Anda di halaman 1dari 5

PA BAPAK SEPUH

GITJ INDUK JUWANA

BAHAN PA – Masa Penghayatan Hidup Berkeluarga - 2022


Bahan Bacaan: Efesus 2: 11-22

KELUARGA-KU KELUARGA ALLAH

PENGANTAR

Keluarga adalah sekelompok (dua atau lebih) orang yang terhubung baik
secara biologis (darah), atau melalui pernikahan, atau adopsi, atau berdasarkan
pilihan, di mana satu anggota dengan anggota yang lain saling terikat secara
emosional dan berkomitmen untuk hidup bersama.

Keluarga yang berfungsi dengan baik bukan berarti keluarga yang tidak
pernah mengalami masalah, melainkan keluarga yang mampu menghadapi
berbagai tantangan dan beradaptasi dengan perubahan.

KELUARGA-KU KELUARGA ALLAH

Pernahkah kita melihat sebuah gelas di atas meja yang tidak sengaja
tersenggol kemudiah jatuh dan pecah? Atau kita sedang mengagumi warna indah
dari balon yang baru kita beli namun kemudian tidak sengaja tertusuk ranting
PA BAPAK SEPUH
GITJ INDUK JUWANA

pohon sehingga kita terkaget karena balon tersebut pecah? Peristiwa-peristiwa


tadi menunjukkan kondisi sesuatu yang semula utuh kemudian pecah. Setiap
perpecahan selalu diawali dengan perbedaan. Misalnya, ada perbedaan tekanan,
di mana gelas yang semula terletak di atas meja terjatuh – tekanan lantai yang
keras itu membuatnya pecah. Demikian juga balon yang semula utuh karena
tekanan dari ranting pohon yang menusuk, balon tersebut pecah.

Dalam skala kecil maupun besar, perpecahan dapat terjadi karena


perbedaan-perbedaan yang sudah tidak dapat dikelola dengan baik, sehingga
menjadi tekanan yang tidak dapat ditahan lagi. Padahal, perbedaan ada di mana-
mana. Bahkan dua orang yang terlahir sebagai anak kembar pun memiliki
banyak perbedaan. Oleh karena itu sangat diperlukan kemampuan untuk
mengelola perbedaan, agar tidak menimbulkan perpecahan, baik dalam
komunitas keluarga, jemaat, maupun komunitas lain yang lebih luas.

Teori Beavers dan Hampson(*) menggambarkan bahwa timbulnya


keretakan atau perpecahan dalam keluarga tidak terjadi dengan tiba-tiba.
Keretakan atau potensi perpecahan dalam keluarga itu berawal dari hal-hal yang
tampak kecil yang tidak terselesaikan dengan baik. Saat perbedaan muncul (baik
karena beda kelompok usia/ beda generasi, beda minat, beda pendapat, atau
lainnya), disitulah setiap orang perlu belajar mengelola perbedaan itu dengan
baik agar keutuhan tetap terjaga. Ini bukan hanya tugas pasutri atau orangtua,
melainkan juga anak-anak; siapapun yang ada dalam keluarga tersebut.

Dari bacaan Alkitab kita saat ini kita belajar tentang Allah yang merangkul
dua pihak yang dianggap sangat berbeda. Tuhan menjadi ‘perekat’ yang
menyatukan mereka yang berbeda itu sebagai anggota-anggota keluarga Allah.

Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Efesus tentang identitas mereka


sebagai orang-orang bukan Yahudi yang semula hidup tanpa pengharapan,
PA BAPAK SEPUH
GITJ INDUK JUWANA

bahkan tanpa Allah. Oleh orang-orang Yahudi, mereka dianggap sebagai orang-
orang yang jauh dari Allah, dan jauh pula dari keselamatan. Namun setelah
mereka mengenal Kristus, identitas mereka diperbarui. Mereka yang semula
dipandang jauh dari Allah dan karya keselamatan-Nya, kini menjadi dekat.
Kristus telah mempersatukan semua orang yang percaya kepada-Nya, baik
mereka yang semula dipandang “dekat” dengan keselamatan itu, yaitu orang-
orang Yahudi – maupun mereka yang semula dipandang “jauh” dari
keselamatan, yaitu orang- orang bukan Yahudi. Kedua belah pihak yang telah
disatukan di dalam Kristus itu menjadi sebuah keluarga besar umat Tuhan. Tidak
ada lagi yang menjadi “orang asing” atau “pendatang” di antara mereka, sebab
kini masing-masing adalah “anggota keluarga Allah”.

Efesus 2: 11-22 tadi mengingatkan kita tentang tentang beberapa hal,


sebagai berikut:

1. Kesatuan keluarga Allah itu terjadi melalui Kristus. Melalui


pengorbanan Kristus di salib, Allah merengkuh dan memanggil
setiap orang dalam anugerah ilahi. Rengkuhan kasih Allah melalui
Kristus itu membangun persatuan. Kedua belah pihak yang semula
berseteru telah diperdamaikan. Yang dahulu “jauh” dari Allah dan
karya keselamatan-Nya, kini menjadi “dekat”. Yang semula menjadi
seteru, kini menjadi anggota keluarga.
2. Umat yang telah diperdamaikan itu disebut sebagai “manusia baru”
(ayat 15). “Baru” dalam hal ini dikaitkan dengan penghayatan umat
akan Siapa/apa yang diimaninya, yaitu Kristus yang membebaskan,
bukan lagi Taurat yang mengungkung. Sebagai manusia baru,
kehidupan umat Tuhan juga memiliki tujuan/ arah yang baru, yaitu
untuk hidup dalam damai sejahtera.
PA BAPAK SEPUH
GITJ INDUK JUWANA

3. Umat dibangun dengan Kristus sebagai batu penjuru. Batu penjuru


adalah sebuah batu besar dan kokoh yang ditempatkan pada sudut
utama suatu bangunan. Letak batu ini menjadi acuan bagi
pengukuran bagian-bagian lain dari bangunan tersebut. Batu
penjuru juga menghubungkan bagian ujung tembok yang satu
dengan tembok di sebelahnya (membentuk sudut). Itulah sebabnya
pada ayat 20 dikatakan bahwa Yesus-lah batu penjuru bagi
pembangunan anggota keluarga Allah.

Ketiga poin penekanan di atas menunjukkan inisiatif Allah untuk menyatukan


umat-Nya. Perbedaan Yahudi dan bukan Yahudi yang semula dianggap sebagai
tembok pemisah pun telah diruntuhkan, dan Sang Batu Penjuru menyatukan
kedua perbedaan itu. Demikian pula dalam kehidupan umat Tuhan di masa kini.
Ada banyak perbedaan yang dapat menjadi sumber perpecahan, termasuk dalam
lingkup keluarga kita. Hari ini kita disadarkan bahwa Tuhan Yesus
memperdamaikan kita di tengah berbagai perbedaan. Ia menjadikan kita
manusia baru yang hidup dalam damai sejahtera-Nya, untuk ikut melakukan
karya-Nya di dunia. Dengan Kristus sebagai batu penjuru, kita diutus untuk
berkarya dengan tetap menjadikan Kristus pusat hidup kita.

Kita semua telah diterima oleh Allah dengan setiap keunikan kita, dan
dipersatukan dengan sesama yang berbeda dengan kita. Dalam lingkup keluarga,
Kristus menjadi pusat kehidupan kita, di mana setiap karya kita mestinya tertuju
pada tekad untuk memuliakan Tuhan. Komunikasi antara suami dengan istri,
orangtua dengan anak, maupun antar saudara didasari dengan kesediaan untuk
saling menerima, bukan sebagai “aku dan kamu/mereka” melainkan sebagai
bagian dari “kita”. Setiap anggota keluarga juga mengalami proses pertumbuhan
dari waktu ke waktu, yaitu ketika mereka belajar untuk saling menerima dan
PA BAPAK SEPUH
GITJ INDUK JUWANA

menghargai, belajar untuk menumbuhkan kualitas komunikasi, saling


menyemangati dalam karya, serta saling menguatkan dengan nilai-nilai iman
yang dipegangnya.

Jika ada kalanya keluarga kita mengalami pergumulan tertentu, kiranya


ingatan akan kebersamaan sebagai keluarga Allah di dunia ini juga
menyemangati kita untuk tetap bertahan dan berjuang bersama-sama dalam
kesetiaan kepada Tuhan.

PERTANYAAN UNTUK DISKUSI


1. Menurut Anda, faktor atau kondisi apa yang dapat menyebabkan
hubungan antar anggota keluarga bisa menjadi renggang dan terganggu?

2. Menyambung pertanyaan sebelumnya, lalu menurut Anda apa yang dapat


kita lakukan ke dalam sebagai keluarga Allah, untuk mengelola kondisi
tadi sehingga hubungan keluarga kita tetap terjalin dengan harmonis?

3. Mari bagikan pengalaman, praktik tindakan nyata apa yang bisa dan telah
menjadi kesaksian Anda dan anggota keluarga sebagai “Keluarga Allah” di
tengah jemaat dan masyarakat, khususnya sebagai wujud solidaritas di
tengah pergumulan situasi pandemi yang masih kita hadapi bersama saat
ini?

Anda mungkin juga menyukai