“SAPTA DHARMA”
Disusun oleh:
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasih dan rahmatnya kami dapat
menyelesaikan karya ilmiah tentang penelitian “ SAPTA DHARMA ” dengan tepat pada
waktunya. Tugas ini dibuat untuk melengkapi atau memenuhi persyaratan dalam mata
Dalam menyusun tugas ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunannya, maka dengan kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran dari
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Penutup ….…………………………………………………………………
C. DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
D. Lampiran ……………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latarbelakang sejarah berdirinya Sapta Dharma ?
2. Bagaimana bentuk ritual yang dilakukan?
3. Apa saja ajaran dan lambang yang digunakan oleh Sapta Dharma dan artinya?
4. Bagaimana perkembangan ajaran Sapta Darma sekarang ini?
5. Mengapa di Indonesia dapat timbul banyak aliran kebatinan?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui latarbelakang sejarah berdirinya Sapta Dharma.
2. Untuk mengetahui ritual apa saja yang dilakukan ajaran Sapta Dharma.
3. Untuk mengetahui ajaran dan makna dari simbol Sapta Dharma.
4. Untuk mengetahui perkembangan ajaran Sapta Dharma sekarang ini.
5. Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya aliran kebatinan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
Riwayat penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung terus tiap-tiap
hari tidak henti-hentinya, selama 12 tahun sampai dengan wafatnya Panuntun Agung Sri
Gutama (Bp. Hardjosapuro). Istilah yang ada di dalam Kerohanian Sapta Darma adalah
istilah asli, dalam arti istilah-istilah tersebut didapat dari hasil penerimaan yang datangnya
dengan tiba-tiba/sekonyong-konyong dalam keadaan yang luar biasa, dengan saksi-saksi
yang berganti-ganti.
Tepatnya di Kampung Pandean, Gang Klopakan, Desa Pare, Kabupaten Kediri,
Jawa Timur, berdiamlah seorang putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak
Hardjosapuro. Pada hari Kamis, tanggal 27 Desember 1952, Bapak Hardjosapuro seharian
ada di rumah (tidak bekerja sebagaimana biasanya sebagai tukang potong rambut) karena
hatinya merasa gelisah.
Kemudian, pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya.
Menjelang pukul 24.00 WIB beliau pamit pulang, setelah tiba di rumahnya, beliau
mengambil tikar dan beralaskan lantai, tiduran-tiduran untuk menenangkan perasaan yang
gelisah. Pada saat mau tidur-tiduran, tepat pada Jumat Wage jam 01.00 WIB malam,
seluruh badan beliau tergerak oleh getaran yang kuat diluar keinginannya, dengan posisi
duduknya menghadap Timur dengan kaki bersila dan kedua tangan bersidakep. Namun
dalam keadaan sadar, beliau mencoba melawan gerakan tersebut, namun tidak mampu
untuk melawannya. Diluar kemauannya, beliau mengucapkan Kalimat dengan suara keras:
“Allah Yang Maha Agung, Allah Yang Maha Rokhim, Allah Yang Maha Adil” setelah itu
badannya tergerak untuk sujud secara otomatis diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan
sujud sambil mengucap dengan suara keras, “Hyang Maha Suci Yang Maha Kuwasa,
Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha
Kuwasa”, kemudian duduk dan sujud kembali sambil mengucapkan: “Kesalahane Hyang
Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa, Kesalahane Hyang Maha Suci
Nyuwun” sebanyak 3 (tiga kali). Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan
yang masih bergetar, setelah itu tergerak kembali untuk sujud dengan mengucapkan;
“Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuwasa”, kemudian kembali dalam posisi
semula. Hal ini terjadi berulang kali sesuai dengan urutan sebelumnya dan berlangsung
sampai pukul 05.00 WIB pagi. Apa yang dialaminya tidak diketahui oleh seorangpun yang
berada di rumah.
Karena takut dengan kejadian tersebut, Hardjosapuro kemudian membangunkan
orang yang berada di rumah, namun semua tidak dapat memahami apa yang
dimaksudkannya. Oleh karena itu beliau bermaksud untuk menemui teman terdekatnya
yakni Bapak Djojo Djaimoen untuk menceritakan hal yang dialaminya. Pada tanggal 27
Desember 1952, jam 07.00 pagi tibalah beliau di rumah temannya tersebut, kemudian
diceritakan apa yang dialaminya. Namun temannya Djojo Djaimoen tidak mempercayai
akan hal itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba seluruh badan Djojo Djaimoen tergetar dan
bergerak seperti yang dialami Hardjosapuro. Setelah dialaminya, mereka berdua berniat
datang ke temannya lagi yang bernama Bapak Kemi Handini yang bekerja sebagai sopir di
Desa Gedangsewu, Pare untuk diberitahukan serta menanyakan kejadian yang mereka
alami.
Niat untuk mendatangi temannya itu dengan harapan mereka akan mendapatkan
penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tanggal 28 Desember 1952 jam
17.00 mereka berdua tiba di rumah Bapak Kemi Handini dan diceritakanlah pengalaman
mereka. Belum sampai selesai ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam
kekuatan yang sama. Dengan tiba-tiba Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar
tumbal ditempat-tempat tertentu yang tertanam di rumah Kemi. Setelah gerakan berhenti
diceritakannlah kepada Bapak Kemi, apa yang diketahuinya di dalam gerak sujud. Ketika
diceritakannya kedua teman, Hardjosapuro merasa heran, karena yang dialaminya sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya.
Kemudian mereka bertiga sepakat menemui sahabatnya yang bernama Somogiman
yang mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan darinya.
Bapak Somogiman adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare).
Pada tanggal 29 Desember 1952 jam. 17.00, mereka tiba di rumah Somogiman.
Pengalaman gaib pun dipaparkan kepada Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-
kawannya. Pada waktu itu Somogiman tidak memberi tanggapan dan kelihatannya tidak
dipercaya. Tetapi yang terjadi, secara tiba-tiba Somogiman mendapat gerakan yang
otomatis di luar kemauannya juga seperti apa yang diceriterakan teman-temannya tadi.
Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut ke mulut kegaiban di kota Pare yang dialami oleh
Bapak Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga terdengar pula oleh Bapak Darmo
seorang sopir dan seorang lagi bernama Reksokasirin pengusaha batik. Kedua orang
tersebut mendatangi rumah Somogiman untuk membuktikannya, namun belum sampai
mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan sedemikian juga
dialaminya.
Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak
bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 (enam) orang (Bapak. Hardjosopoero,
Djojodjaiman, Kemi Handini, Somogiman, Darmo dan Rekso Kasirin). Kemudian mereka
kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali Hardjosapuro yang tidak mau kembali ke
rumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian di rumahnya. Sampai dua
bulan lamanya beliau tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, tetapi berpindah-pindah ke
rumah temannya. Karena ke-enam orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk
berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya.
Pada suatu malam pada tanggal 12 menjelang 13 Februari 1953, setelah ke enam
orang tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan petunjuk agar Bapak
Hardjosapuro kembali ke rumahnya karena nantinya akan menerima ajaran-ajaran dari
Hyang Maha Kuasa yang lebih tinggi lagi. Keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari
1953 jam 10.00 pagi mereka sudah berkumpul di rumah Bapak Hardjosapuro kemudian
sedang asyik bercakap-cakap tiba-tiba diterima perintah langsung kepada Hardjosapuro dan
berkatalah beliau dengan suara keras (dalam bahasa Jawa), ’’Kawan-kawan lihatlah Saya
mau mati dan amat-amatilah Saya”. Maka berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan
mengamat-amati Bapak Hardjosapuro yang berbaring membujur ke timur sambil
memejamkan mata dan tangan bersidakep. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari sahabat-
sahabatnya dan dengan cara yang beragam para sahabatnya ingin meyakinkan kondisi
Hardjosapoero apakah sudah mati atau belum. ”Inilah yang dikatakan Racut ialah mati di
dalam hidup”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi rasanya masih hidup. Masih
mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak mendengarkan segala yang
diceritakan.
Setelah mengalami Racut beliau menceritakan bahwa dalam keadaan racut tersebut
Bpk. Hardjosapuro merasa rohnya/rohaninya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas
melalui alam yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan indah sekali dan
beliau sujud didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya
tak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Di situlah Hardjosapoero duduk bersila
dan sujud Menyembah Allah Hyang Maha Kuasa, setelah sujud maka orang yang bersinar
tadi terus memegang Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau
dituntun ke taman yang penuh bunga dan indah sekali, kemudian di bawa ke sebuah sumur
yang penuh airnya lalu dibawa ke sumur yang kedua, disuruh membukanya dan setelah
dibuka ternyata airnyapun penuh dengan air yang jernih sekali. Nama kedua sumur tersebut
adalah Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.
Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang
yang bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosapoero “Inilah Untukmu” sambil
menyodorkan dua bilah keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan
Mataraman dan yang lain pada pamornya terdapat dua bentuk benda bulat berjajar bagaikan
Bendo Segodo, yang diberi nama Nogososro dan Benda Segodo / Sugada. Setelah itu beliau
disuruhnya kembali pulang. Setelah beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh
sebuah bintang yang amat besar dengan sinar terang mengantar perjalanan pulangnya.
Untuk meyakinkan tentang kebenaran ajaran Racut yang diterima oleh Bapak
Hardjosapuro, maka para sahabatnya dimintanya melakukan secara bergantian. Pelaksanaan
racut yang dilakukan para sahabatnya ditunggui oleh Bapak Hardjosapoero namun yang
dialalmi masing-masing sahabat berbeda. Namun dalam hal-hal yang pokok adalah sama,
misalnya melalui alam yang enak sekali, sampailah pada sebuah rumah yang besar dan
indah dan bertemu orang yang bersinar bagaikan maha Raja. Tetapi tidak ada satupun
sahabat yang melakukan sujud di rumah yang besar itu. Pemberian yang diterima juga
berbeda ada yang berupa bunga dalam vas, ada pula berupa pakaian serta tidak diberikan
apapun. Namun semuanya itu telah meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran Racut
serta apa yang dialami Bapak Hardjosapoero.
Sejak itulah, semua sahabat-sahabatnya harus berkumpul di rumah Bapak
Hardjosapoero, dan tidak boleh berkumpul di rumah sahabat yang lain. Sehingga setiap
malam mereka berkumpul untuk melakukan sujud bersama dan juga melakukan latihan-
latihan Racut.
Namun pada satu waktu Bapak Hardjosapoero dalam melakukan sujud bersama
dilakukannya juga racut seperti yang pernah dialaminya. Dalam melakukan Racut beliau
selalu berjumpa dengan sang maha raja, bahkan diberi juga Kotang Ontokusumo dan
Caping Basunondo. Pernah juga menerima bongkok (tangkai daun kelapa). Satu panah dan
Buku Besar. Sehingga diyakini apapun yang dikerjakan olehnya adalah suatu petunjuk yang
benar dari Allah Hyang Maha Kuasa.
Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Bp. Hardjosapuro
ialah: Sdr. Sersan Diman, Sdr. Djojosadji, Sdr. Danumihardjo (Mantri guru Taman Siswa
Pare). Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan
pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi
kejadian ini tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan
Diman berdiri dengan sekonyong-konyong sambil menuding-nuding gambar tersebut
dengan berkata keras: ”Ini harus digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata
demikian. Kemudian kawan-kawannya segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat
gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat gambar tersebut). Setelah mendapatkannya
terus segeralah digambar pemandangan gambar simbul itu sampai selesai. Setelah selesai
digambar, maka hilanglah gambar pemandangan simbul itu dari pandangan mata, yang
selanjutnya dinamakan Simbul Pribadi Manusia. Pada gambar tersebut ada tulisan huruf
Jawa: SAPTA DARMA, yang selanjutnya disempurnakan dengan penerimaan
peribadatannya yang disebut Sujud Sapta Darma / sujud asal mula manusia.
Pada hari itu juga, tanggal 12 Juli 1954 setelah diterima wahyu Simbul Pribadi
Manusia, diterima pula wahyu Wewarah Tujuh. Kejadian ini sama halnya dengan gambar
simbul pribadi manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa
papan (Sastra Jendra Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa jawa. Oleh
karena tulisan tersebut sebentar kelihatan dan sebentar menghilang seperti menerima
simbul Sapta Darma tadi, maka dibagilah tugas untuk menulisnya. Sersan Diman menulis
Wewarah 1 sampai dengan 4, sedangkan Bapak Danoemihardjo menulis 5 sampai 7.
Setelah ditulis diserahkanlah kepada Bapak Hardjosapoero, Djojosadji dan Bapak Marto
untuk dicocokkannya.
Setelah diterima wahyu simbul Sapta Darma dan Wewarah Tujuh, hari itu juga
masih diterima lagi wahyu Sesanti yang bunyi lengkapnya seperi berikut: “Ing Ngendi bae
marang sapa bae Warga Sapta Darma Kudu sumuar pinda baskara”. Dengan diterimanya
wahyu simbul Sapta Darma, Wewarah Tujuh dan Sesanti oleh Bapak Hardjosapoero,
penerimaan ajaran ini semakin memperjelas para pengikutnya. Sejak hari itulah baru
dimengerti bahwa sujud yang dilaksanakan oleh Bapak Hardjosapoero dan para sahabatnya,
sebagai perilaku pendekatan pribadi (hidup) manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa,
adalah Sujud Sapta Darma.
Dari fenomena dan kejadian-kejadian aneh yang dipaparkan di atas, Keyakinan
akan sebuah petunjuk dan termasuk juga tugas berat, semakin mendalam bagi Bapak
Hardjosapoero dan sahabat-sahabatnya, setelah diterimanya wahyu-wahyu Sapta Darma
bertambah lengkap, dank e depannya menjadi ajaran ibadah kelompok ini:
Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara ritual sujud/ menyembah
kepada Tuhan (Allah Hyang Maha Kuasa) bagi Warga Sapta Darma.
Wahyu Racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk
mengetahui alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.
Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan
tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat
mencapai keluhuran budi.
Wewarah Tujuh, merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus
merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam Wewarah Tujuh tersebut
tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa,
Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai
makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa
keadaan dunia tiada abadi.
Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun,
membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya
harus bermakna dan berguna bagi sesama umat/ membahagiakan orang lain (tansah agawe
pepadang lan maraning lian).
Selanjutnya semakin hari semakin bertambah orang-orang yang menjalankan ajaran
Sapta Darma. Apa yang diterima Bapak Hardjosapoero ternyata belum berakhir, karena
pada tanggal 27 Desember 1955 jam 24.00, beliau menerima wahyu Gelar Sri Gutama yang
berarti Pelopor Budi Luhur dan selaku Panutan Agung, yang ditandai hujan lebat semalam
suntuk.
Setelah seluruh ajaran yang diterima genap, maka dalam pengembangan ajaran
Sapta Darma itu dilakukan dengan jalan penyembuhan, dimana pada saat itu dengan Sabda
WARAS, setiap warga yang saat itu menjalankan sujud Sapta Darma dapat menyembuhkan
masyarakat yang sakit. Inilah awal mula perkembangan ajaran Sapta Darma, yaitu dari
mereka yang telah disembuhkan maupun yang ingin menjalani sendiri (bukan karena sakit).
Sejak tahun 1956 itulah ajaran Sapta Darma merambah ke luar dari Pare, Kediri Jawa
Timur menuju daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sumatera dan
Kalimantan.
Tiga dasar/pegangan yang diberikan oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama
kepada para warga yang bersedia menyebarkan ajaran Sujud Sapta Darma adalah:
1. Yakin akan kebenaran terhadap ajaran Sapta Darma itu berdasarkan wahyu,
2. Harus didasari dengan kesucian hati, kejujuran dan tanpa adanya pamrih apa saja
untuk kepentingan pribadi.
3. Kebulatan tekad ketabahan hati serta tahan uji dari segala rintangan yang mungkin
terjadi.
Setelah ajaran Sapta Darma berkembang luas di mana-mana, maka untuk adanya
keseragaman dan kemurnian ajaran Sapta Darma, di tiap-tiap daerah yang sudah banyak
warganya oleh Panutan Agung ditunjuk adanya Tuntunan yaitu warga yang diberi tugas
sebagai penanggung jawab terhadap perkembangannya maupun kelangsungan pembinaan
para warga di daerah-daerah di tingkat kabupaten dan karisedenan pada waktu itu.
Rupanya tugas Panutan Agung Sri Gutama telah digariskan Allah Hyang Maha Kuasa
karena setelah 12 tahun penerimaan wahyu ajaran Sapta Darma sampai berkembang di
bumi, tepat pada tanggal 16 Desember 1964, pada hari Rabu jam 12.00 di rumah
kediamannya, Bapak Hardjosapoero meninggal dunia. Sesuai dengan pesannya sebelum
wafat bahwa ketika meninggal dunia agar jenasahnya diperabukan dan dilarung ke laut.
Maksud dari permintaannya adalah dikhawatirkan apabila jenasahnya dikubur atau
dimakamkan lalu makamnya dipuja-puja oleh warganya. Beliau menjelaskan sebelumnya
bahwa memuja-muja makam/kuburan adalah suatu kepercayaan yang sesat dan hal itu
dilarang dalam ajaran Sapta Darma. Dengan demikian abu jenasahnya dihanyutkan di
pantai Kenjeran, Surabaya pada tanggal 19 Desember 1964.
Setelah meninggalnya Bapak Hardjosapoero yang dikenal sebagai Panutan Agung
Sri Gutama, ajaran Sapta Darma tetap berjalan dan berkembang pesat dibawah bimbingan
dan tuntunan Ibu Sri Pawenang yang bernama asli Soewartini Martodihardjo, seorang
Sarjana Hukum, alumnus Universitas Gadjah Mada yang telah mengikuti dan menghayati
ajaran Sapta Darma sejak tahun 1956. Pada mulanya Ibu Soewartini yang berstatus
mahasiswa, mengenal Sapta Darma karena rasa ingin mengetahui lebih jauh dan ingin
membuktikan bahwa ada orang yang mampu menyembuhkan orang sakit dengan sabda
Waras. Tetapi saat itulah Ibu Soewartini bertemu langsung dengan Bapak Hadjosapoero
mengenai ajarannya dan ditawari untuk melakukan penelitian dan sejak itulah Ibu
Soewartini selalu mengikuti membantu Bapak Hardjosapoero sebagai Panutan Agung Sri
Gutama dalam menyebarkan ajaran tersebut.
Puncak dari penghayatan Ibu Soewartini adalah pada tanggal 30 April 1957 hari
selasa Kliwon dalam perjalanan ke Kediri, Trenggalek dan Blitar, beliau menerima gelar
Sri Pawenang. Yaitu sebagai Juru Bicara Panutan Agung dan juga dikukuhkan sebagai
Panuntun Wanita, maka sejak itulah Ibu Soewartini disebut sebagai Sri Pawenang. Beliau
meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1996. Setelah itu untuk tetap menjalankan ajaran
Sapta Darma, diadakanlah Sarasehan Agung Luar Biasa Para Tuntunan pada tanggal 10-12
Juli 1996 dengan keputusan dibentuknya lembaga Pelaksana Tuntunan Agung, yang
bertugas melanjutkan tugas dalam membina para warga untuk menghayati ajaran
Kerokhanian Sapta Darma. Perkembangan Ajaran Sapto Darma sampai saat ini, tidak
hanya berkembang di wilayah Indonesia namun di luar negeripun sudah mulai berkembang.
Saat ini Pusat Ajaran Sapta Darma berada di Sanggar Candi Sapta Rengga – Surokarsan
Mg. II/472 Yogyakarta. Dan di setiap daerah ada tempat beribadah sebagai cabang, yakni
Sanggar Candi Busono yang tersebar di seluruh cabang di Indonesia, bahkan di luar negeri.
Cara penyembahan Sapto Dharmo adalah dengan cara Sujud Dasar. Sujud Dasar
adalah Sujud yang dilakukan tiga kali sujud menghadap ke timur dengan posisi duduk. Lalu
kepala ditundukkan sampai ke tanah mengikuti gerak naik sperma dari tulang tungging
sampaike ubun-ubun, melalui tulang punggung dan menurunkannya kembali. Hal itu
dilakukan sebanyak tiga kali.
Duduk mengheningkan rasa dan dengan sendirinya mata terpejam. Maka terasalah
ada gerak halus kelenjar dari tulang tungging sampai kepala, dan pada lidah terasa
menusuk-nusuk. Naiknya sari hidup itu ke kepala diikuti dengan gerak sujud. Diucapkan:
Hyang Maha Suci sujud kepada Hyang Maha Kuasa, diulangi tiga kali, lalu air putih itu
diturunkan lagi ke tulang ekor diikuti oleh kepala naik dalam sikap duduk secara pelan-
pelan.
Sujud kedua juga mengikuti kelenjar kelamin yang digerakkan seperti tadi. Didalam
batin di ucapkan waktu sujud: Kesalahan Hyang Maha Suci mohon ampun kepada Hyang
Maha Kuasa (3kali). Kemudian kepala diangkatlagi. Sujud untuk ketiga kalinya diucapkan
dalam batin: Hyang Maha Suci bertobat kepada Hyang Maha Kuasa ( 3 kali). Lalu duduk
kembali, tenang beberapa saat.
Semuanya itu dikatakan sujud dasar. Kewajiban bagi pengikut Sapto Dharmo untuk
melakukan sujud dasar satu kali dalam 24 jam, hal itu disebut juga sembahyang. Lebih
utama bagi warganya kalau melakukan sujud dasar itu lebih dari satu kali dalam sehari
semalam.
Penganut Sapto Darmo meyakini bahwa manusia hanya memiliki 7 kewajiban atau disebut
juga 7 Wewarah Suci, yaitu:
1. Setia dan tawakkal kepada Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil,
Maha Kuasa, dan Maha Kekal).
2. Jujur dan suci hati menjalankan undang-undang negara.
3. Turut menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa.
4. Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih.
5. Berani hidup atas kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri.
6. Hidup dalam bermasyarakat dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti.
7. Yakin bahwa dunia ini tidak abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro
manggilingan).
4. Konsep Peribadatan
Konsep ibadah dalam Sapto Darmo tercermin pada ajaran mereka tentang Sujud Dasar.
Sujud Dasar terdiri dari tiga kali sujud menghadap ke Timur. Sikap duduk dengan kepala
ditundukkan sampai ke tanah, mengikuti gerak naik sperma yakni dari tulang tungging ke
ubun-ubun melalui tulang belakang, kemudian turun kembali. Amalan seperti itu dilakukan
sebanyak tiga kali. Dalam sehari semalam, pengikut Sapto Darmo diwajibkan melakukan
Sujud Dasar sebanyak 1 kali, sedang selebihnya dinilai sebagai keutamaan.
7. Racut.
Racut adalah ajaran dan praktek dalam Sapto Darmo yang intinya adalah usaha untuk
memisahkan rasa, fikiran, atau ruh dari jasad tubuhnya untuk menghadap Allah, kemudian
setelah tujuan yang diinginkan selesai lalu kembali ke tubuh asalnya.
Caranya yaitu setelah melakukan sujud dasar, kemudian membungkukkan badan dan tidur
membujur Timur-Barat dengan kepala di bagian timur, posisi tangan dalam keadaan
bersedekap di atas dada (sedekap saluku tunggal) dan harus mengosongkan pikiran.
Kondisi tubuh di mana akal dan fikirannya kosong sementara ruh berjalan-jalan itulah yang
dituju dalam racut, atau disebut juga kondisi mati sajroning urip.
8. Obor Sewu
Saat tanggal 1 suro warga sapta dharma bersama-sama menghidupkan obor sehingga
disebut obor seribu. Biasanya dirumah-rumah dinyalakan obor dengan jumlah 1,3,5,7,9 dan
12 tergantung arti dan jumlah keluarganya. Untuk penyalaan dilakukan 1 malam sebelum,
malam 1 suro dan 1 malam sesudahnya. Untuk penjelasan artinya hanya warga sapta
dharma saja yang boleh mengetahuinya.
Selama penyebarannya Ibu Soewartini dianggap bagi Warga Sapta Darma yang juga
turut berperan serta dalam membantu Pemerintah Indonesia, bahkan pada era itu, Ibu
Soewartini Martodihardjo, SH menjabat selaku anggota Majelis Permusyawaratn Rakyat
Republik Indonesia yang mewakili kelompok penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ini menurut warga Sapta Darma merupakan bentuk kepedulian terhadap keadaan negara
dan juga merupakan salah satu kiprah dari pengalaman (darma) yang tercantum dalam
Wewarah Tujuh.
Untuk menindaklanjuti fatwa Panutan Agung Sri Gutama mengenai pendanaan
untuk menunjang kegiatan para Tuntunan, maka dengan akta nomor 23 yang dibuat
dihadapan Notaris Wiranto, SH, pada tanggal 17 Maret 1959 didirikan Yayasan Srati
Darma atau disingkat YASRAD, di mana perkembangannya sangat pesat dan memberikan
manfaat besar bagi pelaksanaan ajaran Kerokhanian Sapta Darma.
Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 5,
maka Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka
menyebutnya aliran kepercayaan. Pusat dari ajaran Sapto Darmo ini adalah di Yogyakarta
(Sanggar Candi Sapta Rengga) sebagai kiblat dan pusat ibadah. Dengan adanya ketentuan
Pemerintah yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan yaitu Undang-undang
No.8 tahun 1958 maka berdasarkan putusan Sarasehan Agung Tuntunan Kerokhanian Sapta
Darma pada tanggal 27 Desember 1986 dibentuklah suatu wadah untuk menghimpun dan
membina warga serta Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma yang bernama Persatuan Warga
Sapta Darma (PERSADA). PERSADA merupakan merupakan organisasi kemasyarakatan
yang kegiatannya berorientasi di bidang rohani (spiritual). Dengan adanya PERSADA,
maka untuk selanjutnya yang berhubungan dengan pihak luar yaitu Instansi Pemerintah,
agama dan juga ajaran-ajaran kepercayaan lainnya. Hal ini merupakan bentuk tindak lanjut
dari keinginan untuk tetap menunjukkan eksistensi kerokhanian ajaran Sapta Darma bagi
para warga Sapta Darma, karena disadari bahwa Sapta Darma belum mendapat pengakuan
secara penuh dari negara maupun sebagian masyarakat terhadap keberadaannya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi warga Sapta Darma tidak melihat
perbedaan kepercayaan dan keyakinan maupun hubungan antara sesama manusia dengan
kepentingan dan asal-usul yang berbeda sebagai sebuah penghalang atau hambatan dalam
menanamkan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Sebagaimana dari
pengalaman-pengalaman perjalanan Warga Sapta Darma dalam penyebaran ajarannya
sering mengalami berbagai tekanan dalam pemahaman yang dianggap sepihak oleh pihak-
pihak tertentu. Semisal dalam beberapa waktu lalu terjadi penyerangan terhadap Sanggar
(tempat ibadah) warga Sapta Darma. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam
kepercayaan dan keyakinan di Indonesia belum dapat dimaknai secara baik oleh warga
negara. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya keretakan hubungan antara sesama.
Apa yang dialami oleh warga Sapto Darmo inilah yang dapat kita katakan sebagai
kelompok subaltern. Subaltern menurut Gayatri Spivak, dimaksukan adalah subjek yang
tertekan. Menurutnya subaltern memiliki dua karakteristik penting. Pertama, adanya
penekanan dan kedua, di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Fenomena
inilah yang dapat dilihat bagaimana sebuah penekanan dan proses pendisriminasian yang
dialami Warga Sapto Darmo selama ini.
Kasus lainnya misalnya kesulitan yang dialami warga Sapto Darma mendapatkan
perlakuan dalam hal pelayanan publik seperti pengurusan KTP, pernikahan yang sah
menurut negara, kartu keluarga, belum lagi cibiran dan pandangan sebagian masyarakat di
luar kelompok ini yang bersifat negatif, di cap aliran sesat dan lain sebagainya. Bahkan
yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah beberapa tragedi penyerangan sekelompok Ormas
terhadap para penghayat ajaran ini, seperti banyak terjadi di berbagai daerah semisal
Klaten, Semarang, Pati dan di Jogjakarta sendiri semisal yang terjadi di Perengkembar,
Gamping Sleman, tahun 2008 silam. Kasus lain adalah tidak diterimanya jenazah
penghayat ketika meninggal oleh penduduk setempat, sampai yang sudah dikuburpun,
harus dibongkar dan dipindahkan seperti terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Adapula beberapa
kasus yang dialami dalam jajaran birokrasi yang mempermasalahkan Ajaran Sapta Darma
ketika berurusan dengan masalah jabatan dan kenaikan kepangkatan/golongan pegawai
negeri sipil.
Hal tersebut memang agak berkurang setelah keluarnya UU no. 23/2006 yang cukup
mengakomodasi kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, sehingga mulai di
akomodirnya kebutuhan mereka, salah satunya di KTP mereka di tulis agama lain-lain
bahkan dalam kasus tertentu langsung ditulis agama Sapta Darma, yang sebelumnya
mereka dimasukkan ke dalam salah satu agama yang diakui negara. Namun diakui
informan, proses subordinasi sampai saat ini masih dirasakan dan sering terjadi, walaupun
tidak sebanyak dulu.
Beberapa pengakuan yang diakui oleh informan, seperti bukti KTP (Kartu Tanda
Penduduk) yang dalam identitasnya telah ditulis agama Sapta Darma merupakan sebuah
upaya yang tidaklah mudah dalam prosesnya, karena Sapta Darma yang belum diakui oleh
negara sebagai salah satu agama. Sementara warga Sapta Darma lainnya, dalam identitas
KTP nya ditulis lain-lain.
Bagi para warga Sapta Darma, mengimplementasikan ajaran yang sesuai dengan
ajaran yang diterimanya (sebagaimana tercantum dalam wewarah tujuh) sebagai pedoman
hidup tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan pada umumnya yang
menganjurkan kebersamaan dan kejujuran dalam kehidupan. Namun perlakuan yang
diskriminatif yang dirasakan selama ini tentunya bagian dari cobaan dalam kehidupan yang
begitu plural/majemuk.
Jaminan yang tercantum dalam konstitusi kita yang menjamin kebebasan beragama
dan kepercayaan/keyakinan belumlah dapat dimaknai secara keseluruhan. Walaupun agama
yang diakui negara sudah ditetapkan, namun kepercayaan lain yang dimiliki atau diyakini
oleh masyarakat lainnya pun tidak kalah penting untuk dihormati selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai bangsa dan negara ini. Bangsa Indonesia yang kaya akan pluralitas ini
belum mampu memahami akan pluralitasnya, sehingga dalam tataran tertentu
menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi pemerintah
menafikkan keadaan mereka dalam negara ini, dengan tidak mengakomodir kebutuhan
mereka sebagai warga negara. Terjadi proses diskriminasi dalam urusan-urusan publik yang
justru menjadi kebutuhan nyata bagi mereka. Harapan mereka hanya ingin ketentrama dan
kedamaian dalam menjalankan keyakinannya dan kebutuhan sebagai warga negara
tercukupi. Oleh karena itulah mereka butuh pengakuan Negara serta pengakuan masyarakat
sehingga hubungan kemanusiaan antar sesama seperti yang dianjurkan oleh semua
kalangan dapat tercapai.
1. “ Islam masuk Indonesia, khususnya Jawa, dengan jalan damai dan dengan
toleransi tinggi terhadap keyakinan yang ada sebelumnya yaitu Hindu-
Budha dan agama primitive, Ada sekelompok orang yang mencampur
adukan ajaran agama-agama dengan cara mengambil unsur dan ajaran dan
keyakinan yang paling baik pula.
2. Dari sekelompok non-muslim menganggap bahwa agama-agama itu
khusunHya Islam, adalah agama impor, maka mereka menolak dan bahkan
mereka itu menentang ajaran Islam.
3. Bagi mereka yang menganggap bahwa agama-agama itu bukan asli
Indonesia ( Jawa ), mereka ingin kembali dan mencari yang Jawa asli.
Mereka menghendaki agama yang benar-benar murni dan asli dari Tuhan
yang diperuntukkan bagi setiap individu.
4. Sekelompok orang yang ingin memasyhurkan nama, dengan membuat
praktek perdukunan dan perguruan kebatinan.
5. Karena kekacauan politik, ekonomi, social, budaya dan keagamaan, karena
sulit mengatasi masalah tersebut, orang cenderung untuk menanggulanginya
melewati jalan spiritual meninggalkan duniawi menengadah kelangit untuk
mendapatkan ketentraman jiwa menghindarkan diri dari penderitaan. Jalan
yang sering ditempuh untuk menanggulangi masalah, tidak lagi mengikuti
hukum alam, tetapi lebih suka menggunakan hal-hal ghaib yang tidak
sejalan dengan logika.
PENUTUP
Aliran Kepercayaan adalah suatu aliran yang berkaitan dengan alam ghoib yang
tidak bisa di akali oleh manusia. Dan Aliran Kebatinan adalah aliran yang mengeluarkan
kekuatan kebatinan dalam diri manusia.
Aliran kepercayaan dapat disebut aliran kebatinan, kerohaniaan, kejiwaan, kejawen,
dan lain sebagainya.
Sebab timbulnya Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dikarenakan oleh pengalaman
hidup manusia yang selalu menghadapi kesulitan dan pengalaman menyelesaikan masalah
yang sangat rumit bahkan mungkin tidak dipecahkan.
TANGGAPAN MAHASISWA
A. Tomas Riangga
Tanggapan saya akan hal ini adalah ketidakpuasaan masyarakat indonesia terutama
di Jawa terhadap agama-agama besar yang ada di indonesia membuat manusia mencari cara
sendiri untuk membuat hidupnya lebih baik dan untuk berhubungan dengan Allah.
Sehingga aliran kebatinan menjadi suatu hal yang menjadi pilihan yang baik untuk
memperbaiki kualitas kehidupan untuk mencari kedamaian dan ketentraman jiwa. Sebagai
orang percaya saya lebih menekankan pada kita harus melakukan dan menjiwai ajaran
Tuhan Yesus dalam kehidupan kita, sehingga tidak mudah terhasut dengan ajaran-ajaran
lain selain Kristus. Namun kita juga tidak boleh menghakimi mereka karena walaupun
tidak mengenal Kristus namun ajaran yang mereka amalkan menurut saya sangat ke arah
kebaikan untuk kehidupan sesama manusia dan perdamaian sangat dikedepankan.
B. Tri Siami
Pada dasarnya semua orang ingin menemukan kebenaran yang sejati ketika mereka
memeluk sebuah agama.Dan dalam agama tersebut orang juga membutuhkan yang
namanya ketenangan batin. Mengingat bahwa banyaknya agama yang ada di Indonesia
membuat semua orang beranggapan bahwa agama yang mereka anut/percayai adalah yang
paling benar,daripada agama/aliran yang lainnya.Hal semacam ini menimbulkan suatu
permasalahan dan perpecahan antar umat beragama.Dalam observasi yang telah kami
lakukan,kita dapat menyimpulkan bahwa yang walaupun kita hidup dalam negara yang
memiliki berbagai macam aliran kepercayaan/agama maka kita harus saling punya rasa
hormat antar umat beragama,yang walaupun ketenangan sejati serta kebenaran yang sejati
hanya bisa kita temukan dalam Tuhan kita Yesus Kristus.Kita tidak boleh mengadili antar
agama dan beranggapan agama siapa yang paling benar,bagaimanapun juga kita harus tetap
punya rasa hormat kepada pemeluk agama apapun.
D. Doni Anggrelian
Sapta Dharma bukan suatu ajaran kebatinan, melainkan merupakan suatu wahyu
yang diterima sesorang dan pengajarannya juga tidak menyimpang dari agama-agama lain.
Ajarannya sama dengan agama pada umumnya yaitu menyembah Tuhan dan peduli
terhadap sesama tanpa mengharpkan pamrih. Walaupun keberadaannya sangat minoritas
namun mereka tetap berjuang agar dapat diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.facebook.com/pages/kerohanian-sapta-darma/247191307675
http://derapkaki.multiply.com/journal/item/83/Ajaran_Sapta_Darma
http://www.facebook.com/topic.php?uid=191815538585&topic=12594
http://www.facebook.com/note.php?note_id=295428715960
http://fathsuxegtu.blogspot.com/2010/01/studi-kritis-terhadap-aliran-sapto.html
http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com/msg12942.html
http://petaksd.blogspot.com/2010_11_01_archive.html
http://petaksd.blogspot.com/
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=234476782
http://kerajaanagama.wordpress.com/2010/08/06/ajaran-kejawen-sapto-darmo-dalam-
pandangan-islam/
http://www.facebook.com/group.php?gid=50352163010&v=info#!/group.php?
gid=50352163010&v=info(group facebook)
http://antoniussukoco.blogspot.com/2010/09/apakah-itu-sapta-dharma.html
http://www.subhanagung.net/2010/08/komunitas-sub-altern-dan-pr-negara.html
LAMPIRAN