Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

“ Ushul fiqh ”

Tentang

“ KEDUDUKAN ISTIHSAN DAN ISTISHAB ’’

Dosen pengampu : Jamahari S.HI.,M.HI.,CIM

Disusun oleh:
RAJA NUR FAZLINA
NIM ( 22.24.534 )

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA ( HTN I C )


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
Tahun Ajaran 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW, serta kepada keluarga, sahabat, kerabat sekalian.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan kekuatan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata
kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “KEDUDUKAN ISTHISAN DAN
ISTISHAB” dapat selesai sesuai waktu yang telah di rencanakan.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung
maupun tidak langsung.

Yang mana telah memberikan dukungan, bantuan, beserta


dorongan semangat agar makalah ini dapat diselesaikan.

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna, sesuai


dengan pengetahuan yang diperoleh, baik dari buku maupun sumber-
sumber yang lain. Semoga dengan hal ini bertujuan memberikan manfaat
bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan atau kata-kata di dalam makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kuala Tungkal, 24 september 2022

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................iv

A. LATAR BELAKANG......................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH .................................................................2

C. TUJUAN PENULISAN....................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................3

A. Pengertian Isthisan ............................................................................3

B. Pengertian Istishab..............................................................................5

C. Macam macam isthisan dan isthisab...................................................7

D. Kedudukan istishan dan istishab.......................................................10

BAB III PENUTUP ....................................................................................13

A. KESIMPULAN ................................................................................13

B. SARAN.............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan Allah SWT menetapkan hukum syara’ tidak lain adalah
bagi kemaslahatan segnap umat manusia. Setiap peristiwa ada yang
diterangkan dasarnya dalam nash, ada pula yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dasarnya ini harus ditetapkan
hukumnya. Ushul fiqh dapat disimpulkan bahwa berarti suatu disiplin
ilmu yang membahas tentang metode atau cara menggali hukum –
hukum praktis yang bersumber dari dalil – dalil Al-Quran dan Hadist
yang bersifat terperinci.1

Syariat Islam sejatinya tidaklah memberikan kesulitan kepada


umat selagi mereka mau berfikir dan mengembalikan segalanya hanya
kepada Allah, bertawakal serta meresapi hikmah-hikmah yang
terkandung dalam penetapan sebuah syari’at. Konsep Islam yang
rahmatan lil alamin jelas menunjukkan kehujjahan Islam yang bersifat
universal dan pada hakekatnya bisa menjadi logis berdasar pandangan
seorang orientalis maupun misionaris sekalipun.

Pensyariatan hukum Islam tertinggi adalah al Quran dan al


Hadits. Kemudian menyusul di bawahnya yakni ijma’ dan qiyas. Istihsan
dan Istishab sendiri merupakan akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat
kembali oleh para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa
yang dihadapkan kepadanya.

Istihsan adalah mengambil masalah yang merupakan bagian


dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-
istidlal al-mursal dari pada qiyas. Dari Ta’rif diatas, jelas bahwa al-
istihsan lebih mementingkan masalah juz’iyyah atau masalah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata

1
Dr. Moh. Mufid, Lc ., M.H.I., Ushul fiqh ekonomi dan keuangan kontenporer. Hal. 2

1
lain sering dikatakan bahwa al- istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke
qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan.

Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada


dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain;
Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada
menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya
penyertaan tersebut. Jika sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu
hukum pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula
berlakunya untuk seterusnya, maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa
diragukan lagi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian istihsan dan istishab?
2. Apa saja macam-macam istihsan dan istishab?
3. Kedudukan istihsan dan istishan secara mitologi?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang pemahanan dari isthisan dan isthisab
2. Untuk mengetahui macam macam dari isthisan dan isthisab
3. Untuk mengetahui kedudukan tentang isthisan dan isthisab secara
mitologi

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTHISAN

Dari segi bahasa, istishan berasal dari bahasa Arab yang musytaq
dari lafadh hasana yang berarti baik atau indah, kemudian dalam
otak-atik ilmu shorof meranah pada wazan istaf’ala: istihsana –
yastahsinu istihsanan (mashdar) yang berfaidah tholabiyah, jadi
istihsanan dapat diartikan mencari kebaikan, menganggap baik
sesuatu.
Di dalam bahasa arab isthisan dapat diartikan sebagai pengertian
menganggap sesuatu itu baik atau mengikuti sesuatu yang baik atau
menganggap baik atau bagus.2
Secara etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari
yang baik atau menilai sesuatu sebagai baik. Sedangkan menururt
istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil
syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian
itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Secara terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul
fiqih Hanafi) menyatakan. “Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas
dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang
menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia.”
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana
disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf, istihsan adalah berpindahnya
seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada
ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli
(umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian),
2
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:Pustaka Progresif
1997), 265.

3
karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang
lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.3
Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah
penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-
masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Sementara itu, Ibnu Anbary, ahli fiqih dari mazhab Maliki
memberi definisi istihsan bahwa istihsan adalah memilih
menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas
kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam
terminology dan istinbath hukum oleh dua imam mazhab, yaitu
imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam Abu
Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih
dipandang tepat.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang
mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang
pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada
ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan
tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.
Definisi isthisan di kalangan Ulama Ahli ushul berbeda- beda
sesuai dengan tinjauannya masing – masing dan kemampuanya
dalam menyimpulkan pengertian istishan didalam kata-kata, diantara
pengertian tersebut sebagai berikut:
1. Menurut al-bazdawi bahwa isthisan ialah: meninggalkan
keharusan menggunakan qiyas dan berpindah kepada qiyas

3
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h.110.

4
yang lebih kuat atau men-takshshish qiyas dengan dalil yang
lebih kuat dari qiyas tadi.
2. Menurut an-nasafy bahwa isthisan ialah: meninggalkan
sesuatu qiyas menuju kepada suatu qiyas yang lebih kuat atau
dalil yang berlawanan dengan qiyas jalli.
3. Menurut abu hasan al-karkhi bahwa istishan ialah:
perpindahan seseorang mejtahid didalam memeberikan
hukum dalam suatu masalah, seperti yang sudah diberikan
padanya kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang
sudah ditentukan tersebut, karena ada segi yang lebih kuat
dari hukum sebelumnya.

B. PENGERTIAN ISTHISAB
Dari segi bahasa, Istishab berasal dari kata suhbah yang
berarti menemani atau menyertai (tidak berpisah), mengakui adanya
hubungan perkawinan, mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Sedangkan menurut istilah istishab adalah menetapkan sesuatu
menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang
menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang
telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan
hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Pandangan beberapa tokoh ushul tetang Istishab.4
Ibn Qayyim: Ishtishhab adalah menetapkan berlakunya hukum
yang telah ada atau meniadakan apa yang memang tiada sampai
adanya dalil yang mengubah kedudukan berlakunya hukum itu.
Imam Asnawi: Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada
dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.

4
Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2014.

5
Imam al Ghazali: Istishhab adalah berpegang pada suatu dalil atau dalil
syar’i bukan karena tiadanya adail bahkan hanya karena tidak ada dalil
lain yang mengubah hukum tersebut.
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah ditetapkan
pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum
ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara
ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai
akhir masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan)
perkara itu.
Secara etimologi, istishab berarti meminta kebersamaan, atau
berlanjutnya kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Istishab menurut bahasa arab ialah mengakui adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah tetap
berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan
perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu,
sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.

Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu :

Membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan


pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang
kecuali jika ada dalil lain yang merubahnya”.

Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad


Hukum Islam bememberikan defenisi tentang Istishab yaitu:

Ketetapan masa lampau tetap berlaku selama tidak ada dalil yang
mengubahnya. Artinya, ketentuan masa lampau tetap berlaku hingga
sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil hukum baru yang mengubah
kedudukan hukum lampau tersebut”.

Semua definisi yang dikemukakan oleh ulama diatas menuju pada


kesamaan arti yang didasari oleh tiga segi/aspek yaitu Segi Waktu Segi

6
ketepatan Segi dalil. Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan
tiga waktu yaitu lampau, sekarang dan mendatang. Dari segi ketetapan
ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.
Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa
lalu merupakan kunci dari Istishab. Apabila terdapat dalil yang
mengubah suatu ketetapan, Istishab tidak berlaku lagi.

C. MACAM MACAM ISTHISAN DAN ISTISHAB

1. Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan
Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini
terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah
satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi. Pada
dasarnya, bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jail
lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut
mashab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas
khafi lebih besar kemaslahatannya yang dikandungnya
dibandingkan dengan qiyas jail, maka qiyas jail itu boleh
ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik
seperti itulah yang dikenal dengan istihsan qiyasi.

2. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku
umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy
terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
a. Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian
berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari
kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-
kasus serupa.

7
b. Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah
ijma’, baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah
hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
c. Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu
meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas
menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang
umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun
perbuatan.
d. Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu
ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan
atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan
qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau
mencegah kemudharatan.

3. Istishab al-ibahah al-ashliyah


Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah
mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang mu’amalat. Landasannya adalah
sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu
yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat
manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya. Misalnya
makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain
selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan
atau boleh dikerjakan. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk


kamu …”.

Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi


untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya
boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan.

8
Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan perbuatan tersebut
berbahaya bagi manusia.

4. Istishab al-baraah al-ashliyah


Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.
Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri
seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak
tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya
itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas. Jadi
seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada
dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah
statusnya itu.

5. Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah
ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta
bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap
ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status
hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.

6. Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap
dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.

9
D. KEDUDUKAN ISTIHSAN DAN ISTISHAB

Kedudukan Istihsan sebagai Sumber dan Metodologi Terdapat


pebedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan
sabagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum
syara’. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyyah dan sebagian ulama
Hanabilah, istihsan merupakan dalil yan kuat dalam menetapkan
hukum syara’. Alasan mereka adalah Ayat-ayat yang mengacu
kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempatan dari umat
manusia ,

yaitu firman Allah dalam surat al Baqarah, 2: 185, yang berbunyi,

‘’Allah mengendaki kemudahan bagi kamu dan tidak


menghendaki kesukaran bagi kamu’’

Dalam surat az Zumar, 39:55, Allah berfirman:

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan


kepadamu dari Tuhanmu.

Rasulullah dalam riwayatnya Abdullah bin Mas’ud mengatakan:


Sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah
juga baik. (H.R Riwayat Ahma Hanbal). Hasil penelitian dari
berbagai ayat dan hadits terhadap berbagai permasalahan yang
terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum dengan
sesuai kaidah umum dari qiyas adakalanya membawa kesusahan bagi
umat manusia, sedangkan syari’at islam ditujukan untuk
menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia, Oleh sebab itu,
apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang
bahwa kaidah umum atau qiyas tidak diberlakukan, maka ia boleh

10
berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum
yang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Selanjutnya Kedudukan Istishab sebagai Sumber dan


Metodologi Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang
kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan
suatu kasus yang dihadapi. Pertama, menurut mayoritas mutakallimin
(ahli kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang
ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian
juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan
yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya menetapkan
hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa
yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal
ini sama sekali tidak dibolehkan dalam syara’. menurut mayoritas
ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan
hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan
menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang,
tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka
seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah
ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah
di batalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan
dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah dibatalkan. ulama
Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat
bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk
menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang
mengubahnya Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada
masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara
qath’i maupun zhanni, maka semestinya hukum yang telah
ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga keras belum ada
perubahan. Secara sederhana menurut para ulama ushul fiqih berbeda

11
pendapat tentang kuhujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’
yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Menurut ulama mutakalimin (ahli kalam) istishab tidak bisa
dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum
yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang harus pula
berdasarkan dalil.
Ulama malikiyah, syafi’iyah, hanabilah, zahiriyah dan syi’ah
berpendapat bahwa istishab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk
mentapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang
mengubahnya. Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan
tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu
peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul
berkata :“Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa
“. Yaitu mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam
pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia
dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka. Maka barang siapa
yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas
kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai
ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya. Sebagai yang
dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa
ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab.
Ulama yang menerima dan ulama yang menolaknya. Ulama yang
menerima Istishab sebagai hujjah berargumen bahwa dalam
mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat
yang sudar berlaku diantara mereka. Ia dapat dijadikan dasar untuk
penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya.
Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.

Firman Allah SWT pada surah al-Maidah (5): 87 yang berbunyi :

12
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan
sesuatu yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Istihsan adalah mengambil masalah yang merupakan bagian


dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan mengutamakan al-
istidlal al-mursal dari pada qiyas. Dari Ta’rif diatas, jelas bahwa al-
istihsan lebih mementingkan masalah juz’iyyah atau masalah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata
lain sering dikatakan bahwa al- istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke
qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan.
Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain
Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada
menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya
penyertaan tersebut. Jika sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu
hukum pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula
berlakunya untuk seterusnya, maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa
diragukan lagi.
Setelah mengetahui pengertian istihsan dan istishab ada baiknya
kita juga mengetahui macam-macam dari kedua istilah tersebut. Macam-
macam istilah istihsan terdapat dua pembagian, yakni istihsan qiyasi dan
istisna’i. Qiyasi sendiri adalah menggunakan qiyas yang samar untuk
meninggalkan qiyas jelas, karena adanya petunjuk mengenai hal

13
tersebut. Lalu, untuk istisnaiy adalah hukum untuk pengecualian dari
adanya kaidah-kaidah yang berlaku pada umumnya. Penyebabnya adalah
adanya petunjuk mengenai hal tersebut. Istihsan yang satu ini juga
terbagi menjadi beberapa, ada bin-nash, ijma’, berlandaskan ‘urf, dan
maslahah mursalah. Sedangkan untuk pembagian dari istishab, menjadi
empat macam. Al-ibahah al-ashliyah adalah istishab yang berdasarkan
kepada hukum mubah. Biasanya untuk istilah yang satu banyak
digunakan pada hukum muamalat.

Al-baraah al-ashliyah yang memiliki dasar bahwa setiap individu itu


mempunyai kebebasan dari adanya tuntutan adanya beban taklif sampai
dalil yang dapat mengubah status tersebut. Selanjutnya ada al-hukum,
berdasarkan dengan ketetapan status hukum yang kehadirannya sudah
lama, selagi masih belum ada dalil yang mengubahnya. Terakhir adalah
al-washf yang berdasarkan dengan anggapan terhadap sifat aslinya,
sebelum adanya dalil yang mengubah sifat tersebut.
Sebagai umat muslim, hendaknya kita mengetahui pengertian
istihsan dan istishab. Karena memang hal yang sangat penting. Selain
itu, Islam merupakan agama yang menginginkan kemudahan bagi
pemeluknya. Adanya syariat tersebut, bukan bertujuan untuk
menyulitkan. Tetapi jika mereka memiliki pikiran, maka ia akan kembali
kepada Allah SWT. Bukan hal yang tidak mungkin apabila sebagian dari
kita masih ada yang belum mengetahui mengenai hal tersebut. Untuk itu,
sudah menjadi kewajiban kita dalam mengetahui dan mempelajarinya.
Tujuannya adalah untuk mendalami ilmu agama Islam kita. Selain itu,
juga untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita. Meskipun
banyak orang yang mengatakan bahwa Islam itu agama yang repot.
Semuanya memiliki aturan. Memang demikian, akan tetapi kembali
penjelasan awal bahwa adanya syariat tersebut hanya untuk
memudahkan menyempurnakan.

14
B. SARAN
Setelah memahami makalah ini, maka penulis mengharap kepada pembaca
sekiranya menemukan kesalahan pada makalah ini untuk memperbaikinya.
Sebab penulis bukanlah orang sempurna yang tidak lepas dari sifat
kekeliruan, sehingga penulis juga biasa melakukan kesalahan. Dan jika ada
sesuatu yang biasa di jadikan bahan kajian oleh pembaca maka penulis
akan merasa termutifasi. Saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun semangat menulis penulis akan selalu ditunggu oleh penulis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Moh. Mufid, Lc ., M.H.I., Ushul fiqh ekonomi dan keuangan kontenporer.

Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2014.

https://www.harapanrakyat.com/2021/10/pengertian-istihsan-dan-istishab/

http://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/
Pertemuan_5CX0020741.pdf

https://www.harapanrakyat.com/2021/10/pengertian-istihsan-dan-istishab/

https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/qalamuna/article/download/
146/138

Ismail, SE.,M.E., Ushul fiqh dan kaedah ekonomi syariah, Medan: Merdeka
Kreasi, 2021.

Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994

16

Anda mungkin juga menyukai