Anda di halaman 1dari 15

SYARH DAN FIQH AL-HADITS

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Pemahaman Hadits

Dosen Pengampu: Lisfa Sentosa Aisyah, M.A.

DISUSUN OLEH:

Kelompok 1

M. Farhan Nauval 11190340000001


Genaro Noer Fushshilat 11190340000066
Muhammad Hafizh Taufik11190340000062
Mahlulatul Mufidah 11190340000116

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaika nmakalah kami yang berjudul
“Syarh dan Fiqh Al-Hadits”. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw. Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Metode Pemahaman Hadits.

Dengan disusunnya makalah ini, semoga dapat menambah wawasan bagi para pembaca
dan penulis. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapka
nadanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pembaca,
khususnya dalam pembelajaran mata kuliah Metode Pemahaman Hadits.

i
DAFTAR ISI
Kata pengantar ............................................................................................................................ i
Daftar isi..................................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ................................................................................................................... 1
a. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
b. Rumusan masalah .......................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan .................................................................................................................. 2
a. Pengertian Syarh Hadits ................................................................................................. 2
b. Pengertian Fiqh Hadits ................................................................................................... 3
c. Sejarah Perkembangan Syarah Hadits ........................................................................... 3
d. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Klasik ......................................................... 4
e. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Pertengahan ................................................. 6
f. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Modern-Kontemporer ................................ 7
g. Sejarah dan Perkembangan Fiqh Al-Hadits .................................................................. 8

Kesimpulan .............................................................................................................................. 11
Daftar Pustaka ..................................................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Syarah hadis merupakan pengetahuan yang didapat dari teks-teks hadis, atau menjelaskan
makna yang tersembunyi dibalik teks hadis, maupun yang berhubungan dengan aspek
kehidupan agama ataupun aspek-aspek lainnya. Sama halnya dengan al-Qur’an yang tidak
dapat dimengerti tanpa tafsir, begitu juga dengan hadis wajib dipahami dengan syarah atau
penjelasan. Penjelasan al-Qur'an disebut tafsir, sedangkan penjelasan hadis disebut syarah.

Syarh al-hadis dan fiqh al-hadis memiliki peran yang sangat penting dalam memahami
dan mengamalkan hadis Nabi. Syarh al-hadis muncul dari berbagai aspek yang meliputinya,
di antaranya: Pertama, aspek historisnya. Sejarah mencatat bahwa istilah syarh al-hadis yang
dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap hadis belum muncul dikala Nabi saw. masih hidup,
namun istilah tersebut muncul seiring dengan perkembangan hadis dari masa ke masa.
Kedua, aspek metodologi. Model pen-syarh-an hadis sangat beragam sesuai dengan sosio-
historis dan sosio-kulturan yang berkembang saat itu5 Kalau dicermati metode pen-syarh-an
yang ulama gunakan ada kemiripan dengan metode penafsiran al-Qur‟an, seperti metode
tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin, namun tak satupun di antara ulama penyusun
kitab syarh menjelaskan metode yang digunakannya.
Perkembangan syarah hadis di era modern-kontemporer tidak berbeda dengan
perkembangan tafsir Alquran di era yang sama. Sehingga, karakter dari syarah modern-
kontemporer ialah tersusun dalam tema-tema tertentu (tematik) atau membahas topik-topik
yang menjadi problematik dalam masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari
hasil kajian syarah tersebut. Pada era ini, metode maudlu’i mendominasi metode lainnya
namun metode ijmali, tahlili dan muqarin masih dapat ditemukan dalam dekade ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syarh Hadits dan Fiqh Hadits
2. Bagaimana sejarah dan Perkembangan Syarah Hadits dan Fiqh Al-Hadits

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syarh Hadits

Istilah syarah hadis berasal kata syarh dan hadits yang diserap menjadi bahagian dari
kosa kata bahasa Indonesia. Secara bahasa, kata syarh berarti al-kasyf, al-wadh, al-bayan, al-
tawsi‘, al-hifz, al-fath, dan al-fahm, artinya menampakkan, menjelaskan, menerangkan,
memperluas, memelihara, membuka, dan memahami.1
Secara istilah, syarah berarti menguraikan atau menjelaskan bahasan tertentu, dengan
segala aspek berhubugan pada objek yang dibahas secara lengkap. Syarah merupakan kitab
yang ditulis oleh ulama lain sebagai komentar atau penjelasan pada kitab tertentu.
Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulallah Saw. baik
berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat dan akhlak (kepribadian), baik sebelum diutus
menjadi Rasul maupun sesudah diutus menjadi Rasul. 2Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw., baik berupa sabda, perbuatan,
ketetapan atau sifat-sifatnya.
Syarah hadis merupakan pengetahuan yang didapat dari teks-teks hadis, atau
menjelaskan makna yang tersembunyi dibalik teks hadis, maupun yang berhubungan dengan
aspek kehidupan agama ataupun aspek-aspek lainnya. Sama halnya dengan al-Qur’an yang
tidak dapat dimengerti tanpa tafsir, begitu juga dengan hadis wajib dipahami dengan syarah
atau penjelasan. Penjelasan al-Qur'an disebut tafsir, sedangkan penjelasan hadis disebut
syarah.3
Di balik begitu banyaknya ulama yang menyusun kitab syarah hadis, namun jika
dicermati jarang sekali yang membahas mengenai keilmuan syarah hadis, khususnya
metodologi syarah hadis. Padahal, guna bisa memahami penjelasan ulama-ulama mengenai
suatu hadis dalam kitab syarahnya, sangat penting untuk mengetahui metode yang digunakan
ulama-ulama tersebut Selain itu dengan merumuskan metode yang digunakan pensyarah
hadis di samping dapat memperluas wawasan, juga dapat mengambil pelajaran dari metode
yang digunakan memahami hadis.4
Oleh sebab itu, ada sebagian ulama yang tertarik untuk memberikan beberapa
pengklasifikasian mengenai metode syarah. Dalam klasifikasinnya kadang terdapat
perbedaan, hal ini dimaklumi karena perbedaan sudut pandang ulama yang
mengklasifikasikan.

1
Hedhri Nadhiran, Reformulasi Studi Ilmu Hadis: Sejarah Perkembangan Hadis, Fakultas
Ushuluddin, UIN Raden Fatah Palembang, Jurnal Ilmu Agama, No. 1, 2007, hlm. 4
2
Akhmad Shagir, Perkembangan Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol .9, No.2, 2010, hlm. 129
3
Wahyudin Darmalaksana, Penelitian Hadis Metode Syarah Pendekatan Kontemporer:
Sebuah Panduan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Jurnal Diroyah: Studi Ilmu Hadis, Vol. 5, No.
1, 2020, hlm. 60
4
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis, cet I (Yogyakarta: Kalimedia, 2016),hal
29
2
B. Pengertian Fiqh Hadits
Fiqh al-Hadits berasal dari dua kata yaitu fiqh dan al-Hadits. Fiqh berasal dari kata ‫ا‬
yang artinya secara bahasa adalah mengerti atau faham akan sesuatu. Sedangkan secara
istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci. Adapun al-Hadits berasal dari yang artinya secara bahasa adalah baru,
dan secara istilah adalah sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi s.a.w. dari perkataan,
perbuatan, penetapan dan sifatnya.5
Istilah fiqh al-hadits pertama kali dimasukkan dalam pembahasan kitab ilmu hadis
pada abad ke-4 Hijriyah. Tepatnya pada karya Imam Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H)
dalam kitabnya yang berjudul Ma’rifatu ‘Ulum Al-Hadits. Di dalamnya, disebutkan bahwa
fiqh al-hadits merupakan buah daripada ilmu hadis dan merupakan tonggaknya syariat Islam.
Fiqh al-Hadits ini adalah sekumpulan teori-teori yang dirumuskan dari pelbagai
referensi syarah (komentar) terhadap hadis-hadis Nabi. Jadi, secara tidak langsung syarah
hadis adalah fiqh al-Hadits itu sendiri walau syarah-syarah hadis tersebut secara spesifik tidak
menyebutnya sebagai fiqh al-Hadits. Sebab, kegiatan syarah hadis adalah penjelasan
kesahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum dan hikmah yang terkandung darinya.
Syarh al-hadis dan fiqh al-hadis memiliki peran yang sangat penting dalam
memahami dan mengamalkan hadis Nabi. Syarh al-hadis muncul dari berbagai aspek yang
meliputinya, di antaranya: Pertama, aspek historisnya. Sejarah mencatat bahwa istilah syarh
al-hadis yang dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap hadis belum muncul dikala Nabi
saw. masih hidup, namun istilah tersebut muncul seiring dengan perkembangan hadis dari
masa ke masa. Kedua, aspek metodologi. Model pen-syarh-an hadis sangat beragam sesuai
dengan sosio-historis dan sosio-kulturan yang berkembang saat itu5 Kalau dicermati metode
pen-syarh-an yang ulama gunakan ada kemiripan dengan metode penafsiran al-Qur‟an,
seperti metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin, namun tak satupun di antara
ulama penyusun kitab syarh menjelaskan metode yang digunakannya.

C. Sejarah Perkembangan Syarah Hadits

Perkembangan syarah saling beriringan dengan perkembangan hadis dan ilmu hadis.
Diketahui dari periode keduanya, bahwa usaha pemahaman hadis pernah berada dipuncak
perkembangan lalu mengalami kemunduran secara berangsur, seperti aktivitas keilmuan
Islam lainnya. Muhammad Thahir al-Jawwabi membagi 3 periode sejarah perkembangan
syarah, yaitu: periode pertumbuhan, periode penyempurnaan dan periode kemunduran.
Periodesasi yang dimaksudkan dalam sejarah perkembangan syarah hadis disini berbeda
dengan periode sejarah hadis yang disebut ‘Ashr alSyuruh. Masa pensyarahan yang dimaksud
dalam periodesasi tersebut adalah masa pembukuan syarah-syarah hadis.
Syarah berdiri menjadi disiplin ilmu beriringan dengan munculnya karya-karya ulama
dalam menjelaskan maksud hadis Nabi Saw. Sedangkan sejarah syarah hadis adalah

5Mukhlis Mukhtar, Syarh Hadits dan Fiqh Hadits (Upaya Memahami dan Mengamalkan
Hadis Nabi),Jurnal,hal112
3
perkembangan syarah hadis yang berisi pemahaman dan penjelasan atas hadis Nabi Saw.,
baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau karya tulis para ahli hadis dari zaman Nabi Saw.
hingga masa sekarang.
D. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Klasik
A. Masa Nabi

Pada zaman Rasulullah Saw. cikal bakal syarah telah ada. Istilah fiqh alhadis, fahm
al-hadis dan syarh al-hadis dan sebagaimananya, belum dipakai secara formal. Para sahabat
dalam seluruh lapisan dimensi sosial kemasyarakatan telah menjadikan Rasulullah tempat
bersandar. Rasulallah telah menjadi suri tauladan dalam setiap perbuatan, bahkan menjadi
“bayan” (penjelas) untuk alQur’an dan sabda-sabdanya. Rasulullah merupakan “al-syarih al-
awwal”. Syarah pada masa Rasulallah Saw. adalah seluruh jejak rekaman sahabat mengenai
ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Rasulullah yang dikenal saat ini.6
Pada masa awal, syarah hadis didominasi dengan klarifikasi atau tabayyun oleh para
sahabat dengan hadis yang didapatnya kepada Nabi Saw. agarmemperoleh penjelasan
‘apakah begitu yang dimaksud dengan hadis tersebut’.Pada masa ini, syarah masih kuat
kaitannya dengan kehidupan Nabi Saw. Dan pada waktu yang lain para sahabat tidak
memisahkan mana perbuatan Nabi yang mengarah pada kerasulan atau manusia biasa, atau
terinterpretasi pada al-Qur’an atau adat istiadat masyarakat terdahulu.
Pada periode Rasulullah SAW. syarah hadis tidak secara tegas dan mandiri berdiri
sendiri diluar matan hadis Nabi Muhammad Saw, sebab penjelasan Nabi terhadap satu hadis
lainnya telah berdiri mandiri menjadi matan hadis atau dituliskan menjadi matan hadis yang
itu sendiri.7
Sebagaimana contoh berikut:
…dari ‘Imran ibn Husain RA sesungguhnya suatu hari seorang perempuan
mendatangi Rasulullah SAW dan ia dalam kondisi hamil akibat berzina. Perempuan itu
berkata kepada Rasulullah SAW: duhai Rasulullah, aku telah melakukan pelanggaran maka
hukumlah aku atas perbuatanku. Kemudian Nabi memanggil kekasih perempuan tersebut dan
bersabda: berbuat baiklah kepadanya, ketika ia mengakui kesalahannya maka aku
mendatanginya‛, kemudian Nabi memerintahkan perempuan tersebut untuk mengikat
pakaiannya dan merajamnya. Kemudian Nabi mensholatinya, sehingga Umar Ibngung dan
bertanya kepada Nabi; ‚mengapakau mensholatinya ya Rasulullah, dia adalah seorang
pezina?‛. Maka Nabi pun menjawab sesungguhnya ia telah benar-benar bertaubat, dan jika
taubat itu dibagi kepada 70 ahli Madinah, maka taubat itu akan memenuhi ahli madinah,
apakah kau menemukan yang lebih utama dari orang yang datang kepada Allah dan
mengakui semua kesalahannya.
Hadis diatas menjelaskan bahwa sahabat Umar Ibn Khattab tidak memahami apa yang
dilakukan Nabi, sehingga ia bertanya dan Nabi menjawabnya. Inilah bentuk syarah hadis
pada masa Nabi, berupa dialog antar sahabat dengan nabi terkait hal-hal tertentu yang
biasanya sulit difahami oleh sahabat-sahabatnya. Dari contoh hadis diatas dapat dikatakan

6
Diakses dari http://repository.radenfatah.ac.id/18333/2/2.pdf, pada tanggal 12 maret 2022, pukul 17.26
7
Diakses dari http://digilib.uinsby.ac.id/16908/22/Bab%202.pdf, pada tanggal 12 maret 2022, pukul 17.39

4
bahwa syarah hadis padamasa Nabi Muhammad merupakan kesatuan rangkaian dalam bentuk
hadis itu sendiri, sehingga pada masa nabi Muhammad syarah yang berdiri sendiri dinyatakan
tidak ada. Sebab segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. berarti
Hadits.
B. Masa Sahabat dan Tabi’in

Sahabat dan Tabi’in adalah Waratsat al Anbiya’ pasca Nabi wafat. Setiap
permasalahan baru yang belum dijelasakan pada masa Nabi hidup, menjadi tugas mereka
untuk menemukan solusi dan hujjah hukumnya baik dari Alquran maupun Hadis. Pada masa
ini syarah hadis belum dapat dikatakan sebagai keilmuan yang mandiri, sebab penjelasan
mereka terhadap hadis Nabi di sebut athar. Sedangkan dari aspek penyandaran, hadis mereka
disebut hadis mauquf. Selain itu hasil ijtihad mereka diyakini masih bersandar terhadap hadis
Nabi.
Ketika berijtihad Sahabat-sahabat junior bersandar terhadap sahabat-sahabat senior
seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn‘Affan, ‘Ali ibn Abi Tholib, Ibnu ‘Abbad
dan sahabat senior lainnya, mereka menjadi sandaran sahabat junior untuk menanyakan
persoalan agama termasuk Alquran dan Hadis. Sehingga sahabat-sahabat senior pada masa
itu mulai menginterpretasikan beberapa hadis yang mereka riwayatkan berdasarkan konteks
dan kondisi sosial-budaya pada masa itu.
Berikut contoh syarah hadis dengan perbuatan yang terjadi pada masa sahabat:
Diriwayatkan Imam Muslim dari Muhammad Ibn Sobah dari Kholid ibn Abdullah
dari ‘Amr Ibn Yahya Ibn ‘Umarah dari ‘Abdullah Ibn Zaid Ibn ‘Asim Al Ansari bahwa ia
ditanya seseorang, ‚dapatkah engkau menunjukkan kepada kami cara wudlu Rasulullah?‛
‘Abdullah Ibn Zaid Ibn ‘Asim menjawab‚Iya, aku dapar menunjukkannya kepadamu,
kemudian ianmembaca niat wudlu, membasuh kedua tangannya dua kali dua kali, berkumur-
kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq) tiga kali, kemudian membasuh muka
tiga kali, membasuh kedua tangannya sampai siku, mengusap kepala dengan kedua
tangannya dari depan hingga belakang dimulai dari awal tumbuhnya rambut sampai
akhirnya kemudian dikembalikan lagi ke depan, kemudian dia mencuci kakinya’’
Hadis diatas menjelaskan tentang tata cara berwudlu yang dijelaskan dengan cara
mempraktekkannya secara langsung oleh ‘Abdullah Ibn Zaid Ibn ‘Asim kepada sahabat
lainnya. dan dituliskan oleh Imam Muslim dalam karya terbesarnya Shohih Muslim. Budaya
semacam itu juga terjadi pada masa tabi’in, aktifitas syarah hadis tidak berjalan secara
formal, karena mereka masih memahami Asbab Al Wurud al Hadith dengan baik. Kegiatan
syarah hadis secara formal juga belum menjadi kebutuhan primer, sebab masih banyak para
tabi’in yang ahli dalam bidang hadis serta dapat dijadikan sandaran dalam setiap masalah
yang muncul pada masa itu.
C. Masa Atba al – Tabiin

Pada masa ini tradisi syarah juga masih bersifat lisan, karena pada masa inilah
kegiatan pembukuan hadis dimulai, dalam sejarah hadis masa ini disebut ‘asr al Tadwin. atas
perintah khalifah ‘Umar Ibn ‘Abdul ‘Aziz (W. 101 H./720 M.), pembukuan hadis dilakukan
secara resmi dan massal. Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan tersebut atas

5
kebijakan kepala negara, disebut missal karena perintah kepala negara ditujukan kepada para
gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu.
Kegiatan syarah hadis pada masa ini masih menggunakan tradisi lisan, dengan
dibentuknya majlis-majlis ilmu. Pada masa ini syarah belum menjadi ilmu yang mandiri,
karena ulama disibukkan dengan kegiatan penghimpunan hadis, selain itu para