Anda di halaman 1dari 17

ILMU DIRAYAH DAN KAIDAH PENERAPANNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah : Studi Qur’an hadits
Dosen Pengampu : M. Afham Ulumi, S. Sy., MH

Disusun oleh:
1. Tsalitsa Khoirina (1910610042)
2. Ines Romadona Aditya Putri (1910610048)
3. Himmatul Azizah (1910610051)
4. Muhammad Reza Chusnul Wafa (1910610059)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber
dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu Aqli dan Naqli. Sumber  naqli ini
merupakan pilar sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik
dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang
sangat otentif bagi ummat Islam dalam hal ini adalahAlquran dan hadits.Allah telah
memberikan pada ummat kita para pendahulu yang selalu menjaga hadis Nabi.
Mereka adalah orang-orang yang luhur dan amanah. Sebagian dari mereka
mencurahkan perhatiannya terhadap Al-quran dan ilmunya, yaitu para Mufassir.
Dan sebagian lagi memprioritaskan  perhatiaanya untuk menjaga hadis Nabi dan
ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.$erkenaan dengan berbagai macam ilmu
yang berkaitan dengan keadaan  para periwayat dan riwayat mereka, dan
penyusunan ketentuan hukum antara hadits yang diterima dan di tolak ilmu hadis
memberikan saham bagi  pemeliharaan hadis dan penjelasannya, membedakan
antara hadis kuat dan lemah, yang shahih dan dha’if, yang selamat dan cacat. Secara
umum, menurut al-hatif dalam muqaddimah kitab usul hadis menyatakan bahwa
ilmu hadis atau usul hadis merupakan kaidah dan dasar-dasar yang sangat penting
dalam menerima atau menolak suatu hadis.Secara garis besar menurut kajian
mutakhirun ilmu hadis terbagi menjadi dua, yaitu, ilmu hadist riwayah dan ilmu
hadist Dirayah. Ilmu hadis Dirayah ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya. Serta untuk mengetahui
keadaan para rawi, baik syarat-syaratnya macam-macam hadis yang diriwayatkan,
dan segala yang  berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hadist dirayah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadist dirayah?
3. Bagaimana model pengembangan dari hadist dirayah
4. Bagaimana penerapan hadist dirayah?
5. Apa perbedaan hadist dirayah dengan hadist riwayah?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi dari hadist dirayah.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadist dirayah.
3. Untuk mengetahui model pengembangan dari hadist dirayah.
4. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hadist dirayah.
5. Untuk mengetahui perbedaan anatara hadist dirayah dengan hadist riwayah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadist Dirayah


Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari
kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima
dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai
dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan
pengenalan. Ilmu hadits dirayah ini memiliki beberapa cabang yang berkaitan
dengan sanad, rawi, dan matan hadits. Cabang-cabang penting yang berkaitan
dengan sanad dan rawi.
Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti
memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah memahami
secara bagian-bagiannya. Hadits Secara bahasa berarti baru, sedangkan secara
istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,
baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan juga disandarkan
kepada para sahabat dan tabi'in. Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang
mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada Dua
cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu Hadis Dirayah.
Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para
perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan
menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan
definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang mereka
kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan lainnya,
terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis
kemukakan dua di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
‫ ِع ْل ٌم يُ ْع َرفُ ِم ْنهُ َحقِ ْيقَةُ ال ِّر َوايَ ِة َو ُشرُوْ طُهَا َوأَ ْن َوا ُعهَا َوأَحْ َكا ُمهَا‬: ‫ث الخَاصُّ باِل ِّد َرايَ ِة‬
ِ ‫َو ِع ْل ُم الَ َح ِد ْي‬
‫ق بِـهَا‬ ِ ‫َو َحا ُل الرُّ َوا ِة َو ُشرُوْ طُهُ ْم َوأَصْ نَافُ ْال َمرْ ِويَا‬
ُ َّ‫ت َو َمايَتَ َعل‬
Artinya :
“Dan Ilmu Hadist yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang
berujuan untuk mengetahui ilmu hakikat Riwayat,syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukum keadaan para parawi syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu dengannya.”
Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal.
1. Hakikat Riwayat
Yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada
orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan
seorang perawi, “haddasana fulan” (telah menceritakan kepada kami si
Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: “akhbarana fulan” (telah
mengabarkan kepada kami si Fulan).
2. Syarat-Syarat Riwayat
Yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang
diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam
penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’
(perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qira’ah
(murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru
tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan
suatu hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah
(menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk
diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk seseorang), I’lam
(member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya),
washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang
dimilikinya), dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis
dari seorang guru.
3. Macam-macam Riwayat
Yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang
bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi
terakhir,ataumunqathi’ (periwayatan yang terputus, baik di awal, di
tengah, atau di akhir, dan lainnya.
4. Hukum Riwayat
Yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah
memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya
persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
5. Keadaan para Perawi
Adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-‘adalah)
dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
6. Syarat-syarat Perawi
Yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi
ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika
menyampaikan riwayat (syarat pada al-add’).
7. Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat)
Adalah penulisan hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam,
atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadis-
hadis Nabi SAW.

Obyek atau sasaran Ilmu Hadits Dirayah adalah sanad dan matan hadits,
sehubungan dengan keshahihan, hasan, dan dha'ifnya.
1. Sanad
Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad
disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Pokok
bahasan naqd as-sanadadalah sebagai berikut:
a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad) .
b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil) , dhabit (cermat dan
kuat), tsiqah (terpercaya) yang harus dimiliki seoarang
periwayat.
c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari
sanad.
d. ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang
kelihatannya baik atau sempurna.
2. Matan
Pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau
ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalanannya dengan
makna dan tujuan yang terkandung didalam Al-Qur’an :
a. Dari kejanggalan redaksi (Rakakat al-Faz).
b. Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (Fasad al-Ma’na).
c. Dari kata-kata asing (Gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa
dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Tujuan dan urgensi  Ilmu hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan


menetapkan hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau
untuk diamalkan) dan yang Mardud(yang ditolak).
Dari Kedua Ilmu Tersebut Banyak bermunculan cabang-cabang ilmu
mengenai keduanya. Berikut diantara ilmu-ilmu yang bermunculan dari berbagai
ragam topik ilmu dirayah
1.  Ilmu Jarah Wa Al-Ta’dil
Ilmu ini membahas para rawi, sekiranya masalah yang membuat
mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini
adalah buah ilmu tersebut dan merupakan bagian terbesarnya.
2. Ilmu Tokoh-Tokoh Hadits
Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para rawi layak menjadi
perawi atau tidak. Orang yang pertama dibidang ini adalah al-bukhari.
3. Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits
Ilmu ini membahas hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan,
namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Jelasnya,
umpamanya ada dua hadits yang yang makna lahirnya bertentangan,
kemudian dapat diambil jalan tengah, atau salah satunya ada yang di
utamakan. Misalnya sabda rasulullah SAW, “tiada penyakit menular ”
dan sabdanya dalam hadits lain berbunyi, “Larilah dari penyakit kusta
sebagaimana kamu lari singa”. Kedua hadits tersebut sama-sama shahih.
Lalu diterapkanlah jalan tengah bahwa sesungguhnya penyakit tersebut
tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah SWT menjadikan
pergaulan orang yang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularan
penyakit.
4. Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu ini membahas tentang kesamaran makna lafad hadits. Karena
telah berbaur dengan bahasa arab pasar. Ulama yang terdahulu menyusun
kitab tentang ilmu ini adalah abu hasan al-nadru ibn syamil al-mazini,
wafat pada tahun 203 H.
5. ilmu Nasikh Wa Al-Mansukh Al-Hadits
Ilmu nasikh wa al-mansukh al-hadits adalah ilmu yang membahas
tentang hadits-hadits yang bertentangan yang hukumnya tidak dapat
dikompromikan antara yang satu dengan yang lain.yang datang dahulu
disebut mansukh (hadits yang dihapus) dan yang datang kemudian
disebut nasikh (hadits yang menghapus).

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist Dirayah


Dasar-dasar ilmu hadist dirayah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW,
seperti yang diisyaratkan dalam Alquran (QS. Al-Hujarat:6), ayat ini berisi perintah
untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang fasik. Diperiksa
untuk dicari kebenaran dari sumber berita tersebut.
Pada mulanya memang membawa hadist tidak diisyaratkan adanya sanad
(sandaran penyampaian berita), karena mereka saling mempercayai kejujurannya.
Namun setelah terjadi konflik antara pendukung Ali dan Muawwiyah, umat menjadi
terpecah sehingga mulailah terjadi pemalsuan hadist. Maka para ulama’
mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadist harus disertai
dengan sanad, dan hadist tidak akan diterima jika tidak disertai dengan sanad. Maka
dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayatan mana
yang tercelaah dan mana yang adil (ilmu jahri wata’dil), sanad mana yang terputus
(munqoti’) dan mana yang bersambung (muttasil), dan cacat (‘illat) yang tersembunyi.
Kemudian ilmu hadist menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli hadist
membicarakan tentang daya ingat periwayatan (dhabit), metode menerima (tahammul)
dan menyampaikan (‘ada’), kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-
hadist) dan lain-lain. Akan tetapi hal seperti ini dalam perkembagannya baru berjalan
secara lisan. Baru pada abad kedua sampai ketiga hijriyyah ilmu-ilmu hadist ini mulai
ditulis dan dikodifikasikan.

C. Model Pengembangan Hadist Dirayah


Pokok pembahasan ilmu dirayah itu ada dua, yaitu rijal al-sanad dan jarah-
ta’dil. Dari dua pembahasan itu nanti akan muncul penilaian, bahwa suatu matan hadist
dinilai shahih, atau hasan atau dla’if atau yang biasa disebut dengan Mushthalah al-
Hadist.
Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi hadist, yaitu untaian informasi tentang
sosok perawi yang menceritakan matan hadist dari satu rawi kepada rawi lainnya,
sampai pada penghimpun hadist.
Syarat seorang perawi hadist adalah islam, aqil-baligh, ‘adalah dan dhabit, baik
dhabit ingatan maupun dhabit catatan. Sedangkan tingkatan perawi hadist yang pertama
adalah sahabat Rasulullah SAW. Yaitu orang yang pernah bertemu dengan Rosulullah
semasa hidupnya. Tingkatan perawi yang kedua adalah tabi’in, yaitu seseorang yang
pernah bertemu dengan sahabat Nabi, dan mengikuti islam sampai dia wafat. Kemudian
disusul tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya.
Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat dan tabiatnya berkembang.
Perkembangan jarah ta’dil berangkat dari dua kelompok pembahasan,yaitu dari unsur
rawi (pembawa hadist) dan unsur takhrij (metode pengeluaran predikat jarah atau ta’dil
pada seorang rawi yang ada dalam sanad), yang kedua unsur dalil dan unsur penilaian.
Yaitu unsur alas an ditetapkanya jarah atau ta’dil kepada seorang rawi, dan unsur
norma-norma penilaian jarah atau ta’dil itu sendiri. Dua kelompok itulah merupakan
pilar utama dalam bangunan ilmu hadist dirayah.

D. Penerapan Ilmu Hadits Dirayah


Ilmu ini menerangkan mana hadits yang shahih, mana yang dla’if, mana yang
marfu’, mana yang mauquf, mana yang maqbul dan mana yang mardud. Atas
pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. Ilmu ini (ilmu dirayah hadits)
adalah suatu ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar suatu ilmu yang
bernilai tinggi yang disumbangkan ulama-ulama Islam kepada kebudayaan manusia.1

Ilmu dirayah hadits tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan hadits, dia
lahir sesudah Rasulullah saw. wafat, yaitu ketika para ulama Islam memulai usaha
mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan ke kota-kota Islam. Maka dengan
sendirinya para ulama berusaha membuat qaidah-qaidah dan munhaj-minhaj yang harus
dijadikan pedoman dalam menerima riwayat dan menolaknya.

Para sahabat dan tabi’in mengikuti qaidah-qaidah ilmiah dalam menerima hadits,
walaupun mereka tidak menandaskan ka’idah ka’idah yang dipegangi itu. Kemudian
ahli-ahli ilmu yang sesudah mereka, mengistimbatkan kaidah-kaidah dan masalah hadits
dari cara yang ditempuh para sahabat, sebagaimana mereka mengistimbatkan syarat-
syarat riwayat, jalan-jalan singkat, kaidah-kaidah Jarah dan Ta’dil.

Ilmu riwayatil hadits dan ilmu dirayatul hadits berjalan seiring, karena dimana
periwayatan hadits, tentulah ada kaidah dan minhaj yang dipakai dalam penukilan
riwayat itu.

Adapun objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini adalah sanad dan
matan Hadits.

Pembahasan tentang sanad meliputi:

a. Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian


sanad Hadits haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada
periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadits tersebut; oleh
karyanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus,
tersembunyi tidak diketahui identitasnya atau tersamar.2

1
Jamilah Eva Syarifatul dan Mahdawati Hamasliko. Ilmu Hadits Dirayah. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2016. Hal 21
2
Solikah Imro’atus dan teman-teman. Ulumul Hadits (Hadits Riwayah dan Diroyah). IAIN Tulungagung.
2014. hal. 6
b. Segi keterpercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yaitu bahwa setiap perawi yang
terdapat di dalam sanad suatu Hadits harus memiliki sifat Hadits atau
dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Haditsnya).
c. Segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz).
d. Keselamatan dari cacat (i’llat).
e. Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.

Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam Hadits berikut :3

‫ َح َّدثَنَا‬: ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ ا ْل ُمثَنَّى قَا َل‬: ‫ي قَا َل‬ ُّ ‫َر َوى اإْل ِ َما ُم ا ْلبُ َخا ِر‬
‫س َع ِن‬ ٍ ‫ عَنْ أَ ْن‬,َ‫ عَنْ أَبِ ْي قِالَبَة‬,‫ب‬ ُ ‫ َح َّدثَنَا أَ ُّي ْو‬: ‫ب ا ْلثَّقَفِ ُّي قَا َل‬ ِ ‫َع ْب ُد ا ْل َوهَّا‬
ٌ َ‫ ثَال‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬ ‫هّٰللا‬
َ‫ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه َو َج َد َحالَ َوة‬ َ ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
‫هّٰللا‬
‫ب‬ َّ ‫ َو أَنْ يُ ِح‬,‫س َوا ُه َما‬ ِ ‫ب إِلَ ْي ِه ِم َّما‬ َّ ‫س ْولُهُ أَ َح‬ ُ ‫ان أَنْ يَ ُك ْو َن ُ َو َر‬ ِ ‫اإْل ِ ْي َم‬
ْ‫ َوأَنْ يَ ْك َرهَ أَنْ يَ ُع ْو َد فِ ْي ا ْل ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَن‬,ِ ‫ا ْل َم ْر َء الَ يُ ِح ُّبهُ إِالَّ هّٰلِل‬
‫ف فِ ْي النَّا ِر‬ َ ‫يُ ْق َذ‬.
Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-
Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi
Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila
seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya darpada selain keduanya, bahwa ia mencintai
seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali-kepada-kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka’.”

Pada hadits di atas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai
kepada matan Hadits, yaitu Bukhari, Muhammad ibn al-Mutsanna, ‘Abd al-Wahhab al-
3
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 149
Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a. Rangkaian nama-nama itulah yang disebut
dengan sanad dari hadits tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk
sampai ke matan hadits dari sumbernya yang pertama.4

Masing-masing orang yang menyampaikan hadits di atas, secara sendirian, disebut


dengan rawi (perawi/periwayat), yaitu orang yang menyampaikan, atau menuliskan
dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).
Dengan demikian, apabila kita melihat contoh hadits di atas, maka hadits tersebut
diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu:5

1. Anas r.a. ......................................... sebagai perawi pertama.


2. Abi Qilabah ................................... sebagai perawi kedua.
3. Ayyub ............................................ sebagai perawi ketiga.
4. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi ........... sebagai perawi keempat.
5. Muhammad ibn al-Mutsanna ......... sebagai perawi kelima.
6. Bukhari .......................................... sebagai perawi keenam atau perawi
terakhir.

Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut sebagai mukharrij, yaitu
orang yang telah menukil atau mencatat sesuatu hadits pada kitabnya, dan dari segi ini
Bukhari adalah orang yang men-takhrij hadits di atas.

Karena begitu pentingnya peranan dan kedudukan sanad dalam menentukan


kualitas suatu hadits, maka para Ulama telah melakukan upaya-upaya untuk mengetahui
secara jelas dan rinci mengenai keadaan masing-masing sanad hadits. Upaya dan
kegiatan ini berwujud dalam bentuk penelitian hadits, khususnya penelitian sanad
hadits. Kitab-kitab yang disusun dan memuat tentang keadaan para perawi hadits,
seperti data-data mereka, biografi mereka, dan keadaan serta sifat sifat mereka, di
antaranya adalah: 6

4
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 150
5
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 151
6
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 161
(a) Karya yang membahas tentang riwayat hidup para Sahabat, seperti:7

̶ Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashhab, oleh Ibn ‘Abd al-Andalusi;


̶ Usud al-Ghabat fi Ma’rifat al-Shahabat, oleh ‘Iz al-Din Abi al-Hasan ‘Ali
ibn Muhammad ibn al-Atsir al-Jaziri (w. 630 H);
̶ Al-Ishabat fi Tamyiz al-Shahabat, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H).
(b) Kitab-kitab Thabaqat, seperti:

̶ Al-Thabaqat al-Kubra, oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Sa’d al-Waqidi
(w. 230 H);
̶ Tadzkirat al-Huffazh, oleh Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn ‘Utsman al-Dzahabi
(w. 748 H).
(c) Kitab-kitab yang memuat riwayat hidup para perawi hadits secara umum,
seperti:

̶ Al-Tarikh al-Kabir, oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H);


̶ Al-Jarh wa al-Ta’dil, oleh Ibn Abi Hatim (w. 327 H).
(d) Karya-karya yang memuat tentang para perawi hadits dari kitab-kitab tertentu,
seperti:8

̶ Al-Hidayat wa al-Irsyad fi Ma’rifat ahl al-Tsiqat wa al-sadad, oleh Abu


Nashr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (w. 398 H) (kitab ini memuat
secara khusus para perawi hadits dari kitab Shahih al-Bukhari).
Sedangkan kitab-kitab yang memuat biografi para perawi hadits yang terdapat
di dalam al-Kutub al-Sittah dan lainnya adalah seperti:
̶ Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, oleh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi (w. 600 H),
̶ Tahzib al-Kamal, oleh Al-Mizzi (w. 742 H); Tahdzib al-Tahdzib, oleh Al-
Dzahabi (w. 748 H),
̶ Tahdzib al-Tahdzib, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), dan lain-lain.

7
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 162
8
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 163
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahi-han atau ke-
dha’ifan-nya. Hal ini dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan makna dan tujuan
yang terkandung di dalam Al-Quran, atau selamatnya:

a. Dari kejanggalan redaksi (rakyat al-faz).


b. Dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (lafaz al-ma’an), karena
bertentangan dengan akal dan pancaindera, atau dengan fakta sejarah.
c. Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami
berdasarkan maknanya yang umum dikenal.

Dari hadits berikut:

‫ َح َّدثَنَا‬: ‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ ا ْل ُمثَنَّى قَا َل‬: ‫ي قَا َل‬ ُّ ‫َر َوى اإْل ِ َما ُم ا ْلبُ َخا ِر‬
ْ‫ عَن‬,َ‫ عَنْ أَبِ ْي قِالَبَة‬,‫ب‬ ُ ‫ َح َّدثَنَا أَ ُّي ْو‬: ‫ب ا ْلثَّقَفِ ُّي قَا َل‬ ِ ‫َع ْب ُد ا ْل َوهَّا‬
‫هّٰللا‬
‫ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه‬ ٌ َ‫ ثَال‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫س َع ِن النَّبِ ِّي‬ ٍ ‫أَ ْن‬
‫هّٰللا‬
‫س َوا‬ ِ ‫ب إِلَ ْي ِه ِم َّما‬َّ ‫س ْولُهُ أَ َح‬
ُ ‫ان أَنْ يَ ُك ْو َن ُ َو َر‬ ِ ‫َو َج َد َحالَ َوةَ اإْل ِ ْي َم‬
‫ َوأَنْ يَ ْك َرهَ أَنْ يَ ُع ْو َد فِ ْي‬,ِ ‫ب ا ْل َم ْر َء الَ يُ ِحبُّهُ إِالَّ هّٰلِل‬ َّ ‫ َو أَنْ يُ ِح‬,‫ُه َما‬
‫ف فِ ْي النَّا ِر‬ َ ‫ا ْل ُك ْف ِر َك َما يَ ْك َرهُ أَنْ يُ ْق َذ‬.
Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-
Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi
Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila
seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya darpada selain keduanya, bahwa ia mencintai
seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali-kepada-kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka’.”
Maka, lafaz:9

َ ‫ أَنْ يُ ْق َذ‬... ‫ إِلى‬... ‫ث َمنْ ُكنَّ فِ ْي ِه‬


... ‫ف فِ ْي النَّا ِر‬ ٌ َ‫ثَال‬
Adalah merupakan matan dari hadits tersebut.

Dengan mempelajari Ilmu Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh,
antara lain :10

a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa


sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
b. Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan
dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam
mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
d. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits
sebagai pedoman dalam beristimbat.

Dari beberapa faedah di atas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari
Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul
(diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.

9
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hal. 165
10
Solikah Imro’atus dan teman-teman. Ulumul Hadits (Hadits Riwayah dan Diroyah). IAIN Tulungagung.
2014. hal. 7
E. Perbedaan Antara Ilmu Hadits Riwayah Dan Dirayah
No Aspek Ilmu Hadits Riwayah Ilmu Hadits Dirayah
.
1. Obyek Pribadi Nabi (perkataan, Keadaan sanad dan matan hadits
perbuatan, ketetapan dan
sifat-sifat Nabi)
2. Faedah Menjaga pelaksanaan Mengetahui kaidah-kaidah yang
sunnah dan menghindari digunakan para ulama hadits
kesalahan penukilan hal- dalam mengklasifikasikan hadits
hal yang berkenaan Nabi.
dengan Nabi.
3. Tujuan Meneladani perilaku Mengetahui hadits yang diterima
Nabi dan ditolak
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-
kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan
menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain.
2. Sanad adalah kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad
disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern.
3. matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya.
4. Tujuan dan urgensi  Ilmu hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan
menetapkan hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau
untuk diamalkan) dan yang Mardud(yang ditolak).
5. Dasar-dasar ilmu hadist dirayah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW,
seperti yang diisyaratkan dalam Alquran (QS. Al-Hujarat:6), ayat ini berisi
perintah untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang
fasik. Diperiksa untuk dicari kebenaran dari sumber berita tersebut.
6. pada abad kedua sampai ketiga hijriyyah ilmu-ilmu hadist baru mulai ditulis dan
dikodifikasikan.
7. Pokok pembahasan ilmu dirayah itu ada dua, yaitu rijal al-sanad dan jarah-
ta’dil Sehingga muncul penilaian, bahwa suatu matan hadist dinilai shahih, atau
hasan atau dla’if.
8. faedah yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadist dirayah, antara lain:
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa
sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
b. Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka
lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam
mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
d. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits
sebagai pedoman dalam beristimbat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh manna. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
2005

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,


PT.Pustaka Rizki Putra, semarang. 2009

Juned, Daniel. Ilmu Hadits, Penerbit Erlangga. Jakarta. 2010

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Amzah, Jakarta. 2010

Sattar, Abdul. Ilmu Hadits, Rasail Media Group. Semarang. 2015

Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadis. (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998).

Jamilah Eva Syarifatul, Mahdawati Hamasliko. Ilmu Hadits Dirayah. UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 2016.

Solikah Imro’atus, M. Huda Fajrul, Umma Mufa Latifatul. Ulumul Hadits (Hadits
Riwayah dan Diroyah). IAIN Tulungagung. 2014.

Anda mungkin juga menyukai