DISUSUN OLEH
ROHMAT HIDAYATULLOH
ASRI FATMALA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan karya
ilmiah ini.
Karya ilmiah ini berjudul "Pentingnya Takhrijul Hadits dalam Istimbat Hukum". Dalam
karya ilmiah ini, kami membahas mengenai pentingnya proses takhrijul hadits dalam
menetapkan hukum Islam. Kami berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan
wawasan bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai hadits dan proses
penelusuran keabsahan hadits tersebut.
Kami menyadari bahwa pembuatan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada para pembimbing, dosen, keluarga, teman-teman, dan semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan karya ilmiah ini.
Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan
dan pengembangan karya ilmiah ini di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi amal
jariyah yang diridhai Allah SWT.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Daftar Isi…………………………………………………………………………………….…………ii
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang……………………………………………………………………………1
2. Rumusan Masalah……………………………………………………..………………….3
3. Tujuan Penulisan……………………………………………………..…………………...3
B. Pembahasan
1. Pengertian Takhriju Hadits………………………………………………………………..4
2. Pengertian Istimbath Hukum……………………………………………………..………6
3. Pentingnya Takhrijul Hadits Dalam Istimbath Hukum…………………..……………….8
C. Penutup
Simpulan……………………………………………………………………………………..10
Kritik Dan Saran……………………………………………………………..………..……..10
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..…11
ii
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Al-Qur'an dan as-Sunnah merupakan merupakan satu sistem yang ditegakkan terutama untuk
melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum di setiap masyarakat
memiliki karakter, sifat dan ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga Islam yang memiliki sistem
hukum sendiri yang dikenal dengan fiqh. Hukum ini mencakup seluruh bidang kehidupan; etika,
keagamaan, politik dan ekonomi yang pada dasamya bersumber dari wahyu Ilahi sumber hukum
dan acuan umat Islam yang harus diikuti.
Dalam Al-Qur'an (sumber induk) secara jelas ayat-ayat hukum itu dapat ditemui seperti mengenai
kewajiban berpuasa dalam surat al-Baqarah:183 dan lainnya. Namun kekonkritan ayat hukum itu dalam al-
Qur'an tidak banyak ditemui.Senada dengan yang diutarakan Abdul wahab khalaf mengenai ayat-ayat
hukum konkrit dalam al-Qur'an itu sedikit jumlahnya dan yang lainnya perlu adanya interpretasi
lebih lanjut baik itu tekstual ataupun konstektual.
Sejak masa sahabat hingga sekarang interpretasi-interpretasi terhadap al-Qur'an masih terus
dilakukan dan ditelusuri karena perubahan zaman yang terus bergerak maju dan persoalan-
persoalan pun yang muncul semakin kompleks dan beragam. Hal ini dituntut perlunya dilakukan
perombakan dalam menyelesaikan hukum suatu persoalan sesuai dengan kondisinya (fleksible).
Interpretasi yang dilakukan untuk dijadikan sebuah ijtihad tidak bias dilakukan oleh sembarang
orang, karena dapat dibayangkan betapa1
1
Ahmad Hasan,Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka,2001),hlm.xv.
1
kacaunya tata kehidupan umat manusia jika sekiranya setiap orang melakukan ijtihad dalam
mengamalkan agamanya.2 Akan tetapi ijtihad itu dilakukan oleh orang-orang khusus dengan criteria-
kriteria yang telah disepakati dan ditentukan.
Proses sebuah ijtihad itu sendiri tidak terlepas dari konsep induk umat Islam yaitu, al-Qur'an dan hadits serta
ditambah beberapa sumber lain yang tentunya juga merujuk kepada dua hal yang diatas. Di masa
sekarang,tatacara dalam mengambil sebuah ijtihad ataupun fatwa beragam metode dan konsep. Pengistinbatan
hukum yang dilakukan pun semakin berkembang. Ini dikarenakan persoalan yang terus muncul dan berkembang
dan perlu segera diselesaikan.
Salah satu ilmu yang harus pahami adalah takhrijul hadist yaitu ilmu yang mempelajari lebih dalam
mengenai suatu hadist, muali dari asal-usulnya, sanad, matan rawi hingga keshahihan suatu hadist. Oleh
karena itu, makalah ini akan mengulas lebih mendalam mengenai pentingnya takhrijul hadist dalam
istinbah hukum.
2
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan
3
B. PEMBAHASAN
Takhrij menurut bahasa Arab yaitu berasal dari asal kata kharaja yang berarti tampak atau jelas.
Takhrij secara bahasa bahasa juga berarti istinbath (mengeluarkan), tadrib (memperdalam), dan
taujih (menampakkan). Menurut istilah muhadditsin (ahli hadits), takhrij diartikan dalam beberapa
pengertian:
a. Sinonim dari ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan
sumber keluarnya (pemberita) hadits tersebut.
c. Menukil hadits dari kitab-kitab sumber (diwan hadits) dengan menyebut sanadnya serta
dijelaskan martabat haditsnya.
Kata al-hadist secara bahasa berarti al-jadidu (sesuatu yang baru) lawan dari al-qodiim yang
artinya hadist al-binai menunjukkan kepada waktu yang dekat atau singkat. Hadist adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkatan, perbuatan, takrir,
maupun sifat beliau.
Jadi, takhrijul hadist adalah ilmu yang memperlajari dan mengetahui sumber asal hadist yang di
takhrij, mengetahui ditolak atauditerimanya hadist-hadist tersebut, dan dapat mengetahui cara
membedakan hadist yang shahih, dan mana yang palsu atau tidak jelas asal-usulnya dengan meneliti
sanad, matan dan juga rawinya.
1) Hadits merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw,sehingga segala
sesuatu itu sangat berpeluang dianggap bernilai risǎlah. Adanya kepastian bahwa memang betul
hal tersebut berasal dari sang pembawa risǎlah tadi itulah yang menyebabkan hadits perlu
diteliti.2
2
Abdul Majid Khon,Takhrij dan Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm.
Baldi Anggara,Studi Ilmu hadits, (Palembang: NoerFikri,2019), hlm. 139
4
2)Hadits tidak sempat dibukukan seperti al-Quran, sehingga untuk menjamin otentitasnya
diperlukanlah cara-cara tertentu yang kemudian dikenal dengan nama takhrij. Cara ini kemudian
didefinisikan sebagai
proses penunjukan hadits pada al-Mashadir al-Ashliyyah kitab-kitab hadits induk yang
mencantumkan hadits secara lengkap sanad dan matannya untuk kemudian dilakukan penelitian
martabat (validitas)-nya jika memang masih diperlukan.
3) Secara empirik, periwayatan hadits berlangsung dengan mempergunakan dua cara; yaitu 1)
riwayat hadits bi al-lafzh dan 2) riwayat hadits bi al-ma"na. Dalam perbedaan redaksi itu, boleh jadi
terdapat kesamaan makna. Namun, tidak tertutup kemungkinan, terdapat pula perbedaan makna
yang ditangkap oleh perawi berikutnya, sehingga pemahaman terhadap makna yang terkandung
dalam matan hadits pun menjadi berbeda.
4) Ketika sampai pada tahap kodifikasinya, banyak hadits yang tidak sempat diteliti,sehingga
banyak hadits yang tidak diketahui kepastian kualitasnya. Dan hanya kitab Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim) yang selamat dari cacat yang terdapat pada hadits selama proses
periwayatan dan kodifikasinya. Di luar dua kitab tersebut, hadits masih memerlukan penelitian
ulang.
Tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, 'Abd al-Mahdi melihatnya secara
terpisah antara yang satu dan yang lainnya. Menurut 'Abd al-Mahdi,ada dua hal yang menjadi tujuan
takhrij, yaitu:(1) untuk mengetahui sumber dari suatu hadits; dan (2) mengetahui kualitas dari suatu
hadits, apakah dapat diterima (shahih atau hasan) atau ditolak (dha'if). Sedangkan manfaat takhrij
menurut 'Abd al-Mahdi sebagai berikut:
a) Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta ulama yang
meriwayatkannya.
5
d) Memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayat.
f) Memperjelas perawi hadits yang sama, karena dengan adanya takhrij dapat diketahui
nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
g)Memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara
sanad-sanad.
Di dalam disiplin ilmu ushul fikih, terdapat perbedaan mendasar yang berkaitan dengan istinbath
hukum, yakni sumber hukum dan dalil hukum. Sumber dalam hal ini berarti dasar utama yang bersifat
orisinil yang melahirkan hukum itu sendiri. Seperti, al-Qur'an dan as-Sunnah.Sedangkan dalil hukum
dalam hal ini berarti cara-cara yang ditempuh melalui ijtihad
untuk menemukan hukum Islam. Seperti, ditempuh dengan cara menggunakan istihsân, istishâb, qiyâs,
dan lain sebagainyas
Secara etimologis kata istinbath berasal dari kata benda an-nabt,bentuk masdar dari nabata-
yanbutu-nabtan,yang berarti air yang keluar dari dalam sumur yang kali pertama digali.
Sehingga kata istinbath digunakan dalam arti al-istikhraj (mengeluarkan) yaitu mengeluarkan
atau menjelaskan sesuatu yang sebelumnya masih belum jelas.Sedangkan secara terminologi
kata istinbath berarti upaya mengeluaran makna dari nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang
berkaitan dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan kekuatan nalar atau pikiran.
Dalam pengertian lain mengatakan istinbath secara bahasa memiliki arti menemukan, menciptakan,
sedangkan secara istilah dapat diartikan sebagai proses penemuan hukum yang dilakukan oleh seorang
mujtahid melalui ijtihad. Adapun dalam ilmu fiqh, istinbath hukum dikenal sebagai metode deduktif, yaitu
metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil yang umum (al-Qur'an dan Hadist).3
3
M,Ma'shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai dan Musthalel aitan Yoarak ade s cea (akale) Alzan,2016),
hlm 114.
6
Jadi,istinbath hukum merupakan suatu wujud usaha pencaritahuan cara-cara yang dilakukan para
ulama di dalam proses berijtihad sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan hukum berdasarkan
hasil ijtihad tersebut
dengan menggunakan metode istinbâth al-Hukm (penggalian hukum) yang dijadikan pijakan dalam
ber-ijtihâd.
Berdasarkan kesepakatan jumhur ulama tidak setiap individu dapat melakukan ijtihâd atau disebut sebagai
mujtahid. Dalam hal ini Abdurrahman Dahlan menegaskan bahwa secara umum seseorang yang patut
mendapatkan gelar mujtahid sehingga ia berhak untuk melakukan penggalian hukum langsung berdasarkan nash
haruslah memiliki pemahaman terhadap jurusan pensyari'atan hukum Islam (maqâshid asy-syar'iyyah). Oleh
karenanya terdapat beberapa persyaratan tentang hal itu, yakni sebagaimana berikut:
a. Persyaratan umum
1)Baligh;
2) Berakal;
3) Memiliki kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan
abstrak;
b. Persyaratan utama
3) Memahami al-Qur'an secara mendalam, minimal ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum;
7
c. Persyaratan pendukung
1) Memahami tentang dalil-dalil qath'i dan ijma'. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan
terhadap ranah ijtihâdi;
2) Mengetahui persoalan hukum yang yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama;
3) Memiliki sifat taqwa dan keshalehan. Persyaratan yang ketiga ini sebenarnya tidak
berkaitan sama sekali dengan kegiatan ijtihâd, akan tetapi persyaratan ini lebih kepada
penerimaan oleh masyarakat dan/atau khalayak atas produk hukum yang dihasilkannya.?
Bagi seorang peneliti hadits, kegiatan takhrijul hadits sangat penting. Tanpa dilakukan
kegiatan takhrijul hadits terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadits yang
akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadits itu, dan ada atau tidak adanya
koroborasi (syahid atau mutabi') dalam sanad bagi hadits yang ditelitinya.Dengan demikian,
minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrijul hadits dalam melaksanakan
penelitian hadits. Berikut ini dikemukakan ketiga hal tersebut.
Suatu hadits akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak
diketahui asal- usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadits yang
bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui
susunan sanad dan matan nya secara benar, maka hadits yang bersangkutan akan sulit diteliti
secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asal-usul hadits yang akan diteliti itu, maka kegiatan
takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu.4
4
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2018),hlm.84
8
b. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan diteliti.
Hadits yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu
sanad hadits itu berkualitas daif, sedang yang
lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan yang
berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadits yang bersangkutan.
Dalam hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat hadits yang sedang akan diteliti, maka
kegiatan takhrij perlu dilakukan.
c. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi' pada sanad yang diteliti.
Ketika hadits diteliti salah satu sanad nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad nya
mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan (corroboration) itu bila terletak pada
bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila
terdapat di bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai mutabi'. Dalam penelitian
sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang sedang
diteliti. Begitu pula mutabi' yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti
mungkin sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan
kekuatannya oleh mutabi' tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki syahid atau
mutabi', maka seluruh sanad
hadits itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrijul hadits, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh
sanad untuk hadits yang sedang diteliti.8
Jadi, pentingnya takhrijul hadist ini dalam kaitan istinbath hukum ialah, sebagai suatu usaha
untuk pembaruan pencarian dalam hukum Islam yang berlandaskan al-Qur'an dan Hadst. Karena
seiring berjalannya waktu dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan
munculnya juga persoalan-persoalan baru dalam kehidupan umat Islam. Oleh sebab itu, tentunya
ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai atau di pahami dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam
istinbath hukum yang berlandaskan suatu hadist misalnya, tentulah memperlajari ilmu takhrijul
hadist agar penggalian suatu hukum baru itu dapat dilakukan secara benar, rinci dan jelas.
Seperti yang telah di paparkan di atas bahwa Al-Qur'an sebagai sumber induk segala petunjuk
hidup manusia memanglah menerangkan jelas ayat-ayat hukum,namun kekonkritan ayat itu dalam
al-Qur'an tidak banyak ditemui. Senada dengan yang diutarakan Abdul wahab khalaf mengenai
ayat-ayat hukum konkrit dalam al-Qur'an itu sedikit jumlahnya dan yang lainnya perlu adanya
interpretasi lebih lanjut baik itu tekstual ataupun konstektual.
9
C. PENUTUP
1.Simpulan
Takhrijul hadist adalah ilmu yang memperlajari dan mengetahui sumber asal hadist
yang di takhrij, mengetahui ditolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut, dan dapat
mengetahui cara membedakan hadist yang shahih, dan mana yang palsu atau tidak jelas asal-
usulnya dengan meneliti sanad,matan dan juga rawinya.
Istinbath hukum merupakan suatu wujud usaha pencaritahuan cara-cara yang dilakukan
para ulama di dalam proses berijtihad sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan
hukum berdasarkan hasil ijtihad tersebut dengan menggunakan metode istinbâth al-Hukm
(penggalian hukum) yang dijadikan pijakan dalam ber-ijtihâd.
Pentingnya takhrijul hadist ini dalam kaitan istinbath hukum ialah,sebagai suatu usaha
untuk pembaruan pencarian dalam hukum Islam yang berlandaskan al-Qur'an dan Hadist.
Karena seiring berjalannya waktu dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menyebabkan munculnya juga persoalan-persoalan baru dalam kehidupan umat Islam.
Oleh sebab itu, tentunya ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai atau di pahami dalam
memecahkan masalah tersebut. Dalam istinbath hukum yang berlandaskan suatu hadist
misalnya, tentulah memperlajari ilmu takhrijul hadist agar penggalian suatu hukum baru itu
dapat dilakukan secara benar, rinci dan jelas.
Seperti kata pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”, Sebagai manusia
biasa kami sadar bahwa pembuatan makalah tentang Pentingya Takhrijul Hadist dalam
Kaitan Istinbath Hukum ini masih jauh dari sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT, dan kesalahan adalah milik kia sebagai makhluk. Maka dengan demikian
demi terciptanya makalah yang lebih baik untuk ke depan,kami mohon sekiranya para
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua.Aamiin.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi. 1992. Metodelogi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Zein,M.Ma'shum.2016. Ilmu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai dan Mustholah
Hadits,Yogyakarta:Pustaka Pesantren.
11