah memiliki pemahaman terhadap jurusan
pensyari’atan hukum Islam (maqâshid asy-syar’iyyah). Oleh karenanya
terdapat beberapa persyaratan tentang hal itu, yakni sebagaimana berikut:
a. Persyaratan umum
1) Baligh;
2) Berakal;
3) Memiliki kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-
konsep yang pelik dan abstrak;
4) Memiliki keimanan yang tinggi. Dalam arti ia bukan merupakan
muqallid.
b. Persyaratan utama
1) Memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.
Seperti Nahwu-Sharaf (Gramatika), Balaghoh, ma’ani al-Mufrodat,
uslub (gaya bahasa Arab);
2) Menguasai ilmu Ushul Fikih;
3) Memahami al-Qur’an secara mendalam, minimal ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum;
4) Memahami Hadits, minimal pemahaman terhadap hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum;
5) Memahami tujuan-tujuan pensyari’atan hukum (maqashid asy-
Syar’iyah).

6
c. Persyaratan pendukung
1) Memahami tentang dalil-dalil qath’î dan ijma’. Hal ini berkaitan
dengan pengetahuan terhadap ranah ijtihâdi;
2) Mengetahui persoalan hukum yang yang menjadi objek perbedaan
pendapat ulama;
3) Memiliki sifat taqwa dan keshalehan. Persyaratan yang ketiga ini
sebenarnya tidak berkaitan sama sekali dengan kegiatan ijtihâd,
akan tetapi persyaratan ini lebih kepada penerimaan oleh
masyarakat dan/atau khalayak atas produk hukum yang
dihasilkannya.7
3. Pentingnya Takhrijul Hadits dan Istinbat Hukum
Bagi seorang peneliti hadits, kegiatan takhrijul hadits sangat penting.
Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul hadits terlebih dahulu, maka akan sulit
diketahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti, berbagai riwayat yang
telah meriwayatkan hadits itu, dan ada atau tidak adanya koroborasi (syahid
atau mutabi’) dalam sanad bagi hadits yang ditelitinya. Dengan demikian,
minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrijul hadits
dalam melaksanakan penelitian hadits. Berikut ini dikemukakan ketiga hal
tersebut.
a. Untuk mengetahui asal- usul riwayat hadits yang akan diteliti.
Suatu hadits akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila
terlebih dahulu tidak diketahui asal- usulnya. Tanpa diketahui asal-
usulnya, maka sanad dan matan hadits yang bersangkutan sulit diketahui
susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan
sanad dan matan nya secara benar, maka hadits yang bersangkutan akan
sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal- usul hadits
yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih
dahulu.

7
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2018), hlm. 84

7
b. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti.
Hadits yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad.
Mungkin saja, salah satu sanad hadits itu berkualitas daif, sedang yang
lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas
daif dan yang berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui
seluruh riwayat hadits yang bersangkutan. Dalam hubungannya untuk
mengetahui seluruh riwayat hadits yang sedang akan diteliti, maka
kegiatan takhrij perlu dilakukan.
c. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada
sanad yang diteliti.
Ketika hadits diteliti salah satu sanad nya, mungkin ada periwayat lain
yang sanad nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan
(corroboration) itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama,
yakni tingkat sahabat Nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat di
bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’. Dalam
penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat
memperkuat sanad yang sedang diteliti. Begitu pula mutabi’ yang
memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin
sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat
ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’ tersebut. Untuk mengetahui,
apakah suatu sanad memiliki syahid atau mutabi’, maka seluruh sanad
hadits itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrijul hadits, tidak dapat
diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadits yang sedang diteliti.8
Jadi, pentingnya takhrijul hadist ini dalam kaitan istinbath hukum ialah,
sebagai suatu usaha untuk pembaruan pencarian dalam hukum Islam yang
berlandaskan al-Qur’an dan Hadist. Karena seiring berjalannya waktu dan
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan munculnya juga
persoalan-persoalan baru dalam kehidupan umat Islam. Oleh sebab itu,
tentunya ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai atau di pahami dalam

Ismail, M. Syuhudi, Metodelogi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.
8

41-45

8
memecahkan masalah tersebut. Dalam istinbath hukum yang berlandaskan
suatu hadist misalnya, tentulah memperlajari ilmu takhrijul hadist agar
penggalian suatu hukum baru itu dapat dilakukan secara benar, rinci dan jelas.
Seperti yang telah di paparkan di atas bahwa Al-Qur’an sebagai sumber
induk segala petunjuk hidup manusia memanglah menerangkan jelas ayat-ayat
hukum, namun kekonkritan ayat itu dalam al-Qur’an tidak banyak ditemui.
Senada dengan yang diutarakan Abdul wahab khalaf mengenai ayat-ayat
hukum konkrit dalam al-Qur’an itu sedikit jumlahnya dan yang lainnya perlu
adanya interpretasi lebih lanjut baik itu tekstual ataupun konstektual.

9
C. PENUTUP
1. Simpulan
Takhrijul hadist adalah ilmu yang memperlajari dan mengetahui sumber
asal hadist yang di takhrij, mengetahui ditolak atau diterimanya hadist-hadist
tersebut, dan dapat mengetahui cara membedakan hadist yang shahih, dan
mana yang palsu atau tidak jelas asal-usulnya dengan meneliti sanad, matan
dan juga rawinya.
Istinbath hukum merupakan suatu wujud usaha pencaritahuan cara-cara
yang dilakukan para ulama di dalam proses berijtihad sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan hukum berdasarkan hasil ijtihad tersebut
dengan menggunakan metode istinbâth al-Hukm (penggalian hukum) yang
dijadikan pijakan dalam ber-ijtihâd.
Pentingnya takhrijul hadist ini dalam kaitan istinbath hukum ialah, sebagai
suatu usaha untuk pembaruan pencarian dalam hukum Islam yang
berlandaskan al-Qur’an dan Hadist. Karena seiring berjalannya waktu dan
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan munculnya
juga persoalan-persoalan baru dalam kehidupan umat Islam. Oleh sebab itu,
tentunya ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai atau di pahami dalam
memecahkan masalah tersebut. Dalam istinbath hukum yang berlandaskan
suatu hadist misalnya, tentulah memperlajari ilmu takhrijul hadist agar
penggalian suatu hukum baru itu dapat dilakukan secara benar, rinci dan jelas.
2. Kritik dan Saran
Seperti kata pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”,
Sebagai manusia biasa kami sadar bahwa pembuatan makalah tentang
Pentingya Takhrijul Hadist dalam Kaitan Istinbath Hukum ini masih jauh
dari sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan
kesalahan adalah milik kia sebagai makhluk. Maka dengan demikian demi
terciptanya makalah yang lebih baik untuk ke depan, kami mohon sekiranya
para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua.Aamiin.

10
DAFTAR PUSTAKA

Anggara, Baldi. 2019. Studi Ilmu hadits, Palembang: NoerFikri.


Dahlan, Abd. Rahman Dahlan. 2016. Ushul Fiqh, Cet. 4, Jakarta: Amzah.
Hasan, Ahmad. 2001. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka.
Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodelogi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan
Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2014. Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta: Amzah
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islam, Bandung: al-Ma’arif.
Yaqub, Ali Mustafa Yaqub. 2018. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zein, M. Ma’shum. 2016. Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai
dan Mustholah Hadits, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

11

Anda mungkin juga menyukai