Anda di halaman 1dari 267

ISLAM DAN

PERADABAN
MELAYU
ISLAM DAN PERADABAN MELAYU
Edisi Pertama
Copyright © 2022

Penanggung Jawab :
Dr. Nyayu Soraya, S.Ag.,M.Hum

Penyedia Materi:
Afriska Wulan Sari Muhammad Abraham
Popy Oktavia Ardea Desti Meisa
Chesa Sasmita Febriani Citra Esa Putriana
Muhammad Iswahyudi Khusnul Khotimah
Yunia Pertiwi Adelia Lestari
Astri Septiani Mardiyatul Rohmah
Ayu Melinda Ardia Widiyani
Muhammad Haikal Nur Sholehatun
Angelena Bela Cantika Anti Lestari
Siti Holifah Sindi Nurjannah
Putri Aprilia Junita

ii
Tim Editor:
Angraeni Dewi Putri
Oktaviana
Nurhasanah
Mayasari
Ochilia Farrosti

Desain Cover:
Ochilia Farrosti

Kelas Fisika Genap 2020


Prodi Pendidikan Fisika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UniversitasIslam Negeri Raden Fatah Palembang

iii
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala,


atas limpahan rahmat dan karuniaNya kepada penyusun,
sehingga buku ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Shalawat serta salam tak lupa penyusun sampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW atas segala
perjuangannya yang telah menyebarkan Islam kepada
umat manusia, sehingga kita semua terbebas dari
kebodohan. Semoga kelak, kita semua termasuk dalam
syataanya dihari kiamat.
Rasa syukur kami ucapkan kepada semua tim
yang berkontribusi dalam pembuatan buku ini, karena
buku tidak akan selesai jika tidak ada bantuan dari pihak
manapun. Kami mengucapkan juga terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Nyayu Soraya, S.Ag.,
M.Hum selaku dosen Pembimbig, yang telah
membimbing kami dalam proses pembuatan buku dan
kegiatan belajar mengajar dari kelas Fisika Genap 2020.
Buku ini berusaha menjelaskan masa keemasan
sains dalam sejarah islam, relasi sains dan agama: review
terhadap prkembangan pandangan tentang sains dan

iv
agama, hubungan anara sains dan islam, islamisasi sains
islam, review terhadap pandangan islamisasi sains
Naquib Al-attas dan Raji‟ Al-Faruq, review terhadap
pandangn sains islam Ziauddi Sardar dan Syed Hoessein
Nasr, dan diskursus islam dan sains di Indonesia: pasang
surut diskursus islam dan sains, integralisme Al-Mahedi
Mahzar.
Kami harap, adanya buku ini dapat bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya. Kami selaku tim
penyusun menyadari isi dari buku ini sangat jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
dibutuhkan sebgai bahan perbaikan dan penyempurnaan
buku ini serta dalam pembuatan buku selanutnya.

Tim Penyusun

Fisika Genap 2020

v
DAFTAR ISI

BAB 1 MASA KEEMASAN SAINS DALAM


SEJARA SILAM ............................................................. 1
A. Definisi Sains Dalam Islam .................................. 3
B. Sains Dalam Perkembangan Menurut Al-Quran .. 4
C. Masa Keemasan Sains Dalam Sejarah Islam ........ 7
D. Dinasti Abbasiyah Pilar Utama Pengembang
Sains Islam ........................................................... 12
E. Faktor Pendukung Sains Islam Pada Dinasti
Abbasiyah ............................................................ 17
F. Memahami Sains dan Agama .............................. 19
G. Lembaga Pendidikan pada Zaman Keemasan
Islam (Daulah Abbasiyah) ................................... 21
BAB II REASI DAN AGAMA: REVIEW
TERHADAP PERKEMBANGAN PANDANGAN
TENTANG SAINS DAN AGAMA ............................... 26
A. Pengertian Sains ................................................ 26
B. Pengertian Agama .............................................. 31
C. Perkembangan Sains .......................................... 33
D. Hubungan Sains dan Agama ............................. 45
E. Pandangan Islam Mengenai Sains ..................... 59

vi
BAB III HUBUNGAN ANTARA SAINS DAN
ISLAM KONSEPSI ILMU DALAAM ISLAM.
ISLAMISASI SAINS ISLAM ....................................... 64
A. Hubungan Antara Sains dan Islam ....................... 64
B. Konsepsi Ilmu Dalam Islam................................. 88
C. Islamisasi Sains Islam ......................................... 112
BAB IV REVIEW TERHADAP PANDANGAN
ISLAMISASI SAINS NAQUIB AL-ATTAS DAN
RAJI’AL-FARUQ ......................................................... 133
A. Pandangan Islamisasi Sains Naquib-Al-Attas ... 133
B. Pandangan Islamisasi Sains Raji Al-Faruqi ...... 152
BAB V PANDANGAN SAINS ISLAM ZIAUDDIN
SARDAR DAN SYED HOESEIN NASR .................. 174
A. Islamisasi Ilmu ................................................... 177
B. Islamisasi Sains .................................................. 179
C. Pandangan Sains Islam Ziauddin Sardar............ 183
D. Pandangan Sains Islam Syed Hossen Nasr ........ 205
BAB VI DISKURSUS ISLAM DAN SAINS DI
INDONESIA:PASANG SURUT DISKURSUS
ISLAM DAN SAINS, INTEGRALISME AL-
MAHED MAHZAR ........................................ ……..219

vii
A. Kajian Teorosis Islam dan Sains atau Diskursus
Islam dan Sains .................................................. 219
B. Diskursus Hubungan Islam dan Sains................ 223
C. Pasang Surut Islam dan Sains ............................ 229
D. Integralisme Armahedi Mahzar ......................... 234
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 251

viii
BAB I
MASA KEEMASAN SAINS DALAM
SEJARAH ISLAM

Islam adalah agama yang sangat menghargai


ilmu pengetahuan (sains) dan menganjurkan bagi para
pemeluknya agar menjadi insan yang berilmu serta
berkahlak mulia. Setidaknya semangat dan anjuran itu
nampak dari wahyu pertama dalam Al-Qur‟an surah Al-
„Alaq ayat 1-5 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW mengenai membaca dalam arti yang holistik-
komprehensif. Membaca dalam arti luas tidak hanya
sebatas membaca teks-teks yang ada di dalam Al-
Qur‟an, al-Hadist, ijma, qiyas dan lain sebagainya.1
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap
individu untuk menghadapi zaman yang sarat dengan
persaingan ini, tak terkecuali kaum muslimin. Karena

1
Tri Wibowo, Dinamika Sains dalam Islam pada Masa
Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi &
Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian
(Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
: 2021) hlm. 51

1
dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui
keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga
menjadi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa,
karena pada dasarnya semua bidang kehidupan
memerlukan sains.
Dari sinilah, untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, kita kaum muslimin harus
berusaha mempelajari dan menguasai sains. Tapi, disisi
lain, kita juga tidak diperbolehkan untuk melanggar
ajaran Islam yang telah disempurnakan oleh Allah SWT.
Karena pada hakikatnya, semua yang ada di alam
semesta ini akan kembali kepadaNya, bahkan
sebenarnya sains dan berbagai ilmu lainnya telah
terkandung di dalam kalamNya, Al-Qur‟an.
Islam memiliki masa keemasan dalam sejarah
selama abad pertengahan. Kemajuan dalam berbagai
aspek kehidupan sangat jelas khususnya dalam bidang
sains dan teknologi dari berbagai disiplin dengan
tokohnya yang sangat terkenal di masa itu seperti Al-
Kindi, Ibn Sina, Al-Gazali, dan yang lainnnya. Pada
masa itu orang muslim tidak memandang agama dan
pengetahuan sekular sebagai dikotomi. Semangat

2
kebijaksanaan yang begitu tinggi yang dimulai dengan
membentuk banyak lembaga dan berusaha keras untuk
menerjemahkan naskah-naskah filsafat Yunani kuno.
Selanjutnya kekuatan besar yang ditunjukkan oleh semua
pihak baik pembuat aturan maupun masyarakat telah
menjadi deklarasi umum, untuk keagungan Islam.2
Dari gambaran ringkasan diatas dapat dipahami
beberapa butir pokok masalah untuk didiskusikan dalam
suatu tulisan yang akan mencoba mengkaji masa
keemasan sains dalam sejarah islam.

A. Definisi Sains Dalam Islam


Kata sains berasal dari kata science yang
berarti pengetahuan. Kata sains berasal dari bahasa
latin yaitu iscire yang berarti tahu atau mengetahui.
Sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan
al`ilm yang berarti tahu, sedangkan dalam bahasa

2
Tri Wibowo, Dinamika Sains dalam Islam pada Masa
Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi &
Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian
(Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
: 2021) hlm. 55

3
Indonesia disebut dengan ilmu atau ilmu
pengetahuan.
Secara umumnya, sains boleh didefinisikan
sebagai ilmu yang dihasilkan melalui cerapan (yaitu
analisis dengan menggunakan panca indera)
serta pemahaman yang lahir dari padanya. Ia juga
boleh diartikan sebagai uraian secara sistematik
tentang fenomena terjadinya alam semesta uraian
secara sistematik melibatkan penggunaan intelek di
samping kaidah yang dapat diukur (quantitative).
Dari segi istilah sains dan ilmu bermakna
pengetahuan namun demikian menurut Sayyid
Hussen Al-Nasr kata science dalam bahasa Inggris
tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Arab
sebagai Al-„Ilm, karena konsep ilmu pengetahuan
yang dipahami oleh barat ada perbedaannya dengan
ilmu pengetahuan menurut perspektif Islam.

B. Sains dalam Perkembangannya Menurut Al -


Qur’an
Pada hakikatnya perkembangan sains tidak
bertentangan dengan agama islam karena islam

4
adalah agama rasional yang lebih menonjolkan akal
dan dapat diamalkan tanpa mengubah budaya
setempat.
Surat Al-Alaq 1-5 merupakan dasar sains
dalam islam, Allah memerintahkan kita membaca,
meneliti, mengkaji, dan membahas dengan
kemampuan intelektual. Surat ini merangsang daya
kreativitas untuk berinovasi, mengembangkan
keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki
manusia. Penggunaan sains tergantung pada pribadi
masing – masing, bila penggunaannya tidak sesuai
dengan tujuannya kan mendatangkan mudharat.
Namun, jika sains ini bermanfaat maka hal ini akan
direstui Allah.
Pandangan Al-Qur‟an tentang sains dan
teknologi dapat ditelusuri dari pandangan Al-Qur‟an
tentang ilmu. Al-Qur‟an telah meletakkan posisi
ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman
seperti tercermin dalam surat Al-Mujadalah ayat 11:
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

5
Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan
manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu
banyak. Al-Qur‟an menggunakan berbagai istilah
yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak
melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-
kejadian (Fathir: 27; Al-Hajj: 5; Luqman: 20; Al-
Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; Al-Anbiya‟: 30),
membaca (Al- „Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu
kejadian (Al-An‟am: 97; Yunus: 5), supaya
mendapat jalan (Al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir
atau yang menalar berbagai fenomena (Al-Nahl: 11;
Yunus: 101; Al-Ra‟d: 4; Al-Baqarah: 164; Al-Rum:
24; Al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali
„Imran: 7; 190-191; Al-Zumar: 18), dan mengambil
pelajaran (Yunus: 3).3
Sedangkan pandangan Al-Qur‟an tentang
sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu
pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW.:

3
Jamal Fakhri, Sains Dan Teknologi Dalam Al-Qur’an Dan
Implikasinya Dalam Pembelajaran (Lampung : 2010),
hal. 124

6
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-
„Alaq: 1-5)
Kata iqra‟, menurut Quraish Shihab, diambil
dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang
tertulis maupun tidak. Sedangkan dari segi
obyeknya, perintah iqra‟ itu mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia.4

C. Masa Keemasan Sains Dalam Sejarah Islam.


Perkembangan sains dalam Islam mencapai
puncak keemasannya pada masa Daulah Abbasiyah.
4
Jamal Fakhri, Sains Dan Teknologi Dalam Al-Qur’an Dan
Implikasinya Dalam Pembelajaran (Lampung : 2010),
hal. 125

7
Sesuai dengan watak sosialnya, bahwa sains akan
berkembang jika ada sikap keterbukaan, inklusif,
akomodatif, selektif dan kreatif. Artinya, Islam
terbuka dan akomodatif dalam menerima berbagai
ilmu pengetahuan (sains), budaya, peradaban dari
luar, tetapi juga selektif hanya menerima sesuatu
yang tidak ada pertentangan dengan Al-Qur‟an dan
Al-Hadist serta bersikap kreatif dalam
mengakulturasi segala sesuatu yang berasal dari luar
Islam agar tetap selaras dan harmonis dengan jati
diri Islam sebagai agama keselamatan untuk umat
manusia di muka bumi.5
Pemicu yang menunjang kemajuan sains
dalam dunia Islam masa keemasan tidak terlepas
dari kegiatan penerjemahan manuskrip-manuskrip
karya maestro Yunani Klasik seperti Thales,
Socrates, Plato dan Aristoteles. Manuskrip-

5
Tri wibowo, Dinamika Sains dalam Islam pada Masa
Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi &
Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian
(Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
: 2021) hlm. 52

8
manuskrip klasik yang diterjemahkan terdiri atas
berbagai bahasa seperti bahasa Yunani, Suryani,
Persia, Ibrani, Qibti, India, Nibti dan Latin. Dari
kegiatan penerjemahan ini, selanjutnya muncul
lembaga-lembaga pendidikan seperti maktab/kuttab
dan masjid yang pada gilirannya melahirkan para
saintis muslim generasi unggul yang mewarnai dan
membangun peradaban Islam yang maju dalam
berbagai bidang keilmuan. Proses transformasi sains
dari Yunani Klasik ke dalam peradaban Islam
melalui pendidikan dan pengkajian terhadap
manuskrip-manuskrip Yunani Klasik yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.11 Dari hasil
pendidikan tersebut, muncullah para filsuf dan
saintis muslim yang ahli dalam berbagai bidang
keilmuan. Misalnya dalam bidang filsafat muncul
dan berkembang gerakan pemikiran filosofis dan
ilmiah cemerlang yang menghasilkan karya orisinil
dan bernilai tinggi. Adapun filsuf muslim yang
masyhur dalam bidang ilmu filsafat antara lain al
Kindi (801-866 M), alFarabi (850-950 M), ar-Razi
(864-926 M), Ibnu Sina (908-1037 M), Ibnu

9
Miskawaih (941-1030 M) dan al-Ghazali (1051-
1111 M)
Dalam ilmu pengetahuan alam (kimia),
terdapat saintis muslim yang terkenal sebagai tokoh
ahli kimia muslim pada awal perkembangan ilmu
kimia yaitu Jabir Ibnu Hayyan. Aktivitas ilmiah
yang dilakukannya dalam bidang kimia sudah
menggunakan metode ilmiah berupa eksperimen dan
membuat catatan yang sistematis dan terstruktur atas
observasi dan eksperimen yang telah dilakukan.
Karena kecintaan dan jasanya dalam bidang kimia,
Jabir Ibnu Hayyan mendapat gelar sebagai “Bapak
Kimia Islam”. Kemudian dalam ilmu pasti dan ilmu
pengetahuan alam terdapat berbagai tokoh terkenal
seperti al-Khawarizmi (780-850 M), al-Biruni (973-
1051 M), alKhayyani (1045-1123 M), dan
Nashirudin alThusi (1200-1274 M). Selanjutnya
dalam ilmu kedokteran tokoh-tokohnya adalah Ali
bin Rabban at-Tabari, ar-Razi, Ali bin al-Abbas,
Ibnu Sina, al-Kindi dan al-Farabi.
Selanjutnya ilmu astronomi (Falak),
dikembangkan oleh para saintis muslim dikarenakan

10
ilmu tersebut berkaitan erat dengan beberapa
pelaksanan kegiatan keagamaan umat Islam, seperti
penentuan ibadah sholat maktubah, penentuan arah
kiblat, penentuan awal dan akhir bulan. Selain itu,
para saintis muslim juga mengembangan ilmu
astronomi untuk mengukur jarak antara bumi dan
matahari, membuat jadwal pergerakan bulan dan
bintang, menjelaskan sistem geologi bumi serta
pengaruh bulan dan matahari terhadap pergantian
musim. Adapun para saintis muslim yang berjasa
dalam bidang ilmu ini antara lain: al-Biruni,
Nasirudin at-Tusi al-Khawarizmi, al-Fazari dan lain
sebagainya. Pada bidang arsitektur dan seni rupa
memiliki berbagai gagasan dan karakteristik khas
Islam yang meliputi:
a.) naturalistis, berfokus kepada alam dan sedikit
tentang makhluk hidup.
b.) Struktur modular, campuran berbagai bentuk
yang melahirkan karya baru sebagai sebuah
entitas yang distingtif dalam bingkai estetis.
c.) Integrasi, perpaduan secara runtut untuk
menghasilkan karya seni yang bernilai tinggi.

11
d.)
Pengulangan tingkat tinggi dan dinamis.16
Arsitektur dan seni rupa dalam Islam memiliki
kontribusi yang besar dalam mendukung dan
memajukan peradaban terutama dalam corak
bangunan yang khas dan dijiwai filosofi Islam
terhadap hasil karya tersebut dalam menunjang
terciptanya tempat ibadah yang nyaman &
estetik.6

D. Dinasti Abbasiyah Pilar Utama Pengembang


Sains Islam
Abdullah as Syaffah bin Muhammad bin Ali
bin Abdullah al Abbas (132-136 H), setelah ia
wafat, digantikan oleh Abu Ja‟far al Manshur (136-
158 H), Kedua tokoh ini merupakan perintis dan
pendiri Dinasti Abbasiyah. Sedangkan Zaman
keemasan dari Dinasti ini berada dalam kekuasaan

6
Tri wibowo, Dinamika Sains dalam Islam pada Masa
Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi &
Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian
(Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto
: 2021) hlm. 56

12
tujuh kholifah Sesudahnya. Dinasti Abbasiyah
memiliki rentang waktu kekuasaan yang cukup
Lama yakni 750-1258 M, selama itu pula bentuk
pemerintahan yang diterapkan Memiliki corak yang
berbeda, hal ini desebabkan adanya perubahan
kondisi Politik, sosial dan budaya.
Dinasti Abbasiyah pada periode 132 H/750 M
sampai 232 H/847 M, Merupakan zaman keemasan
pemerintahan Abbasiyah. Karena periode ini
Merupakan usaha peletakan landasan bagi eksistensi
filsafat dan ilmuPe alam Islam yang dapat dikatakan
berhasil⁴. Sejarawan C.W. Bosworth, pernah
menyatakan dalam bukunya yang berjudul “ The
Islamic Dinasties” bahwa tiga abad pertama
pemerintahan Abbasiyah abad 8-11 M, ia Melihat
kejayaan Dinasti Abbasiyah, pada saat itu
keberadaan ilmu pengetahuan Dirasakan benar
adanya. Salah satu buktinya adalah dengan ditandai
adanya berbagai literatur ilmu pengetahuan yang
eksis saat itu, seperti kitab berbagai literatur ilmu
pengetahuan yang eksis saat itu, seperti kitab
Kesusasteraan, Teologi, Filsafat, dan Ilmu Alam⁵.

13
Dalam sumber lain dapat ditemukan pula
bahwa popularitas pemerintahan Abbasiyah
mencapai puncaknya pada saat pemerintahan
kholifah Harun al- Rosyid (786-809 M), dan
putranya al-Makmun (813-833 M), kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kesusasteraan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan
mengalami zaman keemasannya. Pada saat itulah
zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat yang tidak tertandingi.
Naiknya Harun al-Rosyid sebagai kholifah ke lima
mengantikan al-Hadi membawa perubahan besar
dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Perubahan
tersebut ditandai dengan banyaknya para ilmuwan
(ulama) yang hidup pada masa pemerintahannya,
dan diantaranya adalah; Qodri Abu Yusuf keluarga
Bermakid, Abu Atahiyah, Ishak al-Mausuli, dan
lain-lain.Kesusasteraan, Teologi, Filsafat, dan Ilmu
Alam.5
Dalam sumber lain dapat ditemukan pula
bahwa popularitas pemerintahan Abbasiyah
mencapai puncaknya pada saat pemerintahan

14
kholifah Harun al-Rosyid (786-809 M), dan
putranya al-Makmun (813-833 M), kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kesusasteraan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan
mengalami zaman keemasannya. Pada saat itulah
zaman keemasan negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat yang tidak tertandingi.
Naiknya Harun al-Rosyid sebagai kholifah ke lima
mengantikan al-Hadi membawa perubahan besar
dalam sejarah Dinasti Abbasiyah. Perubahan
tersebut ditandai dengan banyaknya para ilmuwan
(ulama) yang hidup pada masa pemerintahan dan
diantaranya adalah; Qodri Abu Yusuf keluarga
Bermakid, Abu Atahiyah, Ishak al-Mausuli, dan
lain-lain.6
Dimasa pemerintahan Harun al-Rosyid kota
Bagdad sebagai pusat ilmu Pengetahuan, dan di kota
inilah dalam sejarah dicatat dibangun sebuah
Perpustakaan sebagai pusat telaah referensi ilmu
pengetahuan dan sebagai pusat Diskusi ilmu
pengetahuan yang diberi nama dengan “Baitul
Hikmah” yang Artinya gedung ilmu pengetahuan.

15
Sejarah juga mencatat bahwa pada masa Kekuasaan
kholifah Harun al-Rosyid, cabang-cabang ilmu
pengetahuan seperti Matematika, Fisika, Astronomi,
dan kemiliteran turut mengalami perkembangan
Yang sangat pesat. Sehingga para sejarawan telah
membandingkan bahwa; Kharun al-Rosyid benar-
benar menempati sebuah derajat yang sangat Tinggi
dan agung dalam hal kebudayaan dan peradaban,
jika dibanding dengan Karel Agung di Eropa yang
menjalin persahabatan dengannya. Bagdad ketika itu
Sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah memang tidak
ada yang menyainginya meskipun konstantinopel
yang merupakan ibu kota Bizantium.
Perkembangan sains pada Dinasti Abbasiyah
selkemudian memerintahkannya untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada Zaman
itulah muncul filosof Arab yang agung seperti al-
Kindi yang telah menulis Bebagai macam kitab ilmu
pengetahuan, al-Hajjaj bin Yusuf telah
Menterjemahkan untuk al-Makmun beberapa buah
buku karya Euclides dan buku Ptoles zaman itulah
muncul filosof Arab yang agung seperti al-Kindi

16
yang telah menulis bebagai macam kitab ilmu
pengetahuan, al-Hajjaj bin Yusuf telah
menterjemahkan untuk al-Makmun beberapa buah
buku karya Euclides dan buku Ptolemy.

E. Faktor Pendukung Sains Islam Pada Dinasti


Abbasiyah.
Beberapa faktor pendukung bagi keberadaan
Sains pada masa Dinasti Abbasiyah sehingga dapat
mencapai zaman keemasannya, antara lain;
1. Faktorlasi yang telah terjadi di kalangan bangsa
Arab dengan bangsa lain yang telah duhulu
mengalami perkembangan dalam ilmu
pengetahuan.Tercatat dalam sejarah bahwa pada
saat kekuasaan Bani Abbas, banyak Pemeluk
agama Islam yang datang bukan dari kalangan
orang Arab, Sehingga hal ini menyebabkan
proses asimilasi berlangsung efektif di antara
Kalangan bangsa Arab dan non Arab.
2. Adanya gerakan intensif dalam penerjemahan
berbagai macam literatur, hal Ini dapat dibagi
dalam tiga periode. Pertama, terjadi pada masa

17
al-Mansur Menjadi kholifah Abbasiyah hingga
Harun al-Rosyid, fase ini yang banyak
Diterjemahkan adalah karya-karya dalam
bidang Astronomi dan mantiq.Keberlangsung
pada masa kholifah al-Makmun sampai tahun
300 Hijriyah, buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah dalam bidang Filsafat dan
Kedokteran. Ketiga, berlangsung setelah tahun
300 hijriyah Terutamanya setelah adanya
pembuatan kertas, dan bidang-bidang ilmu yang
Diterjemahkan semakin meluas dari yang
sebelumnya.9
3. Keberadaan sains di masa Dinasti Abbasiyah
tidak dapat dilepaskan dari Peran aktif dan
kesadaran dari para khalifah, khusunya al-
Manshur, Harun Al-Rosyid, dan al-Makmun,
yang sangat mencurahkan perhatiaannya pada
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat di Zamannya
Dari ketiga faktor pendukung keberadaan
sains pada masa pemerintahan Para kholifah Bani
Abbasiyah dapat dikatakan bahwa; keberadaan sains

18
dan Agama saat itu menjadi perhatian yang sangat
serius, hal itu dilandasi atas atas Dasar ingin
menciptakan perdamaian dunia dan kemaslahatan
umat, dan juga Sebagai salah satu pilar untuk
mewujudkan pemerintahan Islam yang disegani
Oleh kekuasaan-kekuasan yang lain di luar Islam.
Dengan tampa disadari Ternyata usaha tersebut telah
membawa puncak zaman keemasan bagi Peradaban
Islam untuk dunia.

F. Memahami Sains dan Agama


Dalam kenyataan istilah sains dan agama
sangat lekat dalam kehidupanIn dan seringkali
menimbulkan pemahaman yang distortif. Tidak
jarang orang Memahami sains sebagai ilmu
pengetahuan yang bersifat empiris, positif, terukur,
Dan dapat diuji atau dieksperimentasikan.
Sebaliknya, agama dipandang sebagai Sesuatu yang
mewakili hal-hal yang supra ilmiah, sesuatu yang
melampaui fisik, Empiris, dan meta positif. Tidak
salah jika agama seringkali dianggap sebagai
Sesuatu yang menguasai ruang pembahasan yang

19
bersifat metafisik, metaempiris Dan metapositif.
Dalam beberapa literatur ada banyak definisi yang
dikemukakan oleh Beberapa pemikir seperti
menurut antropolog B. Taylor. Ia mengatakan
bahwa Religion is the belief in spiritual being
(agama ialah kepercayaan kepada hal-hal yang
ghaib). Menurut Emile Durkheim agama dipahami
sebagai suatu Keseluruhan yang bagian-bagiannya
saling berkaitan yang satu dengan lainnya, Terdiri
dari kepercayaan dan penyembahan, yang semuanya
dihubungkan dengan Hal-hal yang suci dan
mengikat pengikutnya dalam suatu masyarakat.
Sedangkan Poerwadarminta menjelaskan bahwa
agama adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan,
dewa, dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan
kewajiban-kewajiban Yang bertalian dengan
kepercayaan itu.Dalam hal ini kita telah memberikan
penjelasan tentang makna Agama. Namun, hal yang
tidak boleh disilapkan adalah bahwa yang dimaksud
Agama dalam konteks ini adalah agama sebagai
peradaban dan pengetahuan (religion as a
civilization and knowledge). Agama sebagai

20
peradaban tidak dapat Dinafikan berkaitan dengan
problem pengetahuan. Kata agama
yangdisandingkan dengan kata sains dalam konteks
ini mempunyai maksud sebagai Ilmu agama dan
ilmu pengetahuan non-agama yang biasa diklaim
sebagai “sains” Dewasa ini.

G. Lembaga Pendidikan pada Zaman Keemasan


Islam (Daulah Abbasiyah)
Pada masa keemasan Islam (Daulah
Abbasiyah) segenap aspek kehidupan mengalami
kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat.
Bidang pendidikan adalah salah satunya. Bidang
pendidikan mengalami kemajuan melalui lembaga-
lembaga pendidikan yang berkembang pada saat itu.
Islam mentransmisikan ajarannya dengan baik lewat
lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan
mumpuni di bidangnya. Adapun lembaga-lembaga
pendidikan yang berkembang pada zaman keemasan
Islam (Daulah Abbasiyah) yaitu sebagai berikut.

21
1. Kuttab
Kuttab ialah lembaga pendidikan tingkat
dasar nonformal yang terintegrasi dengan
masjid atau memfungsikan masjid sebagai
madrasah. Materi yang diajarkan kepada para
murid berupa baca tulis al Qur‟an, tata bahasa
arab, kisah para nabi dan juga sastra. Pada masa
ini, fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat
ibadah, melainkan juga sebagai pusat transmisi
ilmu pengetahuan (sains). Melalui lembaga ini,
para murid diharapkan memiliki kepandaian
dalam bidang al-Quran, tata bahasa Arab, sastra
serta mampu mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari dan mempersiapkan
dirinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

2. Madrasah Menengah
Madrasah Menengah pada masa
kepemimpinan Daulah Abbasiyah merupakan
lembaga pendidikan lanjutan dari pendidikan
jenjang tingkat dasar. Materi yang diajarkan
pada tingkat ini berbeda dengan jenjang

22
pendidikan dasar. Materi yang diajarkan pada
tingkat menengah (madrasah) berupa al-Qur‟an,
bahasa Arab dan sastra, tafsir, Fiqih, hadist dan
ilmu tata bahasa. Materi yang diajarkan pada
tingkat ini merupakan kelanjutan dari jenjang
sebelumnya. Artinya, ada kesinambungan
materi pendidikan dari berbagai jenjang untuk
mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Tujuan pendidikannya yaitu terciptanya insan
yang beriman, bertakwa, berwawasan luas serta
memiliki akhlak yang mulia

3. Pendidikan Tinggi (Madrasah Nizhamiyyah)


Madrasah Nizhamiyah merupakan sebuah
prototype dalam lembaga pendidikan tinggi
Islam, tonggak baru bagi penyelenggaraan
pendidikan Islam serta memiliki karakteristik
tradisi pendidikan Islam formal dengan sistem
asrama. Materi yang diajarkan pada jenjang
pendidikan tinggi meliputi ilmu-ilmu agama (al
Qur‟an, hadist, tafsir), filsafat, bahasa, sastra
dan lain sebagainya. Para pencari ilmu

23
mempelajari berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan (sains) tersebut berdasarkan
peminatan yang dipilihnya. Materi keagamaan
dijadikan dasar dan pokok dalam kegiatan
pembelajaran di lembaga pendidikan ini. Maka
tidak heran jika pada masa ini, banyak
melahirkan ilmuwan yang tidak hanya pandai
dalam ilmu agama, namun juga menguasai
ilmu-ilmu umum (natural science dan social
science) yang memiliki kontribusi besar bagi
perkembangan dan kemajuan pada masa
keemasan Islam (Daulah Abbasiyah).

4. Perpustakaan dan Observatorium


Perpustakaan dan observatorium
digunakan sebagai tempat riset dan pusat kajian
ilmiah mengenai ilmu keagamaan, kealaman,
sosialkemasyarakatan dan kebudayaan. Tempat-
tempat tersebut digunakan juga sebagai tempat
kegiatan pembelajaran bagi para pencari ilmu
dari segenap penjuru negeri. Kegiatan
pembelajaran dilakukan melalui metode diskusi,

24
membaca referensi dan bekerjasama dalam
mendapatkan segenap ilmu pengetahuan pada
berbagai bidang. Pada zaman ini, di setiap sudut
yang berisi perkumpulan orang biasanya
membahas mengenai ilmu. Tiada hari tanpa
bertambahnya ilmu dan kemanfaatan bagi diri
dan masyarakatnya. Maka tidak heran jika
masyarakat dan penguasa masa Daulah
Abbasiyah dikenal juga sebagai bangsa yang
cinta dan mengagungkan ilmu pengetahuan.

25
BAB II
REASI SAINS DAN AGAMA : REVIEW
TERHADAP PERKEMBANGAN
PANDANGAN TENTANG SAINS DAN
AGAMA

A. Pengertian Sains
Kata sains berasal dari kata science,
scienta, scine yang artinya mengetahui. Dalam kata
lain, sains adalah logos, sendi, atau ilmu. Sains
dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk mencari kebanaran berdasarkan
fakta atau fenomena alam. Sains yang dipahami
dalam arti sebagai pengetahuan obyektif, tersusun,
dan teratur tentang tatanan alam semesta. Sains
pada wilayah yang sempit atau spesifik dapat
dipahami sebagai ilmu pengetahuan alam dan pada
tataran yang luas dipahami sebagai sagala macam
disiplin ilmu pengetahuan.

26
Menurut Baharudin mengemukakan
beberapa sifat-sifat sains antara lain:
1. Kumulatif, artinya dinamis atau tidak statis
karena selalu mencari tambahan ilmu
mengingat kebenaran bersifat sementara.
2. Ekonomis untuk penjelasanpenjelasan dan
kaidah-kaidah yang kompleks, formulasinya
sederhana, susu-nannya ekonomis sehingga
dipakai istilah pendek, simbol dan formula.
3. Dapat dipercaya atau diandalkan untuk
meramalkan sesuatu dan lebih baik hasilnya
daripada pekerjaan berdasarkan perkiraan saja.
4. Mempunyai daya cipta tentang sesuatu
5. Dapat diterapkan untuk menganalisis perilaku
atau kejadian-kejadian alamiah.
Ciri-ciri sains menurut Melsen (1994)
dalam buku yang sama antara lain, secara metodis,
harus mencapai suatu keseluruhan logika kolumer:
1. Harus tanpa pamrih,
2. Universalisme,
3. Objektifitas,
4. Intersubjektifitas

27
5. Progresif
Dalam Baharuddin (2013:123-125)
menyatakan bahwa fenomena kehidupan sosial
sering terjadinya sistem sosial tidak berjalan
dengan baik, hal tersebut dikarenakan beberapa
faktor seperti:
a. Hubungan sesama tertutup; Hal tersebut
diperlihatkan oleh mereka yang merasa orang
baru sehingga mau bergaul serta melakukan
komunikasi antar sesama akan terganggu dan
ada rasa malu dan belum siap bergaul. Hal
tersebut disebabkan oleh kemampuan yang
kurang atau merasakan orang asing dalam
dunia barunya. Dalam hal ini perlu hadirnya
manusia yang siap menjembatani para muallaf
baru untuk selalu berhubungan dengan
mengedepankan rasa sosial dan selalu
membangun solidaritas sesama muslim.
b. Pengangguran yang banyak; Dalam dunia
sekarang pengangguran memang salah satu

28
Baharuddin : Perubahan social budaya (Pontianak
: STAIN, 2013

c. faktor atau hal yang harus dihilangkan minimal


ditekan keangka paling kecil, karena hal
tersebut akan membuka peluang yang besar
dalam melakukan kejahatan dan melanggar
aturan.
d. Motivasi serta semangat hidup lemah; Dengan
lemahnya motivasi serta semangat hidup maka
akan membawa masyarakat tersebut selalu
berada pada garis kemiskinan atau segala hal
yang kurang baik dilakukan karena pandangan
serta orientasi hidup hanya mau senangnya
saja. Dalam hal mencari uang hanya terpikir
cepat dan besarnya saja selalu dikedepankan
tidak memikirkan apa efek serta resiko yang
akan diterima dalam melakukan hal tersebut.
Terkadang orang yang memiliki motivasi
kurang dan semangat hidup lemah akan terlihat
hidupnya tidak ada arahan yang jelas serta
selalu mersakan hidupnya nyaman dan tidak

29
tertantang dengan orientasi kedepan (masa
depan) lebih baik lagi.
e. Karena kurang mau bekerja keras; Bekerja
keras adalah salah satu hal yang dapat
menghantarkan seseorang itu kedalam hidup
yang lebih baik. Karena didalamnya dijanjikan
banyak hal yang keuntungannya luar biasa.
Orang yang bekerja keras biasanya selalu
memiliki sifat menghargai diri sendiri dan
orang lain menjadi lebih tinggi karena setiap
hasil pekerjaan orang itu adalah tetesan
keringat serta perjuangan hidup menuju lebih
baik. Terlepas dari apakah hasil tersebut sesuai
atau tidak dengan kemauan orang banyak
karena dia sudah berusa dan itu merupakan
batasan kemampuan yang dimiliki.
f. Kurang menghargai kualitas dan kemampuan
diri; Kalau diri sendiri sudah tidak menghargai
kualitas yang dimiliki apalagi orang lain hal
tersebut akan sangat pengaruh pada sistem
sosial akan tidak berjalan dengan baik.
Sehingga orang demikian akan hidup serba

30
keterbatasan karena tidak mau berpacu serta
berusaha untuk menutupi kekurangan yang
ada.
g. Selalu beorientasi pribadi diatas kepentingan
umum; Di saat sekarang banyak sekali orang
berpikir dan bekerja hanya memikirkan diri
sendiri tanpa berpikir bekerja untuk kebaikan
orang banyak. Sifat individual seperti ini akan
bedampak kurang baik dalam proses sistem
sosial yang ada, berangkat dari hal tersebut
setiap manusia harus memikirkan baik buruk
untuk dirinya sendiri juga orang lain. Hal ini
dilakukan dalam upaya membuat serta melihat
arahan kebaikan masyarakat secara
keseluruhan dalam masyarakat secara global.

B. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia
agama adalah Sistem atau kepercayaan kepada
Tuhan, atau juga disebut juga dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebhaktian dan
kewajibankewajiban yang bertalian dengan

31
kepercayaan tersebut. Sebagian orang apabila
ditanya tentang agama maka jawabannya adalah
pegangan hidup yang dianutnya yang memberikan
kedamaian. Indonesia merupakan negara pluralitas
dan salah satunya dalam hal agama. Terdapat lebih
dari 5 agama atau kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat indonesia antara lain, Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, serta
kepercayaan masyarakak (Animisme dan
Dinamisme). Dalam bahasa Arab, perkataan
"Islam" bermaksud "tunduk" atau "patuh". Jika
seorang Muslim ditanya, "Apakah itu Islam?",
biasanya dia akan menjawab, "Agama yang tunduk
kepada Allah, satusatu Tuhan yang benar." Tidak
hanya bermakna demikian, Islam adalah agama
yang diturunkan Allah yang memberikan kesela-
matan serta sebagai rahmat bagi seluruh alam yang
diturunkan melalui Nabi Muhammad saw yang
memiliki kitab suci Al-qur‟an sebagai pedoman
hidup. Islam muncul dunia yang fana ini untuk
memberikana solusi serta menjawab
permasalahan-per-masalahan hidup dialami oleh

32
manusia. Islam bukanlah satu golongan,
kepentingan kelompok tertentu ataupun
kepentingan politik lainnya dan juga Islam
bukanlah semata-mata untuk umat Islam itu
sendiri. Lebih dari itu, Islam diturunkan oleh Allah
dengan suatu visi dan misi, yaitu untuk
menyebarkan kebaikan dan keselamatan serta
rahmat bagi seluruh alam.

C. Perkembangan Sains
Abad ke-15, pengetahuan ilmiah dikuasai
oleh sedikit sistem utama yang bersifat statis dan
dogmatis. Terutama fisika Aristotelian, sistem
astronomi Ptolemic, Kedokteran Galen, dan Kimia
Jabirian, sehingga ilmu pengetahuan menjadi sukar
ditempuh dan berkembang lebih lanjut. Benturan
agama dan sains telah dimulai sejak saat itu.
Dimana pemegang kekuasaan tertinggi adalah
Gereja.
Ajaran Gereja sangatlah dominan, dimana
segala pengetahuan haruslah sejalan dengan Injil.
Ilmu pengetahuan dikendalikan oleh gereja dan

33
pendeta atau biarawan. Apabila tidak sependapat
maka dianggap sesat dan akan dibunuh. Hal ini
mendorong semangat Renaissance untuk
melakukan perlawanan dalam upaya pembebasan
akal dari kekangan dan belenggu gereja dan
menjadikan fakta empirik sebagai sumber
pengatahuan dan tidak lagi bertolak pada filsafat
Yunani seutuhnya yang menjadi dasar filsafat
Kristen dengan Injilnya. Hal ini menunjukkan
kelangkaan ilmiah di Eropa pertengahan abad ke-
14 dan ke-15. Untuk mengatasi masalah tersebut
maka diperlu-kan sebuah pembaharuan atau
pergeseran sistem sistem yang dominan tersebut.
Dengan kata lain diperlukan sebuah revolusi dalam
rangka pembebasan akal dari dominasi Gereja.
Revulusi ilmiah pertama dimulai oleh
Copernicus pada tahun 1543, tetapi aktifid ini tidak
efektif hingga pertengahan abad ke17. Pada abad
ke-12 Eropa menga-lami Renaissane dalam sains.
Akhir abad tersebut, karya-karya bahasa arab
diterjemahkan ke bahasa latin. Selama empat abad
(ke-12 sampai ke16), ilmu pengetahuan Eropa

34
tidak membantu apa yang diterjemahkan dari karya
yang berbahasa arab, dan pada abad ke-17 barulah
revolusi ilmiah benarbenar dimulai.
Beberapa tokoh Renaissance antara lain
Nicolaus Copernicus (1473- 1543) dengan
pandangan Heliosentrisnya, yaitu teori mengenai
Matahari sebagai pusat tata surya. Teori ini
didukung oleh Johannes Kepler (1571- 1630) dan
Galileo Galilei (1564-1643). Dan juga Fransis
Bacon (1561-1626) dengan teknik berfikir
induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif
Aristoteles (logika silogisme) yang diajarkan pada
abad pertengahan.
Pemikiran tokoh Renaisance tersebut
dianggap bertentangan dengan gereja yang
memiliki pandangan Geosentris yaitu Bumi
sebagai pusat tata surya. Otoritas gereja saat itu
tidak dapat ditentang sehingga mereka mengalami
penyiksaan dibakar hidup-hidup oleh Gereja
karena kokoh memegang apa yang diyakininya.
Selanjutnya datanglah masa pencerahan
(aufkla-rung) pada abad XVII yang dirintis oleh

35
Isaac Newton (1642- 1727), sebagai
perkembangan lebih jauh dari Ra-sionalisme dan
Empirisme dari abad sebelumnya dimana fokus
pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru
terhadap dunia, manusia dan Tuhan. Sementara
pada abad aufklarung pembahasannya lebih luas
mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Menurut Sorjono Soekamto dalam Elly
M. Setiadi dan Usman Kolip (2011:51) membuat
kriteria masalah sosial di antaranya:
a. Faktor ekonomi terdapat masalah kemiskinan,
b. Faktor biologi yang di dalamnya terdapat
persoalan yang harus dipecahkan seperti
masalah endemis atau penyakit menular
sebagaimana terjadi dewasa ini, yaitu kasus flu
burung, viris SARS, HIV, penyakit kelamin
yang menyerang di beberapa daerah.
c. Faktor biologis, seperti depresi, stres, gangguan
jiwa, gila, tekanan batin, kesejahteraan jiwa,

Elly M.Setiadi Usman Kolip : Pengantar Sosiologi


(Jakarta: Prenadamedia Group, 2011)

36
dan sebagainya.
d. Faktor sosial dan kebudayaan, seperti
perceraian, masalah kriminal, pelecehan
seksual, kenakalan remaja, konflik ras, krisis
moneter, dan sebagainya.
Dari masalah sosial yang ada
menimbulkan pada kontek konflik, walaupun
konflik itu sendiri tidak selamanya negatif.
Berangkat dari hal tersebut konflik yang ada harus
dikelola dan dimanajemen dengan baik, sehingga
konflik dapat berdampak positif. Konflik suku dan
agama di Kota Pontianak pernah terjadi di kota
Khatulistiwa ini seperti: Melayu dengan Dayak
dan Melayi dengan Madura.
Pada dataran fakta sosial hal tersbut wajar
dan pantas terjadi karena banyak perbedaan, tetapi
dari segi interaksi sosial maka harus dibagun
dengan baik sehingga komunikasi bisa efektif dan
tidak menganggu masyarakat lainnya. Dalam ranah
sosial dan budaya maka dapat dilihat secara jelas
bagaimana proses sosial terjadi yang berdampak
positif maupun negatif. Hal tersebut harus

37
diketahui dengan baik karena untuk mempermudah
proses sosial terjadi dan berjalan dengan baik.
Menurut Soedjono Dirjosisworo
(1982:53) dalam C. Dewi Wulandari (2009:35)
menyebutkan bahwa proses sosial dimaksud adalah
cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila
orang perorang dan kelompok-kelompok manusia
saling bertemu dan menentukan sistem bentuk-
bentuk hubungan tersebut atau apa yang terjadi
apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah
ada. Dengan demikian, proses sosial dapat
dirumuskan sebagai pengaruh timbal balik akibat
hubungan timbal balik antara individu dengan
individu dan kelompok mengenai berbagai aspek
kehidupan manusia seperti ekonomi, politik,
hukum, sosial budaya, Hankam dan sebagainya.
Berbagai aspek kehidupan ini mewarnai bahkan
menentukan perkembangan dalam kehidupan

Soedjono Dirdjosisworo : Pengantar Ilmu Hukumi


(Jakarta: Rajawali, 1983)

38
bersama.
Dari proses sosial yang ada di Kota
Pontianak sering saja terjadi gesekan-gesekan yang
menimbulkan konflik baik berskala kecil, menegah
dan besar. Dalam hal ini pemerintah sudah
melakukan kebijakan sehingga pemerintah daerah,
baik lokal maupun tingkat propinsi sedikit banyak
telah memberikan warna tersendiri dalam
mendorong percepatan pembauran masyarakat.
Bersama aparat keamanan dan tokoh masyarakat,
pemerintah daerah melakukan berbagai kegiatan
yang berorientasi pada harmonisasi.
Dalam Tamrin Amal Tamagola (2006:61-
62) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah yang
memicu terjadinya konflik seperti: Pertama,
kebijakan-kebijakan pemerintah sangat tidak adil
dan berpihak pada golongan tertentu. Akibatnya
masyarakat merespon kebijakn itu dengan dingin
dan apatis karena mereka juga tidak mampu

Tamrin Amal Tomagola : Republik Kapling


(Yogyakarta: Resis Bookt, 2006)

39
berbuat apa-apa, hanya menyimpannya sebagai
sebuah ganjalan yang semakin hari semakin
menupuk. Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak
mempertimbangkan aspek kebudayaan dan tardisi
masyarakat setempat, sehingga kebijakan-
kebijakan itu menimbul masalah. Ditambah lagi,
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan
itu tidak bisa diselesaikan dengan cepat karena
penegakan tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Dalam Baharuddin (2013:83-85)


menyatakan bahwa untuk dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi di masyarakat, tentunya harus
diketahui penyebab konflik yang terjadi. Dengan
mengetahui sebabnya, konflik diharapkan segera
bisa di-selesaikan. Secara umum penyebab konflik
bisa disederhanakan sebagai berikut.
a. Konflik Nilai: Kebanyakan konflik terjadi karena
perbedaan nilai. Nilai merupakan sesuatu yang

Baharuddin : Pendidikan Kemasyarakatan


(Pontianak : STAIN, 2013)

40
menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia
menggan-tungkan pikiran, perasaan, dan
tindakan. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah konflik yang bersumber pada perbedaan
rasa percaya, keyakinan, bahkan ideologi atas apa
yang diperebutkan.
b. Kurangnya Komunikasi: Kita tidak bisa
menganggap sepele komunikasi antarmanusia
karena konflik bisa terjadi hanya karena dua
pihak kurang berkomunikasi. Kegagalan
berkomunikasi karena dua pihak tidak dapat
menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan
sehingga membuka jurang perbedaan informasi
di antara mereka, dan hal semacam ini dapat
mengakibatkan terjadinya konflik.
c. Kepemimpinan yang Kurang Efektif: Secara
politis kepemimpinan yang baik adalah
kepemimpinan yang kuat, adil, dan demokratis.
Namun demikian, untuk mendapatkan pemimpin
yang ideal tidah mudah. Konflik karena
kepemimpinan yang tidak efektif ini banyak
terjadi pada organisasi atau kehidupan bersama

41
dalam suatu komunitas. Kepemimpinan yang
kurang efektif ini mengakibatkan anggota
masyarakat “mudah bergerak”.
d. Ketidak cocokan Peran: Konflik semacam ini
bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Ketidakcocokan peran terjadi karena ada dua
pihak yang mempersepsikan secara sangat
berbeda tentang peran mereka masing-masing.
e. Produktivitas Rendah : Konflik seringkali terjadi
karena out put dan out come dari dua belah pihak
atau lebih yang saling berhubungan kurang atau
tidak mendapatkan keuntungan dari hubungan
tersebut. Oleh karenanya muncul prasangka di
antara mereka. Kesenjangan ekonomi di antara
kelompok masyarakat, termasuk dalam konflik
ini.
f. Perubahan Keseimbangan: Konflik ini terjadi
karena ada perubahan keseimbangan dalam suatu
masyarakat. Penyebabnya bisa karena faktor
alam, maupun faktor sosial.
g. Konflik atau Masalah yang Belum Terpecahkan:
Banyak pula konflik yang terjadi dalam

42
masyarakat karena masalah terdahulu tidak
terselesaikan. Tidak ada proses saling
memaafkan dan saling mengampuni sehingga hal
tersebut seperti api dalam sekam, yang sewaktu-
waktu bisa berkobar. Tujuh penyebab konflik di
atas adalah penyebab yang sifatnya umum, dan
sebenarnya masih bisa diperinci lebih detail lagi.
Namun demikian, jika mencermati konflik-
konflik yang terjadi khususnya masyarakat
Indonesia akhir-akhir ini, bisa merunut, paling
tidak ada salah satu penyebab seperti di atas.
Dengan mengetahui penyebab terjadinya konflik
bisa berharap bahwa konflik akan bisa dikelola,
dan diselesaikan dengan baik.
Dalam Baharuddin (2013:85-88)
menyatakan bahwa beberapa Model Penyelesaian
Konflik setelah mengetahui penyebab terjadinya
konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba
berbagai alternatif teoretis untuk menyelesaikan

Baharuddin : Pendidikan Kemasyarakatan


(Pontianak : STAIN, 2013)

43
konflik yang tejadi. Secara umum, untuk
menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah,
yakni (1) pencegahan konflik; pola ini bertujuan
untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam
konflik, (2) penyelesaian konflik; bertujuan untuk
mengakhiri kekerasan melalui persetujuan
perdamaian, (3) pengelolaan konflik; bertujuan
membatasi atau menghindari kekerasan melalui
atau mendorong perubahan pihak-pihak yang
terlibat agar berperilaku positif; (4) resolusi
konflik; bertujuan menangani sebab-sebab
konflik, dan berusaha membangun hubungan
baru yang relatif dapat bertahan lama di antara
kelompokkelompok yang bermusuhan, (5)
transformasi konflik; yakni mengatasi sumber-
sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas,
dengan mengalihkan kekuatan negatif dari
sumber perbedaan kepada kekuatan positif.

D. Hubungan Sains dan Agama


Menurut Arifullah ; 2006 Pencitraan
negatif terhadap Islam - seperti telah disebut di

44
muka, bukanlah pencitraan yang tidak memiliki
akar sejarah. Akar sejarah ini sendiri dapat
ditelusuri dari dua alur sejarah yang saling
mengentalkan pertentangan antara sains dan
agama; alur pertama berada dalam tradisi
pemikiran Islam, sedangkan alur kedua berada
dalam tradisi pemikiran Barat. Kemunculan al-
Asy'ariyah dalam teologi Islam, oleh banyak
kalangan dinilai telah memicu satu bentuk
pertentangan intelektualisme dalam Islam. Sebagai
kontra-reaktif dari Mu'tazilah, kemunculan teologi
Asy'ariyah yang ortodok jelas menjadi tantangan
tersendiri bagi Mu'tazllah yang rasional.
Pertentangan itu b erpunc ak pada keberhasilan al-
Asy'ari mengokohkan diri sebagai symbol
ortodoksi Islam. Terutama berkat dukungan al-
Ghazah yang begitu gemilang meflg-counter dua
puluh pandangan rasional para filosof yang dinilai
sebagai bid'ah dan biang kekafiran.
Kegemilangan al-Ghazali dalam meng-
counter pandangan para filosof telah menebar
seretonin di kalangan umat Islam, sehingga pada

45
beberapa sisi telah memposisikan ortodoksi Islam
sebagai hal yang terpisah dari pemikiran fllsafat
yang rasional. Hal inilah yang selanjutnya
menghilangkan dan mengebiri kreativitas umat
Islam, sehingga terjerumus dalam tindakan taklid.
Pada tahap ini, umat Islam umumnya telah
tercekoki pemahaman bahwa segala sesuatu yang
harus dan pantas diketahui telah diketahui dan
dipahami lebih baik oleh orang yang hidup di masa
yang lebih dekat dengan saat pewahyuan al-Qur'an.
Sakralisasi terhadap tokoh agama pun merebak,
sehingga ketika filsafat Peripatetik digiatkan
kembali dalam filsafat Illuminisme di belahan
dunia Islam Barat (Andalusia) tetap tidak mampu
membalikkan keadaan dunia Islam yang telah
kaku.
Tidak mengherankan bila kemudian
tradisi Islam dipenuhi oleh ortodoksi yang
terkungkung dalam pemikiran abad pertengahan,
meskipun ada upaya untuk menghidupkan kembali
kreativitas ijtihad, seperti yahng dilakukan oleh Ibn
Taimiyyah maupun para revivalis dan modernis

46
Islam. Namun, usaha tersebut tetap menemui
kegagalan dan tidak mampu menyepora seperti
halnya ajaran sufisme yang ditelurkan oleh paham
ortodoksi Islam. Kalaupun usaha revivalisme dan
modernisme Islam dinilai berhasil, ia hanya
terbatas pada skala lokal di kalangan akademisi
semata. Bahkan, ketika umat Islam pada akhirnya
tertekan oleh kemajuan sains, politik, dan ekonomi
Barat, umat Islam belum mampu membebaskan
diri dari pemikiran abad pertengahan untuk segera
mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Pada alur sejarah yang lain, tradisi Barat
dipenuhi oleh penentangan terhadap otoritas gereja
(agama), terutama dipelopori oleh tokohtokoh
gereja sendiri, seperti Martin Luther (1483-1546)
dan John Calvin (1509-1564) yang menyerukan
reformasi terhadap institusi gereja sebagai bentuk
kritik terhadap struktur gereja yang feodal. Upaya-
upaya inilah yang kemudian menyediakan tempat
luas bagi munculnya renaisans sejak paruh abad
ke-14 hingga awal abad ke-I7. Kemunculan
renaisans yang disemangati oleh rasionalitas

47
empiris para saintis seperti Galileo, Giardano
Bruno (1548-1600), Marsilio Ficino (1433-1499),
Paracelsus (1493-1541), ataupun para filsuf
sekaliber Francis Bacon (1561-1626) Thomas
Hobbes (1588-1679) serta politikus Nicollo
Machiavelli (1469-1527), telah menjadikan agama
dan berbagai bentuk pemikiran spekulatif terlantar
dan termarjinalkan oleh pemikiran yang murni
empiris dan eksperimental. Akibatnya, agama
menjadi hal yang aneh dan selalu dicurigai dalam
percaturan rasionalitas empiris manusia.
Dua alur sejarah di atas, penulis anggap
sebagai pemicu utama timbulnya pencitraan
negatif terhadap agama, khususnya Islam, dengan
sebuah refleksi bahwa kegagalan keilmuan Islam
(fiqh, teologi, filsafat, tasawuf) untuk membangun
gambaran Islam yang inklusif dan rasional bagi
pandangan sains telah menjadi bukti nyata bagi
saintis dan kalangan tertentu (Barat) untuk
memunculkan berbagai pencitraan negatif terhadap
Islam. Selain itu, adanya faktor psikologis yang
membuat kalangan Barat selalu memandang Islam

48
secara negatif, seperti tragedi Perang Salib yang
menjadi trauma tersendiri bagi kalangan tertentu.
Dalam hal ini, realitas historis kontemporer yang
terjadi di kalangan umat Islam dewasa ini yang
buram, juga memberikan sumbangsih tersendiri
bagi pembentukan opini dan pencitraan terhadap
Islam sebagai agama irrasional, fundamentalis, dan
teroris.
Agama dan Sains tidak selamanya berada
dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak
kalangan yang berusaha mencari hubungan antara
keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama
tidak mengarahkan pada jalan yang
dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan
sains untuk tunduk pada kehendaknya. Kelompok
lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak
akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah
entitas yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki
wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-
material, metode penelitian, kriteria kebenaran,
serta peran yang dimainkan.

49
Pandangan beberapa pakar terhadap
hubungan antara sain dan agama diantaranya
seperti:
1. Tipologi Ian G. Barbour
a. Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka
pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya
seperti: Richard Dawkins, Francis Crick,
Steven Pinker, serta Stephen Hawking.
Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan.
Bahwa sains dan agama memberikan
pernyataan yang berlawanan sehingga orang
harus memilih salah satu di antara keduanya.
Menolak agama dan menerima sains, ata
sebaliknya. Masing-masing menghimpun
penganut dengan mengambil posisi-posisi
yang bersebrangan. Sains menegasikan
eksistensi agama, begitu juga sebaliknya.
Keduanya hanya mengakui keabsahan
eksistensi masing-masing. Agama dan sains

50
adalah dua ekstrem yang saling bertentangan,
saling menegasikan kebenaran lawannya.
Barbour menanggapi hal ini dengan
argumen bahwa mereka keliru apabila
melanggengkan dilema tentang keharusan
memilih antara sains dan agama. Kepercayaan
agama menawarkan kerangka makna yang
lebih luas dalam kehidupan. Sedang-kan sains
tidak dapat mengungkap rentang yang luas
dari pengalaman manusia atau
mengartikulasikan kemungkinan-
kemungkinan bagi tranfor-masi hidup manusia
sebagaimana yang dipersak-sikan oleh agama.
Dalam konflik pertentangan dipetakan
dalam 2 bagian yang berseberangan:
1. Materialisme ilimiah, menganggap bahwa
materi sebagai realita dasar alam
(pentingnya realitas empiris), sekaligus
meyakini bahwa metode ilmiah adalah satu-
satunya cara yang sahih untuk mendapatkan
pengetahuan.

51
2. Literalisme kitab suci merupakan satu-
satunya sumber kebenaran adalah kitab
suci, karena dianggap sebagai sekumpulan
wahyu yang bersifat kekal dan benar karena
bersumber dari Tuhan, sehingga tak
memungkinkan bersumber dari yang lain
termasuk alam semesta.
b. Independensi
Memisahkan agama dan sains dlam
wilayah yang berbeda, memiliki bahasa yang
berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang
berbeda, berdiri sendiri membangun
independensi dan otonomi tanpa saling
mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai,
sedangkan sains berhubungan dengan fakta.
Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah,
domian yang dirujuk dan metode yang
digunakan.
Independensi adalah transendensi yang
berbeda dari yang lain dan tidak dapat
diketahui kecuali melalui penyingkapan diri.
Keyakinan agama sepenuhnya bergantung

52
pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan
manusia sebagaimana halnya sains. Saintis
bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa
keterlibatan unsur teologi, demikian pula
sebaliknya, karena metode dan pokok
persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun
atas pengamatan dan penalaran manusia
sedangkan teologi berda-sarkan wahyu Ilahi.
Barbour mencermati bahwa pandangan
ini sama-sama mempertahankan karakter unik
dari sains dan agama. Namun demikian,
manusia tidak boleh merasa puas dengan
pandangan bahwa sains dan agama sebagai
dua domain yang tidak koheren.Agama dan
sains adalah dua domain yang terpisah yakni
agama atau Tuhan hanya dapat dikenal
sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat
diketahui kecuali melalui penyingkapan diri.
Sedangkan sains dapat dikenali melalui
fenomena dan empiris. Sains dibangun
berdasarkan pengama-tan dan penalaran

53
manusia, sedangkan teologi berdasarkan
wahyu.
Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua
bahasa yang tidak saling berkaitan karena
fungsi masingmasing berbeda. Bahasa agam
adalah seperangkat pedoman yang
menawarkan jalan hidup yang berprinsip pada
moral tertentu, sedangkan sains dianggap
sebagai serangkaian konsep untuk
memprediksi dan mengontrol alam.

c. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan
antara sains dan agama dengan interaksi yang
lebih konstruktif daripada pandangan konflik
dan independensi. Diakui bahwa antara sains
dan agama terdapat kesamaan yang bisa
didialogkan, bahkan bisa saling mendukung
satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam
membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode
dan konsep. Salah satu bentuk dialognya

54
adalah dengan membandingkan metode sains
dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan
dan perbedaan. Namun, dialog tidaak
menawarkan kesatuan konseptual
sebagaimana diajukan pan-dangan integrasi.
Mengutamakan tingkat kesejajaran antara
sains dan agama.
Dialog menekankan kemiripan dalam pra
anggapan, metode dan konsep.
1. Pra anggapan dan pertanyaan batas,
memunculkan pertanyaan batas,
mengajukan pertanyaan fundamental,
ilmuwan dan agamawan dapat bekerja sama
untuk menjelaskan.
2. Kesamaan metodologis dan konseptual,
Sains tak selamanya obyektif, agama tidak
selamanya subyektif.
Memberikan contoh masalah yang
didialogkan ini dengan digunakannya model-
model konseptual dan analogianalogi ketika
menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati
secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan

55
untuk menjawab pertanyaanpertanyaan
tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal
batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada
dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan
sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat
menjadi mitra dialog dalam menjelaskan
fenomena tersebut dengan tetap menghormati
integritas masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan
sains, pandangan ini dapat diwakili oleh
pendapat Albert Einstein, yang mengatakan
bahwa “Religion without science is blind:
science without religion is lame“. Tanpa sains,
agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains
menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat
David Tracy, seorang teolog Katolik yang
menyatakan adanya dimensi religius dalam
sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan
landasan rasional tertinggi yang bersumber
dalam teksteks keaga-maan klasik dan struktur
pengalaman manu-siawi (Barbour, 2006 : 76).

56
d. Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan
yang lebih bersahabat daripada pendekatan
dialog dengan mencari titik temu diantara
sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin
keagamaan, sama-sama diang-gap valid dan
menjadi sumber koheren dalam pan-dangan
dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia
yang diperoleh melalui sains diharapkan
dapat memperkaya pemahaman keagamaan
bagi manusia yang beriman.
Ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalam hubungan integrasi ini.
Pendekatan pertama, berangkat dari data
ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif
bagi keyakinan agama, untuk mem-peroleh
kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi
Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan
menelaah ulang doktrindoktrin agama dalam
relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau
dengan kata lain, keyakinan agama diuji
dengan kriteria tertentu dan dirumuskan

57
ulang sesuai dengan penemuan sains terkini.
Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan
dengan filasafat proses dalam kerangka
konseptual yang sama. Demikian Barbour
menjelaskan tentang hubungan integrasi ini
(Ian G. Barbour 2005: 42 ).

3. Tipologi versi John Haught (1995)


Menurut Haught, hubungan agama dan
sains diawali dengan titik konflik antara agama
dan sains untuk mengurangi konflik, dilakaukan
pemisahan yang jelas batas-batas agama dan
sains agar tampak kontras/perbedaaan
keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat,
langkah berikutnya adalah mengupayakan agar
keduanyaberdialog/kontak.

Ian G Barbour : Menemukan Tuhan Dalam Sains


Kontemporer Dan Agama (Mizan, 2005)

58
E. Pandangan Islam Mengenai Sains
Islam adalah agama yang sangat
menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala
kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta
memikirkan segala apa yang ada di alam semesta
ini. Hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat Al-
Qur‟an surat ArRahman ayat 33 yang artinya “Hai
jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup
menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi,
Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
kecuali dengan kekuatan”.
Dalam ayat tersebut Allah saw
memberikan kesempatan kepada manusia untuk
melakukan pemikiran (menggunakan aklnya) dan
eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya
penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai
suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk
memahami rahasia alam, juga demi masa depan
kehidupan manusia.
Menurut Muhammad Ismail sebagaimana
dikutip oleh Sudjana (2008: 12) mengatakan
bahwa pemahaman Islam tidak lain adalah

59
pemikiran pemikiran yang memiliki
penunjukanpenunjukan nyata, yang dapat
ditangkap dengan logika selama masih dalam batas
jangkauan akalnya. Namun, bila hal-hal tersebut
berada diluar jangkauan akalnya, maka hal itu
ditunjukan secara pasti oleh sesuatu yang dapat
diindera, tanpa rasa kera-guan sedikitpun. Dengan
demikian peranan akal bagi manusia sangatlah
penting dan mendasar karena dengan akalnya ia
dapat menentukan yang terbaik bagi dunia dan
akhirantnya kelak.
Rasulullah saw pernah mengatakan
bahwa tidak ada agama (Islam) tanpa adanya
aktifitas akal. Artinya bagi seorang muslim,
keyakinannya tentang Islam haruslah dibangun
berdasarkan akal sehat dan penalarannya. Bukan
hanya sekedar dogma yang dipaksakan atau
informasiinformasi tanpa kenyataan. Akan tetapi,
akal harus difungsikan sebagaimana mestinya.
Allah SWT telah menurunkan mukjizat
yang sangat berharga demi kelangsungan hidup
manusia kepada nabi Muhammad saw berupa

60
AlQur‟anulkarim. Al-Qur‟an adalah kitab suci
umat Islam yang menjadi pedoman hidup serta
menyempurnakan kitab yang diturunkan kepada
nabi-nabi sebelum nabi Muhammad saw. Al-
Qur‟an bukan hanya sekedar kitan suci bagi umat
Islam, tetapi Al-Qur‟an bersifat universal yakni
diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. Al-
Qur‟an merupakan rujukan dari berbagai macam
ilmu pengetehuan. Al-Qur‟an bukanlah kitab sains,
tetapi segala pengetahuan tentang sains hendaknya
dirujukkan kedalam Al-Qur‟an. Al-Qur‟an secara
eksplisit telah menerangkan tentang segala apa
yang ada dan terjadi dibumi ini dan dengan sains
lah kita membuktikannya. Osman Bakar (1994:75)
mengutip dari Brunner mengatakan bahwa seorang
ilmuwan Muslim yang termashyur yaitu Ibnu Sina
mengatakan jikalau sebuah sains disebut sains
yang sejati apabila ia menghubungkan
pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan
tentang prinsip Illahi.
Kaitan agama dalam kehidupan sosial
menyangkut dua hal yang sudah tentu

61
hubungannya erat, memiliki aspekaspek yang
terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama
dan etika, agama dalam kehidupan individu dari
kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan
kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara
semua unsur asing agama diwarnainya. Yang
lainya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari
lembaga agama sehingga agama dan masyarkat itu
berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai
kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti
mencakup perilaku sebagai pegangan individu
(way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada
agamanya. Agama sebagai suatu sistem mencakup
individu dan masyarakat, seperti adanya emosi
keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, dan
upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang
terikat terhadap agamanya. Agama dan
masyarakat.
Agama begitu universal, permanen, dan
mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak
memahami agama, akan sukar memahami
masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam

62
memahami lembag agama adalah, apa dan
mengapa agama ada, unsurunsur dan bentuknya
serta fungsi dan struktur agama. Bila ini berhasil
dijawab, maka lebih jelas lagi kaitan agama
dengan masyarakat. Tugas ini tidak mudah sebab
agama lebih tahan terhadap kajian ilmiah
dibandingkan dengan adat dan kebiasaan. Hal ini
disebabkan oleh dua hal, yaitu pandangan yang
emosional dan pikiran yang bias (rasional bias).

63
BAB III
HUBUNGAN ANTARA SAINS DAN
ISLAM, KONSEPSI ILMU DALM ISLAM.
ISLAMISASI SAINS ISLAM

A. Hubungan Antara Sains dan Islam


1. Pengertian Islam dan Sains
Kata Islam memiliki konseptual yang
luas, sehingga ia dipilih menjadi nama agama
(din) yang baru diwahyukan Allah. melalui Nabi
Muhammad kata Islam secara umum mempunyai
dua kelompok kata dasar yaitu selamat, bebas,
terhindar, terlepas dari, sembuh, meninggalkan.
Bisa juga berarti: tunduk, patuh, pasrah,
menerima. Kedua kelompok ini saling berkaitan
dan tidak dapat terpisah satu sama lain.
Adapun kata Islam secara terminologi
dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat dijelaskan
bahwa Islam adalah agama Allah yang
diperintahkan-Nya kepada Nabi Muhammad
untuk mengajarkan tentang pokok-pokok ajaran

64
Islam kepada seluruh manusia dan mengajak
mereka untuk memeluknya.
Harun Nasution menerangkan bahwa
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan kepada seluruh masyarakat melalui
Nabi Muhammad sebagai Rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan
hanya mengenai satu segi tetapi mengenai
bebagai segi dari kehidupan manusia. Sumber
dari ajaran-ajaran yang mengadung berbagai
aspek itu adalah al-Qur‟an dan hadis.
Kata sains dalam Webste‟s New Word
Dictonary berasal ari bahasa latin yakni scire,
yang artinya mengetahui. Jadi secara bahasa
sains adalah keadaan atau fakta mengetahui.
Sains juga sering digunakan dengan arti
pengetahuan scientia.7 Secara istilah sains berarti
mempelajari berbagai aspek dari alam semesta
yang teroganisir, sistematik dan melalui berbagai
metode saintifik yang terbakukan. Ruang lingkup

7
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

65
sains terbatas pada beberapa yang dapat dipahami
oleh indera (penglihatan, sentuhan, pendengaran,
rabaan, dan pengecapan) atau dapat dikatakan
bahwa sains itu pengetahuan yang diperoleh
melalui pembelajaran dan pembuktian.
Ada tiga teori asal-usul ilmu pengetahuan
(sains): Teori pertama, dalam diri setiap manusia
terdapat banyak konsep dan banyak pula hal-hal
yang muktasabah (diperoleh melalui usaha).
Seperti yang diterangkan Allah dalam Q.S al-
Nahl: 78, “Dan Alah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Secara lahiriyah ayat tersebut
menerangkan bahwa “Sesungguhnya ketika kamu
dilahirkan, kamu belum mengetahui sesuatu
apapun.” Artinya lembaran hati manusia masih
dalam keadaan putih bersih, maka manusia diberi
penglihatan, pendengaran, dan hati agar manusia

66
dapat menuliskan berbagai hal dalam
lembarannya hatinya.
Teori kedua, sesungguhnya manusia
ketika dilahirkan sudah mengetahui segala
sesuatu tanpa terlewatkan. Sebagai penjelasan,
roh manusia sebelum ditempatkan di badan, ia
berada di alam lain, yakni alam ide. Ide adalah
hakikat dari segala sesuatu yang ada di alam
semesta dan roh telah mengetahuinya. Ketika roh
itu dimasukkan ke dalam badan maka muncullah
penghalang yang memisahkan roh dari
pengetahuan-pengetahuan ide tersebut.8 Rupanya
teori kedua ini terpengaruh dari teori plato
tentang ide, ia mencontohkan seorang bayi
dilahirkan telah mengetahui segala sesuatu,
adapun kemudian adanya proses pembelajaran
adalah untuk mengingatkan sesuatu yang
terlupakan.
Teori ketiga, manusia mengetahui sesuatu
melalui fitrahnya. Sehingga pengetahuan yang

8
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

67
diperoleh melalui cara ini sangat sedikit, prinsip
berfikir itu bersifat fitrah. Dalam prinsip berfikir
ini manusia membutuhkan guru untuk membuat
bangunan intelektualitas manusia agar
sedemikian rupa. Sehingga cukup dengan
menyodorkan beberapa hal saja sudah cukup
baginya untuk mengetahui tanpa harus ada dalil
dan bukti. Teori ketiga inilah yang umumnya
dipakai oleh para filsuf muslim.

2. Sains dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an


Ketika kita berbicara tentang sains dan
teknologi, maka kita tidak boleh melupakan
peran cendekiawan Islam terhadap khazanah
intelektual Timur dan Barat. Sebagai contoh Ibnu
Sina, al-Ghazali, al-Biruni, al-Tabari, Nasiruddin,
Abu al-Wafa, Al-Battani, dan Omar Khayam
yang berasal dari Persia. Al-Kindi, orang Arab,
al-Khawarizmi adalah dari Khiva, al-Farghani
dari Trasoxiania (Yordania), al-Farabi dari
Khurasan, al-Zarkali (Arzachel), al-Betragius (al-
Bitruji), dan Averroes (Ibn Rusyd) adalah Arab

68
Spanyol. Kita tidak bisa menafikan sumbangan
intelektual Muslim tentang matematik, ilmu
kedokteran, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu
arsitektur, ilmu geografi, dan lain-lain.
Pada abad pertengahan, dunia Islam telah
memainkan peranan penting baik di bidang sains
teknologi.9 Harun Nasution menyatakan bahwa
cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya
mempelajari sains-teknologi dan filsafat dari
buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam
hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan
dalam lapangan sains-teknologi dan hasil
pemikiran mereka dalam ilmu Filsafat. Dengan
demikian, lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan
filsuf-filsuf Islam, seperti, al-Farazi (abad VIII)
sebagai astronom Islam yang pertama kali
menyusun Astrolabe (alat yang digunakan untuk
mengukur tinggi bintang) dan sebagainya. Para
ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang
bersifat desekuaristik, yaitu ilmu pengetahuan

9
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

69
umum yang mereka kembangkan tidak terlepas
dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai
Islam. Ibnu Sina misalnya, di samping hafal al-
Qur„an dia dikenal ahli di bidang kedokteran. al-
Biruni, seorang ahli filsafat, astronomi, geografi,
matematika, juga sejarah. Ibnu Rusyd, yang oleh
dunia barat dikenal dengan Averous, dia bukan
hanya terkenal dalam bidang filsafat, akan tetapi
juga dalam bidang Fiqh. Bahkan kitab fiqih
karangannya, yakni Bidayatul Mujtahid dipakai
sebagai rujukan umat Islam di berbagai negara.
Begitu tingginya nilai ilmu dalam
peradaban manusia, Allah menegaskan dalam al-
Qur„an bahwa Dia akan meninggikan derajat
orang-orang yang berilmu dan beriman
sebagaimana dalam Al-Mujadalah ayat 11, Allah
Berfirman: Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orangorang

70
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
10
kerjakan.
Ayat di atas menunjukkan kepada kita
betapa Islam memberikan perhatian yang besar
terhadap ilmu. Apapun bentuk ilmu itu, selama
bisa memberikan kemanfaatan, maka ilmu
tersebut harus dicari. Allah dan Rasul-Nya tidak
menyebut suatu disiplin ilmu tertentu yang
menjadi penyebab seseorang akan diangkat
derajatnya oleh Allah, demikian juga tidak
menyebut dengan menunjuk ilmu-ilmu tertentu
untuk dipelajari.
Islam dan Sains tidak saling bertentangan,
bahkan sebaliknya yakni memiliki keselarasan.
Ada banyak ayat yang telah ditafsirkan oleh
cendekiawan atau pengkaji al-Qur‟an terkait
dengan kesesuaiannya dengan sains.

10
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

71
Salah satu yang telah diteliti untuk
menguatkan argumentasi di atas adalah ayat-ayat
al-Qur‟an yang memiliki kesesuaian dengan teori
Heliosentris. Teori ini beranggapan bahwa
matahari adalah merupakan pusat peredaran
planet-planet, termasuk di dalamnya adalah bumi,
sedangkan bulan adalah mengelilingi bumi yang
kemudian bersama-sama bumi berputar
mengelilingi matahari. Sedangkan matahari
hanyalah berputar mengelilingi sumbunya saja.
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang
bersumber langsung dari Allah telah memberikan
informasi-informasi tentang alam semesta,
khususnya yang berhubungan dengan matahari,
bulan dan bumi. Ada 20 ayat yang menyebut kata
matahari, dan ada 463 ayat yang menyebut kata
bumi serta ada 5 ayat yang menyebut kata bulan.
Belum lagi ayat yang menjelaskantentang langit,
pergantian siang dan malam, serta ayat yang
menyebut tentang bintang-bintang.
Terkait dengan teori Heliocentris, ada
beberapa ayat yang menjelaskan tentang gerak

72
matahari, bulan dan bumi, yaitu surat Yunus: 5,
surat Yasin: 38, dan surat al-Naml: 88.11
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-
manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.
Secara khusus Allah menjelaskan
perjalanan matahari dalam surat Yāsīn ayat 38:
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. Sedangkan mengenai gerak
bumi, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-
Naml: 88: Dan kamu lihat gunung-gunung itu,
kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)
perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh

11
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi: Keselarasan Islam
dan Sains

73
tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selain itu, ada juga kajian yang telah
menafsirkan ayat al-Qur‟an yang memiliki
kesesuaian dengan ilmu geologi yang ditulis oleh
Izzatul Laila. Ia mengatakan bahwa lempeng-
lempeng litosfer bergerak dan saling berinteraksi
satu sama lain. Pada tempat-tempat tertentu
saling bertemu dan pertemuan lempengan ini
menimbulkan gempa bumi. Sebagai contoh
adalah Indonesia yang merupakan tempat
pertemuan tiga lempeng: Eurasia, Pasifik dan
Indo-Australia. Bila dua lempeng bertemu maka
terjadi tekanan (beban) yang terus menerus. Dan
bila lempengan tidak tahan lagi menahan tekanan
(beban) maka lepaslah beban yang telah
terkumpul ratusan tahun itu, akhirnya
dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi.

74
Sebagaimana tercantum dalam Surat al-Zalzalah,
99: 1-4:25.12
“Apabila bumi „digoncangkan dengan
goncangan (yang dahsyat).‟ Dan bumi telah
„mengeluarkan beban-beban beratnya.‟ Dan
manusia bertanya: „Mengapa bumi (jadi
begini)?‟ Pada hari itu bumi menceritakan
beritanya.”
Beban berat yang dikeluarkan dalam
bentuk gempa bumi merupakan suatu proses
geologi yang berjalan bertahun-tahun. Begitupun
seterusnya, setiap selesai beban dilepaskan,
kembali proses pengumpulan beban terjadi.
Proses geologi atau „berita geologi‟ ini dapat
direkam baik secara alami maupun dengan
menggunakan peralatan geofisika ataupun
geodesi. Sebagai contoh adalah gempa-gempa
yang beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu,
peristiwa pelepasan beban direkam dengan baik
oleh terumbu karang yang berada dekat sumber

12
Restiana Mustika Sari, Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

75
gempa. Pada masa modern, pelepasan energi
initerekam oleh peralatan geodesi yang disebut
GPS (Global Position System).

3. Sejarah Hubungan Sains dan Islam


Pencitraan negatif terhadap Islam seperti
telah disebut di muka, bukanlah pencitraan yang
tidak memiliki akar sejarah. Akar sejarah ini
sendiri dapat ditelusuri dari dua alur sejarah yang
saling mengentalkan pertentangan antara sains
dan agama, alur pertama berada dalam tradisi
pemikiran Islam, sedangkan alur kedua berada
dalam tradisi pemikiran Barat.
Kemunculan al-Asy'ariyah dalam teologi
Islam, oleh banyak kalangan dinilai telah memicu
satu bentuk pertentangan intelektualisme dalam
Islam. Sebagai kontra-reaktif dari Mu'tazilah,
kemunculan teologi Asy'ariyah yang ortodok
jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Mu'tazilah

76
yang rasional.13 Pertentangan itu berpuncak pada
keberhasilan al-Asy'ari mengokohkan diri
sebagai symbol ortodoksi Islam. Terutama berkat
dukungan al-Ghazah yang begitu gemilang
meflg-counter dua puluh pandangan rasional para
filosof yang dinilai sebagai bid'ah dan biang
kekafiran.
Kegemilangan al-Ghazali dalam meng-
counter pandangan para filosof telah menebar
seretonin di kalangan umat Islam, sehingga pada
beberapa sisi telah memposisikan ortodoksi Islam
sebagai hal yang terpisah dari pemikiran fllsafat
yang rasional. Hal inilah yang selanjutnya
menghilangkan dan mengebiri kreativitas umat
Islam, sehingga terjerumus dalam tindakan
taklid. Pada tahap ini, umat Islam umumnya telah
tercekoki pemahaman bahwa segala sesuatu yang
harus dan pantas diketahui telah diketahui dan
dipahami lebih baik oleh orang yang hidup di
masa yang lebih dekat dengan saat pewahyuan

13
KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan. Vol.21 No. 1, Juni 2006

77
al-Qur'an (Hofman, 2002: 75). Sakralisasi
terhadap tokoh agama pun merebak, sehingga
ketika filsafat Peripatetik digiatkan kembali
dalam filsafat Illuminisme di belahan dunia Islam
Barat (Andalusia) tetap tidak mampu
membalikkan keadaan dunia Islam yang telah
kaku.
Tidak mengherankan bila kemudian
tradisi Islam dipenuhi oleh ortodoksi yang
terkungkung dalam pemikiran abad pertengahan,
meskipun ada upaya untuk menghidupkan
kembali kreativitas ijtihad, seperti yahng
dilakukan oleh Ibn Taimiyyah maupun para
revivalis dan modernis Islam. Namun, usaha
tersebut tetap menemui kegagalan dan tidak
mampu menyepora seperti halnya ajaran sufisme
yang ditelurkan oleh paham ortodoksi Islam.
Kalaupun usaha revivalisme dan modernisme
Islam dinilai berhasil, ia hanya terbatas pada

78
skala lokal di kalangan akademisi semata.14
Bahkan, ketika umat Islam pada akhirnya
tertekan oleh kemajuan sains, politik, dan
ekonomi Barat, umat Islam belum mampu
membebaskan diri dari pemikiran abad
pertengahan untuk segera mengejar
ketertinggalannya dari Barat.
Pada alur sejarah yang lain, tradisi Barat
dipenuhi oleh penentangan terhadap otoritas
gereja (agama), terutama dipelopori oleh
tokohtokoh gereja sendiri, seperti Martin Luther
(1483-1546) dan John Calvin (1509-1564) yang
menyerukan reformasi terhadap institusi gereja
sebagai bentuk kritik terhadap struktur gereja
yang feodal. Upaya-upaya inilah yang kemudian
menyediakan tempat luas bagi munculnya
renaisans sejak paruh abad ke-14 hingga awal
abad ke-I7. Kemunculan renaisans yang
disemangati oleh rasionalitas empiris para saintis
seperti Galileo, Giardano Bruno (1548-1600),

14
KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan. Vol.21 No. 1, Juni 2006

79
Marsilio Ficino (1433-1499), Paracelsus (1493-
1541), ataupun para filsuf sekaliber Francis
Bacon (1561-1626) Thomas Hobbes (1588-1679)
serta politikus Nicollo Machiavelli (1469-1527),
telah menjadikan agama dan berbagai bentuk
pemikiran spekulatif terlantar dan termarjinalkan
oleh pemikiran yang murni empiris dan
eksperimental. Akibatnya, agama menjadi hal
yang aneh dan selalu dicurigai dalam percaturan
rasionalitas empiris manusia.
Dua alur sejarah di atas, penulis anggap
sebagai pemicu utama timbulnya pencitraan
negatif terhadap agama, khususnya Islam, dengan
sebuah refleksi bahwa kegagalan keilmuan Islam
(fiqh, teologi, filsafat, tasawuf) untuk
membangun gambaran Islam yang inklusif dan
rasional bagi pandangan sains telah menjadi bukti
nyata bagi saintis dan kalangan tertentu (Barat)
untuk memunculkan berbagai pencitraan negatif

80
terhadap Islam.15 Selain itu, adanya faktor
psikologis yang membuat kalangan Barat selalu
memandang Islam secara negatif, seperti tragedi
Perang Salib yang menjadi trauma tersendiri bagi
kalangan tertentu. Dalam hal ini, realitas historis
kontemporer yang terjadi di kalangan umat Islam
dewasa ini yang buram, juga memberikan
sumbangsih tersendiri bagi pembentukan opini
dan pencitraan terhadap Islam sebagai agama
irrasional, fundamentalis, dan teroris.

4. Hubungan Sains dan Islam


Hubungan antara Islam dan sains dapat
diketahui dengan dua sudut pandang. Pertama,
apakah konsepsi dalam Islam melahirkan
keimanan dan sekaligus rasional, atau semua
gagasan ilmiah itu bertentangan dengan agama.
Sudut pandang kedua, merupakan
landasan dalam membahas hubungan antara
Islam dan sains, yakni bagaimana keduanya ini

15
KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan.
Vol.21 No. 1, Juni 2006

81
berpengaruh pada manusia. Agama dan sains
sama-sama memberikan kekuatan, sains memberi
manusia peralatan dan mempercepat laju
kemajuan, agama menetapkan maksud tujuan
upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya
tersebut. Sains membawa revolusi lahiriah
(material), agama membawa revolusi batiniah
(spiritual). Sains memperindah akal dan pikiran,
agama memperindah jiwa dan perasaan. Sains
melindungi manusia dari penyakit, banjir, badai,
dan bencana alam lain. Agama melindungi
manusia dari keresahan, kegelisahan dan rasa
tidak nyaman. Sains mengharmoniskan dunia
dengan manusia dan agama menyelaraskan
dengan dirinya. Muhammad Iqbal menerangkan
bahwa manusia membutuhkan tiga hal: pertama,
interpretasi spiritual tentang alam semesta.
Kedua, kemerdekaan spiritual. Ketiga, prinsip-
prinsip pokok yang memiliki makna universal

82
yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia
dengan berbasiskan rohani.16
Mengingat hal tersebut, Eropa modern
membangun sebuah sistem yang realistis, bahwa
pengalaman yang diungkapkan dengan
menggunakan akal saja tidak mampu
memberikan semangat yang ada dalam keyakinan
hidup, dan ternyata keyakinan itu hanya dapat
diperoleh dari pengetahuan personal yang
bersifat spiritual. Hal inilah yang kemudian
membuat akal semata tidak memberikan
pengaruh pada manusia, sementara agama selalu
meninggikan derajat orang dan mengubah
masyarakat.
Dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum
muslim adalah wahyu, wahyu berperan
menginternalisasi (menjadikan dirinya sebagai
bagian dari karakter manusia dengan cara
manusia memperlajarinya) aspek-aspek
lahiriahnya sendiri. Bagi intelektual muslim,

16
Restiana Mustika Sari dan Yudi Setiadi: Keselarasan
Islam dan Sains

83
basis spiritual dari kehidupan adalah tentang
keyakinan. Demi keyakianan inilah seroang
muslim yang kurang tercerahkan pun dapat
mempertaruhkan jiwanya.
Will Durant (Penulis History of
Civilization) pernah mengatakan: Harta itu
membosankan, akal dan kearifan hanyalah
sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan
cintalah kelembutan yang terlukiskan dapat
menghangatkan hati.
Bisakah sains dan agama saling
menggantikan posisi masing-masing?
Pengalaman sejarah telah menunjukkan bahwa
akibat dari memisahkan keduanya telah
membawa kerugian yang tidak dapat ditutup.
Agama harus dipahami dengan perkembangan
sains, sehingga terjadi pembaruan agama dari
cengkrama mitos-mitos. Agama tanpa sains
berakhir dengan kemandekan.17 Sehingga apabila
agama tanpa sains hanya akan dijadikan alat

17
Restiana Mustika Sari dan Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains

84
orang-orang munafik mencapai tujuannya. Sains
tanpa agama bagaikan lampu terang yang
dipegang pencuri yang membantu pencuri lain
untuk mencuri barang berharga di tengah malam.
Atau bahkan sains tanpa agama adalah pedang
tajam ditangan pemabuk yang kejam.
Hubungan antara Islam dan sains dapat
diketahui melalui banyak sudut pandang.
Keduanya ini mempunyai pengaruh pada
manusia, di antaranya: Islam dan Sains sama-
sama memberikan kekuatan, sains memberi
manusia peralatan dan mempercepat laju
kemajuan, Islam menetapkan maksud tujuan
upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya
tersebut. Sains membawa revolusi lahiriah
(material), Islam membawa revolusi batiniah
(spiritual). Sains memperindah akal dan pikiran,
Islam memperindah jiwa dan perasaan. Sains
melindungi manusia dari penyakit, banjir, badai,
dan bencana alam lain. Islam melindungi
manusia dari keresahan, kegelisahan dan rasa
tidak nyaman. Sains mengharmoniskan dunia

85
dengan manusia dan Islam menyelaraskan
dengan dirinya.
Seiring berkembangnya zaman, Eropa
modern membangun sebuah sistem yang realistis,
bahwa pengalaman yang diungkapkan dengan
menggunakan akal saja tidak mampu
memberikan semangat yang ada dalam keyakinan
hidup, dan ternyata keyakinan itu hanya dapat
diperoleh dari pengetahuan personal yang
bersifat spiritual.
Hal inilah yang kemudian membuat akal
semata tidak memberikan pengaruh pada
manusia, sementara agama selalu meninggikan
derajat orang dan mengubah masyarakat.
Dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum
muslim adalah wahyu, Bagi intelektual muslim,
basis spiritual dari kehidupan adalah tentang
keyakinan. Demi keyakinan inilah seorang
muslim yang kurang tercerahkan pun dapat
mempertaruhkan jiwanya.
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang
bersumber langsung dari Allah telah memberikan

86
informasi-informasi tentang alam semesta,
khususnya yang berhubungan dengan matahari,
bulan dan bumi.18 Ada 20 ayat yang menyebut
kata matahari, dan ada 463 ayat yang menyebut
kata bumi serta ada 5 ayat yang menyebut kata
bulan. Belum lagi ayat yang menjelaskan tentang
langit, pergantian siang dan malam, serta ayat
yang menyebut tentang bintang-bintang.
Dalam hal ini Islam secara terang melalui
al-Qur‟an mendorong umatnya untuk senantiasa
melakukan pembaharuan di berbagai aspek
kehidupan. Sebab dengan mempelajari dan
mengembangkan sains (ilmu pengetahuan) umat
Islam dapat mencapai kesadaran akan keagungan
Allah. dan sains dapat mengharmoniskan dunia
dengan manusia, dan Islam menyelaraskan
dengan dirinya.19

18
Restiana Mustika Sari dan Yudi Setiadi:
Keselarasan Islam dan Sains
19
Restiana Mustika Sari dan Yudi Setiadi: Keselarasan
Islam dan Sains

87
B. Konsepsi Ilmu Dalam Islam
Konsep ilmu pengetahuan dalam Islam
memiliki dimensi yang universal, empirik dan
metafisik yang berbeda dengan ilmu yang lahir dari
pandangan hidup Barat yang hanya terbatas pada
area empirik saja. Konsep ilmu dalam Islam menjadi
bagian integral dari worldview atau pandangan
hidup Islam, sehingga dirinya mempunyai ciri khas
tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan
konsep-konsep dalam peradabanlain. Ilmu menurut
pandangan Islam tidak hanyamelingkupi substansi
pengetahuan, namun juga menjadi elemen penting
dalam peradaban.Berkenaan dengan pentingnya
kedudukan ilmu, beberapa tokoh seperti Ibnu
Khaldun, Imam AlGhazali, ataupun Syed
Muhammad Naquib Al-Attas memberikan beberapa
ciri dari klasifikasi ilmu untuk mendudukan mana
yang lebih memiliki prioritas (awlawiyat), yang ke
depannya terkait dengan bagaimana objek ilmu
dalam Islam ditentukan.
Dari penuturan tokoh-tokoh ini, dapat
diketahui bahwa ilmu di dalam Islam tidak hanya

88
meliputi ilmu-ilmu akidah dan syariah saja, namun
juga ada sederet ilmu-ilmu lain seperti ilmu fisika,
biologi, dan lain sebagainya yang perlu dikaji. Cara
perolehan masing- masing dalam cabang ilmu ini
memiliki pendekatan dan metodenya, baik dari
berupa indra internal maupun indra eksternal, khabar
sadiq, dan intelek. Seorang Muslim selayaknya
berpegang teguh kepada tradisi keilmuan Islam dan
tidak silau dengan tradisi keilmuan Barat walaupun
terlihat lebih menarik.
Kebenaran mengenai ilmu di dalam dunia
Islam merupakan syarat utama dalam memperoleh
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat
nanti.20 Dapat dikatakan bahwa salah satu yang
menjadi penyebab kemunduran peradaban Islam hari
ini adalah karena krisisnya ilmu dalam tubuh umat
Islam. Bahaya yang saat ini sedang menimpa kaum
Muslim in adalah karena rusaknya hati dan rapuhnya
iman akibat kesesatan yang berasal dari filsafat dan

20
Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, “Konsep Ilmu dalam
Islam”, Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam Vol. 13, N. 2, September 2015, hln. 225

89
ilmu pengetahuan. Satu-satunya solusi untuk
memperbaiki hati dan menyelamatkan iman adalah
dengan adanya cahaya dan bagaimana
memperlihatkan cahaya itu. Cahaya yang dimaksud
ialah jalan dakwah yang membangki tkan keimanan
dan beribadah dibawah naungan Allah SWT. Dalam
upaya menegakkan dan mengembalikan peradaban
Islam, maka bangunan ilmu harus ditegakkan.
Karena ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus
dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan
pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya,
ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai
(value- laden). Di mana upaya tersebut adalah
dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola
pikir manusia agar sejalan dengan prinsip- prinsip
dalam Islam. Jadi membangun peradaban Islam
bukanlah dengan upaya pembangunan prasarana
fisik yang diberi label Islam, tetapi ia adalah
membangun kembali pola berpikir umat Islam.21

21
Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, “Konsep Ilmu dalam
Islam”, Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam Vol. 13, N. 2, September 2015, hln. 225

90
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas :
Jalan dakwah dapat menyelamatkan kemunduran
peradaban Islam yangdikarenakan oleh krisis ilmu.
Ilmu yang sejajar dengan pola pikir serta prinsip-
prinsip umat Islam akan menjadi upaya dalam
penegakannya. Ilmu itu sendiri mempunyai makna
„pengetahuan‟, sedangkan secara terminologi, ilmu
menurutal-Attas merupakan sesuatu yang berasal
dari Allah SWT, yaitu datangnya maknasesuatu
kedalam jiwa pencari ilmu, ia membagi ilmu
menjadi ilmu ma‟rifah dan ilmu sains.
1. Ibnu Khaldun membagi arti ilmu sebagai ilmu
naqliyah dan „aqliyah.
Sehingga, ilmu dalam agama Islam tidak hanya
menyangkut pada ilmu akidah ataupun syari‟ah
saja, melainkan segala ilmu diluar keduanya. Al-
Qur‟an dan Hadist memandang orang yang
berilmu dalam posisi tinggi dan mulia,
dandidalam hadist banyak dorongan untuk
menuntut ilmu secara terus-menerus.Maka letak
integrasi antara ilmu empiris dan metafisikaada
di sini.Islam menegaskan bahwa semua ilmu

91
datang dari Allah SWT. Klasifikasiilmu
pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli
filsafat, pakar, dan orang bijaksana, khususnya
para ahli sufi dapat diterima seperti al-Farabi,
Ibnu Sina,Ibnu Hazm, Imam al-Ghazali, dan al-
Suyuti. Al-Attas juga mengakui
kebenaranklasifikasi ilmu yang mereka berikan.
2. Pada hakikatnya terdapat kesatuan di balik
hierarki semua ilmu pengetahuan dalam
kaitannya dengan pendidikan seorang Muslim.
Ilmu dapatdikategorikan berdasarkan keragaman
ilmu manusia dan cara-cara yang
ditempuhmereka untuk memperolehnya dan
pengategorian tertentu itu melambangkanusaha
manusia untuk melakukan keadilan terhadap
setiap bidang ilmu pengetahuan.
Jika para filsuf Barat hanya mengakui objek
ilmu yang memiliki statusontologis yang jelas dan
materil, yaitu objek-objek fisik. Maka, filsuf
Muslimsendiri mengakui bahwa objek ilmu bukan
hanya itu, melainkan mencakup entitasnon-fisik,
seperti konsep-konsep metal dan metafisika. Karena,

92
tujuanmempelajari alam fisik adalah menunjukkan
ilmu tentang alam metafisik. DalamIslam, ilmu tidak
akan pernah lepas dari wahyu.22 Oleh karena itu,
objek ilmu dalam Islam mencakup objek fisik
danmetafisik yang kebenarannya mengandung nilai
ilmiah dalam Islam yang dapatdiverifikasi,
difasifikasi, dan dirasionalkan melalui eksperimen.
Klasifikasi ilmutelah kita kenal dari para ahli
filsafat, pakar, dan orang bijaksana. Padahakikatnya,
terdapat kesatuan dibalik hierarki semua ilmu
pengetahuan dalamkaitannya dengan pendidikan
seorang muslim.Datangnya ilmu dalam Islam oleh
para filsuf Muslim dikatakan berasaldari Tuhan
melalui 3 cara: indra yang sehat, laporan yang benar,
dan intelek. Indrayang sehat, mencakup lima indra
perasa manusia (eksternal), sedangkan akal
sehatdinamakan panca indra internal.

1. Pengertian ilmu pengetahuan

22
Achmad Reza Hutama Al-Faruqi, “Konsep Ilmu dalam
Islam”, Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam Vol. 13, N. 2, September 2015, hln. 225

93
Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu
(alima, ya‟lamu, „ilman) yang berarti mengerti,
memahami benar-benar. Ilmu dari segi Istilah
ialah Segala pengetahuan atau kebenaran
tentang sesuatu yang datang dari Allah
Subhanahu wa Ta‟ala yang diturunkan kepada
Rasul-rasulnya dan alam ciptaannya termasuk
manusia yang memiliki aspek lahiriah dan
batiniah.
Ilmu dalam bahasa Inggris disebut
(science) , Pengetahuan (knowledge) adalah
bagian yang esensial- aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari "berpikir".
Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai
differentia ( atau fashl) yang memisahkan
manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan.
Dan sebenarnya kehebatan manusia dan
barangkali "keunggulannya dari spesies-spesies
lainnya karena pengetahuannya”. Sedangkan
pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus
bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara bersistem

94
menurut metode-metode tertentu, yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu.23 Ilmu
ialah deskripsi data pengalaman secara lengkap
dan tertanggung jawabkan dalam rumusan-
rumusannya yang sesederhana mungkin.
Berfikir pada dasarnya merupakan sebuah
proses yang membuahkan pengetahuan. Proses
ini merupakan serangkaian gerak pemikiran
dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam
kegiatannya mempergunakan lambang yang
merupakan abtraksi dari objek yang sedang kita
pikirkan. Bahasa adalah salah satu lambing
tersebut dimana objek-objek kehidupan yang
konkrit dinyatakan dengan kata-kata dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahun ini
merupakan produk kegiatan berfikir yang
merupakan obor peradaban dimana manusia

23
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 1

95
menemukan dirinya dan menghayati hidup
dengan lebih sempurna.24

2. Ilmu Dalam Islam


Islam adalah agama yang mengutamakan
sebuah ilmu, dalam islam diwajibkan bagi
setiap seorang muslim untuk menuntut ilmu
kewajiban itu ditujukan oleh individu setiap
orang. Didalam hadist nabi bersabda:
)ً‫طلب الؼلم فشٔضة ػلٓ كل مسلم (سَاي ابه ماج‬
Hal ini juga juga dapat dilihat pada ayat
pertama surat al alaq :
)1 :‫اقشا باسم سبك الزْ خلق (الؼلق‬
Sedangkan Nabi adalah orang yang ummi
(tidak bisa membaca dan menulis), makna iqra‟
diatas adalah baca dan bacakanlah, pelajari dan
ajarkanlah. Para mufassirin termashur
menjawab (bahwa yang harus dibaca) ialah:
1. Al-Qur‟an (Ibnu „Abas, Al-Qurtubi)

24
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 1

96
2. Ma yuha ilaika : apa yang diwahyukan
kepadamu (Al-Qosimi, Al-Hanafi, Al-
Andalusi dan Al-Jamal)
3. Ma yutla amama-ka : apa yang ditilawatkan
di depanmu, dan menyimak apa-apa yang
telah ditilawatkan itu.
4. Ma unzila ilaika minal Qur‟an : apa-apa
yang telah dinuzulkan kepadamu dari al-
Qur‟an (Al-Qurtubi)
Selain belajar ilmu-ilmu yang termaktub
dalam Al-Quran dan Al-Hadist atau biasanya
disebut ayat qouliyah (akan menghasilkan ilmu-
ilmu agama seperti Fiqih, Ilmu tafsir, Akhlak,
Taswuf dan lain-lain) seorang muslim juga
dianjurkan mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat
kauniyah (kejadian-kejadian alam maupun yang
lainnya, dan akan menghasilkan ilmu-ilmu
seperti ilmu atronomi, ilmu bumi, ilmu sosial).
Selain itu dalam Al-Qur‟an Allah berfirman
bahwa derajat orang yang berilmu sangat tinggi
melebihi seorang „abid (orang ahli yang
beribadah). Dalam Fathul Barri disebutkan

97
bahwa: Allah meninggikan derajat orang
mu‟min yang „alim dari pada orang mu‟min
yang tidak „alim, meninggikan derajat disini
menunjukkan kepada Al-Fadlu.
Keutamaan disini dimaksud bahwa orang
yang beribadah dengan ilmu dengan orang yang
beribadah tanpa tahu ilmunya akan berbeda
nilainya dari segi pahala yang diperoleh. Allah
berfirman dalam surat al maidah ayat 11:
‫ٔشفغ هللا الزٔه امىُا مىكم َالزٔه اَتُا الؼلم دسجات‬
)11ً‫(المجادل‬
Yang artinya: Allah akan meninggikan orang-
orang yang beriman diantaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.25
Setelah itu pada ayat ke 4-5 pada surat al alaq:
‫ ػلم االوسان مالم ٔؼلم‬, ‫الزْ ػلم بالقلم‬
Disamping lidah untuk membaca, Tuhan
pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena
Ilmu dapat dicatat, dapat pula diartikan dengan

25
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 1

98
sarana dan usaha. Dari ayat diatas kita dapat
menjelaskan dua cara yang ditempuh oleh Allah
SWT. Dalam mengajarkan manusia, pertama
melalui pena (tulisan) yang harus dibaca Oleh
manusia dan yang kedua melalui pengajaran
secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini
dikenal dengan Ilmu ladunni.
Allah melengkapi manusia dengan
pendengaran, penglihatan, akal dan hati. Jadi
Ilmu dapat diperoleh dengan pendengaran
penglihatan kemudian diproses dalam fikiran
sedangkan hati untuk menimbang apakah ilmu
itu dapat mendekatkan diri pada Allah atau
bahkan menjauhkan.
Dalam pendidikan Islam dapat dibuktikan
bahwa perintah Al-Qur‟an dan Hadist tentang
menuntut ilmu tidaklah terbatas pada ajaran-
ajaran syari‟ah tertentu, tetapi juga mencakup
setiap ilmu yang berguna bagi manusia bagi
manusia. Untuk melakukan hal itu, harus
ditunjukkan dan didefinisikan kewajiban tujuan
seorang muslim dalam kehidupan di dunia ini.

99
Allah melalui kitabNya Al-Qur‟an telah
menegaskan bahwa semuanya akan kembali
kepada pencipta. Dengan demikian tujuan
manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah
dan memperoleh ridho-Nya. Segala sesuatu
yang mendekatkan kepada Tuhan dan petunjuk-
petunjuk pada arah tersebut adalah terpuji. Ilmu
hanya berguna jika dijadikan alat untuk
medekatkan kepada Allah, jika tidak, maka ilmu
akan menjadi penghalang besar.26
Jadi tujuan yang sebenarnya adalah bahwa
Ilmu itu untuk medekatkan diri pada Allah,
contohnya melalui ilmu tentang bumi
(bagimana langit diciptakan) membuat kita
semakin menambah keimanan kita pada Allah.
Al-Qur‟an menjelaskan bahwa fungsi
penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai
kholifah. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah
SWT membekali manusia dengan seperangkat
potensi dalam artian berkemampuan

26
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 1

100
menciptakan sesuatu yang berguna untuk
dirinya, masyarakat dan lingkungannya.
Manusia diciptakan oleh Allah untuk
mejadi kholifah (wakil Allah) maka Allah
melengkapi manusia dengan fikiran, berbeda
dengan malaikat yang tidak mempunyai nafsu
dan tidak diberi kemampuan (tentang ilmu). Hal
ini dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 31-
32. “Dia (Allah) mengajarkan pada Nabi adam
nama-nama (bend-benda) semuanya. Kemudian
dia mengemukannya kepada para malaikat
seraya berfirman, sebutkanlah, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda itu jika memang-
orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).”
Mereka (para malaikat) menjawab, “Maha suci
Allah tiada pengetahuan kecuali yang telah
engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat diatas menjukkan bahwa Allah
menunjuk manusia sebagai kholifah yang
berada di bumi (bukan dari golongan jin, dan
malaikat) jadi sebagai kholifah yang berada

101
dibumui kewajiban bagi manusia adalah
berilmu.27 Fungsi asasi hidup manusia adalah
kholifah (wakil atau deputy) Allah diatas alam
ini untuk menerjemahkan, mejabarkan
(merealisasikan, mengimplementasikan,
mengaplikasikan dan mengaktualisasikan) sifat-
sifat Allah yang serba maha itu dalam batas-
batas kemanusiaan.

3. Islam dan Konsep Ilmu


Islam sangat menghargai sekali ilmu.
Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur‟an
supaya kaum Muslimin memiliki ilmu
pengetahuan. Al-Qur‟an, al-Hadits Dan para
sahabat menyatakan supaya mendalami ilmu
pengetahuan. Allah berfirman yang artinya :
“Katakanlah “Apakah sama, orang-orang yang
mengetahui dengan orang yang tidak
mengetahui?” Hanya orang-orang yang berakal
sajalah yang bisa mengambil pelajaran.” Allah

27
Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 1

102
juga berfirman yang artinya : « Allah
mengangkat orang-orang yang beriman dari
pada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
dengan beberapa derajat. »
Selain al-Qur‟an, Rasulullah saw juga
memerintahkan kaum Muslimin untuk menuntut
ilmu. Rasulullah saw juga menyatakan orang
yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya
sama seperti seorang yang sedang berjihad di
medan perjuangan.
Rasulullah saw bersabda:
‫لم ٔاتً إال لخٕش ٔتؼلّمً أَ ٔؼ ّلمً فٍُ بمىزلة المجاٌذ فٓ سبٕل‬
‫هللا ٌزا جاء مسجذِ مه‬
‫الشجل ٔىظش إلّ متاع غٕشي‬
ّ ‫َ مه جاء لغٕش رالك فٍُ بمىزلة‬
Artinya: “Barangsiapa yang mendatangi
masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya
kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya
atau diajarkannya, maka kedudukannya sama
dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang
datang untuk maksud selain itu, maka
kedudukannya sama dengan seseorang yang
melihat barang perhiasan orang lain.” (HR. Ibnu

103
Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan
disahihkan oleh Ibnu Hibban.28
Rasulullah saw juga bersabda:
‫مه خشج فّ طلب الؼالم فٍُ فّ سبٕل هللا حتّّ ٔشجغ‬
Artinya:“Barangsiapa yang pergi menuntut
ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia
kembali.” (HR. Timidzi).
Rasulullah saw juga bersabda: yang artinya:
“Barang siapa melalui satu jalan untuk mencari
ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke
salah satu jalan di antara jalan surga, dan
sesungguhnya malaikat benar-benar
merendahkan sayap-sayapnya karena ridha
terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya
seorang alim benar-benar akan dimintakan
ampun oleh makhluk yang ada di langit dan di
bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang alim atas
seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti
keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-

28
QS. Al-Mujadalah, 11. Lihat juga ayat-ayat lain seperti
An-Nisa 83, 113 ;

104
bintang yang ada. Dan sesungguhnya ulama
adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya
para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun
dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka
barang siapa mengambilnya, maka hendaklah
dia mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu
Daud).29
Selain al-Qur‟an dan al-Hadist, para
sahabat juga menyatakan bahwa sangat penting
bagi kaum Muslimin memiliki ilmu
pengetahuan. Seperti Ali bin Abi Talib ra.,
berkata :” “Ilmu lebih baik dari pada harta, oleh
karena harta itu kamu yang menjaganya,
sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu.
Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara
ilmu akan berkembang jika diinfakkan
(diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta
adalah yang dikuasai. Telah mati para
penyimpan harta padahal mereka masih hidup,

29
Ibn Qayyim al-Jawzi, ‘Awn alMa’ bud, sharh Sunan Abid
Daud, Ed.’Isam al-Din alSababati (Kairo: Dar al- Hadist,
2001), jil. 6, hal. 473

105
sementara ulama tetap hidup sepanjang masa.
Jasa-jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka
tetap ada/membekas di dalam hati.”
Mu‟az bin Jabal ra. mengatakan:”
“Tuntutlah ilmu, sebab menuntutnya untuk
mencari keridhaan Allah adalah ibadah,
mengetahuinya adalah khasyah, mengkajinya
adalah jihad, mengajarkannya kepada orang
yang tidak mengetahuinya adalah sedekah dan
mendiskusikannya adalah tasbih. Dengan ilmu,
Allah diketahui dan disembah, dan dengan ilmu
pula Alah diagungkan dan ditauhidkan. Allah
mengangkat (kedudukan) suatu kaum dengan
ilmu, dan menjadikan mereka sebagai
pemimpin dan Imam bagi manusia, manusia
mendapat petunjuk melalui perantaraan mereka
dan akan merujuk kepada pendapat mereka.”
Selain pentingnya ilmu, para ulama kita
juga memadukan ilmu dengan amal, fikir dan
zikir, akal dan hati. Kondisi tersebut tampak
jelas dalam contoh kehidupan para ulama kita,
seperti Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam

106
Bukhari. Al-Hakam bin Hisyam al-Tsaqafi
mengatakan: “Orang menceritakan kepadaku di
negeri Syam, suatu cerita tentang Abu Hanifah,
bahwa beliau adalah seorang manusia
pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau
mengangkatnya menjadi pemegang kunci
gudang kekayaan Negara atau memukulnya
kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih
siksaan daripada siksaan Allah Ta‟ala.” AlRabi
mengatakan: “Imam Syafi„i menghkatamkan al-
Qur‟an misalnya, dalam bulan Ramadhan, enam
puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.Imam
Bukhari menyatakan:” (Aku tidak menulis
hadist dalam kitab Sahih kecuali aku telah
mandi sebelum itu dan telah shalat dua
rakaat).30
Bukan saja dalam ilmu-ilmu agama,
ulama kita yang berwibawa telah mewariskan
kita berbagai karya yang sehingga kini masih

30
Ibn Qayyim al-Jawzi, ‘Awn alMa’ bud, sharh Sunan Abid
Daud, Ed.’Isam al-Din alSababati (Kairo: Dar al- Hadist,
2001), jil. 6, hal. 473

107
selalu kita rasakan manfaatnya. Dalam bidang
ilmu pengetahuan umum pun, para pemikir
Muslim terdahulu sangat berperan. Al-
Khawarizmi, Bapak matematika, misalnya,
dengan gagasan al-jabarnya telah sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu matematika.
Tanpa pemikiran al-Khawarizmi, tanpa
sumbangan angka-angka Arab, maka sistem
penulisan dalam matematika merupakan sebuah
kesulitan. Sebelum memakai angka-angka Arab,
dunia Barat bersandar kepada sistem angka
Romawi.31
Selain itu, masih banyak lagi pemikir
Muslim yang sangat berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah
seorang diantaranya adalah Ibn Sina. Ketika
baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-
Hasil wa al-Mahsul yang terdiri dari 20 jilid.
Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa
(Penyembuhan), 18 jilid; al-Qanun fi al-Tibb

31
Budi Yuwono, Ilmuan Islam Pelopor Sains Modern
(Jakarta: Pustaka Qalami, 2005), hal. 161

108
(KaidahKaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al-
Insaf (Pertimbangan), 20 jilid; al-Najat
(Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al‟ Arab
(Bahasa Arab), 10 jilid.
Karyanya al-Qanun fi al-Tibb telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Toledo
Spanyol pada abad ke12. Buku al-Qanun fi al-
Tibb dijadikan buku teks rujukan utama di
universitas-universitas Eropa sampai abad ke17.
Disebabkan kehebatan Ibn Sina dalam bidang
kedokteran, maka para sarjana Kristen
mengakui dan kagum dengan Ibn Sina. Seorang
pendeta Kristen, G.C. Anawati, menyatakan:
“Sebelum meninggal, ia (Ibnu Sina) telah
mengarang sejumlah kurang lebih 276 karya. Ini
meliputi berbagai subjek ilmu pengetahuan
seperti filsafat, kedokteran, geometri,
astronomi, musik, syair, teologi, politik,
matematika, fisika, kimia, sastra, kosmologi dan
sebagainya.”
Disebabkan kehebatan kaum Muslimin
dalam bidang ilmu pengetahuan, maka

109
sebenarnya pada zaman kegemilangan kaum
Muslimin, orang-orang Barat meniru kemajuan
yang telah diraih oleh orang-orang islam. Jadi,
kegemilangan Barat saat ini tidak terlepas dari
pada sumbangan pemikiran kaum Muslimin
pada saat itu. Hal ini telah diakui oleh para
sarjana Barat.
Selain itu, para ulama kita dahulu
menguasai beragam ilmu. Fakhruddin al-Razi,
misalnya, menguasai al-Qur‟an, Al-Hadith,
tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan
agama, logika, matematika, fisika, dan
kedokteran. Bukan hanya al-Qur‟an dan al-
Hadits yang dihafal, bahkan beberapa buku
yang sangat penting dalam bidang usul fikih
seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-
Haramain al-Juwayni, al-Mu„ tamad karya Abu
al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa karya al-

110
Ghazali, telah dihafal oleh Fakhruddin al-
Razi.32
Dalam ajaran islam terdapat berbagai
aspek pengetahuan yaitu aqidah, fiqh, ahklak,
filsafat, sejarah dan lain-lain. Semua aspek itu
yang oleh pakarnya disusun secara sistematis,
maka dikenallah berbagai ilmu keislaman
seperti ilmu Tauhid, ilmu fiqh, ilmu tasauf dan
lain-lain.
Ilmu salah satu dari buah pemikiran
manusia dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan. Untuk menghargai ilmu
sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus
mengerti apakah hakekat ilmu itu sebenarnya.
Seperti kata pribahasa prancis” mengerti berarti
memaafkan segalanya” maka pengertian yang
mendalam terhadap hakikat ilmu itu, bukan saja
akan mengengatkan apresiasi kita terhadap ilmu
namun juga membuka mata kita terhadap

32
Adnin Armas, “ Fakhruddin al-Razi: Ulama Yang
Dokter & Filosof Yang Mufassir,” ALAMIA, April-Juni
2005, 10613

111
berbagai kekurangan. Albert Einstein
menyatakan bahwa hubungan ilmu dengan
agama itu sangtlah erat sebagaimana
pernyataanya “ilmu tanpa agama adalah buta,
agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.33

C. Islamisasi Sains Islam


1. Islamisasi Sains
Istilah Islamisasi sains (ilmu) muncul
sebagai sebuah respon terhadap krisis manusia
modern yang disebabkan karena pendidikan
Barat bertumpu pada suatu world view yang
bersifat materialistis dan relativistis,
menganggap bahwa pendidikan bukan untuk
membuat manusia semakin bijak, yaitu
mengenali dan mengakui posisi masing- masing
dalam tertib realitas, tetapi memandang realitas
sebagai sesuatu yang bermakna secara material
bagi manusia. Oleh karena itu, hubungan

33
Adnin Armas, “ Fakhruddin al-Razi: Ulama
Yang Dokter & Filosof Yang Mufassir,” ALAMIA, April-
Juni 2005, 10613

112
manusia dengan tertib realitas bersifat
eksploitatif, bukan harmonis. Ini adalah salah
satu penyebab penting kemunculan krisis
masyarakat modern. Islamisasi ilmu mencoba
mencari akar-akarkrisis tersebut. Kelahiran
gagasan Islamisasi ilmu juga disebabkan adanya
konsep dikotomisantara agama dan ilmu
pengetahuan yang dikembangkan Barat dan
budaya masyarakat modern. Masyarakat Barat
lebih memandang sifat, metode, struktur sains
dan agamajauh berbeda. Agama diasumsikan
atau melihat suatu permasalahan dari segi
normatif,sedangkan sains meneropongnya dari
segi obyektif. Agama melihat problematika
dansolusinya melalui petunjuk Tuhan,
sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio
manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai
petunjuk dari Tuhan, makakebenarannya dinilai
mutlak, sedangkan kebenaran sains bersifat
masih relatif. Agama banyak berbicara yang

113
gaib, sedangkan sains hanya membahas
mengenai hal yang empiris.34
Gagasan Islamisasi ilmu ini pertama kali
muncul dalam dunia pendidikan Islam sejak tiga
dasawarsa yang lalu, tepatnya pada saat digelar
World Conference on Muslim Education di
Mekkah tanggal 31 Maret sampai dengan 8
April 1977. Kegiatan yang diprakarsai dan
dilaksanakan oleh King Abdulaziz University
Jeddah ini membahas 150 makalah dari para
ahli pendidikan dunia Islam dari 40 negara.
Konferensi ini merumuskan rekomendasi untuk
pembenahan dan penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh
umat Islam di seluruh dunia. Hasil dari
pembahasan dan rekomendasi dari kegiatan ini
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku
berjudul Crisis in Muslim Education.8Gagasan
Islamisasi ilmu ini pertama kali muncul dalam
dunia pendidikan Islam sejak tiga dasawarsa

34
Poedjawiatna, Tahu dan Pengetahuan
(Jakarta : Bina Aksara, 1983), 62-73

114
yang lalu, tepatnya pada saat digelar World
Conference on Muslim Education di Mekkah
tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977.
Kegiatan yang diprakarsai dan dilaksanakan
oleh King Abdulaziz University Jeddah ini
membahas 150 makalah dari para ahli
pendidikan dunia Islam dari 40 negara.
Konferensi ini merumuskan rekomendasi untuk
pembenahan dan penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh
umat Islam di seluruh dunia. Hasil dari
pembahasan dan rekomendasi dari kegiatan ini
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku
berjudul Crisis in Muslim Education.35
Pada konteks bahasa, pengembangan ilmu
dikenal istilah Islamisasi sains. Tulisan berikut
ini mencoba untuk mengkaji kandungan
pengertian istilah dimaksud dengan harapan

35
Baca Sajjad Husain dan Ali Ashraf, Crisis ini
Muslim Education (Jeddah : King Abdulaziz University,
1979). Baca juga saduran buku ini pada Mukani,
Pergulatan Ideologis Pendidikan Islam (Malang :
Madani, 2011)

115
dapat memperoleh pemahaman secara memadai.
Sebelumnya, hampir satu dekade yang lalu,
Jusuf Amir Feisal pernah mengintrodusir
sebuah konsep yang diistilahkan dengan Islam
For Scientific Purposes (ISP). Feisal
mendefinisikan bahwa metode dan teknik ISP
merupakan hasil dari asumsi dan pendekatan
baru yang memandang agama (Islam) sebagai
sebuah sistem nilai dan norma yang memiliki
kekuatan kreatif, atau setidaknya mempunyai
pengaruh terhadap kerja sistem budaya dan
peradaban tertentu dalam bingkai pengabdian
kepada Tuhan dalam pengertian yang luas,
secara individu maupun sosial. ISP tersebut
pada gilirannya menurunkan konsekuensi
beberapa tujuan, yaitu (1) untuk memahami
kebenaran Islam melalui alat berupa ilmu
pengetahuan, (2) untuk memformulasikan ilmu
pengetahuan sebagai produk dari inferensi
rasional dan pengalaman yang relevan atau
bersandar kepada nilai-nilai dan sistem norma
Islami, (3) untuk mengarahkan pandangan

116
terhadap rumusan ilmu pengetahuan empirik
sebagai kebenaran hipotetik atau relatif, (4)
untuk memulai perumusan dan pembuktian
konsep-konsep ilmiah yang berlandaskan pada
nilai dan sistem norma Islami.36

2. Makna Sains Islam


Melakukan proses naturalisasi ilmu
pengetahuan dan sains melalui
Islamisasimenjadi mustahil jika kita tidak
mengetahui arti atau makna dari sains Islam.
Adi Setya, dalam artikelnya “Tiga Pengertian
Sains Islam” di dalam buku Islamic
ScienceParadigma, Fakta dan Agenda ,
menguraikan 3 makna sains Islam, makn
pertama sebagai disiplin ilmu yang mengkaji
sejarah perkembangan sains dan teknologi
dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan

36
Jusuf A. Feisal,” Islam, a Man Resourse for
Inovative Devolopment of Knowledge, Science and
Tecnology,” (Paper. The 6 th Internasional Seminar on
Miracles of Al-Qur’an and al-Sunnah on seceince and
Tecnology, Bandung,1994), 6

117
perkembangan sains dan teknologi di dunia
Barat. Pengertian ini menjadikan Sains Islam
sebagai salah satu cabang dari SejarahSains
yang lebih luas.
Makna kedua , yang berkaitan dengan
pokok bahasan dari sub disiplin dalamfilsafat
Islam yang berperan memaparkan dan
menjernihkan istilah prinsip-prinsip
metodologis dan filosofis kontemporer yang
objektif dan telah memandu ataumenopang
penuaian sains dalam peradaban Islam. Makna
ini menjadikan sense Islam bagian dari filsafat
ilmu secara umum. Lebih berpusat pada aspek
aspekkonseptual atau intelektual daripada aspek
aspek empiris praktis atau artifaktual darisains
Islam.
Makna ketiga dalam sains Islam merujuk
kepada unsur aksiologi. Dengan pokok bahasan
disiplin-disiplin yang berperan merumuskan
konsep konsep sains Islam sebagai program
kreatif jangka panjang, dilakukan sebagai
penerapan sistematik nilai etis dankognitif pada

118
sains dan teknologi di dunia kontemporer.
Definisi ulang programatik atassains Islam akan
mengalihkannya menjadi cakupan paradigma
atau program riset baruyang mengandung
implikasi empiris dan metodologi baru, guna
memanifestasi ulangalam pandang Islami dalam
kehidupan perorangan dan masyarakat melalui
visi dan praktek sains dan teknologi Islam yang
non Barat dan otentik.
Yang pertama dan utama diarahkan pada
Identifikasi dan pemecahan permasalahan dan
memuaskan kebutuhansesungguhnya dari umat.
Dimana proses Islamisasi ilmu pengetahuan dan
sains eratkaitannya dengan masalah filosofi.
Bagian dari filsafat versi Islam adalah
pandanganIslam mengenai alam atau filsafat
alam menurut Islam.37

37
Jusuf A. Feisal,” Islam, a Man Resourse for Inovative
Devolopment of Knowledge, Science and Tecnology,”
(Paper. The 6 th Internasional Seminar on Miracles of
Al-Qur’an and al-Sunnah on seceince and Tecnology,
Bandung,1994), 6

119
3. Urgensi Islamisasi Sains
Kemajuan sains dan teknologi dari barat
yang tidak kita nafikan manfaatnya bagi
kehidupan. Namun dampak dan efek negatif
terutama yang menimpa umat Islam juga harus
diantisipasi. Jangan sampai kita terlena dengan
kenikmatan atas hadirnyasains dan teknologi
Barat. Dari kalangan ilmuwan muslim kritik
terhadap sains tidakkurang gencarnya. Nama-
nama seperti Sayyed Hossein Nasr, Syed
Muhammad Naquib Al Attas, Ismail Raji Al
faruqi, Ziauddin Sardar, dan lain-lain adalah
ilmuwan Islam kontemporer yang keras
mengkritik sains Barat dan menyerukan de-
westernisasi atau lebih dikenal dengan
Islamisasi sains. Mereka secara senada
mengatakan bahwa sains yang berkembang di
Barat dan di dunia muslim saat ini tidak bebas
nila, tapi sarat dengan nilai, yaitu nilai-nilai
yang terkandung dalam paham sekularisme,

120
materialisme, rasionalisme, empirisme,
idealisme dan positivisme.38

4. Perkembangan Islamisasi Sains di Indonesia


Ide Islamisasi sains yang
dikumandangkan oleh para ilmuwan penggagas
ide tersebut bergaung pula di Indonesia. Tahun
1980-an merupakan tahun-tahun dimana
kalangan intelektual muslim Indonesia bangkit.
Para intelektual yang kebanyakan telah belajar
bukan di negeri Islam melainkan di negeri barat
mulai memainkan peran merekadi tanah air. Di
kampus, mereka mempunyai pengikut dan
sering memberikan ceramah ilmiah di seminar
seminar keislaman nasional. Mereka adalah
Harun Nasution, Nurcholis Madjid, M. Amin
Rais, A.M.Saefuddin, Kuntowijoyo, Jalaludin

38
Jusuf A. Feisal,” Islam, a Man Resourse for
Inovative Devolopment of Knowledge, Science and
Tecnology,” (Paper. The 6 th Internasional Seminar on
Miracles of Al-Qur’an and al-Sunnah on seceince and
Tecnology, Bandung,1994), 6

121
Rahmat,Armahedi Mahzar dan Dawam
Rahardjo.
Permulaan pembahasan Islamisasi sains
di Indonesia sejak akhir abad ke-20,dapat dilihat
dengan adanya pemaparan ide dalam karya
ilmiah yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia.
Yaitu salah satu buku karya S.I. Poeradisastra,
Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban
Modern (P3M, 1981). Selain itu tidak ada Hal
menonjol kecuali perbincangan Islamisasi ilmu
pengetahuan yang berkembang di luar
Indonesia.39

5. Sinergi antara Ilmu Pengetahuan (Sains)


Dan Ilmu Agama Hubungan ilmu agama
dan ilmu pengetahuan di dalam Islam
diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda
tetapi tidak dapat dipisahkan. Penggunaan rasio

39
Jusuf A. Feisal,” Islam, a Man Resourse for Inovative
Devolopment of Knowledge, Science and Tecnology,”
(Paper. The 6 th Internasional Seminar on Miracles of
Al-Qur’an and al-Sunnah on seceince and Tecnology,
Bandung,1994), 6

122
atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan
dari keimanan kepada Allah yang Transenden,
dari ajaran-ajaran, aturan, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip umum yang disampaikan kepada
manusia melalui wahyu Ilahi. Ilmu pengetahuan
di dalam Islam juga dikembangkan melalui
budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar
dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq
dari bathil-nya.
Dengan kata lain, sains dalam Islam
sangat memperhatikan agama demikian juga
sebaliknya, karena ilmu pengetahuan
merupakan jalan untuk memahami kesatuan
realitas kosmos yang diberitakan agama.Dalam
sistem ilmu pengetahuan Islami, penggunaan
intuisi untuk memperoleh ilmu pengetahuan
atau kebenaran sebenarnya bukanlah barang
baru. Al Ghazli, dalam buku Al-Munqidh min al
Dhalal, bahkan menolak perolehan ilmu lewat
rasio atau rasionalisme dan lewat indra atau
empirisme. Al-Ghazali berkeyakinan bahwa
cara memperoleh ilmu pengetahuan yang

123
sebenarnya adalah melalui cara yang ketiga
yaitu mukasyafah (intuisi).Kalau kita simak
dalam al Qur‟an, maka dapat dilihat bahwa al
Qur‟an mengakui akal, indra maupun intuisi
sebagai alat untuk menangkap fenomena alam
semesta dan sesuatu hal yang terjadi pada diri
manusia.
Dalam pandangan Islam, ayat-ayat Ilahi
yang bercorak verbal dikenal sebagai firman
Ilahi yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya
(disini, Muhammad saw), kemudian dituliskan
berupa Kitab Suci (al-Qur‟an), sedangkan ayat-
ayat yang bersifat non verbal dan tertulis dalam
alam semesta ciptaanNya disebut Sunna–tullah,
yang di lingkungan ilmu pengetahuan dikenal
sebagai Hukum alam (The Law of Nature).
Seperti kita ketahui, alam semesta telah ada
jauh sebelum ada ilmu pengetahuan, dan
kegiatan-kegiatan ilmiah pada hakekatnya
berupaya untuk menemukan hukum-hukumnya
(Sunnatullah) untuk dipahami, dijelaskan,
diolah dan dimanfaatkan dalam kehidupan.

124
Tetapi karena pergeseran waktu dan
perkembangan pemikiran, kini, antara agama
dan sains seakan-akan menjadi terkotak-kotak.
Agama menjadi garapan para agamawan dengan
iman (dan akal budi) sebagai sarana
pemahamannya, sedangkan sains merupakan
ajang para ilmuwan dengan akal budi (tanpa
iman) sebagai sarana utama analisisnya.
Pemisahan dan pengkotakan ini akan
menimbulkan kepincangan-kepincangan yang
merugikan. Agama tanpa dukungan sains
menjadi tidak mengakar pada realitas dan
penalaran, sedang sains yang tidak dilandasi
asas-asas agama dan sikap keagamaan yang
baik akan berkembang menjadi liar dan
menimbulkan dampak merusak. Karena itulah,
timbulnya pemikiran.40
Islamisasi Sains dikalangan para
cendekiawan muslim pada hakekatnya
40
Imam Suprayogo, Lutfi musthofa,”Problem
Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam:
Tela’ah Sosiologi”, Dalam Refletka Jurnal Keislaman
IDIA Prenduan, Vol II/Maret, 2003 hal. 23

125
merupakan keinginan untuk memadukan
mengintegrasikan antara agama dan sains dalam
visi modern, dan memandang sains sebagai
upaya manusia untuk membuka rahasia-rahasia
sunnatullah.Dengan kata lain, secara fungsional
agama dapat diibaratkan sebagai mata,
sedangkan sains sebagai mikroskop atau
teleskop yang dapat memperjelas daya
pengamatan mata biasa. Selain itu agama dapat
membantu sains menjelaskan dan memecahkan
masalah yang sulit dan „tidak masuk
akal‟.Dengan demikian, bahwa ideal apabila
ilmu pengetahuan (sains) dan agama menjadi
satu kesatuan atau saling berinteraksi dan
bersinergi. Hal ini, bisa terwujud dengan catatan
ada keberanian di kalangan ilmuwan untuk
melakukan redefinisi terhadap paradigma ilmu
serta pengembangan metodologi ilmu. Perlu
dibangun suatu paradigma ilmu yang mampu
menaungi dua kenyataan, yaitu kenyataan
empiris dan metaempiris; suatu paradigma yang

126
mengakui bukan hanya indra dan rasio sebagai
penangkap kenyataan, tapi juga intuisi.41

6. Peluang dan Tantangan Islamisasi Ilmu


Pengetahuan (Sains)
Kajian Islamisasi pengetahuan
(Islamization of Knowledge) tak lepas dari
kesadaran beragama masyarakat di tengah
pergumulan sekularisasi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kesadaran ini tumbuh dari potensi
keyakinan akan keunggulan sistem Islam atau
sistem ilmu pengetahuan Barat yang selama ini
menghegemoni dunia, namun tengah
mengalami krisis identitas dan mulai
dipertanyakan kembali keabsahannya.Di tengah
arus kesadaran itu muncul beberapa ahli yang
menawarkan pemikiran untuk mengeksplor
konsep-konsep pengetahuan alternatif yang

41
Imam Suprayogo, Lutfi musthofa,”Problem Relasi
Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam: Tela’ah
Sosiologi”, Dalam Refletka Jurnal Keislaman IDIA
Prenduan, Vol II/Maret, 2003 hal. 23

127
dapat digali langsung dari ajaran Islam, yaitu
alQur‟an dan Hadits. Misalnya, Yusuf
Qardhawi, Muhammad Abdul Mannan, Afzalur
Rahman dll. Di Indonesia seperti, Muhammad
Syafi‟i Antonio, Adiwarman A. Karim dan
Didin Hafidhuddin, dll. Mereka mengemukakan
ide-ide ekonomi alternatif yang bersumber dari
ajaran Islam sebagai koreksi terhadap ekonomi
kontemporer yang dianggap banyak mempunyai
kelemahan mendasar.Sedangkan maksud
peluang disini bisa diartikan ruang (space) dan
terdapat dua pengertian, yaitu pengertian
abstrak berwujud waktu, zaman atau
kesempatan melakukan segala sesuatu, dan
pengertian kongkret tempat yang kasat mata
yang secara lahir bisa dirasakan dalam
melakukan aktivitas apapun.Kemudian etos
keilmuan Islam yang universalistik itu
dilukiskan oleh seorang sejarawan ilmu
pengetahuan modern, Kneller sebagai berikut:
Pertama, sebagian besar temuan-temuan ilmiah
dari seluruh bangsa di dunia, telah diserap oleh

128
Islam sejak 750 M sampai abad pertengahan
terbentang dari Spayol sampai Turkestan.
Dalam hal ini, bangsa Arab (muslim) telah
menyatukan kumpulan ilmu pengetahuan yang
luas dan mengembangkannya; Kedua, ketika
ilmu pengetahuan Arab mundur, dari antara
ketiga peradaban yang mengelilingi Islam-Cina,
India dan Eropa justru Eropa yang mewarisi
sintesanya yang agung. Hal ini dikarenakan,
pada tahun 1000M Eropa pada masa
kemunduran sehingga meminjam ilmu
pengetahuan Islam dengan menerjemahkan
karya-karya Arab ke bahasa Latin.42
Sejalan dengan perkembangan zaman,
ilmu pengetahuan yang dibangun di atas
pondasi kesadaran ilahiyah yang begitu kokoh
itu akhirnya mengalami proses sekularisasi
yaitu paham yang berobsesi ingin memisahkan

42
Imam Suprayogo, Lutfi musthofa,”Problem Relasi
Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam: Tela’ah
Sosiologi”, Dalam Refletka Jurnal Keislaman IDIA
Prenduan, Vol II/Maret, 2003 hal. 23

129
kegiatan ilmu dengan kegiatan agama yang
berujung pada lepasnya semangat berilmu dari
nilai-nilai transenden keagamaan. Hal ini bisa
kita cermati, bahwa setiap ilmuwan yang
terobsesi oleh semangat ilmuwan Barat
(modern), mereka akan membangun ilmu itu
dari fakta-fakta empiris yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan nilai-nilai
spiritualitas. Akhirnya, ilmu yang lahir dan
berkembang adalah ilmu yang bebas dari nilai-
nilai ketuhanan dan berada dalam wilayah
profan. Kemudian dampak yang terlihat, ilmu
pengetahuan dianggap netral (bebas nilai) dan
penggunaannya tidak ada kaitannya dengan
etika. Dampak lebih jauh dari deislamisasi,
weternisasi dan sekulerisasi ini telah melahirkan
dikotomi sistem ilmu dan pendidikan, yaitu
sistem modern yang sekuler dan sistem Islam
yang berdampak menempatkan umat Islam pada
posisi yang marginal dalam segala aspek
kehidupan. Dengan kata lain, pengetahuan

130
modern telah menyebabkan alienasi wahyu dan
akal dalam diri umat Islam.43

7. Islamisasi Sains
Kerangka revolusi sains (ilmu
pengetahuan) menurut Thomas Kuhn
merupakan perkembangan sains dimulai dari
krisis paradigma ilmu normal, diikuti oleh
pengajuan paradigma baru dan periode
pengembangan sains normal berbasis paradigma
baru, kemudian diikuti oleh krisis lagi dan
seterusnya. (Thomas S Khun, 1970). Kerangka
krisis paradigma sebagai perangkat revolusi
atau pembaruan ilmu ini juga harus
diberlakukan atas ilmu-ilmu agama yang
diklaim telah diturunkan dari Quran dan Hadits.
Upaya-upaya membangun kembali sains telah
dicoba dimulai melalui upaya-upaya “islamisasi

43
Imam Suprayogo, Lutfi musthofa,”Problem Relasi
Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam: Tela’ah
Sosiologi”, Dalam Refletka Jurnal Keislaman IDIA
Prenduan, Vol II/Maret, 2003 hal. 23

131
sains” oleh Sir Naquib Alatas pada awal 1970-
an,dan diwujudkan dalam sebuah institusi
pendidikan, yaitu Universitas Islam
Internasional di Kuala Lumpur pada awal tahun
1980-an yang disponsori oleh Organisasi
Konferensi Islam. Kelahiran beberapa UIN dari
eks IAIN di Indonesia sedikit banyak
mencerminkan upaya Islamisasi sains.
Islamisasi sains tidak hanya berarti menyisipkan
ayat-ayat suci Al Quran yang sesuai dengan
konsep tertentu dalam sains. Tetapi terfokus
kepada bagaimana Islam sebagai fundamen nilai
yang mengikat sains (value bound) atau
bagaimana pemahaman sains dapat
meningkatkan kadar iman dan takwa terhadap
Allah. Jadi penulis membuat istilah Islamisasi
Sains ke dalam dua katagori: (1) Islam to Sains;
(2) Sains to Islam.44

44
Imam Suprayogo, Lutfi musthofa,”Problem Relasi
Agama dan Sains di Perguruan Tinggi Islam: Tela’ah
Sosiologi”, Dalam Refletka Jurnal Keislaman IDIA
Prenduan, Vol II/Maret, 2003 hal. 23

132
BAB IV
PANDANGAN ISLAMISASI SAINS
NAQUIB AT-ATTAS DAN RAJI’ AL-
FARUQ

Islamisasi, Ilmu Menurut al-Attas bahwa


tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah
tantangan pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia
Islam oleh peradaban Barat. Islamisasi pengetahuan
berarti mengislamkan atau melakukan penyucian
terhadap sains produk Barat yang selama ini
dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana
pengembangan sistem pendidikan Islam agar diperoleh
sains yang bercorak “khas Islami”.

A. Pandangan Islamisasi sains Naquib-Al-Attas


1. Latar Belakang Lahirnya Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Gagasan awal Islamisasi ilmu
pengetahuan pada saat konferensi dunia pertama
tentang pendidikan muslim di Makkah, pada

133
tahun 1977 yang diprakarsai oleh King Abdul
Aziz University. Ide islamisasi ilmu
pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-
Faruqi dan Muhammad Naquib al-Attas.
Menurut al-attas bahwa tantangan terbesar yang
dihadapi umat Islam adalah tantangan
pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia
islam oleh peradaban barat. Menurut al-Faruqi
bahwa sistem pendidikan islam telah dicetak
dalam sebuah karikatur Barat, dimana sains
barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia
dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan.
Bagi al-Faruqi, pendekatan yang dipakai
adalah dengan jalan menuang kembali seluruh
khazanah sains Barat dalam kerangka Islam,
yaitu penulisan kembali buku-buku teks dan
berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran
islam. Sedangkan menurut al-Attas adalah
dengan jalan pertama-pertama sains Barat harus
dibersihkan dulu dari unsur yang bertentangan
dengan ajaran islam, kemudian merumuskan
dan memadukan konsep-konsep kunci sehingga

134
menghasilkan komposisi yang merangkum
pengetahuan inti.
Islamisasi pengetahuan berarti
mengislamkan atau melakukan penyucian
terhadap sains produk Barat yang selama ini
dikembangkan dan dijadikan acuan dalam
wacana pengembangan sistem pendidikan islam
agar diperoleh sains yang bercorak “khas
Islami”. Menurut Faisal, sains yang harus
meliputi iman, kebaikan dan keadilan manusia,
baik sebagai individu dan sosial. Artinya sains
yang berdasarkan keimanan dengan tujuan
kemaslahatan manusia.
Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai
tujuan mewujudkan kemajuan peradaban yang
islami dan masing-masing juga tidak
menghendaki terpuruknya kondisi umat islam di
tengah-tengah akselerasi perkembangan
kemajuan iptek. Dengan usaha gerakan
islamisasi ilmu pengetahuan ini diharapkan
problem dikotomi keilmuan antara ilmu agama
dan ilmu modern dapat dipadukan dan dapat

135
45
diberikan secara integral dalam proses
pendidikan.

2. Biografi Syed M.Naquib Al-Attas


Syed Muhammad Naquib bin Ali bin
Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas
lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor,
Jawa Barat. Adik kandung dari Syed Hussein
al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi
pada Universitas Malaya, Kuala Lumpur
Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin
Abdullah Al-Atas dan ibunya bernama Syarifah
Raguan al-Idrus. Silsilah resmi keluarga Naquib
alAttas yang terdapat dalam koleksi pribadinya
menunjukkan bahwa beliau merupakan
keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW
dan dari keturunan kaum ningrat berdarah biru.²

45
1Yusuf Amier Feisal, Reorientasi Pendidikan
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 90.
²Jawahir,”Syed M. al-Naquib al-Attas, Pakar
Agama, Pembela Aqidah dan Pemikir Islam yang
dipengaruhi paham orientalis”, dalam panji masyarakat,
no. 603, edisi 21-28 Februari 1989,32.

136
Sejarah pendidikannya dimulai sejak Ia
masih berumur 5 tahun di Johor Baru sampai
akhirnya Ia menjadi seorang ilmuwan yang
berbagai karya-karyanya yang terkenal dalam
berbagai bidang keilmuan, yang jumlahnya
mencapai sekitar 22 buku dengan 30 makalah.
Yang secara global dapat diklasifikasikan
kepada 2 klasifikasi, yaitu karya-karya
kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya
pemikiran lainnya. Ia juga aktif dalam berbagai
organisasi dan menjadi dosen tetap di
Univesitas Malaya serta berbagai jabatan sudah
dialaminya. Salah satunya pada tahun 1968-
1970 Ia menjabat sebagai ketua Departemen
Kesusasteraan dalam pengkajian melayu dan
pada tahun 1970-1973 Ia menjabat dekan
fakultas sastra dan lain sebagainya.
Al-Attas mendirikan sebuah institusi
pendidikan tinggi bernama International
Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini
Al-Attas bersama sejumlah kolega dan

137
mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian
mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta
46
memberikan respons yang kritis terhadap
Peradaban Barat.

3. Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed


M.Naquib Al-Attas
Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai
sebuah makna yang datang ke dalam jiwa
bersamaan dengan datangnya jiwa kepada
makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak
diri.⁴ Dengan kata lain, hadirnya makna ke
dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber
pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada
makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai
penafsirnya.
Islamisasi ilmu tidak lain adalah
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau

³Pidatonya tersebut telah diterbitkan di


Indonesia,lihat Syed M. Al-Naquib al-attas, Islam dalam
sejarah dan kebudayaan melayu. (Bandung: Mizan.1990).
⁴Syed Muhammad Naquiv al-Attas, Tinjauan
Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam,(PulauPinang :
Penerbit Universiti Sains Malaysia,2007)

138
Islamisasi ilmu modern. Yang demikian ini
karena ilmu-ilmu kontemporer dan modernlah
yang dianggap telah mengalami sekularisasi,
karena ilmu ilmu tersebut ditemukan dan
dikembangkan oleh peradaban Barat. Tidak
benar jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut
dijamin universal dan bebas nilai. Syed
Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan,”Ilmu
tidak bersifat netral. Ia bisa disusupi oleh sifat
dan kandungan yang menyerupai ilmu.
Islamisasi ilmu pengetahuan diterangkan
secara jelas oleh Al-Attas, ialah pembebasan
akal dan bahasa manusia, dari magis, mitologis,
animisme, nasionalisme buta, dan penguasaan
sekularisme. Ini bermakna bahwa umat Islam
semestinya memiliki akal dan bahasa yang
terbebas dari pengaruh magis, mitos, animisme,
nasionalisme buta dan sekularisme. Islamisasi
juga membebaskan manusia dari sikap tunduk
kepada keperluan jasmaninya yang cenderung
menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmani
adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal

139
47
muasal manusia. Dengan demikian, islamisasi
tidak lain adalah proses pengembalian kepada
fitrah.⁵
Tujuan Islamisasi menurut Al-Attas
adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu
yang sudah tercemar dan dengan demikian
menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang
muslim diharapkan akan semakin bertambah
keimanannya. Demikian pula, Islamisasi ilmu
akan melahirkan keamanan, kebaikan dan
keadilan bagi umat manusia.
Adapun pemikiran Naquib Al-Attas
meliputi dua, yaitu:
a. Pandangan Tentang Epistimologi Islam
Al-Attas menjelaskan bahwa
kemerosotan ilmu pengetahuan Islam
terutama sekali berhubungan dengan
epistemologi. Problem umat Islam muncul
ketika sains modern diterima di negara-

⁵Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik


Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, 341.

140
negara Muslim modern, di saat kesadaran
epistemologis Muslim amat lemah. Padahal
epistemologi sains modern berpijak pada
landasan pemisahan agama dalam ilmu
pengetahuan. Epistemologi Islam tidak
berangkat dari keraguan (sebagaimana
sains modern barat dikembangkan dengan
berlandaskan kepadanya), melainkan
berangkat dari keyakinan akan adanya
kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang
secara inheren telah terkandung dalam al-
Qur‟an sebagai petunjuk Tuhan. Bagi Al-
Attas sendiri, dalam proses pembalikan
kesadaran epistemologis ini, program
Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari
upaya besar pemecahan masalah
epistimologi ilmu pengetahuan.

b. Pandangan tentang Dewesternisasi dan


Islamisasi
Dewesternisasi adalah proses
memisahkan dan menghilangkan unsur-

141
unsur sekuler dari tubuh pengetahuan yang
akan merubah bentuk-bentuk dan nilainilai
dari pandangan konseptual tentang
pengetahuan seperti yang disajikan saat ini.
Yang pada dasarnya upaya tersebut
merupakan bentuk usaha pemurnian ajaran
Islam dari segala pengaruh barat. Upaya
dewesternisasi ini sendiri tidak akan
mempunyai signifikansi bagi umat Islam
bila tidak dilanjutkan dengan gerakan
Islamisasi. Al-Attas mengoreksi disiplin
ilmu-ilmu modern dan memurnikan ilmu-
ilmu Islam yang telah tercelup dalam
paham-paham sekuler. Perkembangan ilmu
pengetahuan modern yang mengandung
ideologi sekuralisme ini harus
direformulasikan secara konseptual melalui
Islamisasi ilmu pengetahuan agar tidak
terlepas dari nilai-nilai spiritualitas dan
transedensi ketuhanannya.

142
4. Konsepsi Pemikiran Pendidikan Naquib Al-
Attas
a. Gagasan Tentang Manusia

Manusia adalah binatang rasional yang


mengacu kepada nalar. Istilah nalar sendiri
selaras dengan terma „aql. Al-„aql sendiri
pada dasarnya adalah ikatan atau simbol
yang mengandung makna suatu sifat dalam
menyimpulkan objek-objek ilmu
pengetahuan dengan menggunakan sarana
kata-kata. Dan dari sinilah timbul istilah al-
Hayawanun Nathiq. Nathiq selain dimaknai
rasio juga dimaknai sebagai “pembicaraan”
(yakni suatu kekuatan dan kapasitas untuk
merangkai simbol bunyi yang
menghasilkan makna). Disamping
mempunyai rasio, manusia juga
mempunyai fakultas batin yang mampu
merumuskan makna-makna (Dzu Nutq).
Fakultas batin ini disebut-sebut sebagai
hati, yaitu suatu substansi ruhaniyah yang

143
48
dapat memahami dan membedakan
kebenaran dari kepalsuan.
Manusia terdiri dari dua substansi,
yakni jiwa dan raga, yang berwujud badan
dan roh, atau dengan bahasa lain
jasmaniyah dan ruhaniyah. Sebelum
berbentuk jasmani, manusia telah mengikat
janji akan mengakui Allah sebagai
Tuhannya. Perjanjian suci (ikrar
primordial) ini mempunyai konsekuensi
selalu akan mengikuti kehendak Allah
SWT.⁶ Dalam diri manusia sebenarnya ada
potensi untuk beragama, dalam arti
kepatuhan kepada Tuhan. Dan tidak ada
kepatuhan (din) yang sejati tanpa adanya
sikap penyerahan diri (Islam).⁷ Dengan

6
Fazlurrahman, Major Themes of the Quran, Terj.
Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1981), 49.
7
Nurcholis Majid , Islam Doktrin Dan
Peradaban:Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusian Dan Kemodernan, (Jakarta:
yayasan wakaf paradigma, 1992), 41.

144
berlandaskan kepada kepatuhan dan
penyerahan diri, maka manusia akan
mencapai kesadaran bahwa segala potensi
yang dimiliki harus diarahkan sebagai
bentuk penyembahan (ibadah) kepada
Pencipta semesta. Jadi, hidup manusia
didunia ini tidak lain bertujuan untuk
beribadah dan mengabdikan diri
kepadaNya.

b. Gagasan tentang Definisi dan Makna


Pendidikan

Dalam Islam istilah pendidikan


dikenal melalui tiga terma yaitu, tarbiyah,
ta‟dib dan ta‟lim. Al-Attas cenderung lebih
memakai ta‟dib dari pada istilah tarbiyah
maupun ta‟lim. Kata tarbiyah berarti
mengasuh, menanggung, memberi makan,
memelihara, menjadikan tumbuh,
membesarkan dan menjinakkan. Sedangkan
terma ta‟lim, meskipun mempunyai makna

145
yang lebih luas dari tarbiyah, yakni
informasi, nasehat, bimbingan, ajaran dan
49
latihan. Dari pengertian atas dua terma
diatas, menurut Naquib, terma ta‟diblah
yang lebih cocok digunakan dalam
pendidikan Islam. ta‟dib berasal dari kata
adaba yang mempunyai arti mendidik,
kehalusan budi, kebiasaan yang baik,
akhlak, kepantasan, kemanusiaan dan
kasusastran. Dalam struktur konseptual,
terma ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur
pengetahuan („ilm), pengajaran (ta‟lim) dan
penyuluhan yang baik (tarbiyah).⁸
Sebagaimana dalam pandangan Al-
Attas bahwa masalah mendasar dalam
pendidikan Islam selama ini adalah
hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti
luas. Ilmu tidak bisa diajarkan dan
ditularkan kepada anak didik kecuali orang

8
Al-Attas, Naquib S.M. Islam dan Sekuralisme. 279-280

146
tersebut memiliki adab yang tepat terhadap
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
Inti dari pendidikan itu sendiri adalah
pembetukan watak dan akhlak yang mulia.
Dari sini Al-Attas mengartikan makna
pendidikan sebagai suatu proses
penanaman sesuatu ke dalam diri manusia
dan kemudian ditegaskan bahwa sesuatu
yang ditanamkan itu adalah ilmu, dan
tujuan dalam mencari ilmu ini terkandung
dalam konsep ta‟dib.

c. Gagasan tentang Tujuan Pendidikan


Al-Attas beranggapan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah menanamkan
kebajikan dalam “diri manusia” sebagai
individu dan sebagai bagian dari
masyarakat. Secara ideal, Naquib
menghendaki pendidikan Islam mampu
mencetak manusia yang baik secara
universal (al-insan al-kamil).Dalam hal ini,
manusia yang baik yang dimaksud adalah

147
individu yang beradab, bijak, mengenali
dan sadar akan realitas sesuatu, termasuk
posisi Tuhan dalam realitas itu. Suatu
tujuan yang mengarah pada dua demensi
sekaligus yakni, sebagai `abdullah (hamba
Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardh
(wakil Allah di muka bumi). Dengan
harapan yang tinggi, Al-Ataas
menginginkan agar pendidikan Islam dapat
mencetak manusia paripurna, insan kamil
yang bercirikan universalis dalam wawasan
dan ilmu pengetahuan dengan bercermin
kepada ketauladanan Nabi Muhammad
SAW.

Pandangan Al-Attas tentang


masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak
terlepas dari individu-individu yang baik.
Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan
masyarakat yang baik, berarti tugas
pendidikan harus membentuk kepribadian
masing-masing individu secara baik.

148
Karena masyarakat merupakan bagian dari
kumpulan individu-individu. Manusia yang
seimbang pada garis vertikal dan
horizontalnya. Lebih lanjut, menurutnya
pendidikan Islam harus mengacu kepada
aspek moral-transedental (afektif), tanpa
harus meninggalkan aspek kognitif (sensual
logis) dan psikomorik (sensual empirik).

d. Gagasan tentang Sistem Pendidikan Islam

Gagasan Al-Attas tentang sistem


pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan
(terpisah) dari pemaknaannya terhadap
konsep pendidikan. Sistem pendidikan
Islam bagi Al-Attas haruslah mengandung
unsur adab (etika) dan ilmu pengetahuan,
karena inti dari pendidikan itu sendiri
adalah pembetukan watak dan akhlak mulia
manusia yang mampu mengembangkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri khususnya dan bagi umat

149
manusia umumnya. Sistem pendidikan
yang diformulasikannya adalah
mengintegrasikan ilmu dalam sistem
pendidikan Islam, artinya Islam harus
menghadirkan dan mengajarkan dalam
proses pendidikannya tidak hanya ilmu-
ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional,
intelek dan filosofis.

Namun ilmu pengetahuan dan


teknologi harus terlebih dahulu dilandasi
pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Karena secara makro dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam masih mengalami
keterjajahan oleh konsepsi pendidikan
Barat. Ilmu masih dipandang secara
dikotomis, sehingga tidak ada integrasi
ilmu yang seharusnya diwujudkan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang
berwawasan dan bernuansa Islami.

150
e. Gagasan tentang ilmu
Ilmu merupakan suatu sub sistem yang
tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
Islam. Di mana al-Attas menyatakan:
“pendidikan adalah upaya menanamkan
sesuatu secara bertahap ke dalam diri
50
manusia.⁹ Al-Attas mendefinisikan ilmu
dari sudut epistimologi sebagai sampainya
makna sesuatu pada jiwa dan sampainya
jiwa pada makna sesuatu. Makna sesuatu di
sini adalah maknanya yang benar, makna
yang benar dalam konteks ini ditentukan
oleh pandangan Islam tentang hakikat dari
kebendaan sebagaimana yang
diproyeksikan oleh sistem konseptual Al-
Quran.
Al-Attas mengklasifikasi ilmu menjadi
dua bagian: (1) fardu„ain yang
memahaminya pemberian Allah yang

9
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan
Islam, (Jakarta:pistaka al- Husna, 1987),238.

151
mencakup di dalamnya ilmu-ilmu agama
(Alquran, as- sunnah, al-syariah, teologi,
metafisika Islam atau tasawuf dan ilmu
linguistic). (2) fardu kifayah yang
memahami ilmu-ilmu capaian manusia
yang meliputi ilmu-ilmu rasional,
intelektual dan filosofis (ilmu kemanusiaan,
alam, terapan, teknologi).

B. Pandangan Islamisasi sain Raji’ Al-Faruq


1. Biografi Ringkas Ismail Raji al-Faruqi
Setelah menempuh pendidikan Islam
tradisional masa kecil di sekolah masjid, Ismail
Raji al-Faruqi belajar di sekolah Katolik
Perancis, College des freres (St. Joeseph) di
Palestina. Proses dan keberlangsungan
pendidikan al-Faruqi begitu unik disebabkan
lembaga pertamanya notabene lembaga masjid
dilanjutkan pada lembaga Katolik Perancis, di
Palestina. Ia kemudian meneruskan belajar
selama lima tahun di Universitas Amerika di
Beirut tempat ia memperoleh gelar BA-nya

152
pada tahun 1941. Ia lalu masuk dalam
pemerintahan, dan pada umur 24 pada tahun
1945 menjadi gubernur Galilee; arah
51
kehidupannya sudah mantap. Al-Faruqi
mengalami hambatan dalam mengabdi sebagai
Gubernur Galilee karena daerah yang ia bawahi
dijadikan bagian dari negara Israel. Hal itu
terjadi pada tahun 1948; dan al-Faruqi menjadi
salah satu dari ribuan pengungsi Palestina yang
berimigrasi bersama keluarganya ke Lebanon.
Seperti orang Palestina lainnya, ia beralih ke
dunia akademik untuk membangun kembali
hidup dan karirnya. Amerika menjadi tempat
pelatihan ia menyiapkan diri dengan mencapai
gelar master di Indiana dan Harvard dan pada
tahun 1952.17 Kemudian berselang tidak begitu
lama ia meraih gelar doktor (Ph.D) dari
Unversitas Indiana. Ini adalah masa-masa sulit,
selain trauma diasingkan dari negerinya juga
perjuangan untuk terus hidup dan membiayai

51Esposito,Tokoh Kunci ,1-2.

153
pendidikannya.52 Tokoh pembaharu yang
dilahirkan di Jaffa Palestina ini, walaupun
ketika itu sudah mendapat gelar doktor ia masih
berupaya untuk menambah dan memperdalam
ilmu pengetahuan keislaman di Al-Azhar Kairo,
Mesir yang berlangsung selama 4 tahun.53
Sekembalinya dari Kairo ke Amerika Utara, ia
memberi kuliah di McGill, Montreal, Canada,
pada 1959. Ia lalu memulai karir profesionalnya
sebagai guru besar Studi Islam pada Institut
Pusat Riset Islam di Karachi, Pakistan tahun
1961.54 Pada tahun 1963 ia kembali ke
Amerika dan memberi kuliah di Fakultas
Agama University of Chicago dan kemudian ke
program pengkajian Islam di Syracuse
University. Pada tahun 1968 ia pindah lagi ke
Temple University, Philadelphia sebagai guru

17
Ibid., 2
52
Ibid.
53
Azyumardi Azra, et.al, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ikhtiyar
Baru Van Hoeve, tth), 144.
54 Esposito, Tokoh Kunci, 2.
21Azra, Ensiklopedi,144.

154
besar agama dan mendirikan pusat pengkajian
Islam. Ia memberi kuliah di tempat ini sampai
akhir hayatnya tahun 1986.21
Selama kehidupan profesionalnya yang
aktif dan produktif yang berlangsung selama 30
tahun, ia menulis, mengedit atau
menerjemahkan 25 buku; menerbitkan lebih
dari 100 artikel; menjadi guru besar tamu pada
lebih 25 Universitas di Afrika, Eropa, Timur
Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, serta
menjadi anggota dewan redaksi tujuh jurnal
terkemuka.55

2. Konstruksi Pengembaraan Intelektual Ismail


Raji al-Faruqi
Menurut al-Faruqi antara Arabisme dan
Islam merupakan hal yang saling terkait,
menurutnya arabisme menjadi pusat khasanah
dan wacana keislaman yang begitu kuat dan
dominan. Arabisme bisa dipastikan memberikan

55
Esposito, Tokoh Kunci, 2.

155
ruang seluas-luasnya terciptanya keumatan yang
memiliki nilai agung yang terkandung dalam al-
Qur‟an. Arabisme lahir sebagai icon sejarah
peradaban yang melahirkan atau terlahir sebagai
pijakan umah dalam menata hidupnya menjadi
kehidupan yang gemilang dan bermartabat.
Sepenting dan sekuat bagaimanapun
Arabisme menurutnya masih di bawah Islam
sebagai titik sentral setelah ia mengambil peran
lebih dan lebih lagi sebagai cendekiawan aktivis
Islam yang befungsi baik sebagai pemimpin
Muslim maupun akademisi secara nasional
maupun internasional.56
Arabisme menampilkan kemufakatan
bersama tidak hanya karena al-Faruqi
menyebutkan bahwa arabisme terkontruks
sebagai bagian dari sejarah pemberdayaan
manusia karena sumber al-Qur‟an diturunkan di
kota Arab. Arabisme, masih menurut al-Faruqi,
tidak mengenal batas teritorial dan pemikiran

56
Ibid., 3.

156
bangsa Arab sendiri, terhadap bangsa-bangsa
luar sekalipun Arabisme adalah realitas sejarah,
keyakinan, dan budaya Islam, bahwa Tuhan ada
dan bahwa Dia adalah satu.57
Dilihat sepintas tentang Arabisme
menurut al-Faruqi sepertinya ia mengusung dan
mencuatkan kembali nasionalisme dan
sektarianisme ashabiyah. Ini anggapan yang
sangat keliru, al-Faruqi berusaha membangun
tata kelola baru yang lebih dinamis membangun
peradaban ilmu yang menjadi sumber rujukan.
Begitu menggugahnya pandangan-
pandangan Arabisme al-Faruqi yang
menisbatkan bangsa-bangsa terbaik kepada
Arabisme sebagaimana yang dimaksud dalam
al-Qur‟an (insan kāmil).58 Konstruksi makna
tentang Arabisme tersebut tidak terlepas dari
Islam itu sendiri. Sebenarnya Islamlah yang
menjadikannya sebagai bagian sejarah
perkembangan pendidikan Islam.

57
Ibid.
58
Ibid.

157
3. Menjadi Sarjana Intelektual Aktifis
Pengakuan jati diri pada diri al-Faruqi
sebagai muslim, bukan Arabisme, adalah
rangkaian perjalanan menuju aktifis Islam yang
sangat diperhitungkan. Ia bernostalgia: “ada
suatu masa dalam hidup saya … apa yang saya
pedulikan hanyalah membuktikan pada diri saya
bahwa saya bisa mendapatkan pengakuan secara
fisik maupun intelektual dari Barat. Tetapi
begitu saya mendapatkannya, semua jadi tidak
berarti. Saya bertanya pada diri sendiri: siapa
saya? orang Palestina, filsuf, humanis liberal?
Jawaban saya adalah: saya seorang Muslim !”59
Al-Faruqi semakin mematangkan konsep
berpikirnya pada perubahan itu sendiri.
Perubahan orientasi ini terlihat jelas dalam
penyusunan kembali kerangka kerja intelektual
dan juga aktivismenya. Bukubuku seri tentang
Arabisme yang pernah diproyeksikan diganti

59
Ibid., 6.

158
dengan buku-buku dan artikel tentang Islam.
Sekarang tentang Islam dan budaya.
Islam dan masyarakat, Islam dan seni, dan
islamisasi ilmu pengetahuan. 60

4. Memotret Relasi Islam dan Barat


Islam dan Barat selalu tidak memiliki titik
temu dalam perspektif agama. Barat kiblatnya
pada logika dan segalanya bebas nilai,
sedangkan Islam adalah nilai itu sendiri sebagai
inti ajarannya. Maka dari itu, alFaruqi berusaha
mempertemukan modernitas kebaratan dengan
menyatukan konsep kesatuan ilmu, yaitu
pemaknaan islamisasi ilmu dalam kerangka
pemikiran pendidikan Islam.
Kalau hal ini tidak diupayakan, masih
menurut al-Faruqi, umat Islam akan tetap
terpinggirkan oleh pemerintahan nasionalis dan
elite modern. Program-program modernisasi
tanpa dipelajari terlebih dahulu diadopsi dan

60 Ibid.

159
dicangkok dari Barat sehingga mengasingkan
orang-orang muslim dari masa lalunya dan
membuatnya menjadi karikatur orangorang
Barat. Komunitas yang lemah ini makin
diperlemah oleh ketergantungan politik,
ekonomi, militer, dan budaya pada Barat.28
Buktinya mayoritas umat Islam masih amat
terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, kebudayaan, peradaban dan
lain sebagainya.61
Kondisi dan keadaan ini adalah dalam
situasi krisis, bahwa masyarakat muslim telah
dihadapkan pada nilai-nilai modernitas Barat.
Mereka cemas akan kehilangan identitas
mereka, pandangan keagamaan khas mereka,
agar tidak terinfeksi penyakit spiritual Barat.
yang pada umumnya menyedihkan: terpecah
belah dan tergantung, menjadi mangsa empuk
bagi musuh-musuh dari dalam dan luar. Ia

28
Ibid.
61
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012),37.

160
percaya bahwa kebangkitan (tajdid) dan
reformasi (islah),harus segera dilakukan dewasa
ini.62
Keprihatinan faktual dan aktual sepanjang
perjalanannya ini sangat mungkit terentas,
apabila umat Islam meretas keyakinan,
kemauan, kerja keras mengambil bagian
membangun ilmu pengetahuan dengan nilai dan
sendi keIslaman.

5. Konstruksi Kesatuan Ilmu ala Ismail Raji al-


Faruqi
Kontribusi dominan al-Faruqi sejatinya
concern pada masalah pendidikan ke-Islaman,
ia menawarkan spektrum pendidikan melalui
akrobatik “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang
terbingkai dalam lintas pengabdiannya melalui
kuliah-kuliah, tulisan, presentasi, maupun
diskusidiskusi di Barat maupun di Timur
Tengah. Ini sebagai bukti bahwa pendidikan

62
Esposito, Tokoh Kunci, 8-9.

161
menjadi bagian tak terpisahkan dalam “proyek”
islamisai ilmu pengetahun yang dilakukan oleh
al-Faruqi. Pemikiran al-Faruqi dalam ranah
aktivis ke-Islaman ini tidak serta merta muncul
begitu saja, lihatlah, bagaimana awalnya Faruqi
lebih konsentarsi pada konteks ArabismeIslam
daripada aktifis ke-Islaman.
Al-Faruqi sebagaimana tokoh-tokoh
Islam kontemporer mengenalnya semakin resah
terhadap malapetaka yang menimpa dunia Islam
karena akibat dari persepsi terbelahnya ilmu
pengetahuan menjadi dua, yaitu pengetahuan
keislaman dan ilmu pengetahuan sekuler Barat.
Karena itu Islam kehilangan identitas dan
visinya.63
Maka menurut al-Faruqi langkah yang
harus segera direalisasikan adalah memadukan
dua sistem pendidikan di atas. Perpaduan kedua
sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang
tepat untuk menghilangkan keburukan masing-

63
Hasbullah, Gagasan, xviii.

162
masing sistem.64 Muara pemikiran ini menuju
pada konsep islamisasi ilmu pengetahuan.
Pengetahuan, menurut al-Faruqi, harus
65
diislamkan.
Oleh karena itu, islamisasi pengetahuan
harus mengamati sejumlah prinsip-prinsip yang
merupakan essensi Islam (kesatuan ilmu).
Konsep kesatuan ilmu menurut al-Faruqi dapat
dipetakan melalui beberapa prinsip, yaitu
keesaan Allah; kesatuan alam semesta; kesatuan
kebenaran dan pengetahuan; kesatuan hidup;
dan kesatuan umat manusia.66
a.) Keesaan Allah, yaitu bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan
memelihara semesta. Pada konsep ini al-
Faruqi sebagaimana dikutip oleh Abdul
Rozak dan Rosihan Anwar mengupas
tentang hakikat tauhid menjadi 13 bagian,
yaitu; (1) tauhid sebagai initi pengalaman
64
Ismail Raji Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Bandung: PT.
Pustaka Salman ITB, 1982), 23.
65
Ibid., 55.
66
Ibid., 72-84.

163
agama, (2) tauhid sebagai pandangan dunia,
(3) tauhid sebagai inti sari Islam, (4) tauhid
sebagai prinsip sejarah, (5) tauhid sebagai
prinsip pengetahuan, (6) tauhid sebagai
metafisika, (7) tauhid sebagi prinsip etika,
(8) tauhid sebagai prinsip tata sosial, (9)
tauhid sebagai prinsip ummah, (10) tauhid
sebagai prinsip keluarga, (11) tauhid
sebagai prinsip tata politik, (l2) tauhid
sebagai prinsip tata ekonomi, dan (13)
tauhid sebagai prinsip estetika.67
b.) Kesatuan alam semesta, yaitu bahwa
semesta ini secara sunnatullah saling
berkaitan antara yang satu dengan yang
lainnya dalam rangka saling
menyempurnakan.
c.) Kesatuan kebenaran dan kesatuan
pengetahuan. Bahwa kebenaran naqliyah
dan aqliyah tidak bertentangan bahkan
keduanya saling melengkapi.

67
Abdurrozak, et.al, Ilmu Kalam (Bandung : PT. Pustaka Ceria,
2012), 270-272.

164
d.) Kesatuan hidup, merupakan kesatuan
spiritual dan jasmani yang tidak bisa
dipisahkan.
e.) Kesatuan umat manusia, adalah kehendak
tidak terbatas pada diri inividu dalam ranah
kemanusiaan untuk selalu mensejahterakan
umat manusia tanpa memandang etnis.
Dengan perisai keyakinan, keimanan, dan
ketakwan manusia akan terbebas dari
keterbelakanagn. Konsep kesatuan ilmu
atau islamisasi ilmu pengetahuan menurut
al-Faruqi inilah sebagai acuan utama semua
aspek kehidupan. Nalar dan wahyu adalah
cara untuk memahami kehendak Tuhan;
pemahaman akan kehendak Tuhan akan
mungkin dengan nalar, dan diperkuat
dengan wahyu.
f.) Tauhid disampaikan sebagai esensi
pengalaman religius, saripati Islam, prinsip
sejarah, prinsip ilmu pegetahuan, prinsip
etika, prinsip estetika, prinsip ummah,
prinsip keluarga, prinsip politik, serta

165
prinsip tatanan politik, sosial, ekonomi, dan
dunia ini terangkum dalam kalimat yang
sangat pendek ini, lā ilāha illā Allāh; tidak
ada Tuhan selain Allah.68

6. Nilai-nilai Implementatif Kesatuan Ilmu


dalam Bingkai Pemikiran Pendidikan Islam
Pemikiran tentang islamisasi ilmu
pengetahuan telah menimbulkan pro kontra di
kalangan ilmuwan muslim. Di satu sisi banyak
tokoh yang mengapresiasi, seperti Naquib al-
Attas, Ziauddin Sardar, Akbar S. Ahmed, Merry
Wyn Davies, sekaligus mereka mempelopori
tegaknya konsep islamisasi ilmu pengetahuan
sebagai “cambuk” atau dapat dipandang sebagai
satu bentuk kritik atas modernitas dan
merupakan the key factor dalam merealisasikan
semangat revivalisme Islam karena hegemoni
Barat terhadap dunia Islam saat ini.37

68
Espositi, Tokoh Kunci, 10.
37
Hasbullah, Gagasan , xviii

166
Sedangkan tokoh yang berseberangan
dengan al-Faruqi menganggap tidak terlalu
urgen islamisasi ilmu pengetahuan diterapkan,
seperti Fazlurrahman yang kontra pada
pemikiran al-Faruqi menyatakan, bahwa
“yang terpenting bukan menciptakan
pengetahuan yang islami, tapi menciptakan
pemikir besar yang berpikiran positif dan
konstruktif. Pemikiran Fazlurrahman ini masih
kurang dan belum menegaskan kerangka nilai-
nilai ke-Islaman sebagaimana pemikiran al-
Faruqi. Pemikir besar Barat sebenarnya dalam
diskursus ilmu pengetahuan dan teknologi
menegaskan bahwa sains dan teknologi adalah
sarat dengan nilai-nilai positif konstruktif. Tapi,
kenyataannya implikasi kemajuan dari sains dan
teknologi kemajuan Barat melahirkan gurita
keprihatinan bagi umat Islam dalam waktu yang
cukup lama.
Oleh karena itu, bangunan kerangka
epistemologis terhadap prinsip-prinsip
islamisasi ilmu pengetahuan harus

167
membebaskan keterjeratan ilmu pengetahuan
dari sekulerisme. Melalui prinsip ini kompromi
yang terus menerus antara hasil-hasil ilmu
pengetahuan dan interpretasi manusia terhadap
wahyu, menyatu dalam konsensus kebenaran
tunggal (tauhid) yang tidak memberikan
peluang pertentangan.69 Maka bisa dipahami
dari kebenaran tunggal itu pada pemaknaan
kebenaran ilmiah sekaligus kebenaran ilahiyah
menyatu dan bersandar pada kebenaran tauhid.
Menyatu, karena sejatinya tidak ada
pertentangan antara ilmiah (sains dan teknologi)
maupun agama, disebabkan semuanya mengacu
pada kebenaran tunggal tersebut.
Terlepas pro kontra pemikiran al-Faruqi
yang mengemuka, kenyataannya ia masih
banyak memperoleh pengikut dari berbagai
negara. Lantas, untuk mempublikasikan dan
menyebarkan pemikirannya, alFaruqi
mendirikan The Association of Muslim Social

69
Hasbullah, Gagasan, 28-29.

168
Scientists (Himpunan Ilmuwa Sosial Muslim)
pada tahun 1972 dan menjadi presiden
pertamanya sampai tahun 1978. Pada tahun
1980-1982, ia kembali terpilih menjadi presiden
organisasi ini untuk yang kedua kalinya.
Dalam rangka membentangkan
gagasannya secara berkelanjutan tentang
bagaimana islamisasi ilmu pengetahuan itu
dilakukan, al-Faruqi menetapkan lima sasaran
dari rencana kerja islamisasi, yaitu: pertama,
menguasai disiplin-disiplin modern; Kedua,
menguasai khazanah Islam; Ketiga, menentukan
relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang
ilmu pengetahuan modern; Keempat, mencari
cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara
khazanah Islam dengan khazanah Ilmu
pengetahuan modern; Kelima, mengarahkan
pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang
mengarah pada pemenuhan pola rancangan
Tuhan.70

70
Ibid., 98.

169
Terlepas dari pro kontra pada pemikiran
al-Faruqi tentang islamisasi ilmu pengetahuan,
tentu kita harus mengapresiasi dengan
penguasaan disiplin keilmuan modern pada
kerangka nilai keislaman. Karena pengetahun
apabila dilepas menjadi bebas nilai seperti
dikontruks oleh Barat, maka akan melahirkan
apa yang telas disebutkan di atas sebagai gurita
keprihatinan. Maka dalam konteks penguasaan
ilmu modern ini harus ada langkah-langkah dan
upaya untuk mengurai istilah-istilah teknis,
kategori, prinsip, problema dan tema pokok
disiplin ilmu Barat.71 Pada aspek lainnya, umat
Islam perlu menguasai dan menyelami seluk-
beluk relevansi Islam bagi suatu disiplin ilmu
modern serta dapat menganalisanya.72 Seperti
kita bersama ketahui bahwa umat Islam pernah
berkembang begitu pesat pada zamannya.
Contoh ini bisa jadi model analisanya.

71
Ibid., 99.
72
Ibid., 100-103.

170
Selanjutnya menganalisa secara cermat
dan kritis terhadap masing-masing disiplin ilmu
dilihat dari sudut pandang khazanah Islam.
Untuk melaksanakannya, harus didasarkan pada
pengetahuan yang mendalam tentang
permasalahan yang dihadapi umat Islam, baik
kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan
khazanah Islam.
Maka, akan sangat ideal sekali apabila
sesegera mungkin dilakukan survei, analisa
kreatif, dan sintesa guna menghadapi,
memahami dan menemukan persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam yang pada gilirannya
bisa mencetak dan menuangkan kembali
disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam,
seperti menghasilkan karya, buku, untuk tingkat
perguruan tinggi. Dan yang terakhir harus
diupayakan penyebarluasan ilmu-ilmu yang
sudah diislamisasikan73 melalui diskusi,
seminar, lokakarya, tulisan dan lain-lain.

73
Ibid., 111-115.

171
Kesatuan ilmu dalam bingkai
kependidikan Islam adalah upaya
menyandingkan dan menyelaraskan nilai-nilai
keislaman dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tanpa konsep ini umat Islam tetap
tersandera dan termarginalisasi dari
pengambilan peran penting sebagai khalifah di
bumi ini. Umat Islam tetap menjadi subordinat
dari sebuah rekayasa besar kepentingan-
kepentingan Barat.
Maka benar apa yang dikhawatirkan oleh
al-Faruqi dengan malapetaka ilmu pengetahuan,
yang memaknai ilmu pengatahuan adalah bebas
nilai. Oleh karena itu harus ada pemaknaan
yang kuat. terhadap perspektif kesatuan ilmu
tersebut. Kerangka epistemologis prinsip-
prinsip Islamisasi ilmu pengetahuan harus
membebaskan keterjeratan ilmu pengetahuan
dari sekulerisme. Melalui prinsip ini kompromi
akan terus menerus antara hasil-hasil ilmu
pengetahuan dan interpretasi manusia terhadap
wahyu, menyatu dalam konsensus kebenaran

172
tunggal (tauhid) yang tidak memberikan
peluang pertentangan.

173
BAB V
PANDANGAN SAINS ISLAM ZIAUDDIN
SARDAR DAN SYED HOESEIN NASR

Islam adalah agama yang sempurna yang


mengatur semua bidang kehidupan (QS Al-Maidah: 3).
Islam menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah
negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, akhlak dan
kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan
perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan
sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan
dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah
aqidah yang lurus dan ibadah yang benar.74
Sumbangan pemikiran Islam terhadap peradaban
dunia telah diakui secara terbuka, obyektif, dan simpatik
oleh para sarjana Barat. Satu hal yang menarik adalah
para cerdik cendikia tersebut mempunyai pandangan
yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu,

74
Al Wasyi, Abdullah bin Qasim. 2001. Syahrah Ushul
„isyrin, Menyelami Samudra 20 prinsip Hasan Al
Banna. Cetakan Pertama. Solo: Era Intermedia.

174
iman dan amal. Spirit yang mendasari mereka dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, faktor yang
dominan adalah dorongan agama. Hegemoni peradaban
Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik
(scientific worldview) tersebut, menurut Adnin Armas,
membawa dampak yang sangat negatif terhadap
peradaban lainnya, termasuk Islam. Pada tataran
epistemologi, terjadi proses westernisasi yang dikatakan
Syed Naquib al-Attas sebagai “virus” yang terkandung
dalam ilmu pengetahuan Barat modern1sekuler, dan ini
merupakan tantangan terbesar bagi kalangan kaum
muslimin saat ini.
Terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
modern yang sangat pesat, umat Islam menanggapinya
dengan berbagai sikap. Umat Islam yang terpesona oleh
ilmu pengetahuan modern menurut Nasim Butt (1996:
60-64) memberikan reaksi yang beragam yang pada
garis besarnya terbagi dalam tiga kelompok pemikiran.
Pertama, sekelompok Muslim yang menolak ilmu
pengetahuan yang tidak bersumber dari Alquran dan
Sunnah. Kalaupun ada ilmu pengetahuan yang
bersumber dari selain Alquran dan Sunnah seperti ilmu

175
pengetahuan modern, maka status ilmu pengetahuan
tersebut hanyalah fardu kifayah, yakni hanya sebagian
kecil orang saja boleh mempelajarinya.
Kedua, sekelompok Muslim yang berpandangan
bahwa ilmu pengetahuan modern perlu diislamkan
Islamisasi menjadi perlu karena landasan filosofis ilmu
pengetahuan modern tidak berporos pada ajaran tauhid,
padahal ajaran tauhid merupakan tolok ukur keabsahan
perbuatan seorang Muslim, sekaligus juga menjadi titik
pijak bagi setiap perbuatannya, termasuk dalam aktivitas
keilmuan. Oleh karena itu, Islamisasi merupakan solusi
yang tidak bisa dihindarkan. Ketiga, sekelompok Muslim
yang berasumsi bahwa ilmu pengetahuan modern
bersifat universal, bebas nilai, dan lintas-budaya
sehingga ia dapat dicangkokkan pada sistem keagamaan
mana pun, termasuk Islam.75
Dari gambaran ringkas di atas dapat dipahami
beberapa butir pokok masalah untuk didiskusikan dalam
tulisan ini yang akan mencoba mengkaji makna
Islamisasi ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial yang hingga

75
Butt,Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam. Terj.
Oleh Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah

176
sekarang masih menyisakan masalah yang belum
kunjung terselesaikan. Tulisan ini juga akan mengurai
sejarah munculnya gagasan Islamisasi ilmu dan ide-ide
dasar yang perlu disikapi terkait dengan gagasan
Islamisasi ilmu tersebut.

A. Islamisasi Ilmu
Islamisasi berasal dari kata islamization yang
berarti peng-Islaman. Islamisasi merupakan salah
satu istilah yang paling populer dipakai dalam
konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum76. Dalam bahasa arab, istilah islamisasi
ilmu dikenal dengan “Islamiyyat alma‟rifat” dan
dalam bahasa inggris disebut dengan
“Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu
merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai
usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar
etika islam dengan berbagai bidang pemikiran
modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma‟
(kesepakatan) baru bagi umat islam dalam bidang

76
Sirajudin. 2016. Integrasi Agama dan Sains; Islamisasi
Sains di Tengah Arus Modernitas: Jurnal Qolamuna,
Volume 2, Nomor 1.

177
keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah yang
tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.
Menurut Ziauddin Sardar, Islamisasi Ilmu
Pengetahuan adalah suatu usaha untuk
menciptakan ilmu pengetahuan islami yang
berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang terlepas
dari pengaruh ilmu pengetahuan yang ada di
Barat. Sehingga dalam usaha untuk
mengislamkan Ilmu Pengetahuan tidak perlu
mempelajari ilmu pengetahuan modern yang
sedang berkembang di Barat, sebab kalau ini
dilakukan berarti sama saja tidak melakukan
suatu perubahan dan akan sia-sia.
Proses islamisasi ilmu pengetahuan ini
akan bisa dilaksanakan ketika proses ilmu
pengetahuan ini dilaksanakan dengan beberapa
prinsip pokok yang ada pada agama Islam itu
sendiri. Baik itu dalam prinsip pokok tauhid,
syariah, maupun akhlak. Ketiga prinsip pokok
tersebut haruslah menjadi pondasi dasar bagi
ilmu pengetahuan yang ada. Islamisasi ilmu.
pengetahuan ini bisa dilaksanakan dengan dua

178
cara, yakni Pertama, dengan cara mengislamkan
ilmu1ilmu pengetahuan yang ada maupun yang
sedang berkembang. Kedua, dengan cara
77
mengilmukan Islam.

B. Islamisasi Sains
Dalam bahasa Inggris, „ilmu pengetahuan
modern‟ disebut secara ringkas dengan istilah
science yang dimelayukan di Malaysia dengan
istilah sains dan yang diindonesiakan sejak awal
mula sudah diIndonesiakan „ilmu pengetahuan‟
untuk membedakan dari hasil upaya intelektual
manusia yang tidak induktif, empirik dan
indrawi.78 Para pengamat metodologi
mengatakan bahwa sains adalah sistem
pernyataan-pernyataan yang dapat dikaji atau
diuji oleh siapapun dan dimanapun. Para
77
Majid, Abd. 2018. Ilamisasi Ilmu dan Relevansi Sains-
Agama Dalam Al-Quran dan Hadits: Al-Mu‟ashirah,
Vol. 15, No. 1.
78
Soetandyo Wignjosoebroto dalam Perspektif Filosofis
Integrasi Agama dan Sains, M. Zainudin dan M. In‟am
Esha (Editor), Horizon Baru Pengembangan
Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press, 2004),
h. 46.

179
pengamat heuristik akan menyatakan bahwa
sains adalah perkembangan lebih lanjut bakat
manusia untuk menentukan orientasi terhadap
lingkungannya serta menentukan sikap
terhadapnya. Sedangkan sebagian besar ilmuan
mendefinisikan sains sebagai suatu hasil
eksperimentasi, sehingga untuk mencapai suatu
kebenaran harus melalui kesimpulan logis dan
pengamatan empiris melalui metode ilmiah. 79
Kebutuhan sains yang berbeda dengan
Barat adalah keniscayaan bagi umat Islam
mengingat secara sosiologis mereka tinggal di
wilayah geografis dan kultur yang berbeda, selain
itu umat Islam butuh sistem sains untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara
material maupun spiritual. Menurut catatan
sejarah umat Islam pernah memiliki peradaban
Islami, dimana sains berkembang sesuai dengan
nilai dan kebutuhan mereka, jika dahulu umat

79
Zaenal Habib, Islamisasi Sains: Mengembangkan
Integrasi Mendialogkan Perspektif (Malang: UIN
Malang Press, 2007), h. 10.

180
Islam dengan pemikiran dan penafsiran terhadap
ajaran agama Islam mampu memberi dasar
pijakan etis bagi perkembangan sains serta
pemecahan komprehensif yang selaras dengan
sifat dasar manusia, maka sekarang diharapkan
berbagai ide tentang sains Islami dapat membawa
umat Islam untuk kembali memegang kendali
sains yang telah lepas dari kontrol etika dan
agama.
Ide Islamisasi Sains memang telah
menjadi gagasan yang selalu diperbicangkan oleh
para cendekiawan muslim dalam beberapa tahun
terakhir. Hal ini dimaksudkan dalam
menyelesaikan masalah sains modern dengan
dampak negatif yang telah ditunjukkan. Sir
Naquib Al-Attas salah satunya yang telah banyak
memberikan dan mengupayakan gagasannya
mengenai Islamisasi Sains. Penyebutan Sains
dalam Islamisasi Sains menuai beberapa paham
akan perbedaan sains, ilmu, dan pengetahuan.
Menurut Mulyadhi Kartanegara Bahwa kata
science, sebenarnya dapat saja diterjemahkan

181
dengan ilmu. Seperti science, kata ilm dalam
epistemologi Islam, tidak sama dengan
pengetahuan biasa saja, tetapi seperti yang
didefinisikan oleh Ibnu Hazm, ilmu dipahami
sebagai pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”, dan seperti science
dibedakan dengan knowledge, ilmu juga
dibedakan oleh ilmuwan muslim dengan ra‟y
(opini). Akan tetapi, dibarat ilmu dalam
pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang 1
bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan
epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan
validnya, baik pada ilmu-ilmu fisik empiris
maupun non-fisik atau metafisis. 80
Epistomologi Sains Islam akan
menempatkan wahyu sebagi sebuah sarana
mencari sebuah kebenaran pengetahuan dalam
islam. Wahyu atau Al-Quran dapat dijadikan
sebagai sumber ilmu pengetahuan, bahkan Al-
Quran dapat dikonfirmasikan kebenarannya oleh

80
Syahrial. 2017. Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur
Rahman: Lentera, Volume 1, Nomor 1.

182
fenomena alam dan diri manusia. Sains islam
dalam persepektif ini dapat dimaknai sebagai
sains yang premis dasarnya diambil langsung dari
wahyu atau ayat-ayat Al-Quran. Namun tidak
semua ayat bercerita dang menyinggung masalah
alam, sehingga tidak semua ayat
mengkonfirmasikan fenomena alam. Ayat yang
dikonfirmasikan adalah ayat-ayat tentang alam
atau disebut dengan ayat kauniyah.

C. Pandangan Sains Islam Ziauddin Sardar


1. Biografi Ziauddin Sardar
Ziadduin Sardar merupakan seorang
sarjana muslim Pakistan dan menghabiskan
banyak hidupnya untuk tinggal di Inggris81.
Dia adalah seorang sarjana dalam bidang
sains yang sangat menyenangi bidang filsafat.
Pada era 1980-an Ia menjadi melahirkan
sebuah fenomena dalam dunia
intelektualisme Islam dengan mempelopori

81
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual................, v.

183
sebuah gerakan kesarjanaan kaum Muslim di
Barat bersama Parvez Manzoor, Gulzar
Haider, dan Munawar Ahmad Anees.
Gerakan ini merupakan sebuah gerakan yang
memadukan gerakan intelektualisme Islam
terdahulu yang dipelopori Syed Hossei Nasr
dan Isma‟il Raji Al-Faruqi.82
Ziauddin Sardar adalah seorang penulis,
penyiar dan juga seorang kritikus budaya.
Seorang komentator isu-isu kontemporer
yang cukup ternama. Lelaki kelahiran
Pakistan (Punjab) 1951 ini besar di
Hackneyh, kawasan timur London, dan
bermukim di Inggris. Dia adalah seorang
sarjana dalam bidang sains yang sangat
menyenangi filsafat. Dia seorang penulis
yang cukup produktif. Dia telah menerbitkan
lebih dari 40 buku tentang berbagai aspek

82
Khusniti Rofiah, “Pergesaran Hukum Islam dari
Reduksionis ke Sintesis; Telaah Pemikiran Ziauddi
Sardar”, dalam Justicia Islamica, Vol. 8 Nomor 2
(Ponorogo: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Ponorogo, 2016), 53.

184
Islam, sains, studi kebudayaan, postmodernis
dan tema-tema lainnya. Dia juga co-penulis
buku best seller.
Pada gerakannya ini Sardar memfokuskan
perhatiannya kepada penciptaan Ilmu
Kontemporer yang segala sistemnya
didasarkan atas nilai-nilai Islam, atau dapat
pula dikatakan ia ingin menciptakan Ilmu
Pengetahuan Islam Kontemporer. Selain itu ia
juga ingin mengkritik para umat Islam
khususnya para intelektual Muslim akan
penanaman nilai Islam pada Ilmu
Pengetahuan modern hanya dengan
meletakan etika Islam di dalamnya. Dengan
demikian, maka diperlukan suatu usaha untuk
membangun kembali khazanah intelektual
muslimdan ilmu pengetahuan Islam sampai
ke akar-akarnya.83
Sebagai penulis yang cukup aktif, ia
melahirkan berbagai karya dalam berbagai

83
Saifullah Idris, “Reorientasi Ilmu Pengetahuan....., 3.

185
disiplin keilmuan. Terbukti berbagai buku
karya beliau sudah diterbitkan, tercatat bahwa
beliau mempuyai lebih 40 buku dari berbagai
aspek. Mulai dari tema-tema keislaman,
sains, kebudayaan dan lain sebagainya. Selain
sebagai penulis ia juga seorang penyiar dan
kritikus kebudayaan yang cukup ternama84.
Maka dari itu ia mendapatkan julukan sebagai
polymath (orang yang menguasai berbagai
bidang keilmuan) karena jasanya. Sardar juga
menjabat sebagai Director of Centre for
Potnormal Policy and Futures Studies, di
East West University.

2. Latar Belakang Pandangan Ziauddin


Sardar Terhadap Sains Islam
Pada perkembangan ilmu pengetahuan
mengalami berbagai tantangan yang harus
dihadapi dan dipecahkan oleh para
intelektual. Contohnya adalah adanya

84
Rof‟ah, “Pergeseran Hukum Islam dari Reduksionis Ke
Sintesis : Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar.”

186
interaksi antara agama dan sains, yang mana
keduanya menurut Azaki Khoirudin belum
bisa bersatu85. Sehingga dapat dikatakan
bahwa keduanya tidak saling mempedulikan
satu sama lain, mereka berjalan sendiri-
sendiri. Tentunya hal ini bertentangan dengan
anjuran agama Islam yang menginginkan
untuk keduanya berjalan beriringan86.
Menurut Agus Purwanto umat Islam saat
ini khususnya ulama disibukkan dengan
urusan fkih dan bahkan terkadang sering
berbeda pendapat antar ulama. Mereka lalai
terhadap segala isi alam semesta yang sudah
diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.87
Sehingga umat Islam mengalami
kemunduran setelah mengalami puncak
kejayaan. Masa kemandegan ini dialami umat

85
Azaki Khoirudin, “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-Ayat
Semesta,” At-Ta‟dib 12, no. 1 (2017): 195
86
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern; Bagaimana
Mempertemukan Islam dengan Sains Modern
(Bandung: Mizan, 2014), 40
87
Khoirudin, “Sains Islam Berbasis Nalar Ayat-Ayat
Semesta.”

187
Islam pada saat mulai adanya anggapan
bahwa pencapaian perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam sudah cukup.88
Sehingga tidak ada lagi istilah ijtihad atau
pembaharuan dalam pemikiran Islam.
Kemunduran tersebut mengakibatkan
semakin renggangnya umat Islam yang
menanggapi isu-isu yang ada di masyarakat.89
Melihat hal tersebut Sadar merasa
prihatin dan tergugah untuk melakukan upaya
pengembangan ilmu pengetahuan Islam
kontemporer. Sehingga muncul istilah
Islamisasi ilmu pengetahuan yang nanti
Sardar mengkritik gerakan tersebut.90 Dengan
demikian Islamisasi Ilmu pengetahuan
diharapkan mampu membawa umat Islam

88
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (London: Oxford University Press,
1934), 89
89
Rof‟ah, “Pergeseran Hukum Islam dari Reduksionis Ke
Sintesis : Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar.”
90
Ahmad Zainuddin, “Islam dalam Era Post-Modern ;
Melacak Periodesasi Pemikiran Dalam Studi
Keislaman,” Miyah 11, no. 01 (2016): 118–131

188
kepada masa kejayaannya. Beberapa argumen
yang dibangun Sardar dalam memberikan
alasan penting untuk menghasilkan ilmu
pengetahuan yang bernafaskan nilai-nilai
keislaman.91
Pertama, perbedaan peradaban
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat
menghasilkan ilmu pengetahuan yang
berbeda pula yag menjadi ciri khas dari
sebuah peradaban. Sebuah peradaban
menurut Sardar merupakan perwujudan dari
hasil budaya-budaya yang dihasilkan oleh
manusia dan dilakukan oleh manusia itu
sendiri. Dalam sebuah kebudayaan juga
memiliki nilai-nilai yang terkandung
didalamnya. Sedangkan pusat peradaban
diberbagai belahan dunia menjadi penentu
perkembangan masyarakat tersebut.92 Ukuran

91
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.”
92
Mustofa Hilmi, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan:
Pergulatan Pemikiran Cendekiawan Kontemporer,”

189
yang digunakan dalam sebuah peradaban
antara lain adalah kebudayaan, nilai-nilai
luhur, normanorma, aktivitas sosial dan
politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pandangan dunia terhadap sebuah
peradaban dapat dilihat melalui beberapa
aspek yaitu organisasi sosial dan politik,
kebudayaan, nilai dan norma, dan yang
terakhir adalah sains dan teknologi. Sehingga
setiap peradaban mempunyai karakteristik
yang unik yang mempengaruhi pandangan
dunia terhadap sebuah peradaban.93 Tanpa
terkecuali dunia Timur khususnya memiliki
karakteristik yang membedakan dengan
peradaban Barat. Terkadang juga
karakteristik yang dimiliki oleh Barat
bertentangan dengan Islam.

Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan 15,


no. 02 (2020): 251–269.
93
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.”

190
Kedua, ilmu pengetahuan keislaman
dalam perkembangannya memiliki ciri khas
dalam mengekspresikan dirinya. Dalam
perkembanganya ilmu pengetahuan Islam
memiliki identitas keislaman sehingga ia
terwujud dalam epistemologi Islam. Sehingga
ia menghasilkan ilmu pengetahuan Islam
yang sesuai dengan metode yang digunakan
untuk mengetahui isi dari sebuah ilmu.94
Dalam epistemologi Islam sangat
memberikan tekanan secara total pada
pengalaman manusia dalam mempelajari
berbagai ilmu sains. Konsepnya adalah
mengkolaborasikan antara pengamatan
manusia dengan pengalaman spiritual.
Sehingga akal dan wahyu digunakan untuk
memperoleh sebuah ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, episteomologi
Islam memberikan penekanan pada

94
Ziauddin Sardar, “Colonizing the Future: The „other‟
Dimension of Futures Studies,” Futures 25, no. 2
(1993): 179–187.

191
penelusuran ilmu pengetahuan yang mengacu
pada kerangkakerangka nilai-nilai Islami.95
Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh
epistemologi Islam adalah melahirkan tradisi
sains yang memiliki ciri khas yang unik. Hal
ini didukung dengan pengalaman
cendekiawan muslim klasik yang
beranggapan bahwa sains sangat menarik
untuk diselidiki. Dalam penyeledikannya
mereka menggunakan berbagai metode yang
sesuai dengan objek penelitian. Permasalah
ini menurut Sadar merupakan ciri utama dari
sains Islam. Sedangkan ciri khas ilmu
pengetahuan Islam menurut Sadar adalah ia
selalu berpihak pada kebenaran dalam
berbagai disiplin ilmu. Pentingnya bersikap
objektif dalam ilmu pengetahuan untuk
menjaga keotentikan sebuah ilmu
pengetahuan.

95
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.”

192
Sadar juga membandingkan antara
ilmu pengetahuan Barat dengan ilmu
pengetahuan Islam.96
Ketiga, pada ilmu pengetahuan Barat
bersifat destruktif terhadap keberlangsungan
kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri
ilmuan pada masa sekarang menjadikan
penemuan-penemuan ilmuan sebelumnya
untuk menjadi acuan dalam melakukan
penelitiannya. Bahkan antara dunia Barat
dengan dunia Timur terkadang belajar satu
sama lain untuk mengembangkan
keilmuannya di peradaban mereka. Namun
keduanya menurut Sardar memiliki orientasi
yang berbeda, perbedaan tersebut terletak
pada sistem yang dianut dan digunakan dalam
mencapai ilmu pengetahuan. Para ilmuan
Muslim menggunakan akal untuk mencapai
kepada Tuhan.

96
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.

193
Sedangkan ilmuan Barat
menggunakan rasionalitas sebagai bentuk
ilmu pengetahuan dan mengabaikan berbagai
bentuk di luar hal tersebut. Mereka
menganggap sebagai bentuk omong kosong
dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Namun hal tersebut menjadi berbeda ketika
terjadinya transfer ilmu pengetahuan dari
Timur khususnya Islam ke dunia Barat. Ilmu
pengetahuan digunakan untuk berbagai
kebutuhan mulai dari perdagangan, kekuatan
militer, pengembangan industri dan lain
sebagainya. Hal tersebut terkadang
menimbulkan konfik karena adanya
persaingan yang terkadang disertai dengan
kekerasan.97
Keempat, ilmu pengetahuan yang
diproduksi oleh barat belum mampu dalam
memenuhi kebutuhan umat muslim. Tidak
dapat dipungkiri perkembangan llmu

97
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.”

194
pengetahuan barat telah banyak menghasilkan
kekuatan dan kekayaan intelektual. Dari
perkembangan tersebut telah mempermudah
kehidupan manusia, akan tetapi yang menjadi
masalah dan di kritik Sardar adalah ilmuan
Barat belum mampu memenuhi kebutuhan
dan pandangan dunia secara spesifk. Sardar
menganggap bahwa kemajuan tersebut hanya
untuk membangun citra peradaban Barat.98
Dari berbagai argumen tersebut, menurut
Saifullah Idris perlu adanya pengembangan
khasanah keilmuan dan pengembangan
keilmuan Islam sampai kepada dasarnya.
Sehingga hal ini sejalan dengan keprihatinan
Sardar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan Islam.

98
Sardar, “How Do You Know?: Reading Ziauddin Sardar
on Islam, Science and Cultural Relations.”

195
3. Sains Islam Menurut Pandangan
Ziauddin Sardar
Ide islamisasi pengetahuan pada
hakikatnya berdiri atas ansumsi bahwa ilmu
pengetahuan tidaklah bebas nilai, akan tetapi
berisi nilai-nilai yang merefleksikan
masyarakat saat ini.99 Pada hal ini Sardar
meyatakan bahwa:
“Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan
dari pandangan dunia dan sistem
keyakinan. Daripada “meng-islamkan”
disiplin-disiplin yang telah berkembang
dalam miliu sosial, etik, dan kultural
Barat, kaum cendikiawan Muslim lebih
baik mengarahkan energy mereka untuk
menciptakan paradigma-paradigma
Islam, karena dengan itulah tugas untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen

99
Saifullah Idris, “Reorientasi Ilmu .............., 10.

196
masyarakat-masyarakat muslim bisa
dilaksanakan.” 100
Dari pernyataan Sardar tersebut, dapat
dilihat bahwa upaya akan islamisasi
pengetahuan hanyalah sebuah usaha yang
tidak dapat menyelamatkan ilmu ke
paradigma yang sesungguhnya melainkan
hanya menambah keterpurukan Islam sebagai
sebuah epistimologi yang tidak dapat
berkembang. Karena Islamisasi Pengetahuan
hanya menjadikan semua yang berkembang
menjadi sempit karena melarikan segala
sesuatu ke teks, dalam artian Islamisasi
Pengetahuan merupakan sebuah gerakan
intelektual dari konteks ke teks.101
Setelah melihat keganjalan atas upaya
Islamisasi Pengetahuan ini, Sardar
memberikan solusi dengan mengatakan
bahwa Islamisasi Pengetahuan harus berdiri
dan berasal dari epistemologi Islam.

100
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual............., 35
101
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu................, 1.

197
Sehingga, ilmu pengetahuan ini dapat
menghasilkan sebuah bangunan ilmu
pengetahuan yang berpondasikan pilar-pilar
ajaran Islam. Sardar menyatakan bahwa
pembuatan atau penciptaan ilmu pengetahuan
yang berpondasikan nilai-nilai Islam (ilmu
pengetahuan Islam) sangat penting sebagai
sebuah pertemuannya dengan ilmu
pengetahuan Barat.
Islam telah menjelaskan dirinya
sebagai sebuah sistem yang bukan hanya
sekedar agama (Hubungan Umat dengan
Tuhannya), melainkan juga sebuah sistem
politik dan metodologi organisasi sosial.
Pengilmuwan Islam disini merupakan sebuah
proses dan metodologi yang di dalamnya
dimasukkan semangat nilai-nilai Islam,
menjunjung tinggi pandangan dunia Islam,
dan menjadikan Ilmu sebagai sebuah aplikasi
dari Islam. Maka dari itu pengilmuwan yang
berarti menjadikan Islam sebagai ilmu,
memiliki tujuan untuk mencapai Islam yang

198
tidak hanya rahmatan li al-muslimiinn saja
melainkan kepada sebuah universalitas klaim
Islam sebagai rahmatan li al-„alamiin. 102
Untuk merealisasikan hal ini, Sardar
mengadakan sebuah seminar bersama para
intelektual Muslim dan Barat dengan tema
“Islam and the West”. Seminar ini
menghasilkan sebuah kesepakatan
bahwasanya relasi konte,porer dari
epistemologi Islam harus berpondasikan
kerangka nilai yang merupkan sebuah
karakteristik dasar Islam. Terdapat 10 konsep
yang diidentifikasi dalam seminar tersebut;
Tauhid, Khilaafah, „Ibaadah, „Ilm, Halaal
dan Haraam, „Adl, Zulm (tirani), Istislaah
(kepentingan umum), dan Dhiya
(pemborosan). 103
Kesepuluh karakteristik memiliki
kesinambungan satu sama lain dan tidak

102
Ismail Thoyib dan Mukhlis, “Dari Islamisasi Menuju
....................., 84
103
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual…........, 126.

199
dapat dihilangkan atau berdiri sendiri.
Diawali dengan konsep tauhid (keesaan
Tuhan) yang merupakan sebuah nilai all-
embracing yang ditegaskan menjadi kesatuan
ummat manusia, kesatuan antara manusia dan
alam, dan kesatuan antara ilmu pengetahuan
dan nilai. Dari konsep ini munculah konsep
khilaafah yang berarti manusia tidaklah
independen dari Tuhan dan
bertanggungjawab kepada Tuhan, hal ini
menjadikan manusia tidak memiliki hak
eksklusif melainkan bertanggungjawab men
jaga keselarasan segala sesuatu yang ada di
bumi. Tangungjawab ini diwujudkan dengan
bentuk ibadah sebagai faktor yang akan
mengintegrasiakan kegiatan ilmiah dengan
sistem nilai Islam. Masuklah „ilm sebagai
nilai yang ada dalam kerangka Islam dan
merupakan salah satu bentuk dari ibadah.
Hubungan antara „ilm dan ibadah
mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan
tidak dapat dicari jika secara terbuka

200
melanggar peintah Allah. Datanglah
setelahnya enam karakteristik yang saling
bertolak belakang, ini merupakan nilai yang
dihasilkan dari „ilm tersebut. Dari segi positif
terdapat Halal, „Adl, dan Istislah. Kemudian
datang berikutnya nilai dari segi negatif;
Haram, Zulm, dan Dhiya.104
Dari teori Islam ini Sardar
menginginkan sebuah sains baik itu dari
Barat maupun Islam dapat memberikan
kontribusi terhadap keberlangsungan alam
dan kesejahteraan manusia. Artinya, sains
dapat memberikan manfaat yang besar
dengan memanusiakan manusi dan
mengalamkan alam dan bukannya sebaliknya.
Maka dari itu, konsep tauhid merupakan
dasar ilmu yang paling penting agar dapat
terwujud nilai-nilai positif dari ilmu.105

104
Masthuriyah Sa‟dan, “Islamic Science Nature..........,
245.
105
Masthuriyah Sa‟dan, “Islamic Science Nature...........,
245.

201
Sardar memandang bahwa sains
sebagai serangkaian aktivitas manusia. Akan
tetapi pandangan yang seperti ini menurut
Sardar banyak orang yang menolaknya,
karena bagi sebagian orang sains adalah
semata-mata sebuah metode tepatnya sebuah
metodologi objektif untuk mengukuhkan
fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Sebagian
orang yang lain mengatakan bahwa sains
adalah pengetahuan publik yang semakin
besar dan koheren akibat penerapan
metododologi yang kumulatif. Sardar sendiri
memandang sains sebagai kombinasi yang
kompleks dari ketiga buah pandangan-
pandangan di atas. Artinya, aspek sains
seharusnya berorientasi kepada nilai-nilai dan
seluruh sains harus merupakan aktivitas
kultural yakni sebuah aktivitas yang dibentuk
oleh pandangan duniawi sang pelaku sains.106

106
Ziauddin Sardar, Sains, Teknologi, dan Pembangunan di
Dunia Islam, h. 17.

202
Terdapat beranekaragam pendapat
cendekiawan Muslim tentang sains Islam, dan
Sardar menyajikan sains Islam dalam bentuk
berkesesuain dengan al-Qur‟an. Apa yang
telah Sardar gagas tentang sains Islam dengan
orang-orang yang sealiran dengannya dalam
mengemukakan ide sains dengan berdasar
pada al-Qur‟an dan Hadits disebut dengan
kelompok Bucailis; yakni kelompok sains
Islam yang sama idenya dengan Sardar,
dengan berdasarkan pada Murice Bucaile-
seorang dokter ahli embriologi
berkebangsaan Prancis.107
Sardar mendefinisikan sains sebagai
sarana pemecah masalah (problem
108
solving), karena tanpa sains suatu
peradaban tidak akan dapat mempertahankan
struktur-struktur politik dan sosial atau untuk
107
Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi
Agama dan Sains: Analisis Sains Islam al-Attas dan
Mehdi Golshani, (Yogyakarta: IRCiSod, 2012), h. 21-
22.
108
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, terj. Rahmani
Astuti, (Bandung: Pustaka, 1987), h.. 161

203
memenuhi kebutuhankebutuhan dasar rakyat
dan budayanya. Begitu besar pengaruh sains
sehingga sains bisa membentuk lingkungan
fisik, intelektual dan budaya serta memajukan
cara produksi ekonomis yang dipilih oleh
suatu peradaban. Pendek kata, menurut
Sardar, sains adalah sarana untuk mencetak
suatu peradaban.
Maksud dari sains Islam adalah sains
yang proses-proses dan
metodologimetodologinya memasukkan
semangat nilai-nilai Islam, menjunjung tinggi
citacita dari pandangan dunia Islam seperti
persaudaraan, keadilan sosial, pemanfaatan
sumber daya alam secukupnya, mengingatkan
manusia akan kedudukannya sebagai khalifah
Tuhan dan meningkatkan kesadaran ruhani
dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat Muslim. Sains Islam tidak lebih

204
adalah merupakan aplikasi nilai-nilai,
kebudayaan dan tradisi intelektual Islam.109
Secara sederhana, yang diinginkan
Sardar dalam teori sains Islam adalah
bagaimana sains baik itu Barat maupun Islam
memberikan konstribusi terhadap
keberlangsungan alam dan kesejahteraan
manusia. Artinya, sains tersebut
memanusiakan manusia dan mengalamkan
alam, bukannya menjadikan sains sebagai
ancaman keberlangungan hidup alam dan
manusia. Oleh sebab itu, Sardar menekankan
pentingnya tauhid (mengesakan Allah) baik
dalam agama maupun sains.

D. Pandangan Sains Islam Syed Hossen Nasr


Sayyed Nasr Nasr lahir di Iran 1932.
Ketika usinya 12 tahun, dia dikirmkan ke
Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan di
sana. Ia lulus dari sekolah menengah pada 1950

109
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, h. 176.

205
dan menjadi perwakilan wisudawan saat
memberikan sambutan perpisahan kelas serta
memenagkan Wyclife Award karena semua
prestasi luar biasa yang ia torehkan semasa
sekolah.110
Syed Hussein Nashr adalah di antara
pemikir sains Islam yang mengkritik tajam
paradigma sains Barat modern melalui beberapa
karya ilmiah dan ceramah, seperti buku the
Encounter of Man and Nature (1968), buku Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(1968), buku Islam and the Plight of Modern
Man (1975), dan buku Religion and the Order of
Nature (1996). Sebagaimana yang dilakukan
Ziauddin Sardar, Syed Naquib al-Attas, dan
Mehdi Gholsani, kritik Nashr secara umum
mengarah pada pandangan dunia sekular,
materialistik dan mekanisitik. Nashr mengritik
sains Barat dengan merujuk pada dampak

110
Bistara, Raha. 2020. Islam dan Sains Menurut Sayyed
Nasr: Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi
Islam dan Sains, Vol. 2

206
negatifnya, terutama dianggap sebagai pemicu
krisis spiritualitas, kemanusiaan, dan krisis
lingkungan serta apa yang disebutnya sebagai
“keterkungkungan”, “kesempitan” dan
“keterbatasan” sains Barat.111 Kritik terhadap
paradigma sekuleristik sains Barat sebenarnya
muncul juga di kalangan pemikir Barat. Salah
satu tokoh yang sangat fasih dalam
mengargumentasikan kritik tersebut adalah
Frithjof Capra terutama dalam buku, The Turning
Point : Science, Societey and the Rising Culture.
Sebagian orang Barat menyadari bahwa ada
penyakit dalam peradaban modern. Mereka
melihat bahwa peradabannya telah
menghanguskan fithrah manusia, menghadang
ketentraman jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Manusia tentu saja tidak bisa mengangkat
dirinya secara spiritual dengan begitu saja. Ia
harus dibangunkan dari mimpi buruknya oleh

111
Syamsuddin, Ach. Maimun. 2012. Integrasi
Multidimensi Agama & Sains, Yogyakarta: IRCiSoD

207
seseorang yang telah sadar. Karena itu manusia
memerlukan petunjuk Tuhan dan harus
mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat
menggunakan seluruh potensi yang dimiliki dan
agar ia mampu mengatasi rintangan dalam
menggunakan akalnya.112
Pandangan Nashr mengenai pengetahuan
bisa kita lihat dari konsepnya mengenai
tradisionalisme Islam, namun bukan
tradisionalisme Islam yang dikenal orang
sebelumnya. Sebab, bagi Nashr, selama ini
gerakan-gerakan fundamentalis atau revivalis
Islam tak lebih merupakan dikotomi
tradisionalisme-modernisme, keberadaannya
justru menjadi terlalu radikal dan terlalu
mengarah kepada misi politis dari pada nilai-nilai
keagamaan. Sekalipun gerakan-gerakan seperti
itu, atas nama pembaharuan-pembaharuan

112
Yakub, Ikhsan. 2013, “Manusia Modern Dalam
Pandangan Sayyed Hossein Nasr”,
http://ikhsanyaqub.blogspot.co.id/2013/07/manusia-
modern-dalam-pandangan-sayyed.html, 30 Juli 2013,
diakses 1 Februari 2017 pkl. 20.20 WIB.

208
tradisional Islam. Pemahaman masyarakat yang
kurang mengenai tradisionalisme Islam ataupun
fundamentalisme Islam menyebabkan kedua hal
ini dianggap sama. Padahal perbedaan keduanya
bukan hanya dari kandungannya saja tetapi juga
dari kegiatan yang dilakukan. Gerakan
tradisonalisme Islam yang ditawarkan oleh
Nashr, merupakan gerakan untuk mengajak
kembali ke „akar tradisi‟; yang merupakan
“Kebenaran dan Sumber asal segala sesuatu”,
dengan mencoba menghubungkan antara
sekuleritas Barat dengan dimensi ke-Ilahiah-an
yang bersumber pada wahyu agama.
Menurut Nashr, metodologi ilmu
pengetahuan dalam Islam didasarkan atas sebuah
epistemologi yang secara fundamental berbeda
dengan epistemologi yang dominan dalam ilmu
pengetahuan Barat modern. Baginya, keimanan
kepada wahyu al-Quran akan menyingkap semua
kemungkinan yang terdapat pada akal manusia.
Ketundukan kepada wahyu, pada setiap tingkat

209
membuat akal mampu untuk mengaktualisasikan
kemungkinan ini.
Pengembangan akal muslim didasarkan
atas suatu kesadaran yang utuh tentang prinsip
ini. Dalam perspektif ini, dalam memecahkan
masalah-masalah filosofis dan ilmiahnya. Oleh
karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian
jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari
metodologi pengetahuan. Penyucian jiwa
menjadi perhatian utama, untuk proteksi dan
penggunaan akal manusia dengan benar. Suasana
religius dan spiritual yang tercipta dari al-Quran
sekaligus menghilangkan rintangan bagi
pertumbuhan akal yang wajar dan optimal,
dengan cara yang benar. Intelek di sini,
digunakan dalam pengertian asal, intellectus
(Latin) atau nous (Yunani). Dalam bahasa al-
Quran disebut „aql yang berarti mengikat
manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis,
intellect atau „aql mempunyai makna yang sama
dengan agama karena agama mengikat manusia
kepada Tuhan. Pengertian itu, dalam paham

210
modern, menurut Nashr dalam buku Knowledge
and The Sacred, telah mengalami reduksi
menjadi hanya reasoning semata-mata.113
Konsep sains Islami dalam pengertian
apapun juga pertama kali dikenalkan oleh Nasr
ketika hanya ada sedikit itupun jika ada muslim
yang serius tertarik dalam topik-topik tersebut.
Karena itulah dalam hal ini Nasr bisa dibilang
seorang pionir yang selalu menegaskan bahwa
sains dalam pandangan Islam, baik pada masa
keemasan peradaban Arab-Islam maupun dewasa
ini, memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda
dengan sains dalam pandangan Barat. Sebagai
seoarang muslim yang taat Nasr dalam
penelahannya terhadap sains Islami tentu tidak
terlepas dari ajaran agamanya yakni Islam
dengan cara-cara yang filosofis dan melalui
perenungan yang panjang, sehingga ia berani

113
Kurniawan, Wawan. 2012, “Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr Tentang Epistemologi”,
https://aweygaul.wordpress.com/2012/08/09/pemikira
n-seyyedhossein-nasr-tentang-epistemologi/, diakses
25 Januari 2017 pkl. 21.00 WIB

211
menyuarakan atas adanya perbedaan antara sains
Islam dan sains Barat.114
Nasr menjelaskan filosofi dan asal usul
sains Islami menurut pandangannya sendiri. Ia
menyadari bahwa sebagai pemikir muslim yang
menentang sains modern sebenarnya melewati
inti penting dari permasalahan tersebut. Untuk
itu, ia membagi para pemikir muslim menjadi
dua kelompok utama berikut:
1. Kaum modernis, yang pada dasarnya sangat
apologis. Pendukung aliran ini menganggap
sains adalah hal yang niscaya karena
memberi kekuatan dan memperkuat otoritas
sebuah negara dan tidak menemukan
kesalahan yang serius dalam sains Barat. Para
kelompok ini jga menganggap sains Barat
sebagai warisan dari peradaban Islam.

114
Guessoum, Nidhal. 2014. Islam‟s Quantum Question
Reconciling Muslim Tradision and Modern Science ,
Terj, Muafur, Islam dan Sains Modern, Bandung:
Mizan.

212
2. Kaum etis (eticist), yang menolak berbagai
kecatatan etika yang ada pada sains Barat
yang menyerukan Islamisasi sains.
Dengan demikian Nasr menyakini bahwa
pemikir muslim yang paling modern sekalipun
tidak mengidentifikasi dasar-dasar metafisika dan
metodologis dari sains modern yang mestinya
dipersoalkan, yakni keyakinan teguhnya pada
materialisme dan naturalisme serta penolaknnya
terhadap peran bahkan keberadaan dimensi
spiritual dari manusia dan alam semesta. Karena
sains muncul di bawah keadaan khusus di Barat
dengan pandangan filosofis tertentu tentang
realitas alam. Nasr menyakini bahwa deskripsi-
deskripsi naturalistic mengenai alam semesta
telah menimbulkan berbagai perubahan besar dari
ditinggalnya ibadah dan spriritualitas di kalangan
muslim generasi muda hingga dampak negatif
sains Barat yang demikian menyeluruh terhadap
masyarkat muslim.115

115
Selvia, Santi. 2018. Relasi Agama dan Sains Menurut
Sayyeid Nasr Nasr dan Ian G Barbaour, Yogyakarta:

213
Mengenai sains Islami, Nasr juga
memberikan ulasan yang menarik dalam
desertasinya yang dapat kita katakana sebagai
kekhasan dari sains Islami yang dimaksud oleh
Nasr, berikut kutipannya;
“There is a deep intuition in Islam, and in
fact in most Oriental doctrines, that the aim of
knowledge is not the discovery of an unknow
which list in an unexplored domain outside the
being of the seeker od knowledge or beyond the
“boundary of the know”. But of retrun to the
origin of all things wich lies in the heart of man
as well as within “every atom of the Universe”.
To have a knowledge of things is to know from
where they originate, and therefore where they
ultimately retrun. Muslim aouthors, who have
been generally Imbued whit the central Islamic
doctrine of unity. Have been fully aware of this
basic intuition of the ultimate return of all things
to their origin and the integrasition of

Jurnal Proseding Konferensi Integrasi Interkonskesi


Islam dan Sains, Volume 1

214
multiplicity into unity. That is whey they that
belived that the retrun of man to God by means of
knowledge and purification, which is the reverse
tendense of cosmic manistefation conform to the
nature of things and their entelechy. Creation is
the bringing into being of multiplicity from unity,
while gnosis is the complemtary phase of the
integration of the particular in the universal”.
Kutipan di atas yang pada intinya berati
bahwa ada intuisi terdalam dalam Islam ada pada
faktanya dalam doktrin ketimuran bahwa tujuan
utama pengetahuan tidak hanya mengeskpor
sesuatu yang asalnya tidak diketahui, lalu
kemudian ditemukan. Melainka juga diketahui
bagaimana kembalinya mahluk dari keragaman
menuju pada penyatuan kepada sumber yang
azali. Untuk itu pengetahun tidak hanya
memberikan dampak pada hal yang bersifat
materi saja, melainkan juga harus memberikan
dampak pada yang bersifat immateri yang ada di
dalam hatinya.

215
Menurut (Hoodbhoy, 1996) Begitu
semangatnya Nasr menganjurkan visinya yang
menarik tentang sains Islami baru, yang
dijauhkan dari matriks sekular humanistik dari
sains modern karena era ini (sains modern)
disebut era materialistik, mekanistik, dan
atomistik. Karena itu Nasr mengatakan
kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala.
Nasr mengkritik apa yang disebutnya sebagai
sains barat karena menyebabkan kehancuran
manusia dan alam.116
Nasr Nasr berusaha mengemukakan dan
memberikan suatu pandangan yang menyeluruh
tentang kedudukan sains Islam dalam sejarah dan
di masa yang akan datang. Nasr berpendapat
bahwa sains Islam mempunyai suatu identitas
tersendiri dan berusaha meninjolkan ciri
islaminya yang unik. Tetapi, Nasr membuat
kesalahan karena teralalu menekankan

116
Dahlan. 2019. Relasi Sains Modern dan Sains Islam;
suatau Upaya dalam Pencarian Paradigma Baru. Jurnal
Volume 12, Nomor 2.

216
aspekaspek matafisika sains Islam sehingga
mengabaikan aspek-aspek kuantitatifnya. Lebih-
lebih ikatan Nasr dengan sufisme mendorongnya
untuk memusatkan perhatian pada bidang-bidang
seperti Astrologi, alkimia, dan ilmu ghaib yang
memang ada tetapi tidak terbayangkan akan
pernah dianggap sebagai bagian dari tradisi sains
Islam.
Sesungguhnya, sains Islam, sebagaimana
yang dibukakan oleh sejarahnya, jelas-jelas
berusaha untuk menjujung dan mengembangkan
nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban
Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha
untuk mengesampingkan semua masalah yang
menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains
Islam berasal dari penekanannya pada kesatuan
agama dengan sains, pengetahuan dan nilainilai,
fisika dan metafisika. Penekannya pada
keragaman metoda dan penggunaan sarana-
sarana yang benar untuk meraih cita-cita yang
benar itulah yang memberikan gaya yang khas
pada sains Islam.

217
Nasr melihat manifestasi dari
kenatulanannya bahwa sains islam bersifat
independen dan berbeda dengan kerangka filsafat
sains Barat (modern) harus selalu diingat agar
mampu mengapresiasikan scara utuh pentingnya
sains islam untuk islam sebagai agama dan untuk
peradaban islam. Sains islam mepunyai makna
Spiritual sekaligus Intelektual, dimana sains
islam bukan hanya penting menurut sudut
pandang sains yang dipahami oleh bara dewasa
ini.117

117
Kafi, Shohibul. Sains Islam Dan Modernitas (Telaah
Pemikiran Seyyed Hossein nasr.

218
BAB VI
DISKURSUS ISLAM DAN SAINS DI
INDONESIA: PASANG SURUT
DISKURSUS ISLAM DA SAINS,
ITEGRALISME AL-MAHEDI MAHZAR

A. Kajian Teorotis Islam dan sains atau Diskursus


Islam dan sains
1
Diskursus mengenai Islam, terdapat beberapa
istilah dalam kamus Tentang akar kata islam. Secara
umum kata ini mempunyai dua kelompok Makna
dasar yaitu, Selamat ,bebas, terhindar, terlepas dari,
sembuh, meninggal. Bias juga berarti: tunduk,
patuh, pasrah, menerima, kedua Kelompok makna
dasar ini saling berkaitan dan tidak terpisah satu
sama lain.
118
slam adalah agama samawi yang diturunkan
oleh Allah untuk umat manusia. Tujuan

118
Ibnu Mandzur. 1414 H. Lisan Al-„Arob. Beirut: Daar asShodir.
1
Baso Hasyim, (2013). Islam dan ilmu pengetahuan . jurnal dakwah
tabligh, vol.14 no1.

219
diturunkannya Islam sebagai agama dan jalan hidup
adalah menebar perdamaian di muka bumi. Secara
etimologi kata Islam berasal dari bahasa Arab, dari
kata salima yang artinya lolos, aman, selamat, tetap
utuh. Kemudian kata tersebut dibentuk menjadi kata
aslama artinya patuh, menyerahkan diri, taat,
tunduk. Dari kata aslama dibentuk menjadi Islam
(isim masdar) artinya sesuai dengan kata asalnya
yaitu patuh, taat, bakti, damai, berserah diri. Islam
juga berarti al-istaslama yakni mencari keselamatan
atau berserah diri, bererti pula alidz‟an yaitu
mengalahkan, mematuhi atau tunduk, dan berarti
pula al-inqiyad artinya mengikatkan diri (Mandzur,
1414 H).
2
Adapun Islam secara terminologi adalah
agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad dan umatnya dengan tujuan menebar
perdamaian di dunia. Wahyu yang diturunkan oleh

2
Misbahuddin J. 2011. Konsep Al-Islam Dalam Al-Quran. Jurnal Al-
Ulum, Vol. 11, No. 2.
3
Al-Asfahani, A. 2008. Mu‟jam Mufradat Alfadh al-Quran. Beirut-
Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Retrieved November 1, 2019,
from
https://www.onesearch.id/Record/IOS3325.slims-7557

220
Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada
segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap
persada. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan
yang mengatur segala kehidupan dan penghidupan
asasi manusia dalam berbagai hubungan: dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya (Jamal,
2011)
3
Sains dalam pengertian umum adalah ilmu.
kemudian ilmu sendiri didefinisikan di dalam
Mu‟jam Mufradat Alfadz al-Quran (al-Asfahani,
2008).
119
Perbedaan antara keduanya dapat dibedakan
dengan melihat sifat, proses, metode dan objek
kajiannya. Ilmu pengetahuan (scientific konwledge)
yang bersifat ilmiah, yakni pengetahuan yang
dihasilkan melalui proses penelitian, pembuktian,
pengujian dan percobaaan secara mendalam,
sistematik, objektif, dan komperhensif dengan
menggunakan berbagai metode dan pendekatan
sebagaimana yang terdapat dalam metode dan

119
Nata, A. 2011. Studi Islam Komperhensif. Jakarta: Prenada Group

221
pendekatan penelitian. Ilmu pengetahuan yang
bersifat akademik dan ilmiah. Adapun pengetahuan
hanyalah pengetahuan pada umumnya yang tidak
bersifat akademik dan tidak bersifat ilmiah (Nata,
2011).
Sains diartikan sebagai ilmu pengetahuan,
baik kealaman atau sosial, hal demikian tidak akan
terlepas dari Islam sebagai agama dan sistem hidup.
Islam dan sains menjadi dua syarat yang membentuk
peradaban masyarakat wasathiyah modernis. Sains
dengan pengertian khusus, sebagai ilmu alam,
sebagaimana telah disebutkan di dalam al-Quran
bahwa fenomenafenomena alam yang terjadi
sekarang merupakan bukti bahwa sains dan Islam
dapat diintegrasikan yang akan menghasilkan
kedekatan terhadap Allah dan membuat peradaban
baru yang wasathiyah modernis.
Allah swt. Melalui ayat yang pertama kali
diturunkan ,yaitu surah al-Alaqayat 1-5, yang
memerintahkan kepada umat manusia agar umat
manusia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi

222
dan memajukan berbagai Penemuan di berbagai
bidang disiplin ilmu.

B. Diskursus Hubungan Islam dan Sains


Untuk memperjelas hubungan antara Sains
dan Islam diperlukan kajian mendalam mengenai
makna Islam itu sendiri. Islam adalah sebuah nama
agama yang jika ditelusuri makna ontologinya
dalam bahasa Arab berarti keselamatan atau
ketaatan kepada perintah tanpa menolaknya. Islam
dari kata aslama berarti masuk kepada Islam, yakni
mengikhlaskan din kepada Allah atau juga berserah
diri kepada Allah. Berakar dari kata salima-yaslamu
yang berarti selamat, berserah diri dan rela kepada
suatu hukum dan aslama-yuslimu yaitu
menampakkan ketaatan dan mengikuti syariat yang
dibawa oleh Rasulullah SAW, taat kepada perintah
Allah dan mengikhlaskan diri untuk beribadah
kepada Allah.Sedangkan muslim adalah orang yang
beragama Islam dan berserah diri dan menerima
ajaran Rasulullah SAW.

223
Umumnya, Islam dianggap sebagai agama
yang kadangkala diterjemahkan menjadi religion
atau dalam bahasa Arab berarti din. Penerjemahan
dan pemaknaan ini sebenarnya perlu dikaji lebih
mendalam. Perbedaan kata dan bahasa akan sangat
mempengaruhi keyakinan dan worldview manusia
dalam memahami konsepsi segala sesuatu. Jika
Islam dianggap sebagai agama, dalam bahasa
Indonesia, ia berarti sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Maha
Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang
bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.
Sedangkan religion berarti kepercayaan terhadap
keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada
menjalankan ritual untuk menyembahnya dan
adanya berbagai ajaran yang berdimensi spiritual.
Jika Islam dianggap sebagai din, maka
maknanya juga akan lain. Kata din merupakan kata
bahasa Arab daana-yadiinu yaitu pemberian untuk
jangka waktu tertentu, memberikan harta untuk
tempo tertentu atau memberikan hutang sedangkan

224
dayn adalah hutang. Dayn dalam makna din juga
dimaknai sebagai keberhutangan kepada dayyan
yaitu Allah. Kata tersebut juga mengacu pada istilah
din berarti ketaatan, berpegang teguh, dan
keterikatan untuk menjadi hamba. Atau juga diyanah
dalam Islam berarti keyakinan dengan hati,
mengikrarkan dengan lisan, dan mengerjakan
rukunnya secara jasmani.
Dalam berbagai tafsir ayat al-Qur‟an, din yang
terlengkap, terbaik, dan diridhoi adalah ber-Islam
kepada Allah. Sedangkan makna utama din secara
filosofis disimpulkan oleh al-Attas menjadi empat
unsur, yaitu keberhutangan manusia secara
eksistensial kepada Allah, penyerahan diri manusia
kepada Allah, pelaksanaan kekuasaan pengadilan,
dan suatu cerminan dari kecenderungan alami
manusia atau fitrah yang kembali pada Hari
Perjanjian pertama.
Menurut Jujun S. Suriasumantri,
penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau ilmu
pengetahuan memiliki masalah yang pokok.
Selanjutnya, ia mengusulkan kata padaan untuk ilmu

225
adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu
pengetahuan. Demikian pula, Syed Naquib al-Attas
juga memberikan catatan khusus mengenai
penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan
ilmu merupakan istilah dari bahasa Arab yaitu „ilm.
Sedangkan makna „ilm dalam bahasa Arab
mencakup ma‟rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu
pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki
implikasi masing-masing.
Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan
sebagai aktifitas saintifik atau ilmiah yang memiliki
dasar atau berpedoman pada Islamic worldview
(yaitu penggunaan konsep “natural” secara Islamiy)
dan merupakan pengejawentahan secara langsung
dari skema konseptual saintifik yang Islamiy.
Tentunya dalam pencapaian120 kegiatan saintifik/

120
Wan Mohd Nor Wan Daud, (2003) Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed Muhammad Naquib al-Attas diterjemahkan dari The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-
Attas, (Mizan Media Utama: Bandung, cet. 1, hlm. 191-192
4Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-
Politik Zaman Kuno hingga Sekarang terjemahan dari History of
Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day,
(Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007) cet. 3, hlm. 691-716

226
ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-
sumber dan metode ilmu tersebut. Islam
memandang sains yang bersifat fisik tidak hanya
pada tataran lahiriyah saja, namun juga adanya
tujuan, kebenaran, dan pengakuan wahyu sebagai
satu-satunya suber ilmu tentang realitas dan
kebenaran yang terkait dengan makhluk dan
khaliknya. Artinya, dalam melakukan kegiatan
saintifik, para ilmuwan muslim yang berpedoman
al-Qur‟an dan Hadits akan dapat melahirkan produk
sains yang membawa maslahat bagi kehidupan
manusia, baik jangka panjang maupun jangka
pendek.
Sains menurut Islam secara pokok merupakan
sebuah jenis ta‟wil atau interpretasi alegoris dari
benda-benda empiris yang menyusun dunia alam.
Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya
secara tetap pada tafsir atau interpretasi dari
penampakan atau makna yang jelas dari benda-
benda dalam alam. Penampakan dan makna mereka
yang jelas berurusan dengan tempat mereka di
dalam sistem hubungan dan tempat mereka menjadi

227
nampak pada pemahaman kita ketika batas
kebenaran dari arti mereka dikenali. Saat ini, filsafat
modern telah menjadi penafsir sains, dan
mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam
sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu pada
gilirannya menentukan arah yang diambil sains
dalam studi alam. Adalah interpretasi tentang
pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah
sains sepanjang garis yang ditawarkan oleh
interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi
kritis.
Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu
pengatahuan dan iman. Karena sifat dari kandungan
proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip
pertama logika dan pengetahuan metafisika, etika,
dan estetika; maka dengan sendirinya dalam diri
subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menerangi
segala sesuatu. Bahwa iman adalah suatu visi yang
menempatkan semua data dan fakta dalam
perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi,
pemahaman yang benar atas mereka. Ia adalah dasar
bagi penafsiran yang rasional atas alam semesta

228
sebagaimana ia merupakan prinsip utama dari akal,
tidak mungkin bersifat non-rasional dan
bertentangan dengan diri sendiri. Alam semesta
yang menjadi sumber realitas penalaran sains
merupakan gambaran yang tak terpisahkan dari
wujud Allah. Karena di balik wujud dan realitas
alam semesta ini terdapat dimensi metafisik dan
tujuan dari penciptaannya. Sains dalam Islam
ditujukan untuk melakukan pembuktian terhadap
isyarat-isyarat untuk pencarian ilmu sebagaimana
tertera dalam al-Qur‟an.

C. Pasang Surut Islam dan Sains


Dalam persfektif sejarah, perkembangan ilmu-
ilmu keislaman mengalami pasang surut. Suatu
ketika mencapai puncak kejayaan, dan di saat yang
lain mengalami kemunduran.
1. Masa Keemassan
Sejarah politik dunia islam biasanya
dipetakan ke dalam tiga periode yaitu: Periode
klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-
1800 M), dan Perode Modern (1800- sekarang).

229
Dari ketiga periode tersebut, yang Dikenal
sebagai masa keemasan islam adalah periode
klasik, yang antara Lain ditandai dengan etos
keilmuan yang sangat tinggi, yang ditunjukkan
Dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan di berbagai bidang Kehidupan.
Akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia islam sangat tampak
Setelah masuknya gelombang hellenisme melalui
gerakan penerjemahan Ilmu-ilmu pengetahuan
Yunani ke dalam Bahasa Arab, yang dipelopori
Oleh khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)dan
mencapai puncaknya pada Masa khalifah al-
Makmun (813-833 M).
121
Tidak lama kemudian muncullah di
kalangan umat islam para filosof dan Ilmuwan
yang ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu
pengetahuan. Contohnya seperti dalam bidang

121
S.I Poeradisastra (1986). Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan
Peradaban Modern.Jakarta:P3M,hlm.13
4
A. Malik Fajar (1990). Reorientasi pendidikan Islam.Jakarta:Fajar
Dunia,hlm.100
5
Nurcholish Madjid ( 2013).Islam dan ilmu Penegtahuan. Jurnal dakwah
Tabligh, vol.14 No1,hal 129.

230
kedokteran muncul : Al-razi (866-909 M), Ibn
Sina, Ibn Zuhr (1091-162 M), Ibn Rusyd, dan al-
Zahrawi. Dalam Bidang filsafat muncul : al-
Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn
Rusyd.Dalam bidang ilmu pasti dan ilmu
pengetahuan alam muncul: al-Khawarizmi, al-
Farghani, an-Nairazi, Abu Kamil, Ibrahim Sinan,
al-Biruni, al-Khujandi, al-Khayyani, dan
Nashirudin al-Thusi.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
di era klasik disebabkan oleh Beberapa faktor,
yaitu: pertama, etos keilmuan umat islam yang
sangat Tinggi. Etos ini ditopang oleh ajaran islam
yang memberikan perhatian Istimewa terhadap
ilmuwan dan aktivitas ilmiahnya. Kedua, Islam
Merupakan agama rasional yang memberikan
porsi besar terhadap akal. Semangat rasional
tersebut semakin menemukan momentumnya
setelah Umat islam bersentuhan dengan filsafat
Yunani klasik yang juga rasional4.Ketiga,
berkembangnya ilmu pengetahuan di kalangan
umat islam klasik Adalah sebagai dampak dari

231
kewajiban umat islam dalam memahami alam
raya ciptaan Allah. Keempat, perkembangan ilmu
pengetahuan di era klasik juga ditopang oleh
kebijakan politik para khalifah yang
menyediakan fasilitas dan sarana memadai bagi
para ilmuan untuk melakukan penelitian dan
pengembangan ilmu.

2. Masa Kemunduran
Pendapat para ahli tentang masa
kemunduran umat Islam:
a) 5Nurcholish Madjid, Menurutnya penyebab
kemunduran umat islam Adalah : pertama,
penyelesaian oleh al-Ghazali mengenai
problemanya. Kedua, ilmu kalam Asy‟ri
dengan konsep al-kasb yang cenderung lebih
Dekat dengan paham jabariyah. Ketiga,
keruntuhan Baghdad oleh Bangsa Mongol
amat traumatis dan membuat umat islam tidak
mampu Bangkit lagi. Keempat, berpindahnya
sentra-sentra kegiatan ilmiah dari Dunia islam
ke eropa.

232
b) Harun Nasution, Berpendapat bahwa
penyebab kemunduran umat Islam adalah:
pertama, adanya dominasi tasawuf dalam
islam yang Cenderung mengutamakan daya
rasa yang berpusat di kalbu dan Meremehkan
daya nalar yang terdapat dalam akal. Kedua,
adanya Teologi Asy‟ariyah memberikan
kedudukan lemah terhadap akal, Sehingga
menyebabkan umat islam tidak kreatif.
c) Surutnya gerakan pemikiran dan
pengembangan ilmu pengetahuan Dalam islam
dapat dilihat dari sejumlah kondisi yaitu
pertama, etos Keilmuan menjadi menjadi
redup. Akibatnya perkembangan ilmu Menjadi
stagnan dan karya ulama klasik dipandang
sebagais sesuatu Yang final dan tidak boleh
disentuh, kecuali sekadar dibaca, dipahami
Dan praktekkan. Kedua, ilmu agama islam
dimaknai secara sempit dan Terbatas. Muncul
pemilahan ilmu agama dan ilmu umum.

233
D. Integralisme Armahedi Mahzar
Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan
pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa Islam sendiri
telah memiliki konsep kesepaduan. Konsepsi
kesepaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan
oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn
Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat
tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat
Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk
menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari
sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau Al-
Hikmah Al-Wahdatiyah.
122
Dalam intergralisme Islam terdapat
kesatuan hierarkis yang disebut Armahedi Mahzar
sebagai integralitas. Integralitas mempunyai dua
sumbu Yang saling tegak lurus. Sumbu vertikal
disebut sebagai dimensi-dimensi Internalitas,
sedangkan sumbu horizontal disebut sebagai
dimensi-dimensi Ekstrnal. Internalitas mempunyai
lima dimensi, yaitu materialitas, energisitas,

122
Harun Nasution, .(2001)Ensiklopedia Agama Dan filsafat. Malang
:Universitas Brawijaya,hal12.

234
Informasitas, normativitas, dan originitas yang
secara popular dikenal dengan Dimensi-dimensi
materi, energy, informasi, nilai dan sumber atau
yang oleh Imam Al-Ghazali disebut jism, nafs, „aql,
qalb, dan ruh.
Dimensi horizontal dalam tataran sumber,
teridentifikasi dengan Keempat rukun iman tentang
Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-
Rasul, sedangkan dimensi-dimensi horizontalitas
dalam tataran materi Mencerminkan rukun-rukun
iman kelima dan keenam, yaitu iman akan hari
Kiamat dan akhirat, serta iman tentang takdir Ilahi
yang dicerminkan oleh Perjalanan hidup manusia
dari dunia kembali ke haribaan Ilahi di akhirat.
Sementara itu dimensi-dimensi horizontal
yang menghubungkan Individu dan peradaban
melalui lima tahap mencerminkan rukun Islam yang
Lima sebagai intisari proses islamisasi peradaban
yang disebut Armahedi Dengan tazkiyah al-
madaniyah yang selalu diawali dengan tazkiyah al-
nafsi Yaituproses islamisasi individu. Proses ini
dimulai dengan tazkiyah al-nafsiYang intinya adalah

235
tauhid dengan mengucapkan kalimat syahadat,
diikuti Tazkiyahal-jamaati atau islamisasi kelompok
yang intinya dicerminkan oleh Perintahshalat.
Kemudian proses ini diikuti oleh islamisasi
masyarakat atau tazkiyah al-ijtima‟i yang intinya
dicerminkan oleh perintah shaum. Lalu Diikuti pula
olehperintah zakat yang merupakan inti dari
islamisasi peradaban Global.
Ada dimensi kesepaduan yang lain:
kesepaduan vertical dari yang Materiil ke spiritual.
Secara individual itu berarti kesepaduan
ketaksadaran Badan dengan kepuncaksadaran ruh
melalui kebawahsadaran perilaku, Kesadaran
pikiran, dan keatassadaran nurani. Dari sudut
pandang ini, berat Kesepaduan tekhnologi sebagai
ekologi buatan dengan Kitab Suci sebagai Sumber
transcendental melalui nilai-nilai keagamaan,
wawasan budaya Keilmuan dan kegiatan
kelembagaan masyarakat yang mengendalikan
Tekhnologi itu. Inilah inti integralisme Islam,
kesepaduan ganda yang tidak Terpisahkan.

236
Din Al-Islam menyangkut hubungan manusia
secara sosial kolektif keSang Pencipta-nya Yang Esa
melalui Syariah (hukum) dan secara personal
individual melalui thariqah (metode) yang
berdasarkan aqidah (keyakinan). Din Al-Islam
mengatur hubungan antara manusia dan masyarakaat
melalui Tazkiyah al -ijtima‟I (penyucian
masyarakat), dan hubungan antara manusia
Dandirinya melalui tazkiyah al-nafs (penyucian diri)
membentuk akhlaq al Karimah (moral mulia)
sesosok nafs al-mardhiyah (diri yang diridhai
Allah). Inilah komponen teoologis pandangan dunia
baru Islam yang mengoreksi.Ideology sekelarisme
global dengan cara melengkapinya dan
Menyempurnakannya melalui islamisasi peradaban
atau tazkiyah al-Madaniyah123 (penyucian
peradaban), sebagai kelanjutan tazkiyah al-
insaniyah,.Penyucia manusia, yang merupakan
intisati Din Al-Islam.

123
Armahedi Mahzar, (2004).Revolusi Integralisme Islam . Bandung
:Mizan hal 31

237
Proses tazkiyah al-madaniyah adalah proses
islamisasi peradaban Terhadap hubungan manusia
dengan alam, melalui penyerasiannya ke dalam
Kesepaduan, keserasian dan keselarasan dengan Din
Al –Islam. Tekhnologi Adalah bentuk hubungan
manusia dengan alam secara.
Dalam buku ketiganya “Revolusi Integralisme
Islam” Armahedi Mahzar mendiskripsikan bahwa
Integralisme bisa dipandang sebagai sebuah
poststrukturalisme (sebuah pikiran yang mucul
akibat ketidakpuasan atau Ketidaksetujuan terhadap
pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme) Timur.
Berbeda dengan poststrukturalisme Barat yang
berhenti dengan dekonstruksi Totalnya, filsafat
integralisme melakukan rekonstruksi (penyusunan
kembali Sesuatu yang ada dan disusun kembali
seperti semula) bertahap dimana Filsafat Barat
adalah salah satu bagiannya.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa
integralisme disebut sebagai Poststrukturalisme
timur yaitu karena lahirnya di Indonesia yakni di
benua Asia yang menurut orang Barat ada di Timur.

238
Disebut sebagai Poststrukturalisme karena
integralisme bermula dari strukturalisme yang
Diterapkan untuk filsafat Eropa. Alasan kedua,
integralisme universal yang Dikembangkan Ken
Wilber, sebagai postmodernisme konstruktif
melampaui Poststrukturalisme, sebagian besar
berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedatisme
( disebut juga fasisme yakni ideologi yang
berdasarkan pada Prinsip kepemimpinan dengan
otoritas absolut dimana perintah pemimpin dan
Kepatuhan berlaku tanpa pengecualian).
Jika postmodernisme (gerakan abad akhir ke-
20 dalam seni, srsitektur Dan kritik yang
melanjutkan modernisme yang di dalam nya
termasuk Interprestasi skeptis (pandangan
ketidakpastian) terhadap budaya, seni,sastra,
Filsafat, sejarah, ekonomi dll) merupakan kritik
terhadap modernisme, Integralisme dapat dipandang
sebagai kritik terhadap postmodernisme yang
Setengah matang. Integralisme bukanlah faham
yang menolak tradisionalisme Pramodern seperti
modernism dan integralisme juga tidak menolak

239
Modernitas seperti yang diajukan oleh
postmodernisme.
Integralisme justru ingin mengintegrasikan
pramodernisme, Modernism, dan postmodernisme
dalam satu konsep yang memayungi Ketiganya.
Konsep itu adalah konsep evolusi ruhaniya.
Integralisme melihat segala sesuatu dari
partikel fundamental (dasar) Hingga alam semesta
membentuk sebuah hierarki seperti halnya
pandangan Sains modern. Akan tetapi, Integralisme
juga meletakkan hierarki ini dalam Suatu hierarki
yang lebih besar dengan memasukkan alam akhirat
dan ciptaan Tuhan itu sendiri sebagai penghujung
jenjang material. Sementara itu, Integralisme juga
melihat bahwa skema hierarkis yang horizontal
tersebut Tidak cukup untuk mendiskripsikan seluruh
realitas. Juga perlu skema Hierarkis vertical yang
tercermin dengan jelas pada jenjang kesadaran
Manusia yang arahnya tegak lurus terhadap hierarki
material yang horizontal.
Dari beberapa aspek, seperti secara psikologis,
integralisme bisa Dikatakan sebagai sintesis antara

240
behaviorisme Watson yang materialistis,
Psikoanalisis Freud yang energetic, kognitivisme
Piaget yang informatik, Psikologi humanistis
Maslow yang valuasional, dan psikologi mistik
Tradisional yang transpersonal.
Disamping itu, secara sosiologis Integralisme
juga bias dilihat sebagai Sintesis dari materialism
Marx dan idealism Hegel. Sintesis itu diperoleh
Dengan menyadari bahwa Marx hanya menekankan
yang material-energetik, Sementara Hegel hanya
menekankan yang informatik-valusional.
Demikian pula secara biologis Integralisme
juga dapat dilihat sebagai Sintesis dari
neodarwinisme yang informatik dan filsafat
vitalisme Bergson Yang energetic. Integrasi itu
berlangsung dengan cara memasukkan keduanya Ke
dalam hierarki proses evolusioner integral yang
melibatkan materi-energi-Informasi-nilai-sumber.
Selanjutnya, secara kosmologis, integralisme
dapat dipandang sebagai Suatu sintesis antara
monisme Spinoza dan pluralisme Leibnitz, dengan

241
Memasukkan alam akhirat ke dalam skema
kosmologis yang utuh dan Terpadu.
Dari beberapa pengertian di atas, secara
ontologis Integralisme adalah Sintesis filsafat
modern yang mengingkari trensedensi (cara berfikir
tenang Hal-hal yang melampaui apa yang terlihat
yang dapat ditemukan di alam Semesta seperti
pemikiran yang mempelajari sifat tuhan yang
dianggap begitu Jauh berjarak dan mustahil untuk
dipahami oleh manusia) dan filsafat Timur
Tradisional yang mendalami imanensi(paham yang
menekankan berfikir Dengan diri sendiri atau
subjektif) dalam suatu kesatuan logis, bukan sebuah
Sinkretisme asosiatif (suatu proses perpaduan dari
beberapa paham atau aliran agama dan kepercayaan)
ysng mengembalikan transendentalisme teologis ke
Dalam filsafat Barat modern.
Dengan demikian, integralisme merupakan
suatu konsep yang Sentralnya adalah integralitas,
yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu Padu
berdasarkan suatu struktur tertentu dengan kata lain
integralisme Merupakan konsep yang berusaha

242
menyatukan dan memadukan pemikiran Filsafat
Barat modern dan filsafat Timur tradisional dari
berbagai aspek Sebagai kesatupaduan yang tak bisa
dipecah atau dipisahkan.
Adapun Integralisme Islam pada mulanya
adalah produk dari suatu Pergumulan pemikiran
untuk menyatukan eksistensialisme yang humaniora
Dengan pandangan dunia yang ilmiah. Dalam tradisi
psikoanalisis Freud, kita Mengenal tiga komponen
yaitu id, ego, dan superego. Dalam tradisi sosiologis
Marx, dikenal adanya basis material, struktur social,
dan suprastruktur. Menurut Armahedi, beliau
berpendapat adanya kesejajaran antara pandangan
Psikologis dan pandangan sosiologis ini, yaitu
tubuh, id, ego dan superego Dengan basis material
struktur social, suprastruktur kognitif, dan
suprastruktur Normative. Tentu saja hierarki empat
tangga ini hanya berlaku untuk Pandangan sekuler
yang tidak menerima ruh sebegai esensi realitas
individual Atau kitab suci al-Quran sebagai sumber
nilai.

243
Dengan latar belakang beliau yang merupakan
seorang ilmuwan Muslim, kendati inilah beliau
memasukkan apa yang beliau imani ke dalam
Hierarki mendatar atau horizontal dan
menambahkan kategori kelima yaitu Esensi atau
sumber bagi tataran-tataran eksistensial yaitu materi,
energy, Informasi, dan nilai-nilai.
Dalam integralisme versi Islam, dikenal
adanya dua jenjang Kesepaduan yaitu jenjang
vertical (materi, energy, informasi, nilai, dan
Sumber nilai) dan jenjang horizontal bermula dari
manusia sebagai Mikrokosmos, masyarakat sebagai
mesokosmos, alam semesta sebagai Makrokosmos
dan sekalian alam-alam lain sebagai suprakosmos
dan berakhir Pada Tuhan sebagai metakosmos.
Dalam integralisme perspektif Islam, Jenjang materi,
energy, informasi, nilai, dan sumber nilai itu adaah
perumusan kembali dalam bahasa kontemporer apa
yang oleh Imam Ghazali disebut Sebagai jism, nafs,
„aql, qalb, dan ruh.
Integralisme Islam hanya memperluas
kesejajaran menjadi sebuah Kesepaduan realitas

244
yang integral sesuai dengan penemuan hierarki
vertical Oleh sains modern. Singkatnya, kesepaduan
realitas itu dinyatakan oleh Matriks 5x5 dimana
elemen yang terbawah terkirinya adalah tubuh
manusia Sedangkan elemen yang teratas
terkanannya adalah Kebenaran Mutlak seperti Yang
tergambar pada tabel.
Oleh karena itu, barangkali ada baiknya jika
kita mencoba Menggunakan integralisme Islam
sebagai perspektif untuk memikirkan Peradaban
teknologi masa depan secara menyeluruh. Soalnya,
dalam Perspektif integralisme, teknologi adalah
bagian integral dari peradaban manusia yang disebut
sebagai teknosistem. Oleh sebab itu, teknosistem
juga Terdiri dari lima lapisan kategori integral yang
masing-masing terkait dengan Materi, energy,
informasi, nilai-nilai, dan sumber atau esensinya.
Karena hal Itulah, tampaknya telah tiba masanya
untuk mengintegrasikan teknik dengan Sumber
peradaban yang transedental: kitab suci.
Armahedi Mahzar ilmuwan dengan
background study seorang Fisikawan yang berkiprah

245
dalam pemikiran filsafat sehingga menjadikan
Beliau seorang filusuf Islam, berimplikasi pada
pemikiran beliau yang Mencoba mengintegrasikan
antara pemikiran seorang ilmuwan dengan
Dikorelasikan pada agama (Islam). Usaha Armahedi
Mahzar dalam Mengintagrisakan ilmu dan agama
merupakan ijtihad pemikiran yang dapat Menjadi
kontribusi pemikiran bagi para ilmuwan di
zamannya maupun Setelahnya. Konsep integralisme
sebagai perspektif integrasi yang mana Menjadi
objek pemikiran ilmuwan muslim lain dalam
mengintegrasikan ilmu Dan agama (Islam) maupun
dalam mengislamisasikan ilmu pengetahuan
Menjadi dasar pemikiran pokok, dikarenakan
integralisme merupakan konsep Pemikiran
gabungan antara pramodern, modern, dan
pascamodern. Hal ini Merupakan konsep yang
komplet dan matang, ditambah dengan memasukkan
Nilai-nilai keislaman di dalamnya.
Meninjau dari pemikiran integralisme, bahwa
Armahedi Mahzar tidak Hanya ingin membenahi
bagaimana konsep integrasi ilmu dengan Islam akan

246
Tetapi lebih menitikberatkan untuk memulai sebuah
ilmu dari pemikiran Terlebih dahulu. Integralisme
merupakan konsep pengintegraisan ilmu yang Akan
mencakup semua aspek yang mana terekam dalam
konsep beliau Tentang integralisme Islam atau al-
himmah al-wahdatiyah.
Teori otoktoni menyatakan bahwa dalam suatu
kebudayaan terdapat Unsur asli yang bersifat tetap
sekalipun datang pengaruh kebudayaan lain. Sejalan
dengan paham holisme, dimana holon menemukan
suatu pandangan Yang lebih menyeluruh terhadap
realitas dimulai dari suatu kebudayaan Kemudian
diintegrasikan dengan budaya lain yang
menghasilkan kebudayaan Baru, akan tetapi tidak
terlepas dari kebudayaan asli tersebut. Begitu pula
dengan integralisme, yang mana ingin
mensintesakan pemikiran pramodern, Modern, dan
pascamodern dengan menghasilkan integralisme itu
sendiri, Dengan harapan dapat mewujudkan konsep
baru yang menyeluruh. Sebagaimana KenWilber
(1949-1998), filosof yang menggabungkan antara
Sains modern dan spiritualitas tradisional, Armahedi

247
dengan teori barunya Bertekad merevolusi
pemikiran integralisme KenWilber dengan sering
Menyebut filsafatnya sebagai integralisme Islam
karena memasukkan nilai-Nilai islam di dalamnya.
Armahedi Mahzar, dalam pemikiran beliau
untuk menuju sains Islami Masa depan ada beberapa
point penting yang perlu diperhatikan, bahwa sains
Islami memperhatikan beberapa hal sepertu tujuan,
struktur, metodologi, dan Paradigma yang tidak
terlepas dari apa yang dinamakan nilai. Selain hal
Tersebut, tujuan sains islami untuk meciptakan
kesejahteraan manusia tidak Terlepas dari teknologi
yang semakin berkembang, akan tetapi para manusia
Sudah harus dibekali nilai-nilai positiv, yang mana
jika para ilmuwan Barat Berpendapat adanya
dampak negative teknologi tergantung pemakai
tidak Akan terjadi pada segi aksiologi sains islami.
Dibandingkan dengan struktur, metodologi,
dan paradigm sains Modern yang selalu
mengedapankan empiris dan data factual, sains
islami Menawarkan konsep fi‟il, fikr, dizkr dimana
organon yang digunakan adalah As-sama‟, al-

248
bashar, dan al-afidah. Dengan tambahan al-afidah
pada Metodologinya, menunjukkan bahwa ada hal-
hala inmaterial di dunia ini yang Tidak bias
dibuktikan dengan metode empiris sains modern,
dalam hal ini Diperlukan metode intuitif. Dengn
demikian tidaklah cukup metode empiris Atau
rasional sains modern untuk memperoleh
pengetahuan yang kompleks. Adanya hal inmaterial
yang dipercaya, mengharuskan adanya metode lain
Untuk sampai pada pengetahuan tersebut sehingga
sains Islami masa depan Merupakan konsep
kesatupaduan integralisme Islam, yang mana tidak
hanya Memadukan integrasi antara ilmu dan agama
akan tetapi mencakup Paradigma keilmuan
kemasyarakatan dan kemanusiaan, dimana unsure-
unsur Islam akan didapati di dalamnya.
Akan tetapi keterkompleksan pemikiran
Armahedi Mahzar ini Menimbulkan pertanyaan
tersendiri bagi penulis, dimana pemikiran yang
Besar juga harus diimbangi dan dibarengi usaha
yang besar untuk Merealisasikan. Jika pemikiran
akan paradigma merupakan titik awal yang Sudah

249
dimulai, maka usaha-usaha selanjutnya adalah
bagaimana cara untuk Merealisasikan pemikiran
tersebut. Sehingga paradigma sains Islami yang
Merupakan ilmu agama Islam, karenanya ia juga
merupakan paradigma Unifikasi bagi ilmu-ilmu
kealaman dan keagamaan, bukan hanya menyatukan
Ilmu-ilmu kealaman dan keagamaan melainkan juga
merupakan paradigma Ilmu kemasyarakatan dan
kemanusiaan.

250
DAFTAR PUSTAKA

A.Malik Fajar 1990. Reorientasi pendidikan


Islam.Jakarta:Fajar Dunia,hlm.100
Abdurrazak, et.al. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: PT.
Pustaka Ceria.
Ach. Maimun Syamsuddin. Integrasi Multidimensi
Agama dan Sains: Analisis Sains Islam al-Attas
dan Mehdi Golshani. (Yogyakarta: IRCiSod,
2012), h. 21-22.
Achmaad,R.H.2015. Konsep Ilmu Dalam Islam,
Kalimah:Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam.Vol.13,N.2
Ahmad Zainuddin. 2016.“Islam dalam Era Post-Modern
; Melacak Periodesasi Pemikiran Dalam Studi
Keislaman,” Miyah 11, no. 01 118–131
Al-Asfahani, A. 2008. Mu‟jam Mufradat Alfadh al-
Quran. Beirut-Libanon: Dar al-Kutub alIlmiyah.
Retrieved November 1, 2019, from
Https://www.onesearch.id/recoord/IOS3325.slim
s-7557

251
Al-Attas Naquib Syed Muhammad. 2007.Tinjauan
Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau
Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia.
Al-Attas, Naquib S.M. 1981.Islam dan Sekuralisme.
(terjemahan oleh Karsidjo Djojo Suwarso). Cet I.
Bandung; Pustaka Salman.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1982. Islamisasi Pengetahuan.
Bandung: PT. PustakaSalman ITB
Amsal, Bakthiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Arifulloh, Mohd. 2006. Hubungan Sains dan Agama:
Jurnal Pendidikan Sosial Keagamaan. Vol. 21,
No. 1
Armahedi Mahzar, 2004. Revolusi Integralisme Islam .
Bandung :Mizan hal 31
Azra, Azuyumardi, et.al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT.
Ikhtiyar Baru
Baharuddin. 2013.Perubahan social budaya (Pontianak :
STAIN
Baso Hasyim, 2013. Islam dan ilmu pengetahuan . jurnal
dakwah tabligh, vol.14 no1.

252
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya
dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno
hingga Sekarang terjemahan dari History of
Western Philosophy and its Connection with
Political and Social Circumstances from the
Earliest Times to the Present Day,(Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2007) cet. 3, hlm. 691-716
Dahlan. 2019. Relasi Sains Modern dan Sains Islam;
suatau Upaya dalam Pencarian Paradigma
Baru. Volume 12, Nomor 2.
Daud, Wan W.M.N. 2003. Filsafat dan Praktek
Pendidikan Syed Naquib al-Attas (trjmh oleh
Hamid Fahmy dkk.). Bandung; Mizan.
Daulay, Putra Haidar. 2013. Pendidikan Islam dalam
Lintasan Sejarah. Jakarta: PT Pranada Media.
Elly M.Setiadi Usman Kolip .2011. Pengantar Sosiologi
(Jakarta: Prenadamedia Group
Esposito, John L, et. al. 2002. Tokoh-Kunci Gerakan
Islam Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Fakhri, Jamal. 2010. Sains Dan Teknologi Dalam Al-
Qur‟an Dan Implikasinya Dalam Pembelajaran,

253
Lampung : Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan
Lampung
Harun Nasution, .2001.Ensiklopedia Agama Dan filsafat.
Malang :Universitas Brawijaya,hal12.
Hasbullah, Moeflich. 2000. Gagasan dan Perdebatan
Islamisasi Ilmu Penge-tahuan. Jakarta: PT.
Pustaka Cidesindo.
Hidayatulloh, Helny. 2019. Islam dan Sainsn Perspektif
Nurcholish Madjid: Jurnal Ilmu Ushuluddin. Vol.
5, No. 1, Hal. 22-34
Hidayatulloh, Syarif. 2019. Agama dan Sains Sebuah
Kajian Tentang Relasi dan Metodologi: Jurnal
Filsafat. Vol. 29, No. 1
Ian G Barbour. 2005. Menemukan Tuhan Dalam Sains
Kontemporer Dan Agama
Ibnu Mandzur. 1414 H. Lisan Al-„Arob. Beirut: Daar
asShodir.
International Institut of Islamic Thought.2002.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terjemahan
:Jakarta: Lontar Utama.

254
Jusuf A. Feisal, .1994. “Islam a Man Resourse for
Invormative development of knowledge, Science
and Tecnology,” Hal 6
Kemas, Baharuddin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khusniti, Rofiah .2016.“Pergesaran Hukum Islam dari
Reduksionis ke Sintesis; Telaah Pemikiran
Ziauddi Sardar”, dalam Justicia Islamica, Vol. 8
Nomor 2 (Ponorogo: Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Ponorogo, 53).
Kurniawan, Wawan. 2012, “Pemikiran Seyyed Hossein
Nasr Tentang
Epistemologi.,https://aweygaul.wordpress.com/2
012/08/09/pemikiran-seyyedhossein-nasr-
tentang-epistemologi/, diakses 25 Januari 2017
pkl. 21.00 WIB
Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban
Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanisiaan, dan Kemodernan.
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

255
Majid, Abd. 2018. Ilamisasi Ilmu dan Relevansi Sains-
Agama Dalam Al-Quran dan Hadits: Al-
Mu‟ashirah, Vol. 15, No. 1.
Misbahuddin J. 2011. Konsep Al-Islam Dalam Al-Quran.
Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, No. 2.
Mujib, Abdul & Jusuf Mudzakkir. 2014. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.299
Mukani. 2015. Mengantisipasi Kegagalan Islamisasi
Sains Dalam Lembaga Pendidikan Islam: Jurnal
Studi Islam, Vol. 2, No 1

Mustofa Hilmi.2020. “Islamisasi Ilmu Pengetahuan:


Pergulatan Pemikiran Cendekiawan
Kontemporer,” Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan
dan Keagamaan 15, no. 02:251–269.
Nata, A. 2011. Studi Islam Komperhensif. Jakarta:
Prenada Group
Nata, Abudin. 2013. Pemikiran Pendidikan Islam dan
Barat. Jakarta: PT. Rajawali Pers.

256
Nizar, Samsul.2002 Filsafat Pendidikan Islam;
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.
Jakarta; Ciputat Pers.
Nurcholish Madjid .2013.Islam dan ilmu Penegtahuan.
Jurnal dakwah Tabligh, vol.14 No1,hal 129.
Pustaka Phonex. 2015.Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Media Pustaka Phonexs,300
S.I Poeradisastra .1986. Sumbangan Islam Kepada Ilmu
dan Peradaban Modern.Jakarta:P3M,hlm.13
Saffan,Edi.2011.Konsep Ilmu Dalam Islam.Institut
Agama Islam IAIN Ar-Raniry,Darussalam-Banda
Aceh

Selvia, Santi. 2018. Relasi Agama dan Sains Menurut


Sayyeid Nasr Nasr dan Ian G Barbaour,
Yogyakarta: Jurnal Proseding Konferensi
Integrasi Interkonskesi Islam dan Sains, Volume
1
Sirajudin. 2016. Integrasi Agama dan Sains; Islamisasi
Sains di Tengah Arus Modernitas: Jurnal
Qolamuna, Volume 2, Nomor 1.

257
Soedjono Dirdjosisworo. 1983.Pengantar Ilmu Hukumi
(Jakarta: Rajawali,)
Suprayogo, Imam., Musthofa Lutfi.2003. “Problem
Relasi Agama dan Sains di Perguruan Tinggi
Islam: Tela‟ah Sosiologi”, Dalam Jurnal Islam
Keislaman IDIA Prenduan, Vol. 2, Hal. 23

Syahirah,Ainor.2020.Konsep dan Klasifikasi Ilmu


Pengetahuan Dalam Islam:Jurnal Dakwah dan
Kemasyarakatan,1-13

Syahrial. 2017. Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur


Rahman: Lentera, Volume 1, Nomor 1.
Tamrin Amal Tomagola.2006.Republik Kapling
(Yogyakarta: Resis Bookt,)
Thabhathabha'ie. 1997. Mengungkap Rahasia al-Quran.
edisi terjemah. Bandung: PT Mizan.
Van Hoeve. Baharuddin. 2011. Rekontruksi
Epistemologi Pendidikan Islam Monokotomik.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Wan Mohd Nor Wan Daud.2003. Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-
Attas diterjemahkan dari The Educational

258
Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib al-Attas, (Mizan Media Utama: Bandung,
cet. 1, hlm. 191-192
Wibowo, Tri. 2021. Dinamika Sains dalam Islam pada
Masa Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi
& Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan
Kekinian, Purwokerto : Institut Agama Islam
Negeri Purwokerto
Yunowo,Budi.2005.Ilmuwan IslamPelopor Sains
Modern.Jakarta:Pustaka Qalami,hal.161

259

Anda mungkin juga menyukai