Anda di halaman 1dari 17

ILMU KALAM

“Ahlussunnah Wal Jamaah Salaf dan Khalaf”


Dosen Pengampu :
Drs. M. Idris, M.Pd.I,

Disusun Oleh :
Atha Aliyyah : 190104010005
Aida Fitriani : 190104010025
Mutiara Indah : 190104010149

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji dan
syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah menciptakan alam dan seisinya, tidak
lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Baginda
Muhammad SAW. karena berkat Allah dan Rasulullah kami dapat menyelesaikan masalah ini.

Kami sebagai penulis menyadarai bahwa dalam menyusun makalah ini tidak lepas dari
bantuan dan jasa berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Kalam Bapak Drs.
M. Idris, M.Pd.I, yang telah membimbing dan memberikan masukan terhadap pembuatan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas bagi
kita semua, terima kasih.

Banjarmasin, 1 November 2020

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................2
A. Ahlussunnah Wal Jamaah............................................................................................................2
1. Doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Bidang Aqidah...........................................................3
2. Doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Bidang Politik............................................................5
B. Ahlussunnah Wal Jamaah Salaf...................................................................................................6
C. Ahlussunnah Wal Jamaah Khalaf..............................................................................................10
BAB III........................................................................................................................................................13
PENUTUP...................................................................................................................................................13
A. Kesimpulan..................................................................................................................................13
B. Saran.............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup seluruh
aspek kehidupan. Kehadiran agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Didalamnya terdapat
petunjuk tentang bagaimana manusia menyikapi kehidupan secara lebih bermakna. Semua ajaran
Islam terkodifikasi dalam Al-Qur’an, akan tetapi Al-Qur’an memerlukan penjelasan karena Al-
Quran bersifat global. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an mengalami perbedaan oleh umat
Islam karena versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang berbeda-beda.

Perbedaan penafsiran tersebut yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda, secara umum
kerangka pikir para mutakalimin ada dua yaitu tradisional dan rasional. Mutakalimin yang
berpola pikir tradisional adalah terikat dogma dan ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang
mengandung arti lain selain arti secara harfiah). Sedangkan mutakalimin yang berpikir rasional
terikat dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, mereka lebih
mengutamakan akal.

Beragam jenis mutakalimin terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (kaum yang
berpegang teguh kepada sunnah dan kaum mayoritas), di dalamnya terdapat dua versi yang
berbeda dalam mempertahankan ranah akidah yang dikenal dengan istilah salaf dan khalaf. Pada
masa Ahlu Sunnah salaf dan khalaf banyak terjadi perselisihan antara ulama-ulama pada saat itu
tentang ilmu kalam. Dan terkait masalah tersebut dan materi mata kuliah yang diberikan dalam
bentuk makalah, maka makalah ini diberikan judul “Ahlussunnah Salaf dan Khalaf”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah?
2. Bagaimana Ahlussunnah Wal Jamaah aliran salaf?
3. Bagaimana Ahlussunnah Wal Jamaah aliran khalaf?

C. Tujuan
1. Agar mengetahui apa itu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah..
2. Agar mengetahui bagaimana Ahlussunnah Wal Jamaah aliran salaf.

3. Agar mengetahui bagaimana Ahlussunnah Wal Jamaah aliran khalaf.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ahlussunnah Wal Jamaah


Golongan Ahlussunnah wal Jamaah ialah golongan yang menganut i’tiqad
sebagaimana dianut oleh nabi Muhammad saw., dan para sahabat. I’tiqad nabi dan para
sahabat itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpisah, belum
tersusun secara rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh
seorang ulama besar Ushuluddin, yaitu imam Abu Hasan al-Asy’ari1.

Ahlus Sunnah merupakan orang-orang yang berpegang teguh pada sunah nabi SAW
(hadis), Jamaah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-
Mahbubi yaitu ‘ammah al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al-kasir wa al-
sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).95 Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dinisbahkan kepada aliran teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah yang berpegang kuat pada
sunah Nabi SAW dan merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat Islam. Ahlus
Sunnah wal Jama’ah sangat percaya dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan
melakukan interpretasi. Term Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul setelah adanya teologi
Asy’ariyah dan Maturidiyah. Tetapi sebagian pemikir mengatakan bahwa istilah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah sudah digunakan sebelum Asy’ari lahir. Contohnya, dalam surat
Khalifah al-Ma’mun kepada gubernurnya Ishaq Ibn Ibrahim tahun 218 H, tercantum kata-
kata wa Nasabu Anfusahum ila al-Sunnah (mereka mempertalikan diri dengan sunah) dan
kata-kata ahl al-Haq wa al-Din wa al-Jama’ah (ahli kebenaran, agama, dan jama’ah).

Al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin (aliran-aliran teologi dan pandangannya


dalam Islam), menyebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai Ahl al-Hadis wa as-
Sunnah(golongan yang berpegang pada hadis dan sunah). Dalam kitabnya yang lain, al-
Ibanah (penjelasan), beliau menyebut Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan Ahl al-Haqq wa
as-Sunnah (golongan yang berpegang pada kebenaran dan sunah Nabi SAW). Dari semua
itu, yang lebih populer adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sering juga disebut golongan
Suni.97 Penyebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini juga digunakan untuk membedakan
kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Para
imam mazhab fiqih seperti Imam Abu Hanifah (W. 105 H), Imam Malik bin Annas (W. 179

1
Idik Saiful Bahri , 2020, Konsep Mayoritas Ahlussunah Waljamaah, Bahasa Rakyat

2
H), Imam As-Syafi’i (W. 214 H) dan Imam Ibnu Hanbal (W. 241 H) dikenal sebagai tokoh-
tokoh Ahlus Sunnah sebelum munculnya Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi dan yang
lainnya sebagai tokoh Mutakallimin (Ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlus Sunnah pada
abad ke-3 H.

Kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad
yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. Di antara mereka ada
yang disebut Salaf (Salafiah) yaitu ulama terdahulu yakni generasi awal mulai dari para
sahabat, tabi’in, dan tabi’at tabi’in, dan Khalaf (Khalafiah) yaitu generasi penerus yang
datang kemudian. Yang termasuk ulama Salaf di antaranya Ahmad Ibn Hanbal, Ibn
Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jawjiyyah. Sementara itu, yang termasuk ulama Khalaf seperti
al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Bazdawiah2.

Doktrin-doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara garis besar terbagi dua, yaitu
doktrin dalam bidang aqidah dan doktrin dalam bidang politik. Dalam bidang aqidah,
doktrin-doktrinnya meliputi:

1. Doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Bidang Aqidah


1. Meyakini dan percaya kepada sifat-sifat Ma’ani (abstrak) bagi Allah, terapi yang tidak
sampai kepada Tajsim atas Allah dan tidak mempersamakan Allah dengan Makhluk.
Selain itu, percaya kepada sifat wajib, mustahil, dan jaiznya para Rasul, percaya kepada
datangnya kiamat dan kehidupan akhirat seperti hisab, mizan, syiroth, syurga neraka, siksa
dan nikmat kubur, dan bangkit dari kubur.

2. Manusia mempunyai daya usaha dan ikhtiyar atas perbuatannya yang ikhtiyariyah
dengan tidak terlepas dari sifat Qudrat dan Iradat Allah. Artinya manusia tidak mempunyai
kekuasaan mutlak atas segala perbuatannya, tetapi perbuatannya itu diciptakan Allah
sebagaimana kekuasaan manusia itu sendiri juga atas ciptaan Allah. Segala perbuatan
manusia pada hakekatnya kembali kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang menciptakannya
dan memberi pertolongan kepadanya. Namun, walaupun segala perbuatan manusia itu
pada hakekatnya diciptakan Allah, tetapi secara kesopanan tidak benar menyandarkan
sesuatu kepada Allah selain yang baik saja, sesuai dengan firman-Nya dalam surah an-Nisa
ayat 79 dan surah asy-Syuraa ayat 30.

3. Manusia memerlukan pertollongan dari Allah untuk dapat melaksanakan amal


perbuatannya, karena kekuasaan manusia itu pelaksanaannya tidak dapat berdiri sendiri
dan segala sesuatu tergantung kepada Qudrat dan Iradat Allah.

2
Ratu Suntiah Maslani, 2010 , Ilmu Kalam , SEGA ARSY

3
4. Syukur ialah usaha manusia dalam menggunakan dan menjalankan nikmat Allah
kepadanya sesuai dengan maksud tujuan pemberian itu, artinya tidak dipergunakan untuk
menyeleweng dari tuntunan Allah.

