PENDAHULUAN
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
lain, takhrij untuk memproduksi jarah ta’dil dapat dikelola dengan berfikir
deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah ta’dil tersebar
berdasarkan dua pemilahan. (1) Pemilahan matan hadits, seperti hadits
akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian,
dan sebagainya. (2) Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil berdasarkan
jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir
jarah ta’dil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau
ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap
rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati
adilnya, dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian
jarah dan ta’dilnya. Atas dasar itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada
konteks yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat
dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil.
Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits
yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai
sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari
dan harus dirumuskan, yaitu (a) Apa tujuan jarah-ta’dil.(b) Bagaimana
bentuk penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi (c) Apakah hadits itu
tergolong hadits tasyri’ atau hadits irsyad, atau jalan tengan di antara tasyri
dan irsyad (d) Teknis penerapan ilmu takhrij al-rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin baik mutaqaddimin atau
mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara berfikir ulama dengan
menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir seperti itu
terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam jarah-
ta’dil karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan lain-
lain, termasuk jarah ta’dil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar.
Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa jarah ta’dil memiliki
hubungan dengan empat langkah. Yaitu (a) Pemikiran ulama tentang jarah
ta’dil. (b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi. (c) Hadits
yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri’ saja atau hadits irsyad
10
juga. (d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah
ta’dil yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan empat
langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
Ketiga, model aplikasi jarah ta’dil. Model ini terdiri atas empat
langkah.(a) Sumber jarah-ta’dil yaitu penilaian seperti terdihimpun dalam
Kitab Kuning, tersebut di atas.(b) Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang
jarah atau ta’dil menurut pemisahan ulama. (c) Jenjang kaidah jarah-ta’dil
itu merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak
dapat digunakan untuk memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau
khusus. (d) Atas dasar itu jarah ta’dil dapat diaplikasikan bagi penataan
kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan
daya paksa, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukjhari dan Muslim
mengalahkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang
ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan
rawi yang ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, jarah-
ta’dil dapat mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu
kasus yang ada dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan jarah-ta’dil bisa
didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi
sebagai dalil metodologis. Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab jarah-
ta’dil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika ulama
itu merumuskan jarah-ta’dil. Fokus ketiga tentang aplikasi jarah-ta’dil,
dapat didefinisikan sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi penataan
kehidupan manusia yang dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu
kontinum yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu
Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istid-lal, Ilmu Uhul Fiqh
menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir
menyebutkan dengan nama isti’wal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu
metoda itu memilih kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi
penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah.
11
Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya
disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau
mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1)
bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan
qudsi, jawami’ al-kalim, hadits dzikir dan do’a, hadits riwayat bi al-makna,
dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah
ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam
kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh
matan hadits) Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan
masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat
disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi
kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh
hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :
Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan
format hadits .
Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai,
norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.
Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk
menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.
Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari
penyusun konsep,
Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format
setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk
melihat perkembangan formatisasi.
2. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang
isinya kelihatan berten-tangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil
hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas
hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah ”Saya
melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke
12
isnad. Akan tetapi, takkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada
kami para-para pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah
diambillah hadist mereka dan mereka ahli bid’ah maka haditsnya ditinggalkan”.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali
disertai sanad, maka dapat disimpulkan bahwa pada sa’at itu telah timbul
pembicaraan periwayatan mana yang tercelah dan mana yang adil (ilmu jahri
wata’dil), sanad mana yang terputus (munqoti’) dan mana yang bersambung
(muttasil), dan cacat (‘illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam tarap yang
sederhana.
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli
hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan(dhabit) kuat apa tidak,
bagaimana metode menerima (tahammul) dan menyampaikan (‘ada”) hadits,
nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-
hadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru
berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baharu pada abad kedua hijriyah sampai
abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk
yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri.
Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang
ditulis oleh As-Syafi’I, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab Al-Umm dan
Al-ikhtilaf al-hadits karya al-syafi’I (w.204 H).
Ilmu hadits dirayah terhadap matan hadits, sama dengan kedudukan tafsir
terhadap al-quran, atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi.
Pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan ‘ilmu hadits ini, pada mula-
mula tumbuh, banyak macamnya yang diperkatakan dalam sesuatu kitab. Tetapi
banyak masing-masing macam itu mempunyai maudlu’ sendiri-sendiri, ghayah
sendiri dan manhaj sendiri. Dan semuanya itu dibicarakan sebagai suatu ‘ilmu.
Tetapi setelah berkembang usaha penyusunan kitab, barulah masing-masing ahli
memperkatakan sesuatu problema dari pembahasan-pembahasan ilmu hadits dan
menjadi banyaklah macamnya, yang masing-masingnya dibahas sendiri-sendiri.
Namun demikian semuanya itu dicakup oleh istilah ulumul hadits(ilmu-ilmu
hadits). Sebahagian ulama memakai istilah ’ushulul hadits ( qaidah-qaidah hadits).
Bahkan ada yang menamakan musthalul hadits. Inilah nama-nama yang telah
diistilahkan para ulama untuk ‘ilmul hadits dirayah. Dan nama-nama itu semuanya
merupakan nama bagi; sekumpulah qaidah dan masalah yang dengan qa’idah
danmasalah itu, kita mengetahui keadaan perawi-perawi dan keadaan-keadaan
marwi.
Lantaran inilah kita tidak buleh mencukupi dengan mempelajari lafadh hadist
serta sanatnya saja tanpa memperhatikan keadaan rawi, keadaan marwi dan
pengistimbatan hukum dari padanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai defenisi dari para ulama, dapat disimpulkan bahwa
ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan
para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya. Adapun Faedah mengetahui’ ilmul
hadits dirayah (‘ilmu dirayah hadits), ialah mengetahui mana hadits yang
disandarkan kepada rasul saw yang harus kita terima (yang maqbul) dan
mana yang harus ditolak (yang mardud). Kedua ‘ilmu ini satu sam lain
melengkapi. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing
dari ‘ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tiadalah
berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ‘ilmu hadits dirayah;
karena dengan ‘ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang
maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan
kepada kita.
17
DAFTAR PUSTAKA
sunkopuroh.
Darul fikri blog. Hadits dirayah, upload September 2011
18
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur seraya kita penjatkan kepada Alloh swt,
karena atas curahan dan limpahan rahmat serta karuniaNya lah kita semua
bisa beraktifitas menjalankan semua tugas kita. Sholawat beserta salam
semoga selamanya tercurah limpahkan kepada jungjunan kita semua yaitu
Nabi Muhammad saw, serta keluarganya, sahabatnya, tabi’in tabi’atnya
serta kita semua selaku ummatnya aamiin ya Robbal Alamin.
Setelah penulis memanjatkan puji serta syukur serta sholawat,
penulis sengaja menyusun makalah ini untuk di ajukan sebagai tugas mata
kuliah Ulumul Hadits di Sekolah Institut Agama Islam Negeri ( IAIN )
SMH Banten, dengan harapan dapat bermanfaat baik bagi diri pribadi
penulis maupun untuk semua rekan – rekan civitas akademik, dan lebih
umumnya untuk semua yang membaca makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai menusia biasa tentunya tidak
terlepas dari kesalahan dan kehilafan terutama dalam penyajian materi atau
pun penulisan makalah ini, untuk itu, penulis sangat berharap bagi siapa
saja yang menemukan kesalahan pada makalah ini, mohon untuk bisa
memeberitahukan kepada penulis serta mengembalikan kepada kebenaran
yang sesungguhnya.
Akhirnya penulis menyerahkan semua urusan kepada Alloh, karena hanya
kepadaNya lah kita semua harus berserah diri.
i
19
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………… i
DAFTAR ISI ………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………
1.3 Tujuan Penulisan ………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Ilmu Hadits Dirayah …………………….. 4
2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah ………………
2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah ……………..
2.4 Faedah Penerapan Ilmul Hadits Dirayah
2.5 Kepentingan IImu Hadist Dirayah
ii