Anda di halaman 1dari 24

Masih Relevankah Pancasila

dalam bidang Pendidikan, Sosial Budaya, Agama, Hukum dan HAM, Politik dan Ekonomi

Nama Kelompok :
Salsabilla MZ (171610101021)
Lutfi Lailia (171610101022)
Fithrie Rasdiana (171610101023)
Nurmay Farah L (!71610101024)
Ahmad Andreyanto (171610101025)
Firda Dwi (171610101026)
BAB I
PENDAHULUAN

Pancasila merupakan ideology bangsa Indonesia yang multifungsi, bukan hanya sekedar
ideologi biasa. Tetapi menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini. Dilihat dari
kenyataan sekarang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak diwujudkan secara total,
bisa dibilang setengah hati. Mungkin di antara siswa-siswi,maupun mahasiswa
membicarakannya saja sudah ogah-ogahan, apatis bahkan tidak memaknai secara sungguh-
sungguh untuk dilaksanakan secara konkret, bukan hanya sekedar diucapkan di bibir ketika
upacara bendera maupun kegiatan formal lainnya. Apalagi tidak dapat dipungkiri usaha-usaha
untuk berganti ideologi tidak pernah surut di Era sekarang ini. Selalu ada saja orang yang berniat
untuk menggusur Pancasila, walaupun tidak secara terbuka keseluruhan. Namun, justru hal itulah
yang berbahaya karena dilakukan secara diam-diam, pelan-pelan, terselubung, namun pasti. Pasti
banyak yang sudah mendengar bahwa ‘kemacetan’ yang terjadi di berbagai sektor baik ekonomi,
sosial, politik, budaya, dan sebagainya disebabkan oleh tidak diterapkannya nilai-nilai visioner
milik Pancasila. Masih begitu banyak masalah seputar Pancasila; hal ini menimbulkan sebuah
tanda tanya besar, apakah nilai-nilai Pancasila masih relevan?

Tidak sedikit yang mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila beberapa masih cocok dan
beberapa sudah tidak relevan lagi. Sebagian orang mengatakan bahwa poin ketiga dan kelima
sudah tidak cocok lagi melihat keadaan negara kita sekarang. Contohnya pada saat pemilu yang
terselenggara akhir-akhir ini. Pemilu banyak mengundang perpecahan dan fitnah yang tersebar di
mana-mana. Ini menandakan rakyat Indonesia tidak begitu merindukan persatuan untuk terwujud
di tanah air ini. Ada yang menyatakan bahwa sila kelima-lah yang paling sering dilanggar karena
banyaknya korupsi dan pelanggaran HAM yang terus terjadi di mana-mana. Menurut sebagian
orang, kedua sila di atas tidak lagi cocok. Generasi sekarang sudah berbeda dan komunikasi
sudah begitu pesat. Teknologi berganti menjadi jauh lebih canggih yang mungkin mengundang
rasa aliensi bagi generasi yang lalu yang bisa meni,bulkan efek negatif.
Selain semua itu, sebetulnya tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa nilai-nilai visioner
Pancasila masih relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masa kini. Banyak juga yang
menyatakan bahwa nilai-nilai itu sudah dipersiapkan dan dipikirkan secara matang sejak
Indonesia merdeka dulu. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila justru sangat cocok dengan
kemajemukan bangsa Indonesia sampai sekarang ini. Pancasila adalah dasar negara yang
mempersatukan negara Indonesia dengan segala heterogensi dan ratusan suku dan pemikiran.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Relevansi Pancasila dalam bidang Pendidikan

Pancasila merupakan dasar bagi bangsa Indonesia dalam menata kehidupannya termasuk
di dalamnya menata pendidikan. Pancasila merupakan dasar pendidikan nasional sebagaimana
tercantuum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab 2 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di dalam pelaksanaan pendidikan, tentunya sila pertama ini akan diberikan kepada siswa
sebagai motifasi utama dalam kegiatan pendidikan. Karena itu, di sekolah-sekolah
diberikan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang salah satu butir sila
pertamanya adalah percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama masing-masing. Sehingga bila kita lihat dalam lingkup kelas, nilai yang tampak
diantara siswa adalah saling menghormati walaupun mereka berlainan agama. Oleh
karena itulah, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, pelajaran Pancasila masih
diberikan, tak lain agar nilai-nilai Pancasila benar-benar diamalkan dengan kehidupan
sehari-hari.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila tersebut berperan dalam mengajarkan seorang guru bagaimana cara mendidik
manusia dengan rasa kemanusiaan. Mendidik manusia agar menjadi pribadi yang
memiliki rasa kemanusiaan. Mendidik dengan rasa kemanusiaan agar tidak hanya
mentingkan diiri sendiri, namun peduli dengan orang lain. Karena manusia pada
hakikatnya sejajar dengan manusia lain, tak ada golongan yang lebih tinggi dan yang
lebih rendah, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kpada Tuhan.
3. Persatuan Indonesia
Dari sila tersebut kita diajarkan untuk bersatu walaupun kita berbeda agama, kebudayaan,
ras, suku bangsa dan sebagainya, namun kita tetap sama yaitu warga negara Indonesia
yang berpedoman pada pancasila. Walaupun kita berbeda, kita tak sama namun dengan
adanya sumpah pemuda, kita memiliki tumpah darah yang sama, bangsa yang sama, dan
bahasa yang sama sebagai pemersatu perbedaan diantara kita semua.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
Sila ini mengajarkan kita untuk berdemokrasi, khususnya untuk bemusyawarah dengan
menerima pendapat orang lain. Dalam pendidikan sila ini menjadi acuan dalam
pengambilan keputusan. Melalui kesepakatan bersama yang akan menghasilkan mufakat
bersama. Seperti contohnya saat di kelas, ketika guru menugaskan muridnya untuk
berdemokrasi mengenai suatu permasalahan. Maka melalui tugas ini, anak sudah mulai
diajarkan untuk berdemokrasi dengan mengeluarkan pendapat dan menghargai pendapat
temannya.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila ini berperan dalam suatu pendidikan. Dimana seorang pemimpin harus berlaku adil
untuk seluruh anggota dalam pendidikan. Tidak membeda-bedakan satu dengan yang
lainnya. Dalam pendidikan sila ini berperan dalam pengajaran seperti seprang guru tidak
bole membeda-bedakan muridnya. Membeda-bedakan antara si kaya dan si miskin, si
bodoh dan si peintar dan sebagainnya. Seorang guru hendaklah bersikap sama kepada
semua muridnya.

2. Relevansi Pancasila dalam bidang Sosial Budaya

Perkembangan dunia yang tanpa batas dapat menimbukan dampak positif maupun
dampak negatif. Dari setiap dampak yang ditimbulkan, dalam bidang sosial budaya tampak nyata
berpengaruh dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat ditunjukan
adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin modern dan konsumtif, bahkan
menggeser nilai-nilai lokal yang selama ini diprtahankan. Sikap yang harus ditunjukkan oleh
masyarakat Indonesia sebagai pengamalan dari Pancasila dalam menghadapi nilai-nilai
globalisasi, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Perubahan sosial berikutnya bahwa
pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan
masyarakt Indonesia yang sangat heterogen ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi
dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/ kelompok
itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi. Ini menunjukan bahwa filter
Pancasila tidak berperan optimal, itu terjadi karena pengamalan Pancasila tidak sepenuhnya
dilakukan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu harus ada tindakan lanjut agar budaya bangsa
Indonesia sesuai dengan Pancasila.
Pembudayaan Pancasila tidak hanya pada kulit luar budaya misalnya hanya pada tingkat
propaganda, pengenalan serta pemasyarakatan akan tetapi sampai pada tingkat kemam puan
mental kejiwaan manusia yaitu sampai pada tingkat akal, rasa dan kehendak manusia.
Pancasila, yang pada hakikatnya merupakan produk asli Indonesia dan lahir dari
banyaknya perbedaan, seharusnya menjadi nilai dasar yang senantiasa dijunjung oleh segenap
masyarakat Indonesia. Tetapi saat ini banyak tantangan dan juga ancaman yang harus
dihadapi oleh Pancasila terutama ketika di era sekarang ini, masyarakat Indonesia yang
semakin maju dalam peradabannya terutama dalam penggunaan teknologi. Teknologi pada
dasarnya memang diciptakan untuk membantu manusia dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Meskipun demikian, teknologi juga bisa menjadi alat yang mampu membahayakan kehidupan
manusia apabila tidak digunakan secara bijaksana.
Dalam menghadapi tantangan ini maka, Pancasila lah yang dapat menjadi jawaban
tentang kekhasan sumber daya manusia Indonesia. Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia
merupakan hasil pemikiran yang dituangkan dalam suatu rumusan rangkaian kalimat dengan
mengandung satu pemikiran bermakna untuk dijadikan dasar, azas, pedoman hidup dan
kehidupan bersama dalam negara Indonesia merdeka.
Pancasila sebagai sumber etika dalam konsep dan pelaksanaan kerja profesional sumber
daya manusia Indonesia harus menjadi ruh utama dalam perumusan Kode Etik Profesi yang
meliputi aspek etika, moral dan hukum. Dengan begitu, SDM Indonesia akan memiliki kekhasan
sebagai manusia yang adaptif terhadap teknologi dengan keunggulan karakter dan integritas
pancasila. Semua ini merupakan paket revolusi 4.0 yang akan menantang Pancasila sebagai
ideologi. Pada era revolusi 4.0 Pancasila dengan segenap nilai yang melekat padanya harus
berhadapan dengan perkembangan sains dan teknologi beserta paradigma berpikir masyarakat
Indonesia. Sehingga dapat dikatakan posisi Pancasila sebagai ideologi sangat terancam posisinya
apabila revolusi industri 4.0 tidak disikapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia secara
hikmat penuh kebijaksanaan. (Faisal, 2019)
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi pokok pertama tantangan dan
penguatan ideologi Pancasila dalam menghadapi revolusi industri 4.0 adalah dengan
meningkatkan Sumber daya manusia Indonesia yang unggul sesuai dengan tema kemerdekaan
republik Indonesia yang ke 74. Hal lain juga akan menjadi tantangan jika perkembangan ideologi
berjalan jauh lebih lamban dari proses perubahan masyarakat. Umpamanya perubahan dari
masyarakat agraris menjadi masyarakat industry modern. Suasana seperti itu biasanya
menyebabkan ketegangan dalam interaksi, karena kehadiran kesenjangan yang makin melebar
antara ideologi yang lamban memperbaharui relevansinya dengan realita baru kehidupan
masyarakat yang cepat prosesnya. Masyarakat dengan realita barunya berkembang sendiri
meninggalkan ideologinya, karena ideologi itu dirasakan tidak relevan lagi dengan dirinya,
meskipun secara formal mereka masih berpura-pura mengakui dan menerimanya. Secara
substantif ia tidak lagi menjiwai realita baru kehidupan mereka, dan oleh karena itu nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam ideologi itu kehilangan maknanya sebagai pengarah atau pemandu
proses pembangunan masyarakatnya.
Bahaya yang digambarkan diatas dapat dihindari bilamana krisis interaksi antara ideologi
dengan realita kehidupan dapat merangsang kreativitas masyarakat, terutama kalangan
cendekiawan dan ilmuwan untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang bukan saja
tetap relevan dengan ideologi mereka, tetapi sekaligus juga komunikatif dengan perkembangan
realita kehidupan mereka dari masa ke masa.
Implementasi Pancasila dalam bidang Sosial dan Budaya
Dalam pembangunan dan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan
atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi di segala bidang dewasa
ini. Sebagai anti-klimaks proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi
nilai social budaya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jika di berbagai wilayah
Indonesia saat ini terjadi banyak gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk
massa yang cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya
yang muaranya adalah masalah politik.
Oleh karena itu dalam pengembangan social budaya pada masa reformasi dewasa ini
kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-
nilai pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika pancasila pada hakikatnya bersifat humanistic,
artinya nilai-nilai pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
Sosial budaya merupakan salah satu bidang kehidupan manusia dalam
mengembangkan kebudayaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup manusia khususnya dalam memenuhi kepuasan
batiniah, material dan sosial. Sejak abad ke-20 dengan terjadinya keanekaragaman yang luar
biasa dalam kehidupan berbangsa di negara-negara berkembang, masyarakat dunia mengakui
bahwa keanekaragaman sosial budaya atau pluralisme merupakan masalah yang hakiki.
Masyarakat pluralistik adalah masyarakat yang terdiri atas sejumlah golongan suku bangsa
yang terwujud dalam satuan-satuan masyarakat dengan kebudayaannya yang berdiri
sendiri, dan menyatu menjadi bangsa dalam sebuah negara.
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat pluralistik, dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, yang harus diwujudkan dalam membangun jiwa kebangsaan yang
kuat, berdiri di atas perbedaan kultur, agama, adat-istiadat, ras, etnis dan bahasa.
Keanekaragaman tersebut tidak boleh meretakkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Itulah bentuk kehidupan sosial budaya bangsa.
Implementasi Konsep, Prinsip dan Nilai Pancasila dalam Bidang Sosial Budaya
1. Bangsa yang berbudaya Pancasila adalah bangsa yang berpegang pada prinsip
religiositas, pengakuan bahwa manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka manusia hendaknya
mampu menempatkan diri secara tepat dalam hubungan dengan Tuhannya. Pertama
ia harus yakin akan adanya Tuhan sebagai kekuatan gaib, yang menjadikan alam
semesta termasuk manusia, yang mengatur dan mengelolanya sehingga terjadi
keteraturan, ketertiban dan keharmonian dalam alam semesta. Kedua, sebagai akibat
dari keyakinannya itu, maka manusia wajib beriman dan bertakwa kepada-Nya, yakni
mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
2. Bangsa yang berbudaya Pancasila berpandangan bahwa manusia sebagai ciptaan
Tuhan dikaruniai berbagai kemampuan dasar, dengan kapasitas rasional dan
memiliki hati nurani, yang membedakan manusia dari makhluk lain ciptaan Tuhan.
Kemampuan dasar tersebut adalah cipta, rasa, karsa, karya dan budi luhur. Di
samping itu manusia juga dikarunia kebebasan untuk memanfaatkan potensi tersebut.
Dengan kemampuan ini manusia dapat memahami segala hal yang berkembang di
sekitar dunianya, mampu menangkap maknanya, mampu memberikan penilaian dan
selanjutnya menentukan pilihan terhadap hal-hal yang akan dilaksanakan atau
dihindarinya, yang harus dipertanggung jawabkan.
3. Bangsa yang berbudaya Pancasila menghendaki berlangsungnya segala sesuatu
dalam suasana yang selaras, serasi dan seimbang. Hal ini hanya mungkin terjadi
apabila setiap warga masyarakat menyadari akan hak dan kewajibannya, menyadari
akan peran, fungsi dan kedudukannya sesuai dengan amanah Tuhan Yang Maha Esa.
4. Dalam menunjang hidup manusia, Tuhan menciptakan makhluk lain seperti makhluk
jamadi, makhluk nabati, dan makhluk hewani baik di darat, laut maupun udara,
untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan penuh kearifan. Segala makhluk
tersebut perlu didudukkan sesuai dengan peruntukannya, sesuai dengan fungsinya,
peran dan kedudukannya dalam menciptakan harmoni, dan kelestarian ciptaan-Nya.
Setiap makhluk mengemban amanah dari Tuhan untuk diamalkan dengan sepatutnya.
5. Di samping kemampuan dasar tersebut di atas, manusia juga dikaruniai oleh Tuhan
dengan nafsu, akal dan kalbu yang merupakan pendorong dalam menentukan pilihan
dan tindakan. Tanpa nafsu, akal dan kalbu tersebut maka manusia sekedar sebagai
makhluk nabati, yang tidak memiliki semangat untuk maju, mencari perbaikan dan
kesempurnaan dalam hidupnya. Dalam memanifestasikan nafsu tersebut maka perlu
dipandu oleh akal dan budi luhur, sehingga pilihan tindakan akan menjadi arif dan
bijaksana. Di sini letak martabat seorang manusia dalam menentukan pilihannya; dapat
saja yang berkuasa dalam menentukan pilihan ini adalah hawa nafsu, sehingga pilihan
tindakannya menjadi bermutu rendah; dapat pula pilihan ini didasarkan oleh
pertimbangan akal sehat dan dilandasi oleh budi luhur dan bimbingan keyakinan
agama, sehingga pilihan tindakannya menjadi berbudaya dan beradab.

3. Relevansi Pancasila dalam bidang Agama


Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia merupakan seperangkat nilai yang
menjadi pandangan hidup (way of life) bagi negara Indonesia. Kondisi itu meniscayakan bahwa
fondasi bernegara dan praktik kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan nilai-nilai
yang terkandung di dalam Pancasila.
Konsensus cerdas para pendiri negara tersebut berangkat dari sebuah paham kebangsaan
yang terbentuk dari kesamaan nasib, sepenanggungan, dan sejarah serta adanya cita bersama
untuk menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur dalam sebuah negara kesatuan.
Adanya prinsip bersatu dalam perbedaan membuat Pancasila menjadi semakin kuat dan
layak sebagai sebuah ideologi bagi negara Indonesia yang khas dengan keanekaragamannya.
Konsep persatuan yang ideal dengan mengkondisikan setiap warga negara hidup berdampingan
dan gotong royong tanpa menghilangkan identitas suku bangsa, adat istiadat, ras, ataupun agama.
Dalam definisi tertentu, Pancasila sebenarnya Indonesia itu sendiri. Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan spirit/ruh kebangsaan; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan
watak, karakter, dan kepribadian bangsa; Persatuan Indonesia merupakan ikatan kebangsaan;
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
merupakan media/wadah dan alat kebangsaan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia merupakan tujuan kebangsaan.
1 Juni 2019 menjadi penanda bahwa Pancasila sudah berusia 74 tahun. Rentan waktu
yang begitu panjang dan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia yang signifikan
menimbulkan beberapa pertanyaan baru di kalangan petinggi negara, akademisi, dan kita semua.
Apakah Pancasila masih relevan dengan kondisi negara dewasa ini? Apakah Pancasila masih
mampu menjawab setiap tantangan di era perkembangan teknologi, revolusi industri 4.0?
Apakah Pancasila masih bisa menjadi bintang pemandu bagi rakyat Indonesia, khususnya
generasi milenial?
Kondisi negara Indonesia sudah sangat jauh berubah dari semenjak awal kemerdekaan.
Perkembangan dan perubahan adalah hal yang tidak bisa dihindari sebagai prasyarat untuk
mencapai kemajuan dan tujuan kemerdekaan. Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah
mendatangkan manfaat sekaligus dan dampak buruk bagi masyarakat. Kemudahan, kecepatan,
dan efektivitas merupakan gambaran umum dampak kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi yang tidak dikendalikan dan dikontrol akan menghasilkan masalah
baru yang dapat menghambat atau merusak suatu negara. Generasi milenial adalah generasi yang
sangat familier dengan teknologi karena generasi ini lahir ke dunia di mana segala aspek fisik
(manusia dan tempat) mempunyai ekuivalen digital. Di Indonesia populasi generasi milenial
mencapai 90 juta jiwa. Itu menandakan kelompok milenial mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap perkembangan dan kemajuan Indonesia. Ditambah dengan jumlah aktivitas warga
negara di dunia maya didominasi oleh anak muda milenial. Generasi milenial menjadi
penyokong utama peredaran informasi di dunia virtual.
Pada waktu yang sama ancaman bangsa terus terus berkembang di setiap bidang. Bidang
ideologi (ancaman ekstremisme, paham radikal), bidang politik (permasalahan pemilu, pejabat
negara yang terjerat korupsi), bidang ekonomi (kesenjangan yang masih tinggi), bidang sosial
budaya (pengangguran, kekerasan dalam rumah tangga), bidang pertahanan dan keamanan
(terorisme, konflik SARA, ilegal fishing). Revolusi industri 4.0 juga membawa disruption and
bridging generations. Terdapat gap antargenerasi dalam sebuah pola komunikasi sehingga
terjadilah disrupsi atau perubahan mendasar terhadap suatu realitas.
Fakta sosiologis di atas seolah menciptakan sebuah ilusi bahwa Pancasila telah gagal
menjawab setiap tantangan zaman. Kegagalan mendiagnosis permasalahan yang ada
menyebabkan lahirnya ide penyelesaian yang tidak solutif dan memperburuk keadaan. Apabila
kita melihat secara komprehensif dan merasakan suasana kebatinan setiap masalah yang ada
maka sebenarnya yang terjadi adalah terdapatnya upaya untuk menggantikan atau melunturkan
Pancasila sebagai jati diri bangsa dan pegangan dalam kehidupan bernegara. Sehingga
internalisasi Pancasila dengan metode yang tepat adalah solusi di tengah krisis nasionalisme
yang terjadi saat ini.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia merupakan sebuah sistem nilai
kebaikan universal yang bisa diterapkan dalam konteks apapun baik pada masa hari ini, besok,
dan masa yang akan datang. Itu artinya Pancasila dengan basis filosofinya yang mendalam
sebenarnya mampu untuk menjawab setiap problematika yang ada. Terdapat dua syarat agar
Pancasila dapat beroperasi secara optimal dalam masyarakat. Pertama, Pancasila harus terpahami
dan terinternalisasi pada setiap individu. Kedua, mampu menggunakan Pancasila sebagai alat
penyelesaian masalah.
Pancasila sebagai nilai universal masih sangat relevan dengan generasi hari ini. Pancasila
hanya perlu terinternalisasi dengan baik ke setiap generasi yang ada khususnya generasi milenial
yang akan menjadi salah satu tokoh pergerakan kemajuan negara yang kita cintai ini.
Nilai-nilai ketuhanan, Indonesia adalah negara religius yang menjadikan nilai-nilai
religiusitas sebagai sumber etika dan spiritualitas dalam bersikap tindak termasuk sikap tindak
dalam dunia virtual. Menghargai perbedaan agama dan kepercayaan dalam bermedia sosial akan
menghantarkan kenyamanan dalam kehidupan beragama. Tidak melontarkan konten penghinaan
atau menyudutkan agama dan kepercayaan tertentu membuat kehidupan beragama menjadi
tentram dan damai.
Dalam beberapa waktu belakangan, muncul isu-isu miring di media sosial mengenai
apakah Pancasila masih signifikan untuk dijadikan dasar bangsa. Pancasila dianggap masih
sangat tepat untuk menjadi jiwa dan kepribadian bangsa.
"Pancasila itu dasar negara, pandangan hidup dan jiwa serta kepribadian bangsa
Indonesia," ujar Ketua Presidium PP PMKRI Angelo Wake Kako. Hal itu disampaikannya dalam
diskusi "Pancasila dalam Tantangan Toleransi Kehidupan Umat beragama di Indonesia" di aula
Margasiswa PMKRI, Jl Sam Ratulangi No 1 Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/1/2017).
Menurut Angelo, kepribadian masyarakat harus berdasarkan Pancasila. Menurutnya,
itulah yang selama ini menyatukan Indonesia yang plural. "Indonesia yang plural ini bisa
dipersatukan dengan paham Pancasila, ini sesuatu yang luar biasa. Namun, seiring
perkembangan zaman, ajaran Soekarno yang murni mulai hilang. Karena itu, PMKRI sangat
senang ketika kita mulai berbicara Pancasila sebagai pegangan hidup," kata Angelo.
Menurut Angelo, Pancasila bisa memayungi ruang perbedaan yang ada di Indonesia. Pancasila
dianggap bisa menjadi jalan keluar dari persoalan yang ada saat ini. "Sehingga butuh kerja ekstra
untuk membumikan Pancasila.
Beberapa minggu kemarin ada opini-opini soal kebinekaan. Jangan mengaku sebagai
anak Indonesia kalau tidak mengakui perbedaan," ujar Angelo. Sukwamati Soekarnoputri, yang
hadir dalam diskusi ini, mengatakan setiap agama dan ras yang ada di Indonesia harus
diperlakukan secara adil. Dia menentang setiap kelompok yang melakukan intoleransi.
"Alangkah bijaknya Founding Fathers. Pada kenyataannya, semua agama, daerah, dan ras
berjuang untuk kemerdekaan. Setelah Proklamasi, semua yang berjuang mengisi kemerdekaan,
tidak boleh tidak adil," ujar Sukmawati."Saya kira kelompok-kelompok ekstrem harus
dibubarkan," sambung Sukmawati.
Menurut sejarah, Pancasila diakui sebagai kepribadian bangsa Indonesia sehingga
menjadi sebuah ciri khas yang membedakan Indonesia dari negara lain. Jika dilihat kembali,
Pancasila memang merupakan sebuah idealisme yang menjadi cita-cita dan tujuan masyarakat
Indonesia. 
Seharusnya, Pancasila sebagai dasar negara dapat menjadi pedoman penyelenggaraan
kehidupan masyarakat sehingga kehidupan dapat berlangsung dengan tertib dan sejahtera.
Namun, apakah nilai-nilai idealisme dalam Pancasila itu masih layak disebut kepribadian bangsa
Indonesia dengan melihat kondisi masyarakat dewasa ini? 
Sila pertama mengajak kita untuk memiliki sikap toleransi terhadap sesama umat
beragama, taat beribadah dan mengasihi ciptaan Allah. Realitanya, perbedaan suku dan agama di
Indonesia sangat mempengaruhi sikap dan pandangan individu ke arah negatif, bahkan
menimbulkan sikap benci satu sama lain. Bukti nyatanya, banyak terjadi kerusuhan umat
beragama, tidak sedikit juga kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Allah atas tindakan
anarkis mereka. 
Beredarnya video pembakaran Patung Yesus dan sebuah Gereja di Aceh oleh
sekelompok teroris ISIS sungguh memalukan ideologi Pancasila yang masih diagung-agungkan.
Jika antar umat beragama dapat saling bertoleransi dan menghargai, kelangsungan hidup yang
damai akan lebih terjamin. Seharusnya, perbedaan yang ada justru dimanfaatkan untuk saling
melengkapi satu sama lain demi membangun pribadi yang semakin secitra dengan Allah. Dengan
realita di atas, masih bisakah Pancasila disebut kepribadian bangsa Indonesia?
Oleh karena itu, di tengah krisis nasionalisme yang sedang melanda negeri ini, Pancasila
adalah cahaya penuntun untuk mengenal kembali jati diri bangsa dan perekat untuk
mempersatukan perbedaan. Semoga Tuhan yang Maha Esa merahmati dan mencerahkan hati dan
pikiran kita semua (Mardiyanto, S.H Ketua Umum Human Illumination DKI Jakarta, mahasiswa
Magister Hukum Universitas Pancasila, penggiat diskusi Pancasila).

4. Relevansi Pancasila dalam bidang Hukum

Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan core philosophy, sehingga merupakan suatu
local genius dan local wisdom bangsa Indonesia. Kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia
dengan demikian dapat dikatakan merupakan Grundnorm atau basic norm, yang menurut Hans
Kelsen “basic norm’s as the source of validity and as the source of unity of legal systems”.
Oleh karena itu Pancasila merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum. Dengan
demikian Pancasila juga merupakan cita hukum (rechts idee) yang dipahami sebagai konstruksi
pikir yang mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan.
Strategi pembangunan hukum nasional di tengah arus globalisasi yang multi dimensional
dengan demikian harus tetap terkendali dengan Pancasila sebagai ”Margin of Appreciation dan
Screening Board”. Pokok-pokok pikiran yang harus menjadi acuan pembangunan hukum ada-
lah sebagai berikut. Pertama, hukum itu berwatak mengayomi/melindungi segenap bangsa dan
tumpah darah Indonesia, berdasarkan persatuan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia; kedua, hukum harus mampu mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia; ketiga, hukum berasal dari rakyat dan mempunyai sifat kerakyatan
atau dengan kata lain adanya prinsip kedaulatan rakyat; dan keempat, hukum berdasarkan nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan dasar pengaturan terhadap adanya hukum-
hukum Tuhan, di samping memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai moral, dan budi
pekerti yang luhur.
Muladi berpendapat bahwa Pancasila pada dasarnya merupakan kristalisasi pelbagai
“common denominators” yang merupakan jawaban atas akar permasalahan (root cause),
merupakan sistem nilai luhur bangsa Indonesia. yang sudah ultimate dan definitif, sekaligus
merupakan refleksi dari reaksi persoalan-per- soalan bangsa secara riil, termasuk ketika
menghadapi fenomen globalisasi dunia.

Peran Pancasila sebagai Penguatan Struktur Hukum, Kultur Hukum dan Substansi
Hukum Nasional.
Persoalan pembangunan hukum nasional di era globalisasi harus diletakkan pada konsep
penguatan sistem hukum yang meliputi aspek struktural, kultural dan subsatantif. Elemen
struktur (structure) sistem hukum oleh Fried- mann dirumuskan sebagai berikut.
The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts,
their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear. And how and why), and modes of
appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how
many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legal) do or not
do, what procedures the police department follows, and so on.
Mengacu pada rumusan di atas, maka pengadilan beserta organisasiya dan Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan elemen struktur hukum. Demikian juga lembaga eksekutif dan
yudikatif. Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan lainnya, Mahkamah Konstitusi
(MK), Komisi Yudisuial (KY) merupakan aspek struktur hukum di Indonesia. Demikian pula
lembaga eksekutif sesungguhnya merupakan bagian dari struktur hukum, karena lembaga-
lembaga ter- sebut seperti Kepolisian Republik Indonesia, Ke- jaksaan Republik Indonesia
merupakan elemen penting dalam sistem hukum.
Kultur hukum Pancasila yang hendak di- bangun setidaknya memiliki cara pikir, cara
pandang, sikap dan perilaku yang mengakui, menerima dan menghormati agama dan ke-
percayaan yang berbeda-beda, serta kebebasan untuk memilih, memeluk dan melaksanakan
ibadahnya; mengakui, menghormati, menjun- jung tinggi dan menjaga hak-hak asasi manusia;
mengakui dan menghormati perbedaan sebagai kesatuan untuk dibangun dan disejahterakan
bersama; menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi, dengan mengutamakan
musyawarah dalam proses pengambilan ke- putusan; dan menjadikan keadilan sosial se- bagai
cita-cita bersama.
Di bidang hukum, permasalahan hukum kontemporer saat ini digambarkan dalam ren-
cana pembangunan 2004-2009 mencakup se- luruh elemen sistem hukum, antara lain ter-
jadinya degradasi budaya hukum di kalangan masyarakat. Pancasila adalah peradaban Bang-
sa Indonesia, maka kultur hukum Pancasila ha- rus ditumbuhkan, harus ada dan kuat, sehingga
keberadaan peradaban itu terjamin khususnya dalam kehidupan hukum.
Wacana Pancasila akan selalu hidup atau tidak pernah mati selama Indonesia sebagai
sebuah bangsa masih eksis. Dikatakan Buda- yawan Mochtar Pobottinggi bahwa
“Tiap sila dalam Pancasila mustahil di bekukan, apalagi perpaduan dan kohe- rensi dari
kelima-limanya. Sebagai ke- satuan yang utuh, ia menantang manusia- manusia
Indonesia kini dan nanti untuk terus menyusun dan melaksanakan rang- kaian demi
rangkaian agenda politik yang subtil, cerdas, dan prograsif. Tak satupun kontrak politik
lainnya sejak proklamasi kemerdekaan kita hingga kini yang bisa disesejajarkan dengan
Pancasila.”

5. Relevansi Pancasila dalam bidang Politik


Membicarakan politik di Indonesia saat ini timbul perasaan skeptis untuk menanggapinya,
mengingat situasi politik negeri ini yang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus kebobrokan para
politisi Indonesia saat ini telah mendelegitimasi (membusukkan) lembaga-lembaga politik dan
pemerintahan di mata rakyatnya. Membicarakan etika dalam berpolitik menjadi terasa sangat
nisbi dan mengawang-awang, terlalu ideal dan tidak nyata. Akan tetapi, tersisa ruang harapan
apabila kita melihat generasi muda, masa depan masyarakat Indonesia, serta peluangnya dalam
kelangsungan dinamika hidup berbangsa, meskipun ruang itu belum jelas bagaimana bentuknya.
Maka dari itu etika politik menjadi sangat penting
Menurut Paul Ricoeur, tujuan etika politik adalah mengarahkan pada hidup yang baik, bersama
dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-
institusi yang adil. Definisi etika politik membantu kita menganalisa korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini
menghindarkan pemahaman etika politik yang direduksi menjadi hanya sekedar etika individual
yakni perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur
mengandung tiga tuntutan yakni 1) Upaya hidup yang baik bersama dan untuk orang lain 2)Upaya
memperluas lingkup kebebasan 3) Membangun institusi-institusi yang adil.
Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Politik
tidak dapat dipisahkan dari etika karena keduanya mempelajari aspek praktis kehidupan manusia.
Menurut Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait
dengan tindakan kolektif, yang sebenarnya berarti etika sosial. Dalam etika individual, kalau
orang mempunyai pandangan tertentu dapat langsung diwujudkan dalam tindakannya.
Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan
pandangannya secara konkrit dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara
karena menyangkut tindakan kolektif. Oleh karena itu, hubungan antara pandangan hidup
seseorang dengan tindakan kolektif sifatnya tidak langsung, yang artinya untuk hal tersebut
tercapai dibutuhkan adanya perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi
dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol ataupun nilainilai, misalnya:
simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu.
Selain itu, di Indonesia terdapat Pancasila sebagai sistem filsafat pada dasarnya merupakan
sebuah nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma
moral maupun norma kenegaraan lain. Disamping itu, pemikiran yang bersifat kritis, rasional,
mendasar, sistematis, dan komprehensif. Pancasila sebagai alat untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan bernegara, memberikan pedoman yang merupakan batas gerak hak dan wewenang
kenegaraan, menampakkan kesadaran kemanusiaan dalam bermasyarakat dan bernegara,
mempelajari dan menjadikan objek tingkah laku manusia dalam hidup kenegaraan, member
landasan fleksibilitas bergerak yang bersumber dari pengalaman. Didalam etika politik di
masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka, melainkan
secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
praktis.

Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut
pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan
tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.

1. Pluralisme

Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif,
damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup,
agama, budaya, adat. Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama,
kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan
kepribadian seseorang dan sekelompok orang.

2. Hak Asasi Manusia


Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak
asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan.
Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian
sebagai berikut.

 Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat,


melainkan karena pemberian Sang Pencipta .
 Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang
modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya
diancam oleh Negara modern.

       3. Solidaritas Bangsa

Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang
lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya
apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-
manusia lain.

Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis,
kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.  Maka di sini termasuk rasa
kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing.

4. Demokrasi

Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau
sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh
hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan
siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan
sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :

1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip
mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum
demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena
mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas
masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh
dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama
tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme.

Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan
dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan
adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras,
suku dan budaya.

Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.


2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana
mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat
mereka pada masyarakat.
3. Korupsi

Beberapa hal yang relevan dengan etika poltik yang sesuai dengan pancasila, diantaranya

 Kampanye yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya jangan


menggangu keamanan orang lain, jangan merugikan orang lain, hubungan dengan sesama
manusia harus dijaga agar tetap baik, jangan sampai bentrok dengan masa partai lain.
Didasarkan pada sila ke-3
 Peraturan berkampanye harus ditaati karena menaati peraturan berarti menaati diri kita
semua. Langkah ini didasarkan pada sila ke-4
 Pemilu dan khususnya berkampanye itu tujuan akhirnya adalah demi kesejahteraan dan
kemakmuran hidup kita bersama, usahakan jangan sampai menghambat usaha-usaha
menuju kemakmuran bersama. Langkah ini didasarkan pada sila ke-5
 Dalam berkampanye tidak menggunakan unsur sara, ras dan agama. Didasarkan pada sila
ke -1

Beberapa kasus yang terjadi dalam 1 dekade sehingga nilai moral moral dalam pancasila
menjadi tidak relevan.

 Kampanye yang bertentangan dengan nilai nilai kemanusian, salah satunya terjadi
pembunuhan akibat perbedaan pilihan calon presiden pada pemilu 2019. Kasus ini
terjadi di Madura. Berdasarkan sumber berita detik.com: “pengadilan negeri
Sampang menyatakan Idris terbukti melakukan pembunuhan berencana menggunakan
senjata api yang menewaskan Subaidi. Hakim menyebut terdakwa terbukti melanggar
Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana dan Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951.” Hal ini bertentangan dengan sila ke -3
 Pada saat pemilihan dari sumber yang di dapatkan dari bangkapos.com :”Sebanyak
25 kasus dugaan politik uang atau money politic dicatat oleh Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) terjadi pada hari tenang Pemilu 2019.”

Sebagai generasi muda, harus paham mengenai makna nilai-nilai pancasila dalam etika
berpolitik. makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatua. Untuk memahami dan mendalami nilai-nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua
terkandung dalam kelima sila Pancasila diantaranya :

 Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. Yang Maha Esa berarti
Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Atas keyakinan
demikianlah, maka Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara
memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat dan
beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti
Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1
dan 2.

 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-
norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang.
Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab
artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila.

Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya
dijabarkan dalam batang tubuh UUD 1945.

 Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan.
Sila Persatuan Indonesia ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social
budaya, dan hankam. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang
berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat
batang tubuh UUD 1945.

 Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


permusyarawatan/Perwakilan

Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu
wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system demokrasi, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan
rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut
dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD
1945 alinea keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.

 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang kehidupan, baik
materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara Indonesia baik yang
tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Pola pikir untuk
membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima
sila yang telah dijabarkan diatas.

Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu. 

Nilai-nilai Pancasila tersebut mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur
pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi
dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang
menjadi momok masyarakat.

6. Relevansi Pancasila dalam bidang Ekonomi


Sistem Ekonomi Pancasila adalah salah satu tata ekonomi yang dijiwai oleh ideologi
Pancasila, yang di dalamnya terkandung makna demokrasi ekonomi yaitu kegiatan ekonomi
yang dilakukan berdasarkan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan
dari, oleh, dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah. Beberapa prinsip
dasar yang ada dalam Sistem Ekonomi Pancasila tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip
kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi
kerakyatan, dan keadilan.

Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kebijakan Ekonomi Menurut Mubyarto :

1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan-
rangsangan ekonomi, sosial dan moral.
Asas ketuhanan Yang Maha Esa kiranya jelas merupakan dasar moral dari
perilaku ekonomi manusia Indonesia. meskipun bahwa kesediaan mengendalian diri,
sikap tenggang rasa dan semangat kekeluargaan dari manusia Indonesia termasuk para
pengusaha dan orang-orang kayanya, sebenarnya cukup besar.
Diharapkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mencakup sila ketuhanan
Yang Maha Esa yaitu mempertimbangkan moral serta sifat-sifat sitem moral ekonomi
Indonesia itu memang telah melandasi atau menjadi pedoman perilaku ekonomi
perorangan, kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini, diharapakan ada
semangat pembangunan ekonomi tanpa ada diskriminasi antara pemodal besar dengan
modal kecil.

2. Nilai Kemanusaiaan Yang Adil dan Beradab. Ada kehendak kuat dan seluruh masyarakat
untuk mewujudkan kemerataan sosial (egalitarian) sesuai asas-asas kemanusiaan.
Semangat kekeluargaan, cinta-mencintai, tenggang rasa, bila sudah merata pada
seluruh anggota masyarakat, akan menjelma menjadi semangat solidaritas sosial menuju
kemerataan sosial. Inilah manifestasi dari sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. berdasarkan pengalaman, semangat solidaritas akan menebal dalam keadaan
susah dan prihatin, dan sebaliknya cenderung menipis dalam serba kemakmuran. Tetapi
dalam hal ini pun banyak perkecualian, karena adanya kecenderungan kuat
berkembangnya rasa sosial dan peningkatan kegiatan kemanusiaan pada saat seseorang
mencapai sukses dalam bidang usaha. Sifat-sifat kedermawanan ini memang selalu
terlihat berkembang bila orang menjadi semakin kaya, lebih-lebih bagi mereka yang taat
beragama, karena ini sesuai pula dengan ajaran-ajaran beragama.
Dalam pelaksanaan program kebijakan proteksi usaha kecil misalnya masyarakat
pelaku usaha kecil harus menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, agar terjadi
jaring aspirasi sehingga perumusan kebijakan akan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
para pelaku usaha kecil.
3. Persatuan Indonesia. prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian
nasional yang tangguh. Ini berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi.
Semangat nasionalisme di bidang ekonomi selalu menjiwai bangsa Indonesia.
apabila terlihat menyurut semangat ini, disebabkan oleh unsur-unsur keterpaksaan karena
semakin ketatnya persaingan internasional.
Kita harus bisa menganalisis setiap kasus kebijakan ekonomi yang hendak
diambil oleh pemerintah, apakah akan menyumbang atau tidak pada peningkatan
ketangguhan atau ketahanan ekonomi nasional. Misalnya secara lebih spesifik, setiap
utang baru atau kerjasama ekonomi dengan negara lain bisa menyumbang atau malah
sebaliknya mengancam ketangguhan dan ketahanan ekonomi nasional.
Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang
menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi
jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak
kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan
ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan
merupakan bentuk paling konkret dari usaha bersama.
Dalam melaksanakan sistem ekonomi usaha bersama berdasar asas kekeluargaan,
kita mengenal tiga pelaku utamanya yaitu koperasi, usaha negara dan usaha swasta. Dari
segi pandangan disiplin nasional yang harus atau wajib dipatuhi, kita bisa menyatakan
bahwa masing-masing pelaku ekonomi tersebut mempunyai etika kerja sendiri-sendiri
yang berbeda satu sama lain.
Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial merupakan organisasi
atau perkumpulan orang bukan perkumpulan modal yang dibentuk oleh para anggotanya
untuk melayani kepentingan mereka, yaitu membantu memperjuangkan kepentingan
mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Ini berarti misi dari
koperasi adalah pelayanan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin kepada anggota.
Maka ukuran paling mendasar untuk menilai berhasil tidaknya koperasi adalah manfaat
pelayanan kepada anggota.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas
antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan
kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial.
Keadilan sosial atau sosial justice merupakan masalah yang sudah lama menjadi
perhatian para pemikir, khususnya filosof. Bangsa Indonesia mencantumkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan akhir yang digambarkan sebagai masyarakat
yang adil dan makmur, yang gemah ripah karta raharja, karena wujud akhir dari
masyarakat bangsa yang dituju, jelas dimaksudkan sebagai masyrakat yang mengandung
sifat-sifat keadilan dan kemakmuran yang lengkap, yang mencakup keadilan hukum,
ekonomi, politik, sosial budaya, dan moral.
Secara singkat, masyarakat adil dan makmur yang dituju adalah masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat idaman yang secara lengkap dan utuh
didasarkan pada kelima sila dalam Pancasila dan muaranya pada sila yang kelima yaitu
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh
diwujudkan melalui realisasi prinsip keadilan dalam tiap-tiap aspek keadilan, yaitu
hukum, ekonomi politik, sosial budaya, dan moral yang semuanya berkaitan erat.

Landasan pokok perekonomian Indonesia adalah Pasal 33 ayat 1, 2, 3, dan 4 UUD 1945 hasil
amandemen dengan bunyi sebagai berikut

 Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

 Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.

 Ayat 3: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 Ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berasaskan atas demokrasi ekonomi


dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.

Sebagaimana semangat formula pasal 33 UUD 1945 sangat jelas untuk menjunjung
kebersamaan dan kegotong -royongan dan bahkan kekeluargaan. Keadilan sosial tanpa
melalaikan pertumbuhan adalah formula yang dicita-citakan pasal 33 UUD 1945. Namun
semangat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 itu belum disertai rumusan jalan
ataupun proses, bagaimana mencapai tujuan itu. Secara jujur kita harus mengakui bahwa
selama ini kita belum melaksanakan UUD 1945 sebagaimana mestinya karena yang terjadi
justru tidak sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945, misalnya:
a. Kebijakan yang tidak seimbang di dalam mengembangkan 3 pelaku
ekonomiyang teridiri dari Swasta, BUMN dan Koperasi. Swasta yang berkembang
pesat melahirkan konglomerasi yang tidak didukung kepemilikan perusahaan oleh tenaga
kerja telah menyebabkan ketimpangan sosial yang semakin lebar. Jumlah BUMN
yang terlalu banyak, tidak selektif dari aspek kepentingan rakyat banyak,
berakibat lemahnya pengawasan BUMN. Koperasi juga tidak berkembang, oleh
karena koperasi tidak dikembangkan diatas platform kepentingan bersama sebagai
kelompok masyarakat yang terorganisir.
b. Kebijakan deregulasi yang terlalu cepat, sehingga membuka peluang kompetisi
yang seluas-luasnya meskipun realita kompetisi itu berjalan tidak seimbang di antara
peserta kompetisi. Apalagi disertai liberalisasi lalu lintas devisa, kebijakan deregulasi
perbankan, yang ternyata telah membuka peluang spekulasi mata uang.
Mengutip pendapat Joseph E Stiglitz, pemegang hadiah nobel ekonomi 2001,
inilah sebab utama krisis di tahun 1997 di banyak negara, termasuk Indonesia.
c. Kebijakan privatisasi yang tidak selektif, tidak sesuai dengan prinsip
kepemilikan perusahaan sebagaimana semangat UUD 1945 sehingga
menimbulkan gejolak sosial yang sesungguhnya tidak perlu. Kita kurang
memperhitungkan ongkos sosial kebijakan ini, misalnya dengan lahirnya
pengangguran yang semakin besar. Apalagi disertai pertimbangan ekonomi yang
sering menimbulkan pertanyaan, misalnya penjualan itu ternyatajustru tidak
menguntungkan negara.
d. Secara makro, kebijakan ekonomi yang sekarang berjalan justru lebih dekat dengan
kebijakan ekonomi sebagaimana yang disyaratkan dalam "the Golden
Straitjacket". Meskipun ada beberapa hal yang positif misalnya pemberantasan
korupsi, anggaran yang berimbang, inflasi yang rendah dan lain-lainnya,namun
ekonomi kita menjadi sangat fragmented, sehingga mengurangi kemampuan kita
untuk bersaing, tidak mampu membangun potensi ekonomi dalam negeri, sehingga
ekonomi Indonesia sangat rawan dari gangguan instabilitas.

Dengan kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disimpulkan, bahwa kita


sebenarnya belum pernah melaksanakan pasal 33 UUD 1945 sebagaimana mestinya. Pasal
33 UUD 1945 masih dalam rumusan cita-cita yang tidak pernah terwujud oleh karena
kita tidak atau belum mampu merumuskan jalan atau proses yang diperlukan untuk
mencapai tujuan. masih jauh dari konsep awal dari sistem ekonomi pancasila bahkan terkesan
seperti suatu simbol saja,bila dilihat dari kondisi masyarakat Indonesia serta melihat sejarah
bangsa Indonesia sejak merdeka hingga sekarang. Dan bila ditelisik dari sejarah Indonesia maka
belum ada pemimpin yang mengambil andil besar dalam  kemajuan ekonomi Indonesia.
Kesenjangan sosial yang tidak merata, kisruh politik yang semakin kompleks, belum lagi wakil-
wakil rakyat yang mengatas namakan rakyat tapi tidak merakyat ”keTransparan itu harus”,
pembangunan tidak merata serta masih banyak kasus-kasus korupsi yang masih bermuculan dan
belum terselesaikan, seharusnya dengan melihat nilai-nilai Pancasila, masalah-masalah yang ada
seharusnya bisa tereduksi atau mungkin hilang bukan malah sebaliknya. Tentu bukanlah hanya
pemerintah yang mengambil andil tentang permasalahan perekonomian Negara ini tetapi juga
kita sebagai masyarakatlah yang harus juga menerapkan nilai-nilai “pancasila” itu sendiri dan
tidak hanya terus menyalahkan siapa yang salah dan siapa yang benar. Kita sebagai pelaku
ekonomi juga haruslah kreatif menciptakan peluang yang ada untuk diri kita maupun orang lain.
Belum lagi sekarang juga kita sudah memasuki MEA(Masyarakat Ekonomi ASEAN) kita
dituntut untung berkembang dan berpacu karna saingan kita bukanlah dari negeri kita sendiri
melainkan dari orang-orang yang termasuk ASEAN itu sendiri.

BAB III
KESIMPULAN

Pancasila tentu masih relevan, yang salah adalah kita sebagai warga Indonesia yang tidak
menerapkannya dengan sungguh sungguh. Justru nilai-nilai Pancasila sangat dibutuhkan karena
Pancasila sangat dinamis dan relevan, apalagi melihat keadaan Indonesia yang memasuki era
Millenial ini, dimana globalisasi menjamur di mana-mana. Pancasilalah yang berperan sebagai
pengikat dan pemersatu yang sangat ampuh dan dibutuhkan, semacam obat untuk
menyembuhkan. Memang generasi sudah berganti dan bergulir, tetapi Pancasila masih ajeg,
lestari, segar, dan mengikuti perkembangan zaman. Apalagi sekarang bisa dikatakan di mana-
mana terjadi ‘society deterioration’ yang artinya komunitas yang nilai-nilai moralnya makin
menurun dan mengerut. Pancasila adalah cita-cita luhur dan tujuan bangsa Indonesia. Karena itu,
melihat kenyataan di Indonesia, rasanya tujuan tersebut belum tercapai. Bila belum tercapai,
maka tidak bisa berganti ideologi yang baru, karena mencapai tujuan itu adalah proses
pembelajaran seumur hidup. Maka itu Pancasila akan terus ada dan lestari sebagai ideologi
bangsa.

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah,


Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
—Bung Karno
DAFTAR PUSTAKA

Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.


Faisal. M. Safei. 2019. Tantangan Dan Masa Depan Ideologi Pancasila Diera Revolusi

Laporan Hasil Penelitian. 2006. Pokok-Pokok Hasil Penelitian tentang Nilai-Nilai Pan- casila
Sebagai Nilai Dasar Pengembang- an Ilmu Hukum Indonesia. Tim Peneliti Fakultas Hukum
UGM dan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta

Arinanto, Satya. “Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi”. Jurnal
Konstitusi. Volume 3 Nomor 3. 2006

MD, Moh Mahfud. 2007. Penuangan Pancasila Dalam Peraturan Perundang-undangan.


Seminar Nasional. Yogyakarta: UII

https://news.detik.com/berita/d-4495586/ribut-pilpres-bunuh-subaidi-vonis-seumur-hidup-idris-
pikir-pikir
https://bangka.tribunnews.com/2019/04/17/bawaslu-ungkap-25-kasus-money-politic-atau-
politik-uang-amplop-dan-uang-ratusan-juta-diamankan

Wreksosuharjo, Sunarjo. 2005. Pancasila. Surakarta: UNS Press

Suseno, Franz Magnis. 2007. Etika Politik; Sebuah Keharusan. Yogyakarta: Makalah Kuliah
Umum Prof. Frans Magnis Suseno

Agustinus.dkk, Aret é Volume 02 – Nomor 02 – September 2013, pendidikan etika dan politik.

Anda mungkin juga menyukai