5. Segala sesuatu yang wujud dapat dilihat, Allah yang wujud pun dapat dilihat di akhirat.
Melihat Allah di akhirat tidak dengan cara ketentuan waktu dan tempat karena ketentuan
itu adalah bagi makhluk dan di syurga tidak ada ketentuan arah dan jihat. Hal itu tidak
mengurangi ke-Esaan dan kesucian Allah. Mata yang melihat di syurga belum tentu sama
seperti mata yang menurut hukum alam di dunia ini dan penglihatan di syurga belum tentu
meliputi keseluruhan dzat yang dilihat karena penglihatan di syurga adalah semata-mata
nikmat Allah sebagai balasan amal baiknya manusia ketika di dunia. Karena keridlaan
Allah dan rahmat-Nya, Tuhan menampakkan dzat pribadinya kepada hamban-Nya, tanpa
cara, tanpa tempat, tanpa waktu, dan manusia juga tetap tidak dapat membayangkan seperti
apa Allah itu. Manusia yang dapat melihat Allah di syurga akan diliputi segala keagungan
cahaya dan kebesaran Allah sehingga mereka tidak mempunyai ingatan melainkan hanya
kepada Allah semata. Dalil yang membenarkan pendirian ini seperti “Semua wajah ahli
syurga pada waktu itu berseri-seri melihat kepada Tuhannya” (al-Quran), dan “Kamu
semua akan dapat melihat Allah seperti kamu melihat kepada bulan purnama” (Hadis).

6. Iman adalah kepercayaan dalam hati. Adapun pernyataan dalam lisan dan amal
perbuatan dalam menunaikan kewajiban adalah sebagai penyempurna dan pelengkap iman.
Oleh karena itu, orang yang telah beriman dalam hati kemudian ia mati dalam keadaan
demikian, ia tidak akan di neraka selamanya.

7. Orang yang menjalankan dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat, urusannya
adalah pada Allah. Allah mengampuni atau menyiksanya, terserah kepada Allah.

8. Semua kewajiban ditentukan menurut sabda Allah, tidak menurut pertimbangan akal
fikiran, karena akal tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk kecuali
atas bimbingan wahyu.

9. Allah tidak mempunyai keharusan untuk berbuat ishlah bagi hamban-Nya, karena bila
harus maka Allah terpaksa berbuat sesuatu.

10. Mengutus Rasul adalah hak Allah, bukan sebagai kewajiban Allah. Pengutusan Rasul
karena rahmat Allah kepada hamba-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia agar
tidak mempunyai alasan untuk menghindarkan diri dari kewajiban yang telah ditentukan
Allah atas manusia. Untuk memperkuat kedudukan para Rasul, Allah menciptakan
mukjizat yang diberikan kepada para Rasul-Nya.

4
11. Allah berkuasa menciptakan sesuatu tanpa ada contohnya terlebih dahulu.

12. Penghuni alam kubur lebih faham atau mempunyai pengertian yang lebih luas terhadap
segala perbuatannya di dunia, daripada sewaktu ia masih di alam dunia. Artinya ia bisa
menginsyafi segala amal perbuatannya yang salah ketika masih hidup.

13. Kata-kata dalam al-Quran atau hadis yang mutasyabih atau seakan Tasybih dengan
Tuhan, seperti “Tuhan berada di ‘Arasy, Tuhan berada di atas, Tuhan turun ke langit dunia,
Tuhan mempunyai jari, Tangan Tuhan, Wajah Tuhan, dsb.” Itu semua harus diterima
menurut adanya dalil saja dan diartikan menurut letterleknya. Sebab, semua itu tidak
mustahil terjadi, dengan catatan bahwa semua itu tidak mengurangi sifat keagungan dan
ke-Esaan Allah serta kesucian-Nya sehingga tidak terjadi Tajsim atau mempersamakan
Allah dengan makhluk. Bisa saja kata-kata yang seakan Tajsim itu ditakwili, yakni semua
itu tidak sama dengan makhluk, tidak mengandung perserupaan dengan makhluk,
umpamanya “tangan Allah” ialah kekuasaan Allah.

2. Doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Bidang Politik


Adapun doktrin-doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bidang politik bahwa
pemerintahan harus ada, mutlak, yakni Imam (pemerintah) yang bertugas untuk
memperbaiki dan mengatur masyarakat. Selain itu, bertugas untuk melaksanakan pidana,
mengumpulkan zakat dan membagikan kepada yang berhak menerimanya,
mempertahankan negara dan kehormatan atau kedaulatan rakyat, memberi keputusan
terhadap sengketa rakyat, melaksanakan hukum-hukum agama, berusaha melaksanakan
keadilan sosial dan kemakmuran negara, menuju kepada Baldatun Thayyibatun wa Rabbun
Ghafur (istilah yang dipopulerkan K.H. Ahmad Dahlan).

Untuk mewujudkan pemerintah yang bukan absolut monarki ada empat syarat, yaitu:

1. Imam dari suku Quraisy menurut sebagian riwayat merupakan suatu anjuran. Dalam arti
bahwa pemerintahan yang dimaksud suatu Khalifah atau pemerintah pusat yang
mempersatukan semua negara Islam di dunia. Pada prinsipnya Imam tidak harus dari suku
Quraisy, tetapi boleh siapa saja diangkat (dibai’at) menjadi pemimpin atau Imam yang
harus ditaati. Bila tidak mungkin membentuk pemerintahan bagi seluruh negeri-negeri
Islam, masing-masing negara Islam mengangkat Imam yang terdiri dari masing-masing
warga negara dari kebangsaan masing-masing.

5
2. Imam atau pemimpin harus dibai’at (disumpah). Sebenarnya, sumpah tidak sama dengan
bai’at karena bai’at adalah pengakuan kesetiaan dari seseorang atau seluruh warga kepada
pemimpin yang dibai’at itu. Semua mengangkat sumpah setia (bai’at) kepada pemimpin
dan orang yang telah bai’at harus mentaati segala perintah pemimpin asal tidak dalam
urusan maksiat. Perintah pemimpin atau Imam dalam pemerintahan Islam juga tidak
sewenang-wenang, tetapi atas dasar musyawarah oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi.

3. Musyawarah, sebagaimana dalam al-Quran Allah SWT bersabda “Wasyaawirhum fil


Amri” (bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam segala urusan), dan “Wa Amruhum
Syuura Bainahum” (segala urusan mereka dipecahkan dengan bermusyawarah antara
mereka sendiri). Termasuk mengangkat pimpinan negara pun harus dengan musyawarah
menurut cara masing-masing bangsa seperti Pemilu, atau yang lainnya, asalkan tidak
melanggar ketentuan dari agama.

4. Keadilan, yakni pemerintah harus melaksanakan keadilan, baik terhadap masing-masing


pribadi, berupa keadilan sosial maupun keadilan dalam hukum. Semua warga negara
adalah sama haknya, tidak ada perbedaan kulit dan ras dan tidak ada perbedaan pelayanan
hukum dan keistimewaan atau fasilitas yang tersendiri bagi seseorang. Semua warga
negara sama kedudukannya di hadapan hukum dan keadilan. Sabda Nabi SAW “Bila
Fatimah anak Muhammad mencuri, pastilah kupotong tangannya.”

Contoh-contoh keadilan hukum telah dijalankan oleh Rasulullah SAW, Khulafaur


Rasyidin, dan para Shahabat Nabi dalam sejarah Islam. Pelaksanaan hukum tidak pandang
bulu, baik terhadap pemimpin, tokoh masyarakat, maupun terhadap rakyat kecil. Terhadap
keadilan sosial pun, pemerintah Islam zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin benar-benar
melaksanakannya dengan dasar jiwa agama Islam yang penuh kasih. 3

B. Ahlussunnah Wal Jamaah Salaf


Aliran salaf sesuai maknanya yaitu tradisional menunjukkan aliran ini aliran
pertama dari Ahlussunnah wal Jamaah, salaf berarti pula ulama-ulama shaleh yang hidup
pada 3 abad pertama Islam. Beberapa ulama mendefinisikan tentang arti salaf, di
antaranya As-Syahrastani mengatakan bahwa ulama Salaf adalah yang tidak
menggunakan ta’wil (dalam ayat-ayat metasyabihat) dan tidak mempunyai paham
tasybih. Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan sebagai
sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran
yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru
untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.
3
Umar Hasyim , 1978 , Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunah Wal-Jama’ah? , PT Bina Ilmu Offset

6
Aliran ini senantiasa mempertahankan kemurnian ajaran Rasulullah SAW dan
masa sahabat serta masa tabi’in. akidah salafiah sangat bertentangan dengan konsep ahli
kalam (mu’tazilah). Akidahnya semata-mata berdasarkan tektual (harfiah) dan sama
sekali tidak mau menerima segala sesuatu yang kontekstual saja. Mereka kurang
berkontribusi pada peranan akal (rasio).
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf sebagai berikut. Pertama,
mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql). Kedua, dalam
persoalan cabang pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan cabang agama (furu’
ad-din), mereka bertolak dari penjelasan al Kitab dan as Sunnah. Ketiga, mereka
mengimami Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak pula
mempunyai paham antrhopomor phisme. Keempat, mereka memahami ayat-ayat al-
Qur’an sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya mena’wilkannya.4

Ulama-ulama salaf dengan beberapa pemikirannya.


1. Imam Ahmad Bin Hanbali
Ibn Hanbali merupakan anak dari pasangan suami istri, ibunya bernama Shahifah binti
Maimunah dengan ayahnya yang bernama Muhammad bin Hanbal, jika diurut-urutkan
akan bertemu dengan keluarga Nabi Muhammad SAW. Dilahirkan di Baghdad pada
tahun 164 H/780 M dan meninggal 241 H/855 M.ia sering dipanggil Abu Abdillah yang
merupakan nama salah satu anaknya. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam
Hanbali Karena merupakan pendiri madzhab Hanbali.
Pendidikannya bermula melalui didikan ayahnya, namun ketika genap berusia 16
tahun ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia berguru pada ulama-ulama Baghdad,
berlanjut di Kuffah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan terakhir di Madinah. Di antara
guru-gurunya bernama Hammad bin Khalid, Isma’il bin Aliyyah dan masih banyak lagi.
Ia mempelajari ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, Kalam, Ushul dan Bahasa Arab.
Ketika itu aliran Ahlussunnah mendapat intimidasi luar biasa dari penguasa
Mu’tazilah (Khalifah Al Makmun). Dalam sejarah Islam dikenal dengan peristiwa Fitnah
Khalqil Qur’an yang menggugat bahwa al Qur’an bukan Kalamullah. Di sinilah
perjuangan Ibn Hanbal memuncak, ia mempertaruhkan jiwa raganya untuk siap keluar
masuk penjara dan penganiayaan ribuan kali cambuk yang harus dideritanya hingga
terlepas kain penutup auratnya. Hal itu dilakukan demi mempertahamkan akidah
Ahlussunnah wal Jamaah yang ia bawa. Ia berjuang sendiri sementara ulama-ulama lain
tak sanggup dan menyerah.

4
Abdul Rozak ,Rosihan Anwar , 2003 , Ilmu Kalam , Pustaka Setia

7
Namun, menurut Harun Nasution ada satu orang yang kuat keyakinannya seperti Ibn
Hanbal, yaitu Muhammad ibn Nuh, ia sependapat dengan Ibn Hanbal bahwa al-Qur’an
itu tidak diciptakan atau bersifat qadim. Akhirnya keduanya dipenjarakan, Muhammad
ibn Nuh wafat di dalam penjara.
Kita tentunya dapat membayangkan bagaimana perjuangan yang begitu
mengharukan, firqah yang begitu suci harus diperjuangkan dengan tetesan darah ulama
yang gigih mempertahankan akidah yang haqq demi terus hidup sampai kelak nanti.
Kaum Mu’tazilah dikatakan dalam sejarah merupakan perlawanan terberat bagi kaum
Ahlussunnah wal Jamaah, sampai akhirnya nanti kemenangan setelah lahir Ahlsussunnah
versi Khalaf yang di komandani Abu Hasan Al Asy’ari. Pemikiran Ibn Hanbal menurut
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar dalam bukunya, terbagi menjadi dua, sebagai berikiut:
a) Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, Ibn Hanbali menggunakan pendekatan
tekstual tanpa menggunakan pendekatan kontekstual, terutama ayat-ayat yang
mutasyabihat.5

Seperti ia menafsirakan tentang ayat ini :


‫الرحمن علي العرش استوي‬
Artinya :
“ (yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam si atas Arsy.”
(Q.S. Thaha 20:5)
Menurut Ibn Hanbal ia menafsirkan bahwa Istiwa di atas Arsy terserah pada Allah
dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun sanggup
menyifatinya.
b) Tentang status al Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian
membuatnya dipenjarakan berulang kali ialah status al Qur’an. apakah al Qur’an itu
makhluk atau bukan. Ia berpendapat bahwa al Qur’an tidak diciptakan, sesuai pola
pikirnya yang menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang sifat-sifat Allah.

2. Ibn Taimiyah

Ibn Taimiyah dilahirkan di Harran pada tahun 661 H dan meninggal pada tahun
729 H. Nama aslinya Taqiyuddin bin Al Halim bin Taimiyah, namun lebih terkenal
dengan sebutan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17
tahun, ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai
hukum secara resmi di istana Gubernur Damaskus, pemikiran-pemikirannya dijadikan
landasan hukum di Damaskus. Hal ini membuat risau ulama-ulama kota tersebut yang

5
Ibid , hal 111-112

8
banyak menganut paham Mu’tzilah. Karena Ibn Taimiyah ialah ulama salaf yang ekstrim
dan kurang memberi ruang gerak kepada akal. Ia banyak mengkritik ulamaulama seperti
Imam Al Ghazali dan Ibn Arabi. Ibn Taimiyah beranggapan bahwa mereka tidak 100%
berdasar pada wahyu Illahi. Sebagai ulama salaf sudah barang tentu sepenuhnya pada
tekstual saja tanpa repot menggunakan kontekstual, karena menurutnya semua ia
serahkan kepada Allah semata.dalam perjuangannya ini Ibn Taimiyah seperti halnya
ulama terdahulunya Ibn Hanbal yang harus rela kaluar masuk penjara demi
mempersatukan umat dan kembali kepada ajaran Rasulullah SAW yang benar. Bahkan ia
pun wafat di dalam penjara.

Sebagai ulama salaf pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah pada intinya sama, yaitu
lebih mengedepankan tekstual dibanding kontekstual. Seperti yang diungkapkan oleh
Ibrahim Madkur, pemikiran Ibn Taimiyah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Sangat berpegang teguh pada nash
b) Tidak memberikan ruang gerak pada akal
c) Bahwa al Qur’an mengandung semua ilmu agama
d) Di dalam Islam yang diteladani hanya pada tiga generasi saja, yakni masa
Sahabat Nabi, Tabi’in, Tabi’i Tabi’in
e) Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan Tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.

3. Ibn Qayyim Al Jawjiyyah


Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin
Ayyub bin Sad bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zuri ad-Dimasyqi dan dikenal dengan
nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H. Dia
tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah al-
Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah
digelari Qayyim al-Jauziyah. Sebab itu pula sang anak dikenal di kalangan ulama dengan
nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Seperti gurunya Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim meneruskan jejak beliau untuk kembali
kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, yakni Ahlussunnah wal Jamaah
yang tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli
Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al Qur’an, as-
Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat dan Qiyas.

Menurut Syihab aliran salafiah selanjutnya berkembang ke seantero dunia. Di


kawasan Timur Tengah dikembangakan oleh Syekh Muhammad Abduh, Syekh

9
Jamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridha. Di Afrika dikembangkan oleh Syekh Sanusi. Di
India oleh Sayid Ahmad din Irfan dan Syekh Ahmad Sirhindi. Sementara di Inonesia
dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, serta masih banyak lagi ulama-
ulama pengembang Ahlussunnah wal Jamaah versi Salaf ini6.

C. Ahlussunnah Wal Jamaah Khalaf

Telah dijelaskan tadi bahwa Ahlussunnah versi Khalaf ialah firqah yang dibawa
oleh ulama pada tiga abad pertama Islam. Sedangkan Ahlussunnah versi Khalaf ini
merupakan kelanjutan dari versi sebelumnya, yakni pada awal abad ke tiga hijriah. Firqah
ini menengahi antara dua Firqah Mu’tazilah dan Ahlussunah versi Salaf. Jika Mu’tazilah
mengedepankan rasionalime dan Ahlussunnah lebih mengedepankan Nash atau Wahyu
secara tekstual. Firqah Ahlussunnah versi Khalaf ini cenderung moderat, artinya Akal
dan Wahyu saling mendukung, kecuali dalam masalah tertentu akal tidak cukup untuk
memahami wahyu karena keterbatasannya. Namun, firqah ini masih sejalan dengan aliran
Ahlussunnah wal Jamaah, karena tetap berpegang teguh pada ajaran Rasul yang lurus
yakni al Qur’an dan Hadist sebagai sumber utama pedoman hidup. Dalam makalah ini
akan di uraikan ulama-ulama yang menyokong berdirinya Ahlussunnah wal Jamaah versi
Khalaf. Di antaranya, Abu Hasan Asy’ari, dilanjutkan Al Maturidiyah dan Bazdawiyah
sesuai standar kompetensi.

Ulama-ulama khalaf dengan beberapa pemikirannya:

1. Al Asy’ari
Nama aslinya Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishak bin Salim bin
Isma’il binAbdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Abdullah bin
Qais al Asy’ari (cucu sahabat Nabi). Dilahirkan di Basrah pada tahun 260 H dan wafat di
Baghdad tahun 324 H.19Ayahnya meninggal ketika Asy’ari masih kecil, sehingga Ibunya
menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abu Ali Jubba’i. Kemudian ia
dididik oleh ayah tirinya itu hingga ia menguasai betul masalah Mu’tazilah, selama 40
tahun Asy’ari belajar dengannya. Entah mengapa Asy’ari setelah sekian tahun
mempelajari Mu’tazilah. Tiba-tiba ia menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Banyak peneliti
yang mengemukakan pendapatnya tentang kepindahan Asy’ari ini.dalam buku Ilmu
Kalam karya Abdul Rozak mengatakan bahwa Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah
SAW selama tiga kali pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan Ramadhan. Dalam
mimpinya dikatakan bahwa Rasulullah SAW memperingatkannya agar meninggalkan
paham Mu’tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan oleh beliau.7

6
Ibid , hal 113-115
7
Ibid , hal 120

10
Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia merasa tidak puas tentang aliran
tersebut. Sehingga ia merenung di dalam rumah selama 15 hari dan memeutuskan untuk
keluar dari firqah Mu’tazilah. Ada juga yang berpendapat bahwa kepindahan Asy’ari
merupakan strategi jitu yang ia lakukan untuk mempelajari dulu ajaran Mu’tazilah,
setelah merasa cukup kemudian ia menentang paham tersebut. Pada intinya Asy’ari
berpendapat bahwa akal manusia terbatas untuk menguak realitas ketuhanan kecuali yang
di informasikan secara langsung melalui al Qur’an. Hal inilah yang membuat Asy’ari
keluar dari firqah Mu’tazilah yang selalu mengedepankan akal tanpa di landasi dalil-dalil
yang kuat.

Menurut Yusrin dalam buku berjudul Ilmu Tauhid telah di uraikan pokok-pokok
pemikiran Asy’ari sebagai berikut:

a) Bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an.


Hal ini jelas bertentangan dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat.

b) Bahwa al Qur’an adalah Qadam, berlawanan dengan Mu’tazilah yang menurutnya al


Qur’an itu di ciptakan atau mahluk.

c) Bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala manusia di dalam surga.

d) Bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Allah, bukan diciptakan oleh manusia itu
sendiri.

e) Antropomorhisme, bahwa Allah bertahta di Arsy, mempunyai tangan, mata, dan


sebagainya. Namun, menurutnya itu mengandung makna kiasan, artinya tidak sama
seperti mahluknya, sesuai sifat Allah Muhallafatul lil hawaditsi.

f) Bahwa Allah itu adil

g) Bahwa muslim yang berbuat dosa besar tetap Islam dan tidak kafir, ia akan tetap
disiksa namun tidak selamanya. Atas pemikiran-pemikitannya itu, Asy’ari menjadi
demikian populer. Namun, semua itu tidak terlepas dari dukungan ulama-ulama besar
dari pelbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan madzhab Syafi’i. Di antaranya ialah
Al Ghazali, Imam Abu Bakar al Baqillani, Imam Haramain, Imam Fakhurrazi, Imam Al
Qurthubi, dan masih banyak lagi.

2. Al Maturidi

Tidak banyak yang meneliti tentang riwayat hidup Al Maturidi, yang jelas ia hidup
sejaman dengan Asy’ari. Nama aslinya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin

11
Mahmud al Maturidi. Dilahirkan di Maturid, Samarkand pada pertengahan abad ke-9
masehi dan wafat pada tahun 332 H. Pemikiran al Maturidi secara garis besar selaras
dengan Abu Hasan Asy’ari, namun Al Maturidi lebih rasional ketimbang Asy’ri, sesuai
madzhab yang ia anut yakni Madzhab Hanafi.

Berikut beberapa pemikiran Al Maturid:

a) Bahwa Allah mempunyai sifat (sejalan dengan Asy’ari)

b) Bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, namun menurutnya manusia


juga mempunyai daya untuk berbuat sesuatu, yakni dengan mempertemukan ikhtiar
(manusia) dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.

c) Bahwa al Qur’an merupakan Qadam

d) Bahwa Allah itu adil

e) Bahwa muslim yang berdosa besar tetap Islam, kan dimasukkan neraka namun tidak
selamanya.

f) Antropomorphisme

Pendukung-pendukung berkembangnya paham Ahlussunnah yang dibawanya ialah


Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al Bazdawi yang akan dijelaskan
selanjutnya.8

3. Al Bazdawiyah

Seorang tokoh besar dan intelektual terkemuka dalam ilmu fiqih, ushul fiqih (madzhab
Hanafi), tafsir dan ilmu kalam (teologi). Nama aslinya Ali Bin Muhammad Bin Husein
Bin Abdul Karim Bin Musa Bin Isa Bin Mujahid Al Bazdawi. Lahir di Bazdah
(Bazdawah) pada tahun 400 H. Kemudian belajar di Samarkand dan meninggal di Kash,
Uzbekistan pada tahun 482 H. Ia adalah murid dari Al Maturidiyah yang juga penganut
Madzhab Hanafi. Perjuangan gurunya itu ia lanjutkan, demi mempersatukan umat
kembali kepada jalan yang benar sesuai ajaran Rasulullah SAW. Ajarannya sama halnya
dengan Al Maturidi, yakni berlandas pada wahyu dan akal. Namun, jika Al Maturidi
lebih besar dalam penggunaan akal dripada wahyu, Al Bazdawiyah menyeimbangkan
sama besarnya antar keduanya, yakni wahyu 50% dan akal 50%.

8
M.Yusran Asmuni , 1996 , Ilmu Tauhid , Raka Grafindo Persada

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahlussunnah wal Jamaah merupakan sebuah firqah yang sejatinya mengembalikan akidah
Islam yang benar yang di ajarkan Rasulullah SAW. Ini sesuai namanya yaitu berlandaskan pada
sunnah Nabi dan sahabat. Karena ketika muncullnya Ahlussunnah wal Jamaah ini yaitu ketika
bermunculan paham yang menyerongkan ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam Ahlussunnah wal Jamaah terbagi menjadi dua, yaitu Salaf dan Khalaf. Keduanya
termasuk dalam Ahlussunnah, karena sama-sama berlandas pada ajaran Rasulullah SAW yang
sesungguhnya. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Namun, perbedaan itu jika
ditelusuri dan di telusuri maka akan ditemukan titik temu antara keduanya.

Ahlussnnah salaf ini adalah Ahlussunnah tempo dulu, yaitu terdapat pada tiga abad pertama
hijriyah. Karena tradisional, dalam versi salaf ini sangat murni ajaran-ajarannya, yaitu yang sesuai
dengan yang di ajarkan Rasulullah. Mereka sangat terpaku pada Al Qur’an dan Hadist. Semua
harus sesuai dengan yang ada di dalamnya, sedikit sekali ruang gerak untuk akal digunakan.

Sedangkan Ahlussunnah Khalaf adalah Ahlussunnah konvensional, yaitu kelanjutan dari


versi sebelumnya. Namun, lebih menyempurnakan versi terdahulu. Yakni mereka menggunakan
kedua bekal yang telah diberikan kepada manusia, yaitu Wahyu dan akal. Keduanya saling
mendukung, namun pada suatu tertentu akal tidak mampu mencerna sesuatu kecuali dengan
bantuan Wahyu. Jadi, keduanya baik Ahlussunnah versi salaf maupun versi khalaf, merupakan
bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah yang mengikuti sunnah dan para sahabat.

B. Saran
Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai jalan permusuhan. Tetapi jadikanlah perbedaan
sebagai agen persatuan. Tetaplah Semangat menuntut ilmu dan istiqomah dalam menjalankan
syariat Islam

13
DAFTAR PUSTAKA

Idik Saiful Bahri, KONSEP MAYORITAS AHLUSSUNNAH WALJAMAAH, Bahasa Rakyat,


Yogyakarta, 2020.

Ratu Suntiah, Maslani, Ilmu Kalam, SEGA ARSY, 2010

Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah?, PT Bina Ilmu
Offset, Surabaya, 1978.

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2003.

M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, RakaGrafindo Persada, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai