Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama ilmu hadits. Banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat
menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari.
Hadits jumlahnya tidak sedikit dan beragam jenisnya. Banyaknya jumlah hadits
mengakibatkan sebagian orang bingung untuk membedakannya. Tetapi kemudian kebingungan
hilang setelah adanya pembagian hadits yang dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan. Dalam melakukan pembagian dan kategorisasinya terdapat perbedaan pendapat
ulama. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi
kualitas sanad dan matan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pada bahasan ini akan membahas pembagian
hadits dari berbagai segi, baik itu dari segi kuantitas perawinya, kualitas sanad dan matannya,
dari segi kedudukan dalam hujjah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah cara pembagian hadis?
2. Dari segi apakah ditinjau pembagian hadis?
3. Berapakah pembagian hadisnya?

C. TUJUAN MAKALAH
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pembagian hadis.
2. Untuk mengetahui segi yang ditinjau dalam pembagian hadis.
3. Untuk mengetahui berapa jumlah pembagian hadis.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS
Hadits atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Hadits juga
sering di sebut dengan al-khabar, yang berarrti berita, yaitu sesuatu yang diperucapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadits.1
Hadits dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut di atas dapat dilihat pada beberapa ayat
Al-quran, seperti QS. Al-thur(52):34, QS. Al-Kahfi(18):6, dan QS.ad-dhuha(93):11.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta’arif) yang berbeda-
beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadits menurut ahli
ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadits
Menurut ahli hadist, pengertian hadist ialah:

‫اَقوال النبي صلى هللا عليه وسلم وافعاله واحوله‬


“segala perkataan Nabi, perbuatan, dan ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala uang diriwayatkan dari nabi
kebiasaannya.
B. SEJARAH PENGHIMPUNAN HADITS
Pada zaman Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur Rasyidin dan sebagian besar
zaman Umawiyah hingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadist nabi itu tersebar melalui
mulut ke mulut (lisan). Ketika itu umat islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun
hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan
terlkenal kuat. Dan memang di akui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para
tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits Nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in
ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal
dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi2 makin bertambah banyak,

1
Ibn Manzhur, lisan Al-‘arab, juz II,(mesir: Dar Al-Mishriyah, t.t.) hlm 436-439, Muhammad Al-Fayumi, Mishbah
Al-munir fi Gharib Al-syarh Al-kabir li Al-rafi’I, Juz I,(Beirut : Dar Al-kutub Al-ilmiyah),1978, hlm 150-151

2
baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh islam maupun yang datang dari
orang islam sendiri.
Saat itu terasa sangat perlunya pemeliharaan hadits untuk diabadikan dalam bentuk
tulisan dan kemudian di himpun dalam kitab hadist
C. UNSUR-UNSUR POKOK HADIS
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”. Atau sesuatu yang kita jadikan
sandaran. Dikatakan demikian, karena hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat
perbedaan rumusan pengertian. Al-badru bin jama’ah dan Al-thiby mengatakan bahwa sanad
adalah:

‫االخبار عن طريق المتن‬


“Berita tentang jalan matan”.3
2. Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah
yang meninggi). Sedang menurut istilah adalah :

‫ما ينتهي إليه السند من الكالم‬


“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”4
3. Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau menceritakan hadits
(naqil al-hadis)5

D. HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS PERIWAYATANNYA


Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawai yang menjadi
sumber berita, maka dalam hal ini hadits dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yang dating berikutnya atau beriring-iringan
yang antara satu dengan yang lainnya tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian mutawatir secara terminiologis, terdapat beberapa definisi:

3
Mahmud Al-Thahhan, op.cit.,hlm.15.
4
Al-Qasimi, op.cit., hlm.202.
5
Ajjaj Al-Khathib,loc.cit.

3
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang
menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”6

Sementara Nur ad-Din ‘Atar mendefinisikan:

‫الذي رواه جمع كثير اليمكن تواطؤهم علي الكذب عن مثلهم الي انتهاء السند و كان مستندهم الحس‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadits yang diriwayatkan itu
didasarkan pada pengamatan panca indra”7

2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir8


Suatu hadits dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Hadis(khabar) yang diberikan oleh oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan(daya tangkap) panca indra.
b. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta.
c. Seimbang jumlah para, sejak dalam tabaqat(lapisan/tingkatan) pertama maupun tabaqat
berikutnya.
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut ulama ada yang membagi hadits mutawatir kedua bagian dan ada pula yang
membaginya kepada tiga bagian yaitu :

a. Hadis Mutawatir Lafzi


Hadis mutawatir lafzi adalah:

7
Munzier Suparta,Ilmu Hadis(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008),hal.95
8
Muhammad Ahmad,M. mudzakir,Ulumul Hadis(Bandung:Pustaka Setia,2004),hal.67

4
‫ما توافر معناه و لفظه‬
“Hadits yang mutawatir lafazh dan maknanya”
Atau hadits yang diriwayatkan oleh banyak para perawi sejak awal sampai akhir
sanadnya, dengan memakai lafazh yang sama.
Menurut para ulama, hadits mutawatir lafzhi jumlahnya sangat sedikit. Contoh hadits
mutawatir lafzhi :

"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

b. Hadis Mutawatir Maknawi


Hadis mutawatir maknawi adalah:

‫ما توافر معناه دون لفظه‬


“Hadits yang maknanya mutawatir, tanpa dengan lafazhnya”

Atau hadits yang periwayatannya disepakati maknanya, akan tetapi lafazhnya tidak.
Contoh hadis mutawatir maknawi:

"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa
salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua
ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

5
c. Hadis Mutawatir Amali
Hadis mutawatir amali adalah sesuatu yang dengan mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya
atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.9

b. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Al-Ahad adalah jamak dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan
demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.10
Sedangkan menurut istilah hadis ahad adalah suatu hadis(khabar) yang jumlah
pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir, baik pemberita itu seorang,
dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
member pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.11

2. Pembagian Hadis Ahad


Ulama ahli secara garis besar membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu:
a. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa al-dzuyu’ artinya sesuatu yang sudah
tersebar dan popular.12 Sedangkan menurut istilah

‫ما رواه ثالثة فأكثر ما لم يبلغ حد التواتر‬


“Hadits yang diriwayatkan dua orang atau lebih tetapi tidak sampai batasan mutawatir”

b. Hadis Aziz
‘Aziz bisa berasal dari ‘Azza-ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar
(sedekit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya’azzu berarti qawiya (kuat).13
Hadis aziz menurut bahasa berarti hadis yang mulai atau hadis yang kuat atau hadis yang
jarang.

9
Ibid, hal.73
10
Munzier Suparta,Ilmu Hadis(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008),hal.107
11
Muhammad Ahmad,M. mudzakir,Ulumul Hadis(Bandung:Pustaka Setia,2004),hal.74
12
Munzier Suparta,Ilmu Hadis(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008),hal.110
13
Ibid,hal.116

6
Dari segi istilah hadis ‘aziz yaitu hadis yang satu tingkatan(thabaqah) dari beberapa
tingkat sanadnya terdapat dua orang perawi saja.14
Maksud definis diatas, bahwa hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja.
c. Hadis Gharib
Kata gharib dalam bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan isim fa’il atau isim
maf’ul) yang berarti sendirian (al-munfarid), terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, dan
sulit dipahami.
Menurut istilah, Ibn Hajar al-‘Asqalani mendefinisikan hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan hanya seorang saja pada tempat mana pun terjadinya penyendirian itu di dalam
sanat tersebut.15

E. HADITS DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADITS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu
jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan.

1. Hadis Sahih
a. Pengertian hadis sahih
Secara literal, sahih erarti sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna. Antonim dari kata ini
adalah saqim (sakit). Dengan demikian, hadis sahih berarti hadis yang selamat, sehat, sah, atau
sempurna.
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal
dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

14
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis(Jakarta:Amzah,2009),hal.142
15
Ibid,hal.143

7
b. Syarat-syarat hadis sahih
Dari beberapa definisi tentang hadis sahih, dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis
sahih adalah:
1. Sanadnya bersambung
2. Perawinya adil
3. Perawinya dhabit
4. Tidak syadz (janggal)
5. Tidak ber-illat

c. Pembagian hadis sahih


Para ulama hadis membagi hadis sahih menjadi dua macam, yaitu:
Hadis sahih lidzatih
Sahih lidzatih adalah sahih dengan sendirinya. Yakni, ia sahih bukan karena
bantuan sanad yang lain melainkan karena sanadnya sendiri. Dengan kata lain, hadis ini
telah memenuhi lima syarat hadis sahih.
1. Hadis sahih lighairih
Hadis sahih lighairih adalah hadis yang pada sanadnya sendiri tidak sahih, tetapi
karena dibantu oleh keterangan atau sanad yang lain sehingga ia menjadi kuat.
d. Tingkatan sahih
Dari segi persyaratan sahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, dari
tingkatan tertinggi sampai dengan tingkatan terendah, yaitu:16
1. Muttafaq ‘alayh, yakni disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim.
2. Diriwayatkan oleh Bukhari saja.
3. Diriwayatkan oleh Muslim saja.
4. Hadis yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim.
5. Hadis yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja.
6. Hadis yang diriwayatkan orang lain yang memenuhi persyaratan Muslim saja.
7. Hadis yang dinilai sahih menurut ulama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

8
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadis hasan
adalah:

Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi
yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain
pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

Dari definisi ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat hadis hasan adalah:

1. Perawinya adil
2. Hafalannya kurang sempurna atau kekuatannya dibawah kedhabith-an perawi hadis
shahih
3. Sanadnya bersambung
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syazz
5. Tidak mengandung cacat atau ‘illat

3. Hadis Dhaif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para
ulama memberi batasan bagi hadis daif :

9
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga
tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari
Rasulullah SAW.

F. HADITS DARI SEGI HUJJAH


Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukuan
pemeriksaan,penyelidikan dan pembahsan. Sehubungan dengan hal tersebut,ahad ditinjau dari
segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Hadis maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima.

2. Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut
urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

10
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."

G. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Al-qur’an dan Hadits merupakan dua sumber hukum syari’at islam yang tetap yang
orang islam tidak mungkin memahami syari’at islam secara mendalam dan lengkap dengan
tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Adapun tentang kedudukan hadits sebagai
sumber hukum islam dapat dilihat dari beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

1. Dalil Al-quran

Banyak ayat al-Qur`an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan


menerima segala yang disampaikan oleh rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman
hidup. Di antara ayat yang di maksud adalah:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
yang sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin).
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihat kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendakinya di antara rasul-rasulnya. Karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasulny; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang
besar (QS. Ali Imran :179)

11
Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasulnya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada rasulnya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya bagi
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatnya,rasul-rasulnya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (QS. An-Nisa :136)

2. Dalil Al-Hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits
sebagai pedoman hidup, di samping al-Qur`an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:

‫ت َ َركت فيكم آمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا و سنة نبيه‬
17
)‫(رواه مالك‬

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu
berpegang teguh pada keduanya, yaitu beupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.(HR. Malik)

3. Kesepakatan Ulama (Ijma`)

Ummat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal;
karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama
seperti penerimaan mereka terhadap al-Quran, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai
sumber hukum Islam.18

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber


hukum Islam, antara lain dapat di perhatikan peristiwa sebagai berikut.

17
Imam Jalal Al-Din Abdurrahman ibn Abu Bakar Al-Suyuthi, Al-Jami’ Al-Shaghir I, op. cit., hlm. 505.
18
Drs . Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, hlm. 55.

12
a. Ketika Abu Bakar di baiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata” Saya tidal meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya
takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.19
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan
menciummu.”20
c. Pernah ditanyakan kepada ‘Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam al-
Qur`an. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesunggahnya kami berbuat
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, dan saya makan sebagaimana makannya
Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul.21
d. Diceritakan dari Sa`id bin Musayyab bahwa ‘Usman bin’Affan berkata: “Saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah
dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.22

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah di akui dan di benarkan oleh umat islam. Di
dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri
bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-
mata mengenai suatu masalah yang tidak di tunjuk oleh wahyu dan juga tidak di bimbing oleh
ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya.

Bila kerasulan Muhammad SAW telah di akui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya
segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan selogika kepercayaan kepada
Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala
ketentuan yang beliau sampaikan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum
dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur`an. Sedangkan bila
19
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I, (Beirut: Al-Maktab Al-Islamy, t.t.), hlm 164,
20
Ibid., hlm. 194 dan 213
21
Ibid., juz VIII, hlm. 67.
22
Ibid., juz 1, hlm 378.

13
dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadist yang
mutawatir.

H. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Qur`an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam,
antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan.
Al-Qur`an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat
umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur`an tersebut23. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:

“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia
apa yang diturunkan kepada mereka supaya mereka berpikir. (QS. An-Nahl : 44)

Oleh karna itu, fungsi hadits Rasul SAW penjelas (bayan) al-Qur`an ada 4 macam yaitu
bayan at-Taqrir, bayan at-Tafsir, bayan at-Tasyri’ dan bayan an-Nasakh. Uraiannya sebagai
berikut.

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at-Taqrir berfungsi untuk memperkuat atau memperkokoh isi kandungan al-
Qur`an. Contoh hadits yang mentaqrirkan isi kandungan al-Qur`an:

24
)‫فإذا رأيتم الهالل فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم‬

23
Drs . Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, hlm. 57.
24
Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 176-188.
Bandingkan dengan ‘Abbas Mutawali Hamadah, op. cit., hlm. 141-148 dan Mustafa Al-Siba’I, Al-Sunah wa
Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islami, hlm. 343-346

14
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu
maka berbukalah” (HR. Muslim)

Hadits ini mentaqrirkan ayat al-Qur’an yang bebunyi:

ُ‫صمه‬ َّ ‫ش ِهدَ ِمن ُك ُم ال‬


ُ ‫شه َر فَل َي‬ َ ‫فَ َمن‬

“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa…
(QS. Al-Baqarah : 185)

2. Bayan al-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah kehadiran hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang bersifat global (mujmal),
memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur`an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang masih bersifat umum. Contoh
hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir:

‫صلّوا كما رأيتموني أصلّي‬

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (HR. Bukhari)

Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat:

“Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (QS. Al-
Baqarah :43)

3. Bayan at-Tasyri’

Yang di maksud dengan bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau , ajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya

15
(ashl) saja. Hadits-hadits Rasul SAW yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya hadits
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan
bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum
tentang hak waris bagi seorang anak.25 Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai
berikut.

‫أن رسول هللا صلّى هللا عليه وسلم فرض زكات الفطر من رمضان على الناس صاعا ِمن شعير على الناس‬
ّ
)‫حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين (رواه مسلم‬
ٌ ‫كل‬

“Bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan muslim”. (HR. Muslim)

4. Bayan an-Nasakh

Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil
(memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak
yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama
mutaqaddimin. Menurut pendapat yang di pegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya
nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas,
karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat
syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).26

25
Musthafa Al-Siba’I, op. cit., hlm. 346.
26
‘Abbas Mutawali Hamadah, op. cit.,hlm. 169 - 170

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Hadits dapat sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diembankan oleh
Nabi Muhammad SAW yang sebagaimana beliau adalah rasul utusan Allah yang
tentunya mendakwahkan ketauhidan dan ketaatan kepada Allah.
2. Hadist adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits menjadi
penguat hukum yang telah lebih dulu di jelaskan dalam Al-Qur’an ataupun memperjelas
apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebelumnya.
3. Ulama hadits berbeda-beda pendapat dalam membagi hadits. Adapun pembagiannya
sebagai berikut
a. Menurut Bentuk-bentuknya
1. Hadits Qauli
2. Hadits Fi’li
3. Hadits Taqriri
4. Hadits Hamni
5. Hadits Ahwali

b. Dari segi kuantitas dan jumlah perawi


1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad

c. Hadits Dari Segi Kualitasnya


1. Hadits Maqbul
2. Hadits Mardud

17

Anda mungkin juga menyukai