MAKALAH
oleh
Kelompok 4 kelas V B
FAKULTAS TARBIYAH
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas karunia dan kehadirat Allah SWT penulisan
makalah tentang mashadir ahkam 1 atau sumber-sumber hukum Islam dapat
dikerjakan dan terselesaikan meskipun masih banyak kekurangannya. Penulisan
makalah ini didasari oleh tugas mata kuliah ushul fiqh dengan bersumber dari
berbagai referensi buku maupun jurnal ilmiah yang ada di internet. Selain itu juga
untuk memacu kegiatan literasi dan pendidikan di lingkungan kampus yang
mengalami penurunan. Karena pendidikan sebagai investasi peradaban bagi bangsa
Indonesia yang ingin maju dan sejahtera, serta menjadi pemenang dalam persaingan
global, yang memerlukan petunjuk dan arah sehingga pembangunan pendidikan
Indonesia akan mengalami proses kemajuan dan peningkatan kualitas.
Penulisan makalah ini tidak akan mungkin terlepas dari kekurangan dan
kesalahan pengetikan maupun tata bahasa yang kurang sesuai, karena keterbatasan
pengetahuan dan referensi yang dimiliki oleh penulis. Saran daan kritik dari
pembaca sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang, sehingga
hasil tulisan akan lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberikan manfaat yang
besar maupun sedikit sebagai bentuk peran kecil kami sebagai mahasiswa yang
masih kekurangan ilmu untuk dipelajari untuk diri kami sendiri yang kedepannya
dapat berguna untuk nusa dan bangsa.
3 Oktober 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .............................................................................................. 18
B. Saran ........................................................................................................ 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oleh karena itu, di sini penulis hanya akan membahas mengenai sumber
hukum Islam yang diakui oleh semua kalangan para ulama adalah Alquran dan
Hadis. Di sini akan dibahas mengenai mashadir ahkam dan jenis-jenisnya,
pengertian Alquran, kehujjahan Alquran, dan peran Alquran sebagai pembentuk
hukum Islam. Dan juga Hadis akan dibahas mengenai pengertian hadis, kehujjahan
hadis serta perannya terhadap Alquran sebagai pembentuk hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Mashadir Ahkam?
2. Apa saja jenis-jenis dari Mashadir Ahkam?
1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 82.
1
3. Bagaimana uraian dari Alquran berdasarkan pada pengertian, kehujjahan
Alquran dan perannya dalam pembentukkan hukum?
4. Bagaimana uraian dari Hadis berdasarkan pada pengertian, kehujjahan
Hadist, dan perannya terhadap Alquran dalam pembentukkan hukum?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Mashadir Ahkam.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari Mashadir Ahkam.
3. Untuk mengetahui uraian dari Alquran berdasarkan pada pengertian,
kehujjahan Alquran dan perannya dalam pembentukkan hukum.
4. Untuk mengetahui uraian dari hadis berdasarkan pada pengertian,
kehujjahan hadist, dan perannya terhadap Alquran dalam pembentukkan
hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan di dalam buku Ushul Fiqh karya dari Dr. H. Abd. Rahman
Dahlan, M.A. menyatakan bahwa dalam buku-buku ushul fiqh kontemporer, kita
bisa menemukan ungkapan yang berisi “Sumber hukum Islam yang disepakati
seluruh ulama ada 4, yaitu: Alquran (al-Kitab), as-sunnah, al-ijma’, dan al-qiyas”.
Dalam pernyataan ini mengandung makna kata sumber hukum adalah terjemahan
dari kata mashadir al-ahkam, dikacaukan pengertiannya dengan kata dalil hukum,
sebagai terjemahan dari kata adillah al-ahkam. Padahal kedua kata tersebut
mengandung pengertian yang berbeda, khususnya saat yang dimaksud adalah
2
Siska Lis Sulistiani, Perbandingan Sumber Hukum, TAHKIM, Jurnal Peradaban dan Hukum
Islam, Vol. 1 No. 1, Maret 2018, hlm. 103.
3
sumber hukum Islam dan dalil hukum Islam. Pada hakikatnya, kata sumber
mengandung arti sesuatu yang menjadi dasar lahirnya sesuatu. Sedangkan kata dalil
memiliki kandungan arti sesuatu yang memberi petunjuk dan mengantarkan orang
untuk menemukan sesuatu. Dalam konteks dalil terdapat usaha ijtihad untuk
menemukan hukum Islam yang berasal dari sumber aslinya. Oleh sebab itu,
Alquran dan hadis itulah yang sebenarnya dapat disebut sebagai sumber hukum
Islam. Karena keduanya itu adalah dasar lahirnya ketentuan hukum Islam dan
merupakan teks-teks nash yang menjadi rujukan dalam menentukan hukum Islam
itu sendiri.3
Sedangkan, ijma’ dan qiyas sebenarnya bukan sumber hukum tetapi hanya
dalil hukum. Sebab keduanya bukan dasar lahirnya hukum Islam, tetapipetunjuk
untuk menemukn hukum Islam yang terdapat di dalam Alquran dan sunnah melalui
upaya ijtihad. Secara sederhana perbedaan antara sumber hukum Islam dan dalil
hukum Islam ialah, sumber hukum Islam adalah dasar utama dan asli yang
melahirkan hukum Islam yaitu Alquran dan sunnah. Sedangkan dalil hukum Islam
adalah cara-cara yang ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan atau
menghasilkan suatu hukum Islam. Cara-cara tersebut bisa berupa istihsan,
mashalaha al-murshalah, sadd az-zariah, istishhab, syar’u man qablana, dan lain-
lain.4
Meskipun hanya Alquran dan sunnah yang dapat disebut sebagai sumber
hukum Islam, hal tersebut tidak menghalangi keduanya sebagai dalil hukum,
apabila keduanya memberi petunjuk untuk menemukan hukum Islam itu sendiri.
Bisa dikatakan bahwa sumber dan dalil hukum Islam bersifat umum dan khusus
yaitu sumber hukum Islam bisa disebut dalil hukum Islam, tetapi tidak semua dalil
hukum Islam dapat disebut sumber hukum Islam.5
3
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011, hlm. 114
4
Loc.cit.
5
Loc.cit.
4
B. Jenis-jenis Mashadir Ahkam
1. Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
tertulis dalam mushaf berbahasa Arab yang disampaikan secara mutawatir,
apabila kita membacanya bernilai ibadah yang dimulai dari surah Al-
Fatihah sampai surah An-Nas.6
2. Hadist adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW,
berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.7
3. Ijma' adalah kesepakatan para ahli yang kompeten mengurusi umat yang
berasal dari umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa atas hukum suatu
kasus.8
4. Qiyas adalah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam yang
tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan illat antar keduanya.9
5. 'Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal masyarakat dan dilakukan
secara terus menerus baik berupa perkataan atau perbuatan lebih singkatnya
itu sama artinya dengan adat kebiasaan.10
6. Istihsan adalah meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya
disebabkan ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.11
7. Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan sebab suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan hukum tersebut.12
8. Syar'u man qoblana adalah ajaran-ajaran atau syari’at sebelum agama Islam
datang.
6
Siska Lis Sulistiani, Op.cit., hlm. 105.
7
Sudirman Suparmin, Ushul Fiqh, Bandung: Citapustaka Media, 2014, hlm. 47.
8
Ibid., hlm. 62.
9
Ibid., hlm. 73.
10
Bacaan Madani, Pengertian ‘Urf (Adat), Macam-macam dan Kedududkan ‘Urf dalam
Penetapan Hukum, (Online) (https://www.bacaanmadani.com/2017/09/pengertian-urf-adat-
macam-macam-dan.html/m=1) diakses pada 13 Oktober 2019.
11
Era Muslim, Tentang Istihsan dan Pengertiannya, (Online)
(https://m.eramuslim.com/umum/tentang-istihsan-dan-pengertiannya.htm) diakses pada 13
Oktober 2019.
12
Nashihuddin, Makalah Istihsan, Istishab, dan Maslahah Mursalah, (Online)
(https://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-istishab-danmaslahah-
mursalah/) diakses pada 13 Oktober 2019.
5
9. Sad dzariyah amal ahli Madinah adalah melarang perkara-perkara yang
awalnya dibolehkan, kemudian dilarang karena membuka jalan dan menjadi
pendorong terhadap perbuatan yang dilarang agama.
10. Qoul sahabi adalah fatwa-fatwa sahabat mengenai berbagai masalah yang
dinyatakan setelah Rasulallah SAW wafat.
C. Al-Qur’an
1. Definisi Alquran
ِ ِ ىُُم َّم ٍدُص لَّىُالُلَّه َُ الْ ُق ْرآ ُنُ ُه َوَكالَ ُمُاللّ ِهُتَ َع
َ َُعلَْيه َُو َس لّ َلُفِاللَّ ْل
ُُالعَرِ يُُالْ َمْن ُق ْو ُل َُ َ َُ َُعل َ الُاملُنَ َّزُل
ُْ فُالْ ُمتَ َعبَّ ُدُفِتِالََوُتِِهُاملْب ُد ْوعُُفِ ُس ُ ْوَرةُِالْ َل ِاِتَ ِةُالْ َم
ُختُُوُُم ِ ُِ إِلَْي نَاُفِالتَّواتُِرُالْمكْتُوب ُِِفُالْمص ا
َ َ ُ ْ َ َ
َ
ُِ فِ ُس ْوَرةُِالن
ُ َّاس
Alquran ialah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW
berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub di dalam
mushaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan
diakhiri dengan surah an-Nas.
13
Siska Lis Sulistiani, Op.cit., hlm. 105.
14
Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hlm. 115.
6
Sedangkan menurut Muhammad Ali ash-Shabuni:
Dari tiga definisi di atas dapat diketahui bahwa hakikatnya Alquran itu
sebagai berikut.15
15
Ibid., hlm. 116.
7
Alquran banyak menceritakan kembali dan menyitir wahyu yang diturunkan
Allah SWT kepada para nabi dan rasul terdahulu.
c. Bahasa Alquran adalah bahasa Arab. Oleh sebab itu, terjemahan Alquran ke
dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak disebut Alquran. Karena terjemahan
atau tafsiran Alquran dapat mengandung kesalahan. Sehingga, terjemahan
Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak dapat dijadikan rujukan
dan digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum (istinbath al-ahkam).
d. Alquran diriwayatkan secara mutawatir. Artinya, semua ayat Alquran yang
terdapat dalam mushaf Utsmani dijamin kepastian keberadaanya sebagai
wahyu Allah SWT, dan tidak ada satu ayat pun yang ada di dalam mushaf
Alquran itu yang bukan wahyu Allah SWT.
2. Kehujjahan Al-Qur’an
Berikut ini uraian dari kehujjahan Alquran dari pandangan beberapa tokoh
ulama.18
16
Hujjah atau Hujjat adalah istilah yang digunakan dalam Alquran dan literatur Islam yang
bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga jika ada kata kerja “berhujjah”
berarti sebagai “memberikan alasan-alasan”, dalam https://id.m.wikipedia.org , diakses pada 13
Oktober 2019.
17
Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hlm. 117.
18
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010, hlm. 51-54. Dalam
makalah Firda Rahmawati, dkk., Mashadir Ahkam 1, Makalah, Lampung: Institut Agama Islam
Negeri Metro, hlm. 3-4.
8
a. Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Menurut Imam Malik, hakikat Alquran adalah kalamallah yang lafadz dan
maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk, karena kalam Allah tidak diturunkan
oleh makhluk.
Berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan berubahnya zaman dan
tempat. Di dalam Alquran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya
agama Islam. Ahmad Ibnu Hambal berpendapat sebagaimana ulama lainnya bahwa
9
Alquran itu sumber pokok Islam, kemudian barulah As-sunnah. Samahalnya Imam
Syafi’i, Imam Ahmad berpandangan bahwa As-Sunnah memiliki kedudukan yang
kuat di samping Alquran.
Selain dari pendapat ulama di atas, semua jumhur ulama bersepakat bahwa
mengenai kehujjahan Alquran, Alquran adalah satu-satunya sumber pertama dan
yang paling utama dalam hukum Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain.
Sebab Alquran merupakan pedoman tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua
hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan Alquran.
a. Sebagai al-huda, memiliki arti petunjuk bagi manusia yang bertakwa untuk
keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
b. Sebagai rahmat, yang memiliki arti membawa manusia untuk hidup dengan
penuh kasih sayang, dan sebagai bukti bahwa Allah Maha Pengasih dan
Maha Penyayang.
c. Sebagai maw’izhah, yang memiliki arti bimbingan dan pengajaran bagi
manusia untuk mencapai kesucian dan keluhuran fitrahnya; sebagai tibyan
atau penjelasan dan tafshil atau pemerinci atas segala sesuatu yang harus
diketahui manusia dalam rangka untuk kepentingan keselamatan dirinya di
dunia dan di akhirat.
d. Sebagai furqan, yang memiliki arti pembeda antara yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan
yang sesat.
19
Abd. Rahman Dahlan, Op.cit., hlm. 125.
10
e. Sebagai nur, yang memiliki arti cahaya yang menerangi kalbu manusia
untuk melihat kebenaran dan menjadi benar dalam kehidupannya.
20
Loc.cit.
21
Ibid., hlm. 129-130.
11
d. Ketentuan-ketentuan tenang hukum pidana (jinayat), seperti: pencurian,
perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan dan penzianaan, dan
semua yang berkaitan dengan kejahatan terhadap harta dan seksual.
e. Ketentuan-ketentuan tentang peradilan (murafa’at/ qadha’), misalnya:
gugatan, pembuktian, kesaksian, banding, dan lain-lain
f. Ketentuan-ketentuan masalah politik dan tata negara (siyasat/ dusturiyyah),
misalnya: persyaratan dan pengangkatan kepala negara, pertahanan dan
keamanan, sumber-sumber pendapatan dan keuangan negara
g. Ketentuan-ketentuan tentang hubungan antarnegara (ahkam al-dualiyyah),
baik bilateral maupun unilateral, batas-batas wilayah negara, perjanjian-
perjanjian antarnegara, keadaan damai dan perang, dan masalah-masalah
lainnya.
D. Al-Hadis
1. Definisi Al-Hadist
22
Sudirman Suparmin, Op.cit., hlm. 46.
23
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2009, hlm. 76.
12
1) Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyah adalah qoul atau sabda nabi SAW, sehingga matan
sunnah itu diriwayatkan oleh para rawi dengan ucapan Nabi SAW jadi
misalnya telah” bersabda Nabi SAW” atau “ Aku mendengar Nabi
SAW bersabda”.24
2) Sunnah Fi’liyah
Diriwayatkan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
menunjukkan Nabi SAW telah mengamalkan sesuatu atau melakukan
sesuatu, kemudian para sahabat menceritakan tentang perilaku atau
perbuatan-perbuatan Nabi SAW yang dilihatnya itu, kemudian para
perawipun meriwayatkan sesuai dengan apa yang diceritakan oleh saabt
selaku perawi tingkat pertama.25
3) Sunnah Taqririyah
Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur
perbuatan yang dilakukan sahabat. Sunnah taqririyah diriwayatkan
dengan kalimat yang diucapkan sahabat yang telah melakukan sesuatu,
sesuatu yang dilakukan itu diketahui oleh nabi SAW, namun Nabi SAW
mendiamkan saja, oleh karenanya maka hal itu berarti tidak salah.26
4) Sunnah Hammiyah
Sunnah Hammiyah adalah cita-cita Nabi SAW. Para ulama berbeda
pendapat tentang status dalil sunnah hammiyah ini. Ada yang
menganggap bahwa sunnah ini menjadi sumber hukum karena telah
disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi juga ada yang berpendapat bahwa
sunnah ini tidak menjadi sumber hukum. Bagi yang tidak menggunakan
sunnah hammiyah menjadi dalil hukum, beralasan bahwa hammiyah itu
baru merupakan angan-angan Nabi SAW jadi bukan sesuatu amal
perbuatan yang bisa dijadikan model. Contoh hammiyah nabi adalah
“sungguh jika aku masihh hidup tahun depan aku akan puasa hari ke 9
dari hari assyuro”.27
24
Ibid., hlm. 77
25
Loc.cit.
26
Ibid., hlm 78.
27
Loc.cit.
13
Hadist ini timbul akibat adanya usulan para sahabat bahwa puasa hari
ke 10 muharrom addalah bertepatan dengan hari rayanya umat yahudi
dan nasrani, maka Nabi SAW bersabda seperti itu. Cita-cita Nabi SAW
tidak kesampaian karena beliau wafat sebelum melaksanakan sabdanya
itu.28
28
Ibid., hlm 79.
29
Loc.cit.
30
Ibid., hlm. 80.
14
bahwa hadist masyhur itu adalah hadist yang di riwayatkan oleh tiga
orang atau lebih, tetapi tidak sampai kederajat hadist mutawatir.31
3) Hadist Ahad
Khabar ahad adalah khabar yang tiada sampai jumlah banyak
pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu
seorang, dua, tiga, empat dan seterusnya dari bilangan yang tiada
memberi pengertian bahhwa khabar itu dengan bilangan rawinya itu
masuk kedalam khabar mutawatir. Hadist ahad di riwayatkan oleh
seorang perorangan atau beberapa orang, mulai lapisan pertama sampai
terakhir, tetapi tidak cukup terdapat padanya tanda-tanda yang dapat
menjadikannya hadis masyhurapalagi hadist mutawatir.32
31
Loc.cit.
32
Ibid., hlm. 81.
33
Loc.cit.
34
Ibid., hlm. 82.
15
dhaif, akan tetapi ternyata diperkuat oleh hadis shahih pada jalan
riwayat lain.
3) Hadis Dhaif
Hadis yang tidak didapati di dalamnya syarat-syarat hadis shahih
maupun hadis hasan. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh orang
seorang, sedangkan didalamnya ada rawi yang pernah atau tertuduh
dusta, jelek hafalanya, terputus sanadnya, dan lain sebagainya. Atau
sebab-sebab lain yang diuraikan dalam ilmu yang terkait dengan
musthalahul hadist.35
4) Hadist Maudlu’(palsu)
Hadist yang bukan dari nabi SAW Misalnya : Yang artinya : Pakailah
cincin akik, karena ia dapat menghilangkan keakiran. Hadist ini
diriwayatkan oleh oleh ibnu Ady. Menurut beliau hadist ini bathil
karena dari rowi al husaini,ia adalah majhul,bahkan kemungkinan al-
husaini inilah yang membuat hadist ini.36
2. Kehujjahan Hadist
Jumhur Ulama’ sepakat, bahwa sunnah Rasulallah SAW dalam tiga bentuk
(fi’liyah, qauliyah, dan taqririyah) merupakan sumber hukum Islam (mashadir al-
ahkam, adillat al-ahkam), yang menempati posisi kedua setelah Alquran.37
Para ulama’ sepakat bahwa hanya hadist mutawatir, sahih, hasan atau hadist
lainya yang dibantu oleh hadist tersebut yang dapat dipakai sebagai hujjah/dalil
dalam bidang syar’i. Adapun hadist dhaif untuk fadloilul a’mal para ulama’
berbeda pendapat ada yang memperbolehkannya (Imam Nawawi),dan ada yang
sebagian menolaknya. Pihak yang tidak memperbolehkan beralasan larangan
berbohong dengan menyandarkan pada Nabi SAW. Dipahami dari keumuman
hadist Mutawatir yang artinya : Barang siapa yang berdusta atas nama diriku maka
tunggulah tempatnya di neraka.38
35
Loc.cit.
36
Ibid., hlm. 84.
37
Sudirman Suparmin, Op.cit., hlm. 51.
38
Ibid., hlm. 85.
16
3. Peran Hadis Terhadap Alquran dalam Pembentukan Hukum
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
a. As-sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam al-
qur’an. Hukum semacam ini memiliki dua sumber dan terdapat pula dua
dalil. Misalnya Alquran mengajarkan bahwa sholat itu merupakan
kewajiban bagi mukmin yang telah ditentukan waktunya. Kemudian hadis
juga menyatakan bahwa salah satu yang terpuji adalah sholat pada
waktunya.40
b. As-sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada
dalam Alquran, dalam hal ini, as-sunnah menjelaskan tentang mujmalnya
al-qur’an, ’amnya al-qur’an, mutlaqnya al-qur’an. Misalnya tentang
mujmalnya Alquran adalah perihal perintah mengerjakan shalat, as-
sunnahlah yang merinci bagaimana tata cara pelaksanaan shalat itu.41
c. As-sunnah menbentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak
terdapat dalam al-qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain
sebagainya.42
39
Ibid., hlm. 86.
40
Loc.cit.
41
Ibid., hlm. 87.
42
Loc.cit.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian mashadir ahkam adalah setiap nash atau pedoman yang
dijadikan suatu sandaran segala bentuk amalan atau suatu hukum Islam, atau
lebih singkatnya adalah sumber-sumber hukum Islam.
2. Jenis-jenis mashadir ahkam ada sebagai berikut: Al-Qur'an, Hadist, Ijma',
Qiyas, 'Urf, Istihsan, Istishab, Syar'u man qoblana, Sad dzariyah amal ahli
madinah, dan Qoul sahabi.
3. Al-Qur’an
a. Definisi Alquran adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad tertulis dalam mushaf berbahasa Arab yang
disampaikan secara mutawatir, apabila kita membacanya bernilai
ibadah yang dimulai dari surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas.
b. Kehujjahan Alquran, Alquran merupakan satu-satunya sumber
pertama dan yang paling utama dalam hukum Islam, sebelum
sumber-sumber hukum yang lain. Sebab Alquran merupakan
pedoman tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan
sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan Alquran.
c. Peran Alquran sebagai pembentuk hukum Islam. Hukum yang ada
di dalam Alquran adalah sebagai sumber hukum (mashadir al-
ahkam) yang utama, pada umumnya masih bersifat global (ijtimaly),
hukum yang terperinci hanya beberapa saja. Contohnya saja hukum
tentang perkawinan dan hukum warisan. Kemudian hukum yang
sifatnya masih global dijelaskan dalam hadis atau sunnah Rasulullah
SAW.
18
4. Al-Hadist
a. Definisi hadis adalah segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan
persetujuan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sebuah landasan
dalam menjalankan syariat Islam.
b. Kehujjahan hadis, jumhur ulama’ sepakat, bahwa sunnah Rasulallah
SAW dalam tiga bentuk (fi’liyah, qauliyah, dan taqririyah)
merupakan sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam, adillat al-
ahkam), yang menempati posisi kedua setelah Alquran.
c. Peran Hadis terhadap Alquran dalam pembentukkan hukum Islam:
sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Alquran, sebagai
penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam
Alquran, dan menbentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang
tidak terdapat dalam Alquran.
B. Saran
1. Diharapkan pembaca dapat mendapat pengetahuan dan wawasan baru
setelah membaca makalah ini. Sehingga dapat mengamalkan apa yang telah
dipelajari baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
2. Makalah ini masih memiliki keterbatasan dari segi referensi maupun dari
tata bahasa yang baik dan benar. Sehingga penulis masih membutuhkan
saran dan kritik dari pembaca agar menghasilkan makalah yang lebih
berkualitas.
19
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
20