Anda di halaman 1dari 9

ILMU HADITS DIRAYAH

Dosen pembimbing :
Disusun oleh:

JURUSAN ILMU HADIST FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABYA
TAHUN AKADEMIK 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Swt, Rabb semesta alam. Tidak ada
daya dan upaya selain dari Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia
Nya dalam mengarungi kehidupan ini.
Salawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Beserta
keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman di
manapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Nyalah, sehingga makalah ini
dapat kami selesaikan. Makalah ini kami beri judul “Ilmu Hadits Dirayah”. Dalam
makalah dijelaskan tentang pengertian ilmu hadits dirayah, dan tujuan dan faedah
dari ilmu hadits dirayah. Dengan penjelasan dalam makalah ini diharapkan kepada
para pembaca lebih memahami tentang Ilmu Hadist Dirayah dan supaya dapat
menjadi nilai tambah dalam mempelajari Islam.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing yang
telah memberikan gambaran tentang materi yang harus selesaikan dan juga semua
pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini.
Terakhir, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk lebih menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini lebih sempurna pada
masa yang akan datang.

Surabya, 07 Oktober 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul
Hadtis yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadits’. Kata ulum dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-
Hadits dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang
dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama
Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan,
perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah
kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang
dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya.
Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian.
Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya
dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadits yang memiliki pengertian
“ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-
masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya,
sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-
lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama
abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal,
Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal
(241H/855M) menulis Al-‘Ilaldan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang
lainnya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul
Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya.
Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan
dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan
tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum
disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi
satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadits, karena
telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama
(beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus
yang nama lainnya adalah Musthalahul Hadits.

B.                Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang, pemakalah mengajukan
permaslahan sebagai berikut:
1.      Apa yang pengertian dari Ilmu Hadits Dirayah?
2.      Apa sajakah Objek Kajian atau Pokok Bahasan Ilmu Hadits Dirayah?
3.      Apa tujuan dan Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits Dirayah?

C.                Tujuan Penulisan


Adpun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini dapat penyusun
uraikan sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa pengertian dari Ilmu Dadits Dirayah.
2.      Mengetahui Objek Kajian atau Pokok Bahasan Ilmu Hadits Dirayah.
3.      Mengetahui Tujuan dan Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits Dirayah.

D.                Sistematika Penulisan


Untuk mempermudah pokok permsalahan, maka penulis menysun makalah
ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
B.                 Rumusan Masalah
C.                 Tujuan Penulisan
D.                Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.                Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
B.                 Objek Kajian atau Pokok Bahasan Ilmu Hadits Dirayah
C.                 Tujuan dan Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits Dirayah
BAB III PENUTUP
A.                Kesimpulan
B.                 Saran
BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Ilmu Hadits Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah, dari segi bahasa kata dirayah berasal dari kata dara,
yadri, daryan, dirayatan/dirayah = pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi
pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadits atau pengantar ilmu hadits.
Secara istilah
Artinya:
“Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka,
macam-macam periwayatan, hal-hal yang berkaitan dengannya” 1

Definisi tentang Ilmu Hadits Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib,


sebagai berikut:
Artinya:
“Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk
mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi diterima atau ditolaknya” 2

1
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi..., juz 1, hlm. 40.
2
M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hlm. 8.

Untuk memperjelas definisi di atas perlu dikemukakan secara terperinci.


1.      Maksud hakikat periwayatan pada definisi di atas memindahkan berita dalam
sunnah atau sesamanya dan menyandarkannya kepada orang yang membawa
berita atau yang menyampaikan berita tersebut atau kepada yang lainnya.
2.      Syarat-syarat periwayatan maksudnya kondisi perawi ketika menerima (tahammul)
periwayatan hadits, apakah menggunakan metode as-sama’ (murid mendengar
penyampaian guru), al-qira’ah (murid membaca guru mendengar), al-ijazah (guru
memberi izin murid untuk meriwayatkan haditsnya), dan lain-lain.
3.      Macam-macamnya, yakni macam-macam periwayatan apakah bertemu langsung
(sanad muttashil) atau terputus (inqitha).
4.      Hukum-hukumnya, diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).
5.      Keadaan para perawi, seorang perawi ketika menerima (tahammul) dan
menyampaikan (ada) hadits, adil atau tidak, di mana tempat tinggal lahir dan
wafatnya. Sedang kondisi marwi maksudnya hal-hal yang berkaitan dengan
persyaratan periwayatan ketika tahammul (menerima hadits) dan ada’
(menyampaikan periwayatan), persambungan sanad dan tidaknya dan lain-lain.3
Demikian juga berita yang diriwayatkan itu apakah rasional atau tidak, bertentangan
dengan Al-Qur’an atau tidak, dan seterusnya.
6.      Macam-macam periwayatan, artinya hadits atau atsar macam-macam bentuk
pembukuanya apakah Musnad, Mu’jam, Ajza’, dan lainya dari jenis-jenis kitab yang
menghimpun hadits-hadits Nabi SAW.
7.      Hal-hal yang berkaitan dengannya, mengetahui istilah-istilah ahli hadits.
3
Ibid. Hlm. 107-108.

Istilah ilmu hadits dirayah, menurut As-Suyuthi, muncul setelah masa Al-
Khatib Al Baghdadi, yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan
ilmu ushul al-hadits, ‘ulum al-hadits, musthalah al-hadits, dan qawa’id al-tahdits.4

Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin
Jama’ah, yaitu.
”ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui
keadaan sanad dan matan”.5
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah
adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad,
matan, cara menerima dan meyampaikan hadits, sifat rawi, dan lain-lain.
Sasaran kajian ilmu hadits dirayah adalah sanad dan matan dengan segala
persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadits
tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad
disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstren.
Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran)
jalur periwayatan, mulai sahabat sampai kepada periwayat terahkir yang menulis
dan membukukan hadits tersebut.

B.                Objek Kajian atau Pokok Bahasan Ilmu Hadits Dirayah


Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi
di atas adalah sanad dan matan hadits.
1.      Ittishal as-sanad (Persambungan sanad).
Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi,
tidak diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
2.      Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah
(terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayatan
4
As-Suyuthi. Op.cit. hlm. 5.
5
‘Itr. op.cit. hlm. 16.

3.      Syad, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadits
yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
4.      ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadits yang kelihatannya baik atau
sempurna. Syadz dan ‘illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk
menelitinya diperlukan penguasaan ilmu yang mendalam.
Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matan
(kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah
materi hadits itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah
SAW. Pokok pembahasannya meliputi :

a.       Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.


b.      Fasad al-ma’na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadits karena
bertentangan dengan al-hiss (indra) dan akal, bertentangan dengan nash Al-Qur’an,
dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW. Serta
mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.
c.       Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak dapat dipahami berdasarkan
makna yang umum dikenal.

C.                Tujuan dan Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits Dirayah

Dengan mengetahui ilmu hadits dirayah kita dapat mengetahui dan


menetapkan maqbul (diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadits. Karena dalam
perkembangannya, hadits Nabi SAW, telah dikacaukan dengan munculnya hadits-
hadits palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh
umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Oleh
karena itu, ilmu hadits dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha
pemeliharaan hadits Nabi SAW dengan ilmu hadits dirayah, kita dapat meneliti
hadits mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SSAW, yang shahih,
dhaif, dan maudhu’ (palsu).
Untuk mengetahui dan menetapkan Hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat
diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud.
BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan

Ilmu Hadits Dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal
dengan Ulumul Hadits, Mushthalah al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan
nama-nama di atas, meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang
sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan
perawi (sanad), dan marwi (matan) suatu Hadits, dari segi diterima, dan
ditolaknya.1

Para Ulama Hadits membagi Ilmu Hadits Dirayah atau Ulumul Hadits ini
kepada beberapa macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas
padanya, seperti pembahasan tentang pembagian Hadist Shahih, Hasan, dan
Dha’if, sefrta macam-macamnya, pembahasan tentang tata cara penerimaan
(tahammul) dan periwayatan (adda’) Hadits, pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta
tingkatan-tingkatannya, pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya,
dan pengklasifikasiannya antara yang tsiqat dan dha’if, dan pembahasan lainnya.
Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai maccam-macam dali
Ulumul Hadits, sehingga karena banyaknya, Imam al-Suyuthi menyatakan bahwa
tidak terhingga jumlahnya.2 Ibn al-Shalah menyebutkan ada 65 macam Ulumul
Hadits, sesuai dengan pembahasannya, sepertinya yang dikemukakan di atas. 3

B.                Saran

Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan
jauh dari kesempuraan. Saran kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi
kesempurnaan makalah sehingga akan lebih bernanfaat kontibusinya bagi hazanah
keilmuan. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai