Anda di halaman 1dari 20

ISTISHAB, MADZHAB SHAHABI, DAN SYAR’U MAN QABLANA

TUGAS KELOMPOK 7 USHUL FIQH

Penyusun :

1. Muhammad Afifudin Firmansyah NIM - 05020722053


2. Afifah Qotrunnada NIM - 05030722079
3. Alisya Rahma Nisa NIM - 05030722080

05020722053@student.uinsby.ac.id 1, 05030722079@student.uinsby.ac.id 2
05030722080@student.uinsby.ac.id 3

Dosen Pengampu :
Dr. H. Muhammad Ufuqul Mubin, M.Ag.
NIP. 197307262005011001

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
SURABAYA
2023
ABSTRAK

Sumber hukum Islam merupakan hal yang paling mendasar dalam proses
penetapan sebuah hukum. Sumber hukum Islam utama terdiri dari al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan, sumber hukum Islam yang mukhtalaf terdapat perbedaan
pendapat diantara para ulama karena dihasilkan dari ijtihad para ulama. Dalam makalah
ini kelompok kami akan membahas mengenai tiga sumber hukum islam yang
mukhtalaf: yaitu Istishab, Madzhab Shahabi, dan Syar’u man Qablana. Pembahasan
tersebut disertai pengertian, kehujjahan para ulama, dan macam-macam jenisnya.

Kata kunci : Sumber hukum Islam, Istishab, Madzhab Shahabi, Syar’u man Qablana.

ABSTRACT

The source of Islamic law is the most fundamental thing in the process of
establishing a law. The main sources of Islamic law consist of the Koran, Sunnah, Ijma',
and Qiyas. Meanwhile, the mukhtalaf source of Islamic law has differences of opinion
among the scholars because it is produced from the ijtihad of the scholars. In this paper
our group will discuss three sources of mukhtalaf Islamic law: namely Istishab,
Madzhab Shahabi, and Syar'u man Qablana. The discussion is accompanied by the
understanding, blasphemy of the scholars, and its various types.

Keywords: Sources of Islamic law, Istishab, Madzhab Shahabi, Syar'u man Qablana.
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang
tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang
mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.1

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan
dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak
mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul
fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah perkembangan
dan alirann-aliran ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan
ushul fiqh itu ada. Penelitian ini menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran
dalam ushul fiqh, serta karya ilmiah pada bidang ushul fiqh.

Kaidah Ushul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang
disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama
(mukhtalafun alaih). Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas,
sedangkan yang tidak disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u
man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti
kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab.
Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh
sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan
mujtahid yang lain menolaknya, karena menganggapnya salah.2

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas
dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an
dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakan Imam Ghazali, bahwa

1
Irwansyah Saputra, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol. 1,No. 1, maret 2018, hlm. 39
2
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

3
mengetahui hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran
kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh
meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu
fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan
perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di
maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap
sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram,
makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan
ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu
merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas berikut adalah beberapa rumusan masalah :

a. Jelaskan apa yang dimaksut dengan istishab!


b. Apa yang dimaksud dengan mahzhab shahabi dan apa keududukanya dalam
sumber hukum islam?
c. Jelaskan pengertian tentang syar’un man qablana beserta pengelempokannya!

Tujuan

Tentunya kami sebagai penyusun atau penulis makalah ini mempunyai tujuan terkait
dengan rumusan masalah, yaitu dengan tujuan tersebut kita dapat mengetahui
pengertian-pengertian berserta pembagian istishab, madzhab shahabi, syar'u man
qablana sebagai metode istinbath hukum islam.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Istishab

1. Pengertian Istishab
Kata Istishab berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna menemani,
menyertai, membawa, atau meminta ikut serta secara terus-menerus. Menurut
Abdul Karim Zaidan, seorang ahli ushul fiqh Mesir berpendapat bahwa istishab
ialah:

‫ أونفي ماكان منفيا‬,‫استدامة اثبات ماكان ثابتا‬

“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum


terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”

Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah (w.751 H), seorang tokoh ushul fiqh hanbali
mengemukakan pendapatnya mengenai istishab yaitu “menetapkan berlakunya
suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai
ada bukti yang mengubah kedudukannya.” Al-Asnawy (w. 772H) berpendapat
bahwa istishab merupakan penetapan keberlakuan hukum terhadap suatu perkara
dimasa mendatang atas dasar bahwa hukum tersebut telah berlaku dimasa
sebelumnya, karena tidak ada suatu alasan yang mengharuskan terjadinya
perubahan atas hukum tersebut.3 Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan Istishab
sebagai:

‫ أو هو جعل‬,‫ حتي يقوم دليل علي تغيرتلك الحال‬,‫الحكم علي الشيئ بالحال التي كان عليها من قبل‬
‫الحكم الذي كان ثابتا في الماض ي باقيا في الحال حتي يقوم دليل علي تغيره‬

“Hukum terhadap sesuatu yang berlangsung saat ini merupakan ketentuan hukum
yang berlaku pada masa lalu, sampai adanya dalil terhadap perubahan kondisi
yang berlangsung saat ini. Atau menjadikan hukum yang tetap pada masa lalu,
tetap berlangsung pada masa kini sampai adanya dalil yang mengubahnya.”

Dalam konteks kehidupan modern saat ini, konsep istishab relevan dengan
asas praduga tak bersalah dalam pengadilan, tepatnya pada istishab al-Baraah al-

3
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, Penerbit Aura, Bandar Lampung, 2019, hal 64

5
Ashliyyah yaitu sama-sama didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia
bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Dengan
demikian, istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai adanya dalil yang beranggapan lain yang merubahnya.
Artinya, istishab mengangga tetap hukum yang berlaku sebelumnya sebelum ada
dalil lain yang mengganti hukum tersebut.

2. Kehujjahan Istishab

Istishab sebenarnya bukan merupakan hukum baru, namun istishab hanya


meneruskan hukum yang telah ada sebelumnya sebelum ada peraturan yang
mengganti dengan hukum lain. Para ulama berbeda pendapat mengenai
kehujjahan istishab. Ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan
bahwa istishab merupakan kehujjahan secara penuh, baik dalam mempertahankan
suatu hukum yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum
ada (itsbat). Ulama muta’akhirin dari madzhab Hanafi menetapkan bahwa
istishab dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul
dari penetapan hukum yang berbeda, bukan untuk menetapkan suatu hukum baru.
Artinya, istishab menjadi hujjah untuk mempertahankan suatu perkara yang
sudah ada hukumya, bukan untuk menetapkan suatu hukum perkara yang belum
ada.4 Sementara itu, mayoritas ulama madzhab Hanafi dan sekelompok ulama
ilmu kalam berpendapat bahwa istishab bukan merupakan hujjah sama sekali.

Perbedaan pandangan diantara para ulama dalam penggunaan istishab


sebagai metode ijtihad juga menyebabkan perbedaan pendapat mereka dalam
hukum islam. Dengan demikian, istishab menjadi rujukan terakhir bagi para
ulama dalam berijtihad. Dalam menetapkan suatu hukum, para ulama berpegang
pada al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan qiyas. Namun, apabila kajian tersebut tidak
ditemukan dalam keempat sumber tersebut, dalam konteks inilah para ulama
kemudian memberlakukan istishab, yaitu dengan memberlangsungkan hukum
yang telah ada.

4
Agus Miswanto, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam”, UNIMMA Press, Yogyakarta, Magelang, 2018,
hal 212.

6
3. Macam-macam Istishab

Macam-macam istishab menurut Abu Zahrah,dalam kitabnya “Ushul Fiqh”


dibagi menjadi empat, sebagai berikut:

a. Istishab al-Ibahah al-Ashliyah,

yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah
(boleh). Misalnya, hukum dasar segala sesuatu dalam kehidupan manusia
adalah boleh dilakukan, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Seperti
makanan, minuman, hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Hal ini
berdasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 29 :

َ ‫ت ۚ َوه َُو ِّب ُك ِّل‬


ٍ‫ش ْيء‬ ٍ ‫س َم َاوا‬ َ َ‫س َماءِّ ف‬
َ ‫س َّواه َُّن‬
َ ‫س ْب َع‬ ِّ ‫هو الَّذِّي َخلَقَ لَ ُك ْم َما فِّي ْاْل َ ْر‬
َّ ‫ض َجمِّ ي ًعا ث ُ َّم ا ْست ََو ٰى ِّإلَى ال‬ َ
‫عَلِّيم‬

“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.”

Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah :

َ ‫اإل َبا َحةُ َحتَّى َيدُ َّل الدَّ ِّل ْي ُل‬


‫علَى التَّ ْح ِّري ِّْم‬ ِّ ِّ‫ص ُل فِّي اْل َ ْش َياء‬
ْ َ ‫اْل‬

“ Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang
menghampirinya.”

Sebagai contoh, Jerapah merupakan hewan yang tidak jelas status halal-
haramnya di dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Selain itu, jerapah tidak
memiliki ciri-ciri yang ada pada hewan yan telah dijelaskan hukum
keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menyepakati bahwa jerapah itu
halal.5

b. Istishab al-Baraah al-Ashliyah,

yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap
orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status

5
Redaksi resmi NU, Metode Istishab dan Aplikasinya dalam Hukum Islam,
https://islam.nu.or.id/syariah/metode-istishab-dan-aplikasinya-dalam-hukum-islam-pp09z (diakses pada 27 April
2023 pukul 22:20)

7
tersebut, dan bebas dari utang dan kesalahan sampai ada bukti yang mengubah
statusnya. Dalam hal ini, para ulama merumuskan kaidah :

ْ َ ‫اْل‬
ِّ ُ ‫ص ُل بَ َرا َءة‬
‫الذ َّم ِّة‬

“ Pada dasarnya, setiap orang itu terbebas dari tanggungan”

Contoh istishab ini, apabila A menagih utang kepada B, namun B tidak


mengakuinya. Dalam hal ini si B tidak dapat dikenakan tanggungan utang,
kecuali si A mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.

c. Istishab al-Hukm

yaitu istishab yang didasarkan pada tetapnya status hukum yang telah
ada selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Berdasarkan istishab ini,
lahirlah kaidah:

َ‫علَى َما َكان‬ ْ َ ‫اْل‬


َ َ‫ص ُل بَقَا ُء َما كَان‬

“ Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu


diterapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Contohnya, seseorang yang telah melakukan akad nikah akan selamanya


terikat dalam jalinan suami istri sampai ada bukti yang menyatakan bahwa
mereka bercerai.

d. Istishab al-Wasf

yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Istishab ini
memunculkan kaidah fiqh:

َّ ‫اليَ ِّقيْنُ ََل يُزَ ا ُل ِّبال‬


ِّ‫شك‬

“ Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”

Dalam hal ini misalnya, air yang dianggap bersih dianggap suci dan
mensucikan selama tidak ada bukti yang mengubah status air tersebut.

8
B. Madzhab Shahabi

1. Pengertian Mazhab Sahabi


Saat Rasulullah SAW masih hidup, seluruh persoalan hukum yang muncul
atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasul
dan Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Namun setelah
Rasulullah SAW wafat, maka para sahabat yang tergolong ahli dalam
mengistinbatkan hukum, telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai
dengan fatwa-fatwa tersebut. Selanjutnya fatwa-fatwa tersebut diriwayatkan oleh
tabi’in, tabi’it-tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya seperti para perawi
hadis.6

Sedangkan pengertian Mazhab Sahabi sendiri adalah “pendapat sahabat


Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara
tegas di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah”.7

Adapun yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan


oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib yaitu seorang ahli hadis berkebangsaan Syiria
dalam karyanya yang berjudul Ushul Al-Hadis bahwasannya arti sahabat adalah
setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah. Misalnya Umar bin
Khattab, ‘Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah para sahabat yang
banyak berfatwa tentang hukum islam.8

Permasalahan yang dibahas dalam ushul fiqh dalam kaitan ini adalah apakah
fatwa-fatwa mereka tersebut harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an,
Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak?

Abdul Karim Zaidan dalam hal ini membagi pedapat sahabat dalam empat
bagian sebagai berikut:

a. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya fatwa Ibnu
Mas’ud bahwa batas minimal maskawin waktu haid sebanyak tiga hari, batas
minimal maskawin sebanyak 10 dirham. Contoh seperti diatas bukanlah

6
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, Bandar Lampung: Penerbit Aura, 2019, Hal. 75
7
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Ciputat: Penerbit Kencana, 2017, Hal. 154
8
Ibid, Hal. 154-155

9
fatwa hasil ijtihad sahabat dan kemungkinan besar hal tersebut mereka terima
dari Rasulullah. Oleh karena itu fatwa seperti ini disepakati menjadi landasan
hukum bagi generasi sesudahnya.
b. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal
dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi
sesudahnya.
c. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para
mujtahid dikalangan para sahabat memang sering berbeda pendapat dalam
suatu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak diikuti oleh
sahabat yang lain.
d. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.9

2. Pendapat Para Ulama Tentang Mazhab Sahabi

Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut


merupakan hasil ijtihad, apakah fatwa tersebut mengikat generasi sesudahnya
atau tidak. Dalam hal ini ada beberapa pendapat dan menurut Wahbah az-Zuhaili,
beberapa pendapat itu dapat disimpulkan menjadi dua pendapat saja, yaitu:

a. Menurut kalangan hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan juga pendapat
paling kuat dari Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan
pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka antara lain Firman Allah
SWT, surah Ali Imraan (3) ayat 110:

‫اّٰلل ۗ َولَ ْو ٰا َمنَ ا َ ْه ُل‬


ِّ ‫ع ِّن ْال ُم ْنك َِّر َوتُؤْ مِّ نُ ْونَ ِّب ه‬
َ َ‫ِّب ْال َم ْع ُر ْوفِّ َوت َ ْن َه ْون‬ َ‫اس ت َأ ْ ُم ُر ْون‬ِّ َّ‫ت لِّلن‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر ا ُ َّم ٍة ا ُ ْخ ِّر َج‬
‫َوا َ ْكث َ ُرهُ ُم ْال ٰف ِّسقُ ْون‬ َ‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَّ ُه ْم ۗ مِّ ْن ُه ُم ْال ُمؤْ مِّ نُ ْون‬ ِّ ‫ْال ِّك ٰت‬

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah. Dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu baik bagi mereka;
dianatara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang fasik.”

9
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Ciputat: Penerbit Kencana, 2017, Hal. 155

10
Ayat tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan
menunjukkan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah makruf
(kebaikan), dan maka dari itu harus diikuti.

b. Menurut salah satu imam riayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah,
dan kalangan syi’ah, bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi
sesudahnya. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah Firman Allah
SWT surah al-Hasyr (59) ayat 2:
‫ار‬ َ ‫فَا ْعتَبِّ ُر ْوا ٰيٰٓاُولِّى ْاَلَ ْب‬
ِّ ‫ص‬
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjaadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.

Yang dimaksud dengan “mengambil pelajaran” dalam ayat tersebut


menurut mereka adalah ijtihad. Dengan demikian, berarti ayat tersebut
memerintahkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan
ijtihad. Dan juga mengikuti pendapat sahabat berarti seorang mujtahid ber-
taqlid kepada sahabat itu yang bertentangan dengan kehendak ayat tersebut
yang menyuruh mereka berijtihad.

Para sahabat bukan orang ma’sum (terbebas dari kesalahan), sama dengan
mujtahid lainnya. Oleh karena itu, fatwa mereka bisa jadi mengandung
kesalahan, sedangkan sesuatu yang bisa jadi keliru tidak layak untuk diikuti.

c. Pendapat ulama lain yang mengemukakan bahwa:

1. Mazhab sahabi tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum, menurut


pendapat jumhur ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah, Syi’ah pendapat yang
kuat di kalangan para ulama Syafi’iyah.

2. Memandang mazhab sahabi dapat dijadikan sebagai dalil hukum dan


didahului oleh qiyas, pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiah,
Malik, Qaul Qadim Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

3. Mazhab sahabi dapat dijadikan sebagai alasan hukum bila dikuatkan


oleh qiyas. Pendapat Syafi’i dalam kitab qaul jadid-nya.

4. Mazhab sahabi dapat dijadikan sebagai dalil hukum bila terjadi


kontroversi dengan qiyas , karena jika terdapat kontroversi tersebut

11
maka berarti ia bukan10 bersumber dari qiyas. Tetapi dari sunnah.
Pendapat ini berasal dari kalangan hanafiyah.11

Muhammad Abu Zahrah, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan mesir,


menganggap pendapat yang pertama, yaitu bahwa fatwa sahabat dapat
dijadikan sebagai pegangan, lebih kuat fatwanya. Alasannya bahwa para
sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Mereka
banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasulullah dan lebih
banyak mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat, serta orang yang
paling tahu, setelah Rasulullah tentang maksud dari ayat atau hadis
Rasulullah. Maka dari itu, fata-fatwa mereka lebih dapat dipercaya
sehingga harus dijadikan rujukan.12

C. Syar’u Man Qablana

1. Pengertian Syar’un Man Qablana

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum


islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi
Musa, dan Nabi Isa as.13
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-
Baqoroh ayat 183:

َ‫علَى الَّ ِّذيْنَ مِّ ْن قَ ْب ِّل ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِّ ‫علَ ْي ُك ُم‬


َ ‫الص َيا ُم كَما َ ُكت‬
َ ‫ِّب‬ َ ‫ياَاَيُّ َها الَّذِّينَ أ َ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ِّب‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah:183).

2. Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana

10
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Ciputat: Penerbit Kencana, 2017, Hal. 156-157
11
Darmawati, Ushul Fiqh, Makassar: Prenamedia Grup, 2019, Hal. 92-93
12
Satria Efendi, Ushul Fiqh, Ciputat: Penerbit Kencana, 2017, Hal.157
13
Satria Effendi, usbullah. Jakarta: Kencana, 2009, blm 162-163

12
Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah,
sebagian ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal
menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at sebelum islam itu
disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan
melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash
yang menolak hukum-hukum itu, maka umat islam terikat dengan hukum-hukum
itu. Alasan yang di kemukakan adalah:14

a. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh
karena itu, apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan
dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan
oleh Firman Allah:

‫ْس أ َ ْن أقِّي ُموا‬


َ ‫وس َو ِّعي‬ َّ ‫صى بِّ ِّه نُو ًحا َوالَّذِّي أَو َح ْينَا إِّلَيْكَ َو َما َو‬
َ ‫ص ْينَا بِّ ِّه إِّب َْرا ِّه ْي َما َو ُم‬ ِّ َ‫ع لَ ُك ْم مِّ ن‬
َّ ‫الدي ِّْن َما َو‬ َ ‫ش ََر‬
ُ‫علَى اْل ُم ْش ِّر ِّكيْنَ َما تَدْعُوهُ ْم إِّلَ ْي ِّه للاُ يَجْ تَبِّ ْي إِّلَ ْي ِّه َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهدِّى إِّلَ ْي ِّه َم ْن يُنِّيْب‬
َ ‫الدِّينَ َو ََل تَتَف ََّرقُوا فِّي ِّه َكب َُر‬

“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-
Syura/42:13)

b. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi
terdahulu, antara lain firman Allah:

َ‫ث ُ َّم أ َ ْو َح ْينَا ِّإ َليْكَ أ َ ِّن ات َ ِّب ْح مِّ لَّةَ ِّإب َْرا ِّهي َْم َحنِّ ْيفًا َو َما كَا نَ مِّ نَ ْال ُم ْش ِّر ِّكيْن‬

14
Nastun Haroen, ushul Fiqih Dak 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 hlm. 152.

13
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim
yang hanif.” (QS. An-Nahl/16:123).15

3. Pengelompokan Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

a. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam
al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah di-nasakh dan tidak
berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. seperti firman allah dalam surat al-
an’am (8): 146:

َ ‫ظفُ ٍر َومِّ نَ ْال َبقَ ِّر َو ْالغَن َِّم َح َّر ْمنَا‬


ُ ‫علَ ْي ِّه ْم‬
‫ش ُح ْو َم ُه َما‬ ْ ‫علَى الَّذيْنَ هَاد ُْوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ِّذ‬
ُ ‫ي‬ َ ‫َو‬

“ Dan Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya
kuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu.
kemudian dijelaskan pula dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi
untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An’am
(6): 145:

‫ع ٍم ي َ طْ ع َ ُم ه ُ إ ِّ ََّل أ َ ْن ي َ ك ُ و َن َم ي ْ ت َ ة ً أ َ ْو د َ ًم ا‬ ُ
ِّ ‫ح َّر ًم ا ع َ ل َ ٰى ط َ ا‬ َ ُ‫ي م‬َّ َ ‫ي إ ِّ ل‬ َ ِّ‫ق ُ ْل ََل أ َ ِّج د ُ ف ِّي َم ا أ وح‬
‫ض ط ُ َّر غ َ ي ْ َر‬ ْ ‫ير ف َ إ ِّ ن َّ ه ُ ِّر ْج س أ َ ْو ف ِّ سْ ق ً ا أ ُهِّ َّل ل ِّ غ َ ي ِّْر َّللاَّ ِّ ب ِّ هِّ ۚ ف َ َم ِّن ا‬
ٍ ‫ح ا أ َ ْو ل َ ْح مَ خِّ ن ْ ِّز‬ ً ‫َم سْ ف ُ و‬
‫ك غ َ ف ُ ور َر حِّ يم‬ َ َّ ‫ب َ اغ ٍ َو ََل ع َ ا دٍ ف َ إ ِّ َّن َر ب‬

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama

15
Satria Effendi, ushul fiqih, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.

14
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

b. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan


untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi
Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.

‫علَى الَّ ِّذيْنَ مِّ ْن قَ ْب ِّل ُك ْم لَعَلَ ُك ْم تَت َّ ُق‬ ِّ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ِّب‬ َ ‫يَا َاأَيُّ َهاالَّ ِّذيْنَ ا َ َمنُ ْوا ُكت‬
َ ‫ِّب‬

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana


diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang
yang bertakwa’’.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad.

c. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan


berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak
dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum
tersebut telah di-nasakh.16

4. Macam-Macam Syar’u Man Qablana

Syar’u man qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan
Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat
kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:

a. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang
terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.

16
Amir Syarifuddin, ushul figh lid 2. Jakarta. Kencana 2009, hlm 417-419.

15
b. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat
kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.

c. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai
syariat kita.17

5. Kedudukan Syar’u Man Qablana

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu


mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal
ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13

“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya


kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah
agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah
didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama
yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki
kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi
orang yang kembali (kepada-Nya).”

Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman masing-masing.18

Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat


yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan
sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.

17
Redaksi Ilmu , Syar’u Man Qablana . http://www.asy-syaru-man qablana ilmu.html ( diakses pada hari
senin, 16-03-2015, pukul 13.28)
18
Alauddin Koto, ilmu fiqih dan Usul Fiqh (jakarta PT Raja Grafindo Perada 2009, revisi 3) hal, 112

16
6. Kehujjahan Syar’u Man Qablana

yari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-
Qur’an dan sunnah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik
untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk
mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh
(di hapus) hukumnya maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang
sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang
menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia
harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di
sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena najis.

Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad.
Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan
domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selain itu juga, terdapat
beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti
format ibadah.19
Menurut Abu Zahrah berberapa ketentuan yang harus di perhatikan
dalam melihat syari’at orang. Sebelum kita dengan syari’at orang sebelum kita,
sehingga syar’u man qablana itu layak untuk diikuti atau ditinggalkan. Untuk
memutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :

a. Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada


sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari
sumber-sumber Islam, maka tidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam.
Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.

b. Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak
boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan
kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan
tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.

19
Musnad Rozin. Ushul fiqih Stain jurai Siwo Metro Lampung Hal.159

17
c. Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga
berlaku untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang
terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.20

Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat


Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa
hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun
tidak diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan
tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.

Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat
dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :

a. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah


yang shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi

b. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan


dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi
Muhmmmad

c. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-


kitab taurat dan injil

20
Ibid,160

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada zaman
modernisasi ini telah banyak terdapat problema-problema tentang hukum-hukum,
agama, terutama kasus-kasus yang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah SAW, dan
masa sahabat. Banyak orang yang memakai sumber-sumber hukum yang belum jelas
kedudukannya terhadap generasi sekarang ini, juga agar kaum muslimin memandang
jauh kedepan tentang kedudukan sumber hukum diatas serta kehujjahannya terhadap
generasi sekarang. Pengertian tentang mazhab sahabi, istishab, dan juga syar’u man
qablana sebagai metode istinbat hukum islam dijelaskan sebagai berikut:

a. Madzhab sahabi adalah pendapat dan fatwa para sahabat Rasulullah SAW tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
juga sunnah Rasulullah. Pendapat para Ulama juga sangat beragam mengenai
pendapat para sahabat ini. Ada yang menggunakannya sebagai hujjah dan juga
tidak memakainya.
b. Istishab adalah akhir cara untuk membuat fatwa, yang hukumnya berasal dari Al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan juga qiyas. Istishab dapat dijadikan sebagai salah satu
metode dalam mencari sebuah hukum setelah merujuk kepada Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan juga Qiyas.
c. Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para rasul terdahulu, sebelum
diutusnya nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
diutus kepadanya. Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk
menunjukkan adanya syariat-syariat sebelum islam sebagai agama ketika
dilahirkan.
Saran

Diharapkan dengan adanya makalah yang membahas tentang Istishab, Madzhab


Shahabi, Dan Syar’u Man Qablana ini dapat memberikan sedikit pengetahuan kepada
teman-teman dan penulis secara pribadi mengenai metode istinbat hukum islam itu
sendiri, ditinjau dari pengertian para ahli serta jurnal yang telah kami baca. Dari
pemaparan kami di atas mungkin banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan,
oleh karena itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki
kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.

19
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3

Bahrudin Mohammad, Ilmu Ushul Fiqh, Penerbit Aura, Bandar Lampung, 2019, hal 64

Miswanto Agus, “Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam”, UNIMMA Press,
Yogyakarta, Magelang, 2018, hal 212.

Efendi Satria, Ushul Fiqh, Ciputat: Penerbit Kencana, 2017, Hal. 154

Darmawati, Ushul Fiqh, Makassar: Prenamedia Grup, 2019, Hal. 92-93

Haroen Nastun, ushul Fiqih Dak 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 hlm. 152.

Syarifuddin Amir, ushul figh lid 2. Jakarta. Kencana 2009, hlm 417-419.

Koto Alauddin, ilmu fiqih dan Usul Fiqh (jakarta PT Raja Grafindo Perada 2009,
revisi 3) hal, 112

Rozin Musnad. Ushul fiqih Stain jurai Siwo Metro Lampung Hal.159

JURNAL

Saputra Irwansyah, Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul Fiqh, Vol.
1,No. 1, maret 2018, hlm. 39

WEBSITE

Redaksi resmi NU, Metode Istishab dan Aplikasinya dalam Hukum Islam,
https://islam.nu.or.id/syariah/metode-istishab-dan-aplikasinya-dalam-hukum-islam-
pp09z (diakses pada 27 April 2023 pukul 22:20)

Redaksi Ilmu , Syar’u Man Qablana . http://www.asy-syaru-man qablana ilmu.html


( diakses pada hari senin, 16 Maret 2015, pukul 13.28)

Anda mungkin juga menyukai