TEMA:
PEMUDA GKJW “MELU TANDANG GAWE”
KATA PENGANTAR
Salam Kasih dan Salam Patunggilan
Syukur kepada Tuhan yang Yesus Kristus, atas rahmat dan kuasaNya, kita senantiasa
ada dalam penyertaan Tuhan. Khususnya dalam lingkup persekutuan. Persekutuan
sering dimengerti sebagai bagian dari internal gereja. Bagian internal ini sering juga
dimengerti sebagai kategorial. Setiap kategorial membutuhkan pelayanan
disesuaikan dengan kebutuhan dalam masing-masing kategorial. Pendekatan
kategorial sudah mulai lama muncul.
Majelis Agung GKJW, khususnya bidang persekutuan melihat bahwa persekutuan
tidak hanya dimengerti dalam dimensi kategorial saja. Persekutuan perlu dimengerti
sebagai bagian dari kata persekutuan itu sendiri. Persekutuan harus bisa dilihat
dalam bingkai intergenerasi. Pendekatan kategorial membutuhkan pendekatan
intergenerasi.
Begitu juga dalam pekan pemuda ini. Tema Pekan Pemuda Melu tandang Gawe
harus bisa dilihat dalam pendekatan baik pendekatan kategorial dan pendekatan
intergenerasi. Setiap kategorial membutuhkan pelayanan sesuai dengan teori
perkembangan (jenjang usia), sedangkan intergenerasi mengharapkan penghargaan
perbedaan dan perjumpaan antar generasi.
Melalui Pekan Pemuda ini diharapkan Pemuda tidak hanya memikirkan diri sendiri
tetapi juga sadar bahwa pemuda membutuhkan generasi lainnya, baik generasi
dibawahnya dan generasi sebelumnya. Hal ini bukan untuk eksistensi kepemudaan
melainkan keberlangsungan kemuliaan Tuhan melalui pelayanan gereja.
Demikian pengantar ini, atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
1
Widi Artanto, Gereja dan Misi-Nya: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2015), h.7. Bahwa misi Kerajaan Allah
adalah misi penyelamatan Allah bagi seluruh ciptaan. Penyelamatan dari Allah itu bersifat utuh
dan menyeluruh. Mencakup keselamatan pribadi dan sosial/komunal. Baik itu, keselamatan
jasmani dan rohani, dalam semua bidang kehidupan dan menuju pada pemulihan seluruh ciptaan.
Dimana Allah melalui Sang Kristus, telah memanggil kita semua, untuk menjadi mitra/rekan
sekerja-Nya, untuk ikut mewujudkan hal tersebut.
2
Daniel K. Listijabudi, Meracik Jamu Kehidupan, (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2008), h.60.
Ketika kita menempatkan Tuhan Yesus sebagai Sang Guru Agung dan kita adalah
murid-muridNya, maka hal itu pastilah akan mempengaruhi cara hidup kita dalam
berelasi dengan orang lain. Terlebih khusus, pastilah akan mempengaruhi cara
hidup kita dengan keluarga kita sendiri. Kita akan tahu bagaimana caranya
mengasihi, mengampuni, merendahkan hati, menekan egoisme diri, mengucapkan
kata-kata penuh berkat dan bukan kutuk/umpatan serta makian. Kita akan tahu
bagaimana caranya merangkul dan bukan memukul. Kita akan tahu bagaimana
hidup dalam kebenaran dan penyembahan kepada Allah. Kita akan tahu bagaimana
caranya merasakan dan pada titik yang sama, turut menghadirkan damai sejahtera,
keharmonisan dan sukacita; bukan justu sebaliknya.
Mengagumi Tuhan Yesus dan mengetahui ajaranNya memang merupakan langkah
yang penting. Tetapi tidak akan banyak mengubah hidup kita, kecuali kita
menghayati/menghidupi karya dan laku hidupNya, dalam hidup kita sehari-hari.
Banyak orang beragama menganggap tuhannya istimewa karena memahami ia
maha kuasa, dan maha besar. Berganti-ganti agama dan tuhan, tidak akan ada
bedanya selama yang disembah itu sebatas dipahami sebagai tuhan yang maha
kuasa dan maha besar. Injil justru mengajarkan bahwa menyembah Tuhan yang
maha kuasa dan maha besar itu tidak banyak manfaatnya bagi kehidupan dunia. 4
Sejarah mencatat, justru banyak perang meletus dengan aksi-aksi kekerasan dan
pembunuhan terjadi, karena tuhan yang dihayati adalah tuhan yang maha kuasa
3
Daniel K. Listijabudi, Meracik Jamu...., h.61.
4
Yahya Wijaya, Tertarik Kepada Tuhan yang Tidak Menarik, (Jakarta: Grafika KreasIndo, 2017),
h.97
5
Yahya Wijaya, Tertarik Kepada...., h.98
6
https://kbbi.web.id/gereja
Dasar Teologis
Dalam Perjanjian Lama, kehidupan Israel sangat dekat dengan hubungan
kekerabatan dan komunitas. Sebutlah perayaan-perayaan Yahudi atau suasana
genting senantiasa melibatkan seluruh generasi untuk masuk dalam perjanjian
Tuhan (Ul. 29:10-12). Begitu juga dalam tradisi Paskah (Passover) Israel melibatkan
semua anggota keluarga, untuk hadir memperingati keluarnya bangsa Israel dari
tanah Mesir. Salah satu tradisi paskah adalah Haggadah (kisah, mengisahkan cerita
dengan cara melantunkannya). Haggadah ini merupakan drama yang dituturkan
untuk mengenang sejarah Israel, sehingga kerabat dan keluarga terlibat kembali di
dalamnya seperti yang dialami nenek moyang mereka. Umumnya tradisi Haggadah
ini diawali dengan kalimat “bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia
pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana…” (Ul. 26:5-6). Semua ini
ingin menandaskan bahwa apa yang menjadi tradisi dan perjanjian Tuhan secara
konsisten diajarkan kepada generasi yang lebih muda (Ul. 6:6-7). 7
7
Memang di sisi lainnya, keluarga dalam konteks Israel seringkali mengalami kontestasi keluarga.
Salah satu contoh adalah pengkhususan keturunan Lewi sebagai pemegang jabatan imam. Ritus
Israel berpusat pada Yerusalem. Yerusalem tampil tidak hanya sebagai pusat ritus melainkan juga
sebagai pusat politik. Setelah Yerusalem hancur karena bangsa Israel masuk ke tanah perbudakan
Babylonia, pusat ritus dan politik bergeser kepada kekudusan dengan menjaga tradisi Israel
melalui pengajaran-pengajaran pada generasi yang lebih muda, termasuk di dalamnya adalah
tradisi anti kawin campur.
8
Generasi di masa Yesus dan Paulus sangatlah berbeda dengan generasi sekarang. Yesus dan
Paulus sempat menggambarkan bahwa masa generasi pada waktu itu tidak akan berlalu, artinya
generasi pada waktu itu dipengaruhi suasana akhir zaman (Parousia)
9
MAJELIS AGUNG GREJA KRISTEN JAWI WETAN, TATA DAN PRANATA, MALANG 1996, hal. 227
Heri, panggilan akrabnya, semenjak kecil ikut ayahnya ke tegal. Ia menikmati ketika di
tegal kopi, milik ayahnya. Pukul 04.30, biasanya dia sudah bangun. Setelah mengambil
doa sejenak doa pagi, gegas dia menuju kandang ternaknya, di belakang rumah. Memberi
makan pada ternak. Setelah itu, bersih diri, dan sarapan. Sekitar pukul 7, dia sudah siap
menuju tegal.
Saat usia 13 tahun, sang ayah mengajaknya menanam kopi di lahan seluas satu hektar.
Semenjak itulah, dia mengenal bibit tanaman kopi. Jemari tangannya, belajar merawat
dan menjaganya tetap bertumbuh subur.
Tahun 1997, terjadilah peristiwa yang membekas kuat dalam dinding ingatannya. Saat
itu, ada banyak orang yang menjarah hutan membabat pohon. Sepasang matanya
menyaksikan sekaligus merekam, pohon-pohon besar berusia puluhan tahun, ambruk
bertumbangan ditebangi.
Bagi sebagian orang, peristiwa yang terjadi di saat era reformasi itu merupakan ledakan
emosi yang lama terpendam. Masyarakat di pinggir hutan, merasa tidak mendapat
perlakuan secara adil, khususnya perihal pengelolaan hutan. Sebuah peristiwa yang
marak terjadi di beberapa tempat, khususnya daerah pegunung di Malang selatan dan
beberapa daerah lainnya.
Peristiwa yang menggoreskan jejak tak terlupakan dalam ingatan putra pasangan Dul
Bakri dan Dasiyem ini. Dia seperti merasakan ada yang sakit dalam tubuhnya. Hutan
yang biasa menjadi tempatnya bermain, tetiba menjadi padang belantara yang
menyesakkan.
“Semenjak itu, kalau melihat alam dirusak, saya merasa sakit. Entah ya, kalau ada orang
nebangi pohon di alas maupun orang menyiramkan racun ke kali untuk menangkap ikan.
Ndak tau, rasane kok gak trima,” tuturnya lirih. Nampak ia tersenyum tipis getir.
Hati kecilnya berbisik, “Saya ingin menanam kopi dan merawat alam, agar lahan itu tidak
gundul.”
Warga desa Srimulyo, semenjak dulu, mayoritas bertanam kopi dan cengkeh. Sama
seperti keluarga petani kopi lainnya, Heri mendapat pengetahuan budidaya kopi dari
warisan yang diturunkan orangtuanya. Berbekal pengetahuan yang diturunkan itu, Heri
merawat tanaman kopinya. “Ya waktu itu, istilahnya, sukur nandur, sukur panen. Asal
menanam, asal bisa panen. Sama seperti petani kopi lainnya. Bertani kopi secara
tradisional,” kenangnya.
Di samping tanaman kopi, warga setempat juga menanam pisang. Bahkan, bisa disebut
hampir semua warga mayoritas menanam pisang di lahan Perhutani itu. Bagi banyak
warga, tanaman pisang adalah jawaban atas tindihan nasib kemiskinan yang dialami
selama ini. Buah pisang cepat tumbuh. Jadi, bisa segera dipanen dan dijual.
Menurut Heri, tahun 2011, bersama warga desa lainnya, dia mengikuti program
pendampingan penanaman pisang mas (kirana) dari Bank Dunia. Program pendampingan
tersebut, ditujukan bagi para petani yang tergabung dalam asosiasi petani dari tiga desa,
yaitu Desa Srimulyo, Sukodono dan Baturetno.
Para petani mendapatkan berbagai bantuan. Mulai dari materi yang bersifat
pengetahuan, mulai dari , cara budidaya, perawatan hingga strategi pemasaran. Di
samping itu, diberikan pula bantuan berupa bibit tanaman pisang mas.
Ketika musim panen tiba, para petani anggota asosiasi bersepakat, penjualan pisang
melalui ‘satu pintu’. Model penjualan ‘satu pintu’, membuat harga jual pisang, dapat
stabil. Pengiriman hasil panen, telah terjadwal dan rutin seminggu sekali. Pasarnya, tak
hanya ke kota Malang dan Surabaya. Namun sempat beberapa kali mengirim ke
Yogyakarta.
Dalam salah satu pertemuan di tahun 2014, Mangku, menurut Heri, sempat
mengibaratkan tanaman kopi seperti isteri tua. “Kopi itu ibaratnya bojo tua. Mbok tuwek.
Warga di sini, sebelum menanam pisang, sudah menanam kopi lebih dulu. Bareng wis
kenal pisang, mbok enom, mbok tuweke ditinggal ora diopeni. Warga tak lagi ngrumati
tanaman kopi. Bojo tua kok gak dirumati. Nah, sejak itulah, kami mulai melirik kembali
tanaman kopi. Ya, bagaimanapun, sebelum ada pisang, kami hidup dari kopi,” tandas
Heri.
Rasa empati Heri terhadap tanaman, hewan dan lingkungan, membuatnya lebih
menikmati kegiatan pertanian yang digelutinya. Semangat itu, memupuk tumbuhnya rasa
ingin tahunya semakin bertumbuh.
Tahun 2012, dia mengikuti pelatihan budidaya kopi. Kegiatan dari program CSR
(Company Social Responsibility), sebuah program wujud tanggung jawab sosial dari
perusahaan kopi di sekitar Dampit.
Saat itulah, dia mulai mengenal budidaya kopi yang baik. “Bersama teman-teman, bareng
bareng metik biji kopi hanya yang berwarna merah saja. Lalu nyoba nyoba diolah dengan
Tentu saja, usaha ‘coba coba’ itu, membangkitkan rasa bangga. Gairahnya bertumbuh.
Heri semakin bersemangat belajar, belajar dan belajar lagi, demi hasil lebih baik.
“Ya, waktu itu, seneng, karena hasilnya baik. Tapi belum puas. Ini masih bisa
ditingkatkan. Karena standarnya, mestinya bisa petik merah di atas 90%. Sejak itulah, kita
berusaha agar bisa petik merah. Kemudian, setelah dipetik, tidak boleh lebih dari dua kali
24 jam, biji yang telah dipetik harus segera diolah,” sorot matanya, nampak berbinar.
Alhasil, setahun berikutnya (2015), hasil olahan panenannya dikirimkan lagi mengikuti
lomba. Kali ini, lomba diselenggarakan oleh pengelola kedai kopi di Malang. Hasilnya, biji
kopi green bean-nya, masuk dalam kategori biji premium.
Semangat belajar pun semakin bergelora. Tahun 2017, mulai berkenalan dengan Asosiasi
Petani Indonesia (API). Tanaman kopi menjadi prioritas API. Demi peningkatan kapasitas
petani kopi, API membuka program Sekolah Lapang Kopi, pesertanya dari asosiasi tiga
desa tersebut. Dilakukan secara bergiliran di tiga desa.
Pelatihan dan pendampingan dilakukan secara intensif, mulai dari tahap budidaya hingga
hilirisasi produk biji kopi. Proses pendampingan inilah yang kemudian memunculkan
produk kopi dengan merek Sridonoretno atau SDR. Tahun 2017, pengiriman ke Malang
hampir sebulan sekali. Rata-rata 5 kwintal.
Tak jarang, Heri dan beberapa temannya, bersepda motor-ria dari desanya, Jengger,
mengirim pesanan ke Malang.
Tahun 2018, Heri bersama kelompok tani kopinya, mampu melahirkan produk kopi
bubuk kemasan. Sebuah pencapaian yang melampaui batas. Selama ini, para petani,
umumnya, hanya menghasilkan biji kopi kering. Semenjak itu, mereka telah mampu
membuat produk olahan kemasan.
Ibarat burung elang, sayap-sayap yang semakin kokoh mengajaknya terbang semakin
tinggi menikmati luasan angkasa. Setahun kemudian, 2019, Heri mendapat kesempatan
mengikuti Festival Kopi Nusantara di Jakarta. Program yang difasilitasi Kementrian Desa
(Kemendes). Setelah itu, ia mendapat akses dari Bank Indonesia, berkesempatan studi
banding ke Koperasi Kopi Kintamani, Bali, Mei 2019. Sebulan. Tak berselang lama, bulan
September, dia mengikuti Festival Kopi Nusantara di Nias.
Proses belajar tak kenal lelah, tak mudah berpuas diri, semakin kokoh membangun
kepercayaan dirinya. Tahun 2019, kembali dikirimkan biji kopi ikut lomba kurasi biji kopi
yang diadakan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Jatim. Hasilnya, jerih keringatnya
diganjar prestasi sebagai Juara II.
Tahun 2020, masa pandemi covid datanglah. Pada masa itu, mobilitasnya menurun
drastic. Tak banyak perjalanan bisa dilakukan. Heri pun fokus ke perbaikan budidaya. Ada
banyak petani yang belum bisa menjaga kualitas dengan baik. Saat ini, “Meski masa
pandemi sudah lewat. dua tahun terakhir, produktivitas panen masih cukup rendah.
Banyak pohon kopi gagal panen. Cuaca yang ekstrim menjadi kendala pohon kopi, tak
bisa produktif. Curah hujan yang tinggi, membuat banyak biji kopi gagal matang. Banyak
yang gogrok,” ujarnya.
Bagi Heri, kopi bukan sekadar tanaman pertanian yang bisa dipanen, dijual dan
mendatangkan penghasilan. Biji kopi seperti menyimpan ‘suara panggilan’, sekaligus
‘daya hidup’ tersendiri.
Secara geografis, jarak antara rumahnya di desa Srimulyo, dikenal sebagai desa Jengger,
kecamatan Dampit, kabupaten Malang, hingga Kota Malang, tak kurang dari 50 Km.
Ditempuh paling sedikit 3-3,5 jam. Kondisi jalanan desa ke Dampit, bisa memakan waktu
tempuh yang sama antara Dampit-Kota Malang. Padahal jarak tempuh Jengger-Dampit,
tak ada separuhnya jarak tempuh antara MalangDampit. Hal itu disebabkan kondisi
jalanan desa, masih banyak yang berupa jalanan berbatu. Seperti halnya khas jalanan di
daerah pelosok pedesaan di Malang selatan.
Meski begitu, Heri bersiteguh menempuh perjalanan tersebut. Dengan ringan kaki, dia
melakukan perjalanan, entah mengantarkan pesanan pembelian kopi, mengikuti
pelatihan, maupun pertemuanpertemuan demi meluaskan relasi.
“Bulan September ini, ada dua kegiatan pameran. Kalau omzet penjualan dari bazar
seperti ini, biasanya tak terlalu besar. Justru, lewat kegiatan seperti bazar ini, kita bisa
membangun relasi lebih luas. Setiap kali pameran atau bazar, saya selalu menyediakan
kartu nama di meja. Nah, biasanya, manfaatnya pameran itu justru setelah kegiatannya
selesai,” tutur ayah dari Yesicca Natalia (16) dan Callista Haniel
(10) ini.
Pada Jumat-Minggu, 15-17 September 2023, Kelompok Tani Kopi Tunas Baru yang
dibentuk 22 Mei 2013 ini, mendapat undangan pameran. Acara yang dihelat oleh Bank
Indonesia Malang. Jumat pagi, Heri sudah berangkat dari Jengger. Tentu saja, ia mesti
rela tidak ke tegal. Namun ia sudah menyiapkan makanan bagi ternaknya. Ia memelihara
17 ekor kambing dan lima ekor sapi.
Sabtu pagi, suami Anin Sriutamai ini, kembali ke Jengger. Lantaran, dia sudah
berkomitmen membantu kelompok ibu-ibu membuat pupuk kandang. Sabtu sore, jam
17.00, dia sudah kembali di stand pameran di Malang.
Dia mengaku, tak jarang demi menghidupi kegiatan kelompok tani kopi ini, dirinya mesti
‘tekor’. Ada banyak yang dikorbankan. Setidaknya, tenaga, pikiran, pun waktu buat
keluarga. Tak jarang, pengorbanan uang pribadi juga.
Heri sadar betul, pilihan menjadi petani, mengolah kopi adalah pilihan yang ‘riskan’.
Tidak popular. Karena tak bisa mendatang keuntungan secara cepat dan besar. Namun
demikian, dunia pertanian bukanlah proyek yang merugi.
Namun demikian, kesempatan seringkali tak datang dua kali. Ada banyak potensi di desa
dan jemaat yang bisa dikembangkan. Buat dia, “Ya sayang saja, kalau pas ada
kesempatan, kita tak memanfaatkannya. Apalagi demi kesejahteraan bersama. Memang
dibutuhkan niat, kemauan yang kuat dan jiwa sosial.”
“Bangsa kita ini kan termasuk agraris. Kita juga diberikan anugerah potensi pertanian
dengan lahan yang subur. Kenapa kita tidak kembangkan potensi tersebut? Ya kalau
dihitung-hitung, sebenarnya kita juga untuk kok. Meskipun tidak banyak. Namanya juga
rintisan. Kalau usaha kelompok tani kopi kita nanti bisa maju, tentu akan menghasilkan
keuntungan juga. Lha itu, buktinya, ada perusahaan kopi yang bisa maju dan besar,”
tersurat, ada ketebalan keyakinan dan pengharapan di sana.
Persoalan sosial yang terjadi demikian kompleks. Mulai dari penjarahan hutan, berikut
persoalan turunan, yaitu banjir dan tanah longsor. Belum lagi ditambah, rendahnya nilai
jual hasil produk pertanian. Kelompok tani yang digeluti Heri, bagian dari penemuan
solusi atas kompleksitas persoalan yang ada. Keuntungan yang didapat dari usaha,
menjadi ‘energi’ demi penyelesaian persoalan sosial dan lingkungan di depan mata.
Perilaku usaha demikian, apabila dicermati lebih mendalam, seturut dengan prinsip dari
kewirausahaan yang dirumuskan oleh Gregory Dess. Menurut Dees (1998) memberikan
empat poin yang menjadi fokus dari rumusan kewirausahaan sosial, yaitu: (1)
Mengadopsi misi sosial untuk menciptakan dan menjaga kelangsungan (keberlanjutan)
Light (2006:50) memberikan rumusan yang lebih luas bahwa kewirausahaa sosial adalah
individu, kelompok, jaringan, organisasi atau aliansi organisasi yang mencari suatu
perubahan besar dan mendasar secara berkelanjutan melaui ide-ide yang memecahkan
kebuntuan menyangkut apa dan bagaiamana pemerintah, lembaga profit (bisnis)
maupun non-profit untuk menangani persoalan sosial yang mendesak diselesaikan. Bagi
Narangajavana (2016:5) terdapat dua kelompok yang memiliki perspektif yang berbeda
dalam perumusan definisi kewirausahaan sosial.
Kewirausahaan sosial merupakan kombinasi (hybrid) dari dua bentuk lembaga; charity
(pemberi bantuan) sekaligus lembaga profit namun bukan untuk dirinya sendiri atau
pemegang saham (Murphy, J.P., dan Coombes, J.S., 2009:329). Para peneliti EMES (The
Emergence of Social Enterprise in Europe) merumuskan lima unsur dasar yang termasuk
dalam pengertian nilai sosial (Spear and Bidet, 2003: 9) yaitu: (1) Aktivitas yang dilakukan
atas inisiatif dinamika kelompok secara kolektif di masyarakat; (2) Pembuatan keputusan
tidak berdasarkan kepemilikan modal (saham) dalam suatu lembaga; (3)
Partisipasi secara alamiah terjadi karena keterlibatan dalam usaha bersama yang
dilakukan; (4) Keuntungan yang didapat tidak dibagikan secara keseluruhan melainkan
Jiwa Kerelawanan
Heri bukanlah super hero, Superman. Dia cukup menyadarinya. “Saya ini kalau gak ada
dukungan dari istri dan keluarga, ya gak bisa seperti ini. Lha bulan ini saja, sudah ikut dua
pameran. Awal bulan dan pertengahan bulan. Nanti akhir bulan September hingga awal
Oktober ini, berangkat lagi ikut program Patuwen Kopi, di Surabaya. Padahal kalau mau
itung-itungan, berapa sih hasilnya yang didapat?” sekali lagi, nampak senyum
mengembang, di bibir anggota Majelis Jemaat GKJW Jemaat Purwodadi ini.
Keihlasannya mengendalikan kejayaan ego diri, memberikan ruang bagi tumbuhnya jiwa
kerelawanan. Jiwa yang memberikan tempat terhormat, bagi perwujudan harapan
kesejahteraan hidup bersama.
Semakin kecil ruang bagi ego-diri menari-nari dalam diri, semakin lapanglah ruang bagi
kepentingan bersama. Konsep penyangkalan diri (kynosis), sepintas telah menjadi laku
hidupnya. Jangan-jangan, dia sedang hendak mengajarkan kepada khalayak, makna dari
hukum yang utama dan terutama..
Rahayu..
e. Saat Teduh
f. Persembahan Pujian:
8. Ungkapan Syukur/Persembahan
a. Pemandu persembahan membacakan ayat pengantar persembahan :
Roma 12:1
b. Pemberian persembahan diiringi nyanyian Sungguh Ku Bangga Bapa
c. Pemandu persembahan memimpin doa persembahan (Umat Berdiri)
(Kalimat yang dicetak tebal diucapkan bersama oleh Pelayan, Majelis dan
Warga Jemaat)
Pelayan : “Kini kembalilah ke dalam kehidupanmu! Jawablah
pertanyaan Tuhan bagimu, “Siapakah yang akan Kuutus dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?” (Yes. 6:8)
Umat : “Ini aku, utuslah aku!” (Yes. 6:8)
Pelayan : “Imannuel! Allah beserta kita!”
Umat : Menyanyi Rumah Manis Bersama (Cipt. Charles Djalu)
https://www.youtube.com/watch?v=g8bo-V2e1DY
Dari Greenland sampai Ushuaia
Ujung Pacitan sampai Banyuwangi
Semua sisi dunia itu
Dibuat untukmu-untukku
10. Berkat
Pelayan : Menyampaikan Berkat
Umat : Menyanyi PKJ. 287 : 1 Salam Kawanku (2x)