Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

AGAMA SUKU DAN KEBATINAN

“SAPTA DHARMA”

Disusun oleh:

Tomas Riangga TEO.19.417

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN WIYATA WACANA


(STAKWW PATI)
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan rahmatnya kami dapat

menyelesaikan karya ilmiah tentang penelitian “ SAPTA DHARMA ” dengan tepat pada

waktunya. Tugas ini dibuat untuk melengkapi atau memenuhi persyaratan dalam mata kuliah

Agama Suku dan Kebatinan.

Dalam menyusun tugas ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penyusunannya, maka dengan kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca untuk memperbaiki karya ilmiah selanjutnya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang bersangkutan, dan semoga

makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.

Tuhan Yesus Memberkati.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah …………………………………………………………....

C. Tujuan Penulisan Makalah …………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Sapta Dharma ………………………………………………………

B. Bentuk Ritual/ Ibadah ..........………………………………………………...

C. Ajaran Sapta Dharma dan Simbol-simbol Sapta Dharma…………………...

D. Perkembangan Ajaran Sapta Dharma ………………………………………

E. Sebab Timbulnya Aliran Kebatinan di Indonesia..........................................

BAB III PENUTUP

A. Penutup ….…………………………………………………………………

B. Tanggapan Mahasiswa ……………………………………………………..

C. DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

D. Lampiran ……………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada mulanya, aliran kebatinan dan kepercayaan memiliki akar sejarah pertumbuhan
yang cukup panjang dan lama sejak ratusan tahun yang lampau. Aliran ini lahir dari hasil proses
perkembangan budaya, buah renungan dan filsafat nenek moyang, yang kemudian terpaku
menjadi adat istiadat masyarakat turun temurun hingga sekarang. Mayoritas aliran kepercayaan
menjadikan adat istiadat ini sebagai pedoman ajaran yang sangat dipegang teguh yang dihayati
dan diamalkan.
Kebatinan Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli sebelum adanya
pengaruh agama-agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan Kristen). Setelah masuknya Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen, maka terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk
bercampur dengan agama baru.
Dalam proses akulturasi itu, terjadi beberapa kemungkinan. Pertama, unsur-unsur agama
baru diterima akan tetapi unsur agama lama tidak hilang dan bercampur dengan unsur agama
baru (contoh: Islam abangan dimana ia menyebut dirinya Islam, tetapi melaksanakan upacara-
upacara selamatan dan tidak berdoa sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua, unsur-unsur
agama baru makin menguat dan mendominasi unsur agama lama makin menghilang (contoh:
agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga, unsur agama baru bercampur dengan unsur agama
lama dan menghasilkan agama baru yang memiliki ciri tersendiri (contoh: agama Hindu Bali
berbeda dengan ajaran Hindu di Hindustan). Keempat, unsur agama lama mengalami revival dan
menjadi menonjol meskipun menggunakan juga unsur-unsur agama baru (contoh: agama Wudu
di Brasilia). Di sini kita akan mempelajari berbagai aliran kebatinan atau kepercayaan yang
berkembang di Jawa.
            Menurut para peneliti, kepercayaan Nenek Moyang bangsa Indonesia adalah animisme,
dinamisme, dan demonologisme. Akan tetapi faktanya bahwa bangsa Indonesia berevolusi
seiring perjalanan waktu, kepercayaan bangsa Indonesia berakar dari animatheisme, politheisme,
henoteisme, monotheisme animisme, dinamisme, dan demologisme. Dari ajaran-ajaran yang
dipeluk oleh nenek moyang dan yang terbentuk oleh pengalaman kehidupan yang bermacam
ragam yang dialami mereka melewati kurun waktu yang cukup panjang. Dan semua berawal dari
rentetan sejarah kehidupan suatu bangsa dan juga akan berakhir dengan kikisan sejarah yang
menerpa adat tersebut.
Jawa merupakan salah satu pulau diantara lima pulau terbesar di Indonesia. Jawa adalah
pulau terpadat dan merupakan pusat dari pemerintahan Indonesia. Namu jika ditinjau dari
dimensi kultural; jawa merupakan sebuah suku yang penuh dengan tradisi-tradisi berbau mistik.
Istilah kepercayaan dan kebatinan, sebenarnya masih ada istilah-istilah lain. Rahmat
Subagyo menyebutkan nama kejiwaan dan kerohanian. Kejiwaan adalah ajaran yang
menunjukan ilmu hidup benar, budi pekerti baik, atau pemeliharaan jiwa yang dicari secara
ilmiah dan metodis. Adapun kerohanian ialah ajaran yang lebih menekankan aspek mistisisme,
yakni bagaimana manusia mencapai kontak langsung dengan yang mutlak.
Kamil Kartapraja memberikan istilah Kejawen, yakni ajaran yang berupa pengetahuan
dan praktik-praktik ritual Jawa Asli (animisme) ; dan klenik, yakni ilmu yang bersifat rahasia
dan merupakan praktik-praktik mistik yang menyeleweng dari agama yang dianut.
Menurut sejarah perkembangan dan kehidupan Aliran Kepercayaan dan Kebatinan,
jumlah dan macamnya selalu bertambah dan berkurang. Masing-masing aliran mempunyai ciri
khusus yang berbeda dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, nampaknya sulit untuk memberikan
suatu definisi atau batasan yang dapat mencangkup semua aliran dengan sempurna. Pengertian
harfiah memberikan, namun belum menggambarkan pengertian terminologi yang total. Aliran
kepercayaan dapat disebut aliran kebatinan, kerohaniaan, kejiwaan, kejawen, dan lain
sebagainya.
“ Aliran “ berarti haluan pendapat ( pandangan hidup, politik, dsb ) yang timbul dari
suatu paham.
“ Kepercayaan” dari asal kata “percaya” mendapat awalan ke dan akhiran an’ artinya
iman, keyakinan, hal menganggap bahwa sesuatu itu benar.  Percaya berarti membenarkan suatu
keterangan dari keterangan yang bermacam-macam yaitu : keterangan umum, keterangan ilmiah,
keterangan falsafi, dan keterangan agama. Jadi, Aliran Kepercayaan adalah suatu aliran yang
berkaitan dengan alam ghoib yang tidak bisa di akali oleh manusia. Dan Aliran Kebatinan adalah
aliran yang mengeluarkan kekuatan kebatinan dalam diri manusia.
Batin artinya dalam hati ; mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ berarti keadaan batin;
segala sesuatu yang tercantum dalam hati orang. Ilmu bathin artinya pengetahuan yang bertalian
dengan jiwa, mistik, dll. Secara harfiah ‘aliran kepercayaan’ dapat diartikan haluan pendapat
tentang keyakinan terhadap keterangan agama. Sedang ‘aliran kebatinan’ berarti haluan pendapat
tentang sesuatu yang tercantum dalam hati orang atau haluan pendapat tentang pengetahuan yang
bertalian dengan jiwa dan mistik.
Menurut Badan Kongres Kebatinan Indonesia ( BKKI ) di Solo tahun 1956 menyatakan
bahwa Aliran kebatinan adalah sumber azas sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai
budhi luhur, guna kesempurnaan hidup.
Rahmat Subagya mendefinisikan aliran kebatinan adalah segala usaha dan  gerakan untuk
merealisasikan daya bathin manusia.
Sumantri Mertodipuro; Kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan
kebahagiaan….kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani.
Mr Wongsonegoro; Semua fikiran atau tindakan yang berdasarkan kekuatan gaib
(supernatural) yang mencari dan ingin mengetahui kenyataan dibelakang fenomena alam.
Presiden Soeharto mendefinisikan bahwa Aliran Kepercayaan adalah keyakinan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa diluar agama atau tidak termasuk kedalam agama.
Salah satu Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang MahaEsa yang ada adalah
Penganut aliran kebatinan Sapta Dharma, dalam makalah ini saya akan mencoba menjabarkan
apa itu Sapta Dharma, ritual-ritualnya dan bagimana aliran ini dapat berkembang hingga
sekarang.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latarbelakang sejarah berdirinya Sapta Dharma ?
2. Bagaimana bentuk ritual yang dilakukan?
3. Apa saja ajaran dan lambang yang digunakan oleh Sapta Dharma dan artinya?
4. Bagaimana perkembangan ajaran Sapta Darma sekarang ini?
5. Mengapa di Indonesia dapat timbul banyak aliran kebatinan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui latarbelakang sejarah berdirinya Sapta Dharma.
2. Untuk mengetahui ritual apa saja yang dilakukan ajaran Sapta Dharma.
3. Untuk mengetahui ajaran dan makna dari simbol Sapta Dharma.
4. Untuk mengetahui perkembangan ajaran Sapta Dharma sekarang ini.
5. Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya aliran kebatinan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH
Riwayat penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung terus tiap-tiap hari
tidak henti-hentinya, selama 12 tahun sampai dengan wafatnya Panuntun Agung Sri Gutama (Bp.
Hardjosapuro). Istilah yang ada di dalam Kerohanian Sapta Darma adalah istilah asli, dalam arti
istilah-istilah tersebut didapat dari hasil penerimaan yang datangnya dengan tiba-tiba/sekonyong-
konyong dalam keadaan yang luar biasa, dengan saksi-saksi yang berganti-ganti.
Tepatnya di Kampung Pandean, Gang Klopakan, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur, berdiamlah seorang putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak Hardjosapuro. Pada hari
Kamis, tanggal 27 Desember 1952, Bapak Hardjosapuro seharian ada di rumah (tidak bekerja
sebagaimana biasanya sebagai tukang potong rambut) karena hatinya merasa gelisah.
Kemudian, pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya. Menjelang
pukul 24.00 WIB beliau pamit pulang, setelah tiba di rumahnya, beliau mengambil tikar dan
beralaskan lantai, tiduran-tiduran untuk menenangkan perasaan yang gelisah. Pada saat mau
tidur-tiduran, tepat pada Jumat Wage jam 01.00 WIB malam, seluruh badan beliau tergerak oleh
getaran yang kuat diluar keinginannya, dengan posisi duduknya menghadap Timur dengan kaki
bersila dan kedua tangan bersidakep. Namun dalam keadaan sadar, beliau mencoba melawan
gerakan tersebut, namun tidak mampu untuk melawannya. Diluar kemauannya, beliau
mengucapkan Kalimat dengan suara keras: “Allah Yang Maha Agung, Allah Yang Maha
Rokhim, Allah Yang Maha Adil” setelah itu badannya tergerak untuk sujud secara otomatis
diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan sujud sambil mengucap dengan suara keras, “Hyang
Maha Suci Yang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha
Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa”, kemudian duduk dan sujud kembali sambil mengucapkan:
“Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa, Kesalahane Hyang
Maha Suci Nyuwun” sebanyak 3 (tiga kali). Kemudian duduk kembali seperti semula dalam
keadaan yang masih bergetar, setelah itu tergerak kembali untuk sujud dengan mengucapkan;
“Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuwasa”, kemudian kembali dalam posisi semula. Hal
ini terjadi berulang kali sesuai dengan urutan sebelumnya dan berlangsung sampai pukul 05.00
WIB pagi. Apa yang dialaminya tidak diketahui oleh seorangpun yang berada di rumah.
Karena takut dengan kejadian tersebut, Hardjosapuro kemudian membangunkan orang
yang berada di rumah, namun semua tidak dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Oleh
karena itu beliau bermaksud untuk menemui teman terdekatnya yakni Bapak Djojo Djaimoen
untuk menceritakan hal yang dialaminya. Pada tanggal 27 Desember 1952, jam 07.00 pagi
tibalah beliau di rumah temannya tersebut, kemudian diceritakan apa yang dialaminya. Namun
temannya Djojo Djaimoen tidak mempercayai akan hal itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba seluruh
badan Djojo Djaimoen tergetar dan bergerak seperti yang dialami Hardjosapuro. Setelah
dialaminya, mereka berdua berniat datang ke temannya lagi yang bernama Bapak Kemi Handini
yang bekerja sebagai sopir di Desa Gedangsewu, Pare untuk diberitahukan serta menanyakan
kejadian yang mereka alami.
Niat untuk mendatangi temannya itu dengan harapan mereka akan mendapatkan
penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tanggal 28 Desember 1952 jam 17.00
mereka berdua tiba di rumah Bapak Kemi Handini dan diceritakanlah pengalaman mereka.
Belum sampai selesai ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam kekuatan yang sama.
Dengan tiba-tiba Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar tumbal ditempat-tempat
tertentu yang tertanam di rumah Kemi. Setelah gerakan berhenti diceritakannlah kepada Bapak
Kemi, apa yang diketahuinya di dalam gerak sujud. Ketika diceritakannya kedua teman,
Hardjosapuro merasa heran, karena yang dialaminya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Kemudian mereka bertiga sepakat menemui sahabatnya yang bernama Somogiman yang
mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan darinya. Bapak
Somogiman adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare). Pada tanggal
29 Desember 1952 jam. 17.00, mereka tiba di rumah Somogiman. Pengalaman gaib pun
dipaparkan kepada Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-kawannya. Pada waktu itu
Somogiman tidak memberi tanggapan dan kelihatannya tidak dipercaya. Tetapi yang terjadi,
secara tiba-tiba Somogiman mendapat gerakan yang otomatis di luar kemauannya juga seperti
apa yang diceriterakan teman-temannya tadi. Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut ke mulut
kegaiban di kota Pare yang dialami oleh Bapak Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga
terdengar pula oleh Bapak Darmo seorang sopir dan seorang lagi bernama Reksokasirin
pengusaha batik. Kedua orang tersebut mendatangi rumah Somogiman untuk membuktikannya,
namun belum sampai mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan
sedemikian juga dialaminya.
Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak
bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 (enam) orang (Bapak. Hardjosopoero,
Djojodjaiman, Kemi Handini, Somogiman, Darmo dan Rekso Kasirin). Kemudian mereka
kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali Hardjosapuro yang tidak mau kembali ke
rumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian di rumahnya. Sampai dua bulan
lamanya beliau tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, tetapi berpindah-pindah ke rumah
temannya. Karena ke-enam orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk berkumpul setiap
malam hingga dua bulan lamanya.
Pada suatu malam pada tanggal 12 menjelang 13 Februari 1953, setelah ke enam orang
tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan petunjuk agar Bapak Hardjosapuro
kembali ke rumahnya karena nantinya akan menerima ajaran-ajaran dari Hyang Maha Kuasa
yang lebih tinggi lagi. Keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari 1953 jam 10.00 pagi mereka
sudah berkumpul di rumah Bapak Hardjosapuro kemudian sedang asyik bercakap-cakap tiba-tiba
diterima perintah langsung kepada Hardjosapuro dan berkatalah beliau dengan suara keras
(dalam bahasa Jawa), ’’Kawan-kawan lihatlah Saya mau mati dan amat-amatilah Saya”. Maka
berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan mengamat-amati Bapak Hardjosapuro yang
berbaring membujur ke timur sambil memejamkan mata dan tangan bersidakep. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran dari sahabat-sahabatnya dan dengan cara yang beragam para
sahabatnya ingin meyakinkan kondisi Hardjosapoero apakah sudah mati atau belum. ”Inilah
yang dikatakan Racut ialah mati di dalam hidup”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi
rasanya masih hidup. Masih mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak
mendengarkan segala yang diceritakan.
Setelah mengalami Racut beliau menceritakan bahwa dalam keadaan racut tersebut Bpk.
Hardjosapuro merasa rohnya/rohaninya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas melalui alam
yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan indah sekali dan beliau sujud
didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya tak terlihat nyata
karena sinar yang berkilauan itu. Di situlah Hardjosapoero duduk bersila dan sujud Menyembah
Allah Hyang Maha Kuasa, setelah sujud maka orang yang bersinar tadi terus memegang
Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau dituntun ke taman yang penuh
bunga dan indah sekali, kemudian di bawa ke sebuah sumur yang penuh airnya lalu dibawa ke
sumur yang kedua, disuruh membukanya dan setelah dibuka ternyata airnyapun penuh dengan
air yang jernih sekali. Nama kedua sumur tersebut adalah Sumur Gumuling dan Sumur
Jalatunda.
Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang yang
bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosapoero “Inilah Untukmu” sambil menyodorkan dua bilah
keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan Mataraman dan yang lain pada
pamornya terdapat dua bentuk benda bulat berjajar bagaikan Bendo Segodo, yang diberi nama
Nogososro dan Benda Segodo / Sugada. Setelah itu beliau disuruhnya kembali pulang. Setelah
beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh sebuah bintang yang amat besar dengan
sinar terang mengantar perjalanan pulangnya.
Untuk meyakinkan tentang kebenaran ajaran Racut yang diterima oleh Bapak
Hardjosapuro, maka para sahabatnya dimintanya melakukan secara bergantian. Pelaksanaan
racut yang dilakukan para sahabatnya ditunggui oleh Bapak Hardjosapoero namun yang dialalmi
masing-masing sahabat berbeda. Namun dalam hal-hal yang pokok adalah sama, misalnya
melalui alam yang enak sekali, sampailah pada sebuah rumah yang besar dan indah dan bertemu
orang yang bersinar bagaikan maha Raja. Tetapi tidak ada satupun sahabat yang melakukan
sujud di rumah yang besar itu. Pemberian yang diterima juga berbeda ada yang berupa bunga
dalam vas, ada pula berupa pakaian serta tidak diberikan apapun. Namun semuanya itu telah
meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran Racut serta apa yang dialami Bapak
Hardjosapoero.
Sejak itulah, semua sahabat-sahabatnya harus berkumpul di rumah Bapak Hardjosapoero,
dan tidak boleh berkumpul di rumah sahabat yang lain. Sehingga setiap malam mereka
berkumpul untuk melakukan sujud bersama dan juga melakukan latihan-latihan Racut.
Namun pada satu waktu Bapak Hardjosapoero dalam melakukan sujud bersama
dilakukannya juga racut seperti yang pernah dialaminya. Dalam melakukan Racut beliau selalu
berjumpa dengan sang maha raja, bahkan diberi juga Kotang Ontokusumo dan Caping
Basunondo. Pernah juga menerima bongkok (tangkai daun kelapa). Satu panah dan Buku Besar.
Sehingga diyakini apapun yang dikerjakan olehnya adalah suatu petunjuk yang benar dari Allah
Hyang Maha Kuasa.
Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Bp. Hardjosapuro ialah:
Sdr. Sersan Diman, Sdr. Djojosadji, Sdr. Danumihardjo (Mantri guru Taman Siswa Pare).
Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan
pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi kejadian ini
tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan Diman berdiri dengan
sekonyong-konyong sambil menuding-nuding gambar tersebut dengan berkata keras: ”Ini harus
digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata demikian. Kemudian kawan-kawannya
segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat
gambar tersebut). Setelah mendapatkannya terus segeralah digambar pemandangan gambar
simbul itu sampai selesai. Setelah selesai digambar, maka hilanglah gambar pemandangan
simbul itu dari pandangan mata, yang selanjutnya dinamakan Simbul Pribadi Manusia. Pada
gambar tersebut ada tulisan huruf Jawa: SAPTA DARMA, yang selanjutnya disempurnakan
dengan penerimaan peribadatannya yang disebut Sujud Sapta Darma / sujud asal mula manusia.
Pada hari itu juga, tanggal 12 Juli 1954 setelah diterima wahyu Simbul Pribadi Manusia,
diterima pula wahyu Wewarah Tujuh. Kejadian ini sama halnya dengan gambar simbul pribadi
manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa papan (Sastra Jendra
Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa jawa. Oleh karena tulisan tersebut sebentar
kelihatan dan sebentar menghilang seperti menerima simbul Sapta Darma tadi, maka dibagilah
tugas untuk menulisnya. Sersan Diman menulis Wewarah 1 sampai dengan 4, sedangkan Bapak
Danoemihardjo menulis 5 sampai 7. Setelah ditulis diserahkanlah kepada Bapak Hardjosapoero,
Djojosadji dan Bapak Marto untuk dicocokkannya.
Setelah diterima wahyu simbul Sapta Darma dan Wewarah Tujuh, hari itu juga masih
diterima lagi wahyu Sesanti yang bunyi lengkapnya seperi berikut: “Ing Ngendi bae marang sapa
bae Warga Sapta Darma Kudu sumuar pinda baskara”. Dengan diterimanya wahyu simbul Sapta
Darma, Wewarah Tujuh dan Sesanti oleh Bapak Hardjosapoero, penerimaan ajaran ini semakin
memperjelas para pengikutnya. Sejak hari itulah baru dimengerti bahwa sujud yang dilaksanakan
oleh Bapak Hardjosapoero dan para sahabatnya, sebagai perilaku pendekatan pribadi (hidup)
manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa, adalah Sujud Sapta Darma.
Dari fenomena dan kejadian-kejadian aneh yang dipaparkan di atas, Keyakinan akan
sebuah petunjuk dan termasuk juga tugas berat, semakin mendalam bagi Bapak Hardjosapoero
dan sahabat-sahabatnya, setelah diterimanya wahyu-wahyu Sapta Darma bertambah lengkap,
dank e depannya menjadi ajaran ibadah kelompok ini:
Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara ritual sujud/ menyembah kepada
Tuhan (Allah Hyang Maha Kuasa) bagi Warga Sapta Darma.
Wahyu Racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui
alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.
Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat
manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai
keluhuran budi.
Wewarah Tujuh, merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan
pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam Wewarah Tujuh tersebut tersirat
kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah
dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu,
masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi.
Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan
suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus bermakna dan
berguna bagi sesama umat/ membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning
lian).
Selanjutnya semakin hari semakin bertambah orang-orang yang menjalankan ajaran
Sapta Darma. Apa yang diterima Bapak Hardjosapoero ternyata belum berakhir, karena pada
tanggal 27 Desember 1955 jam 24.00, beliau menerima wahyu Gelar Sri Gutama yang berarti
Pelopor Budi Luhur dan selaku Panutan Agung, yang ditandai hujan lebat semalam suntuk.
Setelah seluruh ajaran yang diterima genap, maka dalam pengembangan ajaran Sapta
Darma itu dilakukan dengan jalan penyembuhan, dimana pada saat itu dengan Sabda WARAS,
setiap warga yang saat itu menjalankan sujud Sapta Darma dapat menyembuhkan masyarakat
yang sakit. Inilah awal mula perkembangan ajaran Sapta Darma, yaitu dari mereka yang telah
disembuhkan maupun yang ingin menjalani sendiri (bukan karena sakit). Sejak tahun 1956 itulah
ajaran Sapta Darma merambah ke luar dari Pare, Kediri Jawa Timur menuju daerah lain seperti
Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sumatera dan Kalimantan.
Tiga dasar/pegangan yang diberikan oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama kepada
para warga yang bersedia menyebarkan ajaran Sujud Sapta Darma adalah:
1. Yakin akan kebenaran terhadap ajaran Sapta Darma itu berdasarkan wahyu,
2. Harus didasari dengan kesucian hati, kejujuran dan tanpa adanya pamrih apa saja untuk
kepentingan pribadi.
3. Kebulatan tekad ketabahan hati serta tahan uji dari segala rintangan yang mungkin
terjadi.
Setelah ajaran Sapta Darma berkembang luas di mana-mana, maka untuk adanya
keseragaman dan kemurnian ajaran Sapta Darma, di tiap-tiap daerah yang sudah banyak
warganya oleh Panutan Agung ditunjuk adanya Tuntunan yaitu warga yang diberi tugas sebagai
penanggung jawab terhadap perkembangannya maupun kelangsungan pembinaan para warga di
daerah-daerah di tingkat kabupaten dan karisedenan pada waktu itu.
Rupanya tugas Panutan Agung Sri Gutama telah digariskan Allah Hyang Maha Kuasa karena
setelah 12 tahun penerimaan wahyu ajaran Sapta Darma sampai berkembang di bumi, tepat pada
tanggal 16 Desember 1964, pada hari Rabu jam 12.00 di rumah kediamannya, Bapak
Hardjosapoero meninggal dunia. Sesuai dengan pesannya sebelum wafat bahwa ketika
meninggal dunia agar jenasahnya diperabukan dan dilarung ke laut. Maksud dari permintaannya
adalah dikhawatirkan apabila jenasahnya dikubur atau dimakamkan lalu makamnya dipuja-puja
oleh warganya. Beliau menjelaskan sebelumnya bahwa memuja-muja makam/kuburan adalah
suatu kepercayaan yang sesat dan hal itu dilarang dalam ajaran Sapta Darma. Dengan demikian
abu jenasahnya dihanyutkan di pantai Kenjeran, Surabaya pada tanggal 19 Desember 1964.
Setelah meninggalnya Bapak Hardjosapoero yang dikenal sebagai Panutan Agung Sri
Gutama, ajaran Sapta Darma tetap berjalan dan berkembang pesat dibawah bimbingan dan
tuntunan Ibu Sri Pawenang yang bernama asli Soewartini Martodihardjo, seorang Sarjana
Hukum, alumnus Universitas Gadjah Mada yang telah mengikuti dan menghayati ajaran Sapta
Darma sejak tahun 1956. Pada mulanya Ibu Soewartini yang berstatus mahasiswa, mengenal
Sapta Darma karena rasa ingin mengetahui lebih jauh dan ingin membuktikan bahwa ada orang
yang mampu menyembuhkan orang sakit dengan sabda Waras. Tetapi saat itulah Ibu Soewartini
bertemu langsung dengan Bapak Hadjosapoero mengenai ajarannya dan ditawari untuk
melakukan penelitian dan sejak itulah Ibu Soewartini selalu mengikuti membantu Bapak
Hardjosapoero sebagai Panutan Agung Sri Gutama dalam menyebarkan ajaran tersebut.
Puncak dari penghayatan Ibu Soewartini adalah pada tanggal 30 April 1957 hari selasa
Kliwon dalam perjalanan ke Kediri, Trenggalek dan Blitar, beliau menerima gelar Sri Pawenang.
Yaitu sebagai Juru Bicara Panutan Agung dan juga dikukuhkan sebagai Panuntun Wanita, maka
sejak itulah Ibu Soewartini disebut sebagai Sri Pawenang. Beliau meninggal dunia pada tanggal
24 Mei 1996. Setelah itu untuk tetap menjalankan ajaran Sapta Darma, diadakanlah Sarasehan
Agung Luar Biasa Para Tuntunan pada tanggal 10-12 Juli 1996 dengan keputusan dibentuknya
lembaga Pelaksana Tuntunan Agung, yang bertugas melanjutkan tugas dalam membina para
warga untuk menghayati ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Perkembangan Ajaran Sapto Darma
sampai saat ini, tidak hanya berkembang di wilayah Indonesia namun di luar negeripun sudah
mulai berkembang. Saat ini Pusat Ajaran Sapta Darma berada di Sanggar Candi Sapta Rengga –
Surokarsan Mg. II/472 Yogyakarta. Dan di setiap daerah ada tempat beribadah sebagai cabang,
yakni Sanggar Candi Busono yang tersebar di seluruh cabang di Indonesia, bahkan di luar negeri.

B. RITUAL YANG DILAKUKAN

Cara penyembahan Sapto Dharmo adalah dengan cara Sujud Dasar. Sujud Dasar adalah
Sujud yang dilakukan tiga kali sujud menghadap ke timur dengan posisi duduk. Lalu kepala
ditundukkan sampai ke tanah mengikuti gerak naik sperma dari tulang tungging sampaike ubun-
ubun, melalui tulang punggung dan menurunkannya kembali. Hal itu dilakukan sebanyak tiga
kali.
Duduk mengheningkan rasa dan dengan sendirinya mata terpejam. Maka terasalah ada
gerak halus kelenjar dari tulang tungging sampai kepala, dan pada lidah terasa menusuk-nusuk.
Naiknya sari hidup itu ke kepala diikuti dengan gerak sujud. Diucapkan: Hyang Maha Suci sujud
kepada Hyang Maha Kuasa, diulangi tiga kali, lalu air putih itu diturunkan lagi ke tulang ekor
diikuti oleh kepala naik dalam sikap duduk secara pelan-pelan.
Sujud kedua juga mengikuti kelenjar kelamin yang digerakkan seperti tadi. Didalam batin
di ucapkan waktu sujud: Kesalahan Hyang Maha Suci mohon ampun kepada Hyang Maha Kuasa
(3kali). Kemudian kepala diangkatlagi. Sujud untuk ketiga kalinya diucapkan dalam batin:
Hyang Maha Suci bertobat kepada Hyang Maha Kuasa ( 3 kali). Lalu duduk kembali, tenang
beberapa saat.
Semuanya itu dikatakan sujud dasar. Kewajiban bagi pengikut Sapto Dharmo untuk
melakukan sujud dasar satu kali dalam 24 jam, hal itu disebut juga sembahyang. Lebih utama
bagi warganya kalau melakukan sujud dasar itu lebih dari satu kali dalam sehari semalam.
C. AJARAN DAN SIMBOL SAPTA DHARMA

 AJARAN POKOK SAPTO DARMO

1. Tujuh Kewajiban Suci (Sapto Darmo)

Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut juga
7 Wewarah Suci, yaitu:
1. Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil,
Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
2. Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
3. Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
4. Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
5. Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
6. Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
7. Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).

2. Panca Sifat Manusia


Menurut Sapto Darmo, manusia harus memiliki 5 (lima) sifat dasar yaitu:
1. Berbudi luhur terhadap sesama umat lain.
2. Belas kasih (welas asih) terhadap sesama umat yang lain.
3. Berperasaan dan bertindak adil.
4. Sadar bahwa manusia dalam kekuasaan (purba wasesa) Allah.
5. Sadar bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari Nur Yang Maha Kuasa yang
bersifat abadi.

3. Konsep tentang Alam


Konsep alam dalam pandangan Sapto Darmo adalah meliputi 3 alam:
1. Alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini.
2. Alam Abadi yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan. Dalam terminologi Islam
maknanya mendekati alam akhirat.
3. Alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak
sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang
selama hidup di dunia banyak berdosa.

4. Konsep Peribadatan
Konsep ibadah dalam Sapto Darmo tercermin pada ajaran mereka tentang Sujud Dasar. Sujud
Dasar terdiri dari tiga kali sujud menghadap ke Timur. Sikap duduk dengan kepala ditundukkan
sampai ke tanah, mengikuti gerak naik sperma yakni dari tulang tungging ke ubun-ubun melalui
tulang belakang, kemudian turun kembali. Amalan seperti itu dilakukan sebanyak tiga kali.
Dalam sehari semalam, pengikut Sapto Darmo diwajibkan melakukan Sujud Dasar sebanyak 1
kali, sedang selebihnya dinilai sebagai keutamaan.

5. Menyatu dengan Tuhan


Sebagai hasil dari amalan Sujud Dasar, mereka meyakini dapat menyatu dengan Tuhan dan dapat
menerima wahyu tentang hal-hal ghaib. Mereka juga meyakini, orang yang sudah menyatu
dengan Tuhan bisa memiliki kekuatan besar (dahsyat) yang disebut sebagai atom berjiwa, akal
menjadi cerdas, dan dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit.

6. Hening/ Ening
Yang dimaksud ening atau samadi ialah menenangkan dan menentramkan pikiran (pangrasa)
yang beraneka warna, angan-angan dan sebagainya. Dengan demikian meskipun badan
bergerak, asal hal di atas dilakukan, maka dapat dikatakan seseorang telah ening.
Sebaliknya meskipun tubuh kelihatan tenang, tetapi pikiran, angan-angan dan sebagainya
masih kesana kemari, maka belum dapat dikatakan bahwa orang itu telah ening. Ening
atausamadipada Agama Sapta Darma tak diperkenankan dipakai untuk bermain-main, sebab
dalam hal ini dilakukan dengan menyebut meluhurkan Nama Allah. Diperkenankan ening
bila melakukan pekerjaan atau tugas yang luhur, seperti : Menerima perintah-perintah dari
Hyang Maha Kuasa yang berupa isyarat/tanda-tanda, gambaran, tulisan-tulisan petunjuk
(sastra jendra hayuningrat). Melihat arwah orang tua ataunenek moyang yang telah meninggal,
bagaimana keadaannya, sudahkah diterima di alam langgeng atau belum. Bila masih di dalam
pasiksan, maka kita lakukan sujud untuk memohonkan ampun dan bertaubatnya arwah tersebut
atas segala dosa yang telah dilakukan semasa hidupnya di dunia. Sehingga dapat diterima dan
diangkat dari alam pasiksan dan dapat ditempatkan di tempat yang lebih baik. Melihat tempat-
tempat yang wingit (keramat atau angker) dimana penghuninya (roh jahat) di tempat itu
banyak menganggu ketentraman manusia di sekitarnya. Penghuni yang demikian perlu
disingkirkan dengan kata lain tempat tersebut dihambarkan dan ditawarkan. Dengan
eningpenghuni tersebut dapat diketahui wujudnya, bagaimana roh penasaran atau setan-
setan yang ada disitu, setelah diketahui maka roh-roh tersebut lalu dimohonkan ampun
kepada Hyang Maha Kuasa, agar ditempatkan pada tempat yang semestinya, serta supaya
tidak lagi menganggu umat manusia di sekityarnya. Ening dapat digunakan untuk mengawali
segala tindakan atau tutur kataberbicara, dengan maksud melatih kesabaran dan sifat
berhati-hati guna menuju kepada kebijaksanaan. Dengan demikian maka sikap, langkah,
tindakan serta tutur katanya menjadi selalu benar. Dalam hal ening dapat dilakukan dengan
mata terbuka atau terpejam. Guna melihat saudara, keluarga yang jauh, yaitu bilamana ada
keperluan yang penting sekali dan adarasa yang mendorong untuk itu.
Orang yang berhasil dalam melakukan hening akan dapat melakukan hal-hal yang luar biasa,
antara lain:
(1) dapat melihat dan mengetahui keluarga yang tempatnya jauh,
(2) dapat melihat arwah leluhur yang sudah meninggal,
(3) dapat mendeteksi suatu perbuatan, jadi dikerjakan atau tidak, mendapatkan perlindungan
payung suci.
(4) dapat mengirim atau menerima telegram rasa,
(5) dapat melihat tempat yang angker untuk dihilangkan keangkerannya,
(6) dapat menerima wahyu atau berita ghaib.

7. Racut.
Racut adalah ajaran dan praktek dalam Sapto Darmo yang intinya adalah usaha untuk
memisahkan rasa, fikiran, atau ruh dari jasad tubuhnya untuk menghadap Allah, kemudian
setelah tujuan yang diinginkan selesai lalu kembali ke tubuh asalnya.
Caranya yaitu setelah melakukan sujud dasar, kemudian membungkukkan badan dan tidur
membujur Timur-Barat dengan kepala di bagian timur, posisi tangan dalam keadaan bersedekap
di atas dada (sedekap saluku tunggal) dan harus mengosongkan pikiran. Kondisi tubuh di mana
akal dan fikirannya kosong sementara ruh berjalan-jalan itulah yang dituju dalam racut, atau
disebut juga kondisi mati sajroning urip.

8. Obor Sewu
Saat tanggal 1 suro warga sapta dharma bersama-sama menghidupkan obor sehingga disebut
obor seribu. Biasanya dirumah-rumah dinyalakan obor dengan jumlah 1,3,5,7,9 dan 12
tergantung arti dan jumlah keluarganya. Untuk penyalaan dilakukan 1 malam sebelum, malam 1
suro dan 1 malam sesudahnya. Untuk penjelasan artinya hanya warga sapta dharma saja yang
boleh mengetahuinya.

 SIMBOL SAPTA DHARMA

Gambar diatas adalah gambar Simbol Pribadi Manusia yang melambangkan asal, sifat
dari pribadi manusia yang wahyunya diterima tgl. 12 Juli 1954, jam 11 siang, dimana pada saat
itu ada bayangan sinar berwujud gambar (seperti tersebut diatas) yang bergerak-gerak diatas
meja, sedang gambar yang lain menempel di dinding rumah Bapak Panuntun Agung Sri Gutama
dan sempat disaksikan pula oleh tetangga dan masyarakat yang kebetulan melewati rumahnya.
Begitu berhasil digambar oleh pengikut Sri Gutama maka gambar tersebut menghilang.

Maksud dan makna simbol tersebut adalah :


 Bentuk segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia, yaitu:
a. Sudut puncak : Sinar Cahaya Allah.
b. Sudut bawah : sari-sari bumi.
c. Sudut kanan dan kiri : perantaranya (nur buat) ayah dan ibu.
 Tepi belah ketupat yang berwarna hijau tua, menggambarkan wadag (raga) manusia.
 Dasar warna hijau muda (maya), merupakan gambar Sinar Cahaya Tuhan. Berarti bahwa
didalam wadag/raga manusia diliputi Sinar cahaya Allah.
 Segi tiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas menunjukkan asal
terjadinya (=dumadi) manusia dari tri tunggal, ialah :
a. Sudut atas : sinar Cahaya Allah (nur Cahaya),
b. Sudut kanan bawah : Air sarinya Bapak (Nur Rasa),
c. Sudut kiri bawah : air sarinya Ibu (Nur Buat).
Warna putih menunjukkan bahwa asal manusia dari barang yang suci/bersih baik luar maupun
dalamnya. Sedangkan garis kuning emas yang ada ditepi segitiga mempunyai arti bahwa
ketiganya asal manusia tersebut mengandung Sinar Cahaya Allah.
 Segi tiga sama sisi yang tertutup lingkaran warna hitam, merah, kuning, putih, tersebut
membentuk tiga buah segitiga sama sisi pula yang masing-masing segi tiga mempunyai 3 sudut
sehingga 3 segitiga jumlahnya ada 9 sudut ini melambangkan bahwa manusia memiliki 9 lobang
(babahan hawa sanga) yang terdiri dari mata ada 2 lubang, hidung 2 lubang, telinga 2 lubang,
mulut 1 lubang, kemaluan 1 lubang, pembuangan/pelepasan 1 lubang.
 Lingkaran melambangan keadaan manusia yang selalu berubah-ubah (anyakra
manggilingan) dimana manusia akan kembali ke asalnya, rohani kembali kepada Hyang Maha
Kuasa untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia, sedang jasmaninya kembali ke
bumi.
 Lingkaran hitam melambangkan, bahwa manusia memiliki nafsu angkara, nafsu ini
berasal dari hawa hitam, karena mempunyai getaran yang beku, wujudnya antara lain berupa
kata-kata yang kotor, pikiran, dan kemauan yang jelek dan seterusnya.
 Lingkaran merah melambangkan bahwa manusia memiliki nafsu amarah.
 Lingkaran Kuning melambangkan nafsu keinginan yang timbul karena indera
penglihatan.
 Lingkaran putih melambangkan nafsu kesucian/perbuatan yang suci di indra hidung.
 Besar kecilnya lingkaran melambangkan besar kecilnya 4 sifat tersebut.
 Lingkaran putih ditutup gambar Semar, ini melambangkan lubang ke 10 yang tertutup
(Pudak Sinumpet) yang letaknya di ubun-ubun.
 Warna putih pada gambar Semar melambangkan Nur Cahaya atau Nur Putih, Nur Petak
ialah Hawa Suci (Hyang Maha Suci) dimana hanya Hyang Maha Sucilah yang mampu
berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa, caranya dengan menyatukan rasa di ubun-ubun hingga
terwujud Nur Putih. Gambar Semar juga melambangkan Budi Luhur.
 Gambar Semar menunjuk dengan jari telunjuk, melambangkan memberikan petunjuk
pada manusia bahwa hanya ada satu sesembahan yaitu Allah Hyang Maha Kuasa.
 Semar menggenggam tangan kirinya mengkiaskan bahwa ia telah memiliki keluhuran.
Semar pakai kelintingan suatu tanda agar orang mendengar bila telah dibunyikan. Semar
memakai pusaka menunjukkan bahwa tutur katanya (sabdanya) selalu suci. Lipatan kainnya 5
menunjukkan bahwa Semar telah memiliki dan dapat menjalani lima sifat Allah : Agung,
Rokhim, Adil, Wasesa, dan Langgeng.
 Tulisan dengan huruf Jawa : Nafsu, Budi, Pakerti, pada dasar hijau maya. Artinya
memberi petunjuk bahwa manusia memiliki nafsu budi dan pakerti baik yang luhur maupun
rendah/asor atau yang baik maupun yang buruk.
 Tulisan Sapta Darma berarti : Sapta berarti tujuh, Darma berarti amal kewajiban suci,
maka dari itu warga Sapta Darma wajib menjalankan isi wewarah tujuh seperti yang dikehendaki
Hyang Maha Kuasa.
 Dengan mengetahui asal manusia dan isi yang ada didalam tubuh manusia yang harus
dimengerti serta harus diusahakan oleh manusia demi tercapainya keluhuran budi pakerti sesuai
dengan Wewarah Ajaran Kerohanian Sapta Darma.

D. PERKEMBANGAN AJARAN SAPTA DHARMA

Selama penyebarannya Ibu Soewartini dianggap bagi Warga Sapta Darma yang juga turut
berperan serta dalam membantu Pemerintah Indonesia, bahkan pada era itu, Ibu Soewartini
Martodihardjo, SH menjabat selaku anggota Majelis Permusyawaratn Rakyat Republik Indonesia
yang mewakili kelompok penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini menurut warga Sapta
Darma merupakan bentuk kepedulian terhadap keadaan negara dan juga merupakan salah satu
kiprah dari pengalaman (darma) yang tercantum dalam Wewarah Tujuh.
Untuk menindaklanjuti fatwa Panutan Agung Sri Gutama mengenai pendanaan untuk
menunjang kegiatan para Tuntunan, maka dengan akta nomor 23 yang dibuat dihadapan Notaris
Wiranto, SH, pada tanggal 17 Maret 1959 didirikan Yayasan Srati Darma atau disingkat
YASRAD, di mana perkembangannya sangat pesat dan memberikan manfaat besar bagi
pelaksanaan ajaran Kerokhanian Sapta Darma.
Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 5, maka
Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka menyebutnya
aliran kepercayaan. Pusat dari ajaran Sapto Darmo ini adalah di Yogyakarta (Sanggar Candi
Sapta Rengga) sebagai kiblat dan pusat ibadah. Dengan adanya ketentuan Pemerintah yang
mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan yaitu Undang-undang No.8 tahun 1958 maka
berdasarkan putusan Sarasehan Agung Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma pada tanggal 27
Desember 1986 dibentuklah suatu wadah untuk menghimpun dan membina warga serta
Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma yang bernama Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA).
PERSADA merupakan merupakan organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya berorientasi di
bidang rohani (spiritual). Dengan adanya PERSADA, maka untuk selanjutnya yang berhubungan
dengan pihak luar yaitu Instansi Pemerintah, agama dan juga ajaran-ajaran kepercayaan lainnya.
Hal ini merupakan bentuk tindak lanjut dari keinginan untuk tetap menunjukkan eksistensi
kerokhanian ajaran Sapta Darma bagi para warga Sapta Darma, karena disadari bahwa Sapta
Darma belum mendapat pengakuan secara penuh dari negara maupun sebagian masyarakat
terhadap keberadaannya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi warga Sapta Darma tidak melihat
perbedaan kepercayaan dan keyakinan maupun hubungan antara sesama manusia dengan
kepentingan dan asal-usul yang berbeda sebagai sebuah penghalang atau hambatan dalam
menanamkan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Sebagaimana dari pengalaman-
pengalaman perjalanan Warga Sapta Darma dalam penyebaran ajarannya sering mengalami
berbagai tekanan dalam pemahaman yang dianggap sepihak oleh pihak-pihak tertentu. Semisal
dalam beberapa waktu lalu terjadi penyerangan terhadap Sanggar (tempat ibadah) warga Sapta
Darma. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam kepercayaan dan keyakinan di Indonesia
belum dapat dimaknai secara baik oleh warga negara. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya
keretakan hubungan antara sesama.
Apa yang dialami oleh warga Sapto Darmo inilah yang dapat kita katakan sebagai
kelompok subaltern. Subaltern menurut Gayatri Spivak, dimaksukan adalah subjek yang
tertekan. Menurutnya subaltern memiliki dua karakteristik penting. Pertama, adanya penekanan
dan kedua, di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Fenomena inilah yang
dapat dilihat bagaimana sebuah penekanan dan proses pendisriminasian yang dialami Warga
Sapto Darmo selama ini.
Kasus lainnya misalnya kesulitan yang dialami warga Sapto Darma mendapatkan
perlakuan dalam hal pelayanan publik seperti pengurusan KTP, pernikahan yang sah menurut
negara, kartu keluarga, belum lagi cibiran dan pandangan sebagian masyarakat di luar kelompok
ini yang bersifat negatif, di cap aliran sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah beberapa tragedi penyerangan sekelompok Ormas terhadap para
penghayat ajaran ini, seperti banyak terjadi di berbagai daerah semisal Klaten, Semarang, Pati
dan di Jogjakarta sendiri semisal yang terjadi di Perengkembar, Gamping Sleman, tahun 2008
silam. Kasus lain adalah tidak diterimanya jenazah penghayat ketika meninggal oleh penduduk
setempat, sampai yang sudah dikuburpun, harus dibongkar dan dipindahkan seperti terjadi di
Brebes, Jawa Tengah. Adapula beberapa kasus yang dialami dalam jajaran birokrasi yang
mempermasalahkan Ajaran Sapta Darma ketika berurusan dengan masalah jabatan dan kenaikan
kepangkatan/golongan pegawai negeri sipil.
Hal tersebut memang agak berkurang setelah keluarnya UU no. 23/2006 yang cukup
mengakomodasi kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, sehingga mulai di
akomodirnya kebutuhan mereka, salah satunya di KTP mereka di tulis agama lain-lain bahkan
dalam kasus tertentu langsung ditulis agama Sapta Darma, yang sebelumnya mereka dimasukkan
ke dalam salah satu agama yang diakui negara. Namun diakui informan, proses subordinasi
sampai saat ini masih dirasakan dan sering terjadi, walaupun tidak sebanyak dulu.
Beberapa pengakuan yang diakui oleh informan, seperti bukti KTP (Kartu Tanda
Penduduk) yang dalam identitasnya telah ditulis agama Sapta Darma merupakan sebuah upaya
yang tidaklah mudah dalam prosesnya, karena Sapta Darma yang belum diakui oleh negara
sebagai salah satu agama. Sementara warga Sapta Darma lainnya, dalam identitas KTP nya
ditulis lain-lain.
Bagi para warga Sapta Darma, mengimplementasikan ajaran yang sesuai dengan ajaran
yang diterimanya (sebagaimana tercantum dalam wewarah tujuh) sebagai pedoman hidup
tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan pada umumnya yang menganjurkan
kebersamaan dan kejujuran dalam kehidupan. Namun perlakuan yang diskriminatif yang
dirasakan selama ini tentunya bagian dari cobaan dalam kehidupan yang begitu plural/majemuk.
Jaminan yang tercantum dalam konstitusi kita yang menjamin kebebasan beragama dan
kepercayaan/keyakinan belumlah dapat dimaknai secara keseluruhan. Walaupun agama yang
diakui negara sudah ditetapkan, namun kepercayaan lain yang dimiliki atau diyakini oleh
masyarakat lainnya pun tidak kalah penting untuk dihormati selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai bangsa dan negara ini. Bangsa Indonesia yang kaya akan pluralitas ini belum mampu
memahami akan pluralitasnya, sehingga dalam tataran tertentu menghilangkan nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi pemerintah menafikkan keadaan mereka
dalam negara ini, dengan tidak mengakomodir kebutuhan mereka sebagai warga negara. Terjadi
proses diskriminasi dalam urusan-urusan publik yang justru menjadi kebutuhan nyata bagi
mereka. Harapan mereka hanya ingin ketentrama dan kedamaian dalam menjalankan
keyakinannya dan kebutuhan sebagai warga negara tercukupi. Oleh karena itulah mereka butuh
pengakuan Negara serta pengakuan masyarakat sehingga hubungan kemanusiaan antar sesama
seperti yang dianjurkan oleh semua kalangan dapat tercapai.

E. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA ALIRAN KEBATINAN DI INDONESIA

Banyak hal yang mengakibatkan timbulnya aliran kebatinan dan kepercayaan di


Indonesia. Dilihat dari sudut pandang antropologi timbulnya aliran kebatinan atau bahkan juga
agama ( agama wadl’I ) adalah disebabkan oleh pengalaman hidup manusia yang selalu
menghadapi kesulitan dan pengalaman menyelesaikan masalah yang sangat rumit bahkan
mungkin tidak dipecahkan. Pada dasarnya aliran kebatinan itu timbul karena terjadi respon
terhadap sesuatu yang terjadi atau tantangan yang datang dari lingkungan dimana manusia itu
berada.
Sebab timbulnya aliran kebatinan dan kepercayaan itu diantaranya dapat disimpulkan
sebagai berikut :

1. “ Islam masuk Indonesia, khususnya Jawa, dengan jalan damai dan dengan
toleransi tinggi terhadap keyakinan yang ada sebelumnya yaitu Hindu-Budha dan
agama primitive, Ada sekelompok orang yang mencampur adukan ajaran agama-
agama dengan cara mengambil unsur dan ajaran dan keyakinan yang paling baik
pula.
2. Dari sekelompok non-muslim menganggap bahwa agama-agama itu khusunHya
Islam, adalah agama impor, maka mereka menolak dan bahkan mereka itu
menentang ajaran Islam.
3. Bagi mereka yang menganggap bahwa agama-agama itu bukan asli Indonesia
( Jawa ), mereka ingin kembali dan mencari yang Jawa asli. Mereka menghendaki
agama yang benar-benar murni dan asli dari Tuhan yang diperuntukkan bagi
setiap individu.
4. Sekelompok orang yang ingin memasyhurkan nama, dengan membuat praktek
perdukunan dan perguruan kebatinan.
5. Karena kekacauan politik, ekonomi, social, budaya dan keagamaan, karena sulit
mengatasi masalah tersebut, orang cenderung untuk menanggulanginya melewati
jalan spiritual meninggalkan duniawi menengadah kelangit untuk mendapatkan
ketentraman jiwa menghindarkan diri dari penderitaan. Jalan yang sering
ditempuh untuk menanggulangi masalah, tidak lagi mengikuti hukum alam, tetapi
lebih suka menggunakan hal-hal ghaib yang tidak sejalan dengan logika.
PENUTUP

Kepercayaan penduduk Indonesia pada periode awal kepada kehidupan dan lingkungan
mereka tinggal telah mendasari adanya berbagai ragam keyakinan mereka di periode berikutnya,
terlebih hal itu juga dipengaruhi oleh penyebaran dakwah-dakwah penyebar agama-agaman di
negeri ini yang tidak dapat dipahami secara sempurna oleh penduduk Indonesia saat itu.

Aliran Kepercayaan adalah suatu aliran yang berkaitan dengan alam ghoib yang tidak
bisa di akali oleh manusia. Dan Aliran Kebatinan adalah aliran yang mengeluarkan kekuatan
kebatinan dalam diri manusia.
Aliran kepercayaan dapat disebut aliran kebatinan, kerohaniaan, kejiwaan, kejawen, dan
lain sebagainya.
Sebab timbulnya Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dikarenakan oleh pengalaman hidup
manusia yang selalu menghadapi kesulitan dan pengalaman menyelesaikan masalah yang sangat
rumit bahkan mungkin tidak dipecahkan.
TANGGAPAN MAHASISWA

A. Tomas Riangga
Tanggapan saya akan hal ini adalah ketidakpuasaan masyarakat indonesia terutama di
Jawa terhadap agama-agama besar yang ada di indonesia membuat manusia mencari cara sendiri
untuk membuat hidupnya lebih baik dan untuk berhubungan dengan Allah. Sehingga aliran
kebatinan menjadi suatu hal yang menjadi pilihan yang baik untuk memperbaiki kualitas
kehidupan untuk mencari kedamaian dan ketentraman jiwa. Sebagai orang percaya saya lebih
menekankan pada kita harus melakukan dan menjiwai ajaran Tuhan Yesus dalam kehidupan kita,
sehingga tidak mudah terhasut dengan ajaran-ajaran lain selain Kristus. Namun kita juga tidak
boleh menghakimi mereka karena walaupun tidak mengenal Kristus namun ajaran yang mereka
amalkan menurut saya sangat ke arah kebaikan untuk kehidupan sesama manusia dan
perdamaian sangat dikedepankan.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.facebook.com/pages/kerohanian-sapta-darma/247191307675

http://derapkaki.multiply.com/journal/item/83/Ajaran_Sapta_Darma

http://www.facebook.com/topic.php?uid=191815538585&topic=12594

http://www.facebook.com/note.php?note_id=295428715960

http://fathsuxegtu.blogspot.com/2010/01/studi-kritis-terhadap-aliran-sapto.html

http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com/msg12942.html

http://petaksd.blogspot.com/2010_11_01_archive.html

http://petaksd.blogspot.com/

http://www.kaskus.us/showthread.php?p=234476782

http://kerajaanagama.wordpress.com/2010/08/06/ajaran-kejawen-sapto-darmo-dalam-pandangan-
islam/

http://www.facebook.com/group.php?gid=50352163010&v=info#!/group.php?
gid=50352163010&v=info(group facebook)

http://antoniussukoco.blogspot.com/2010/09/apakah-itu-sapta-dharma.html

http://www.subhanagung.net/2010/08/komunitas-sub-altern-dan-pr-negara.html
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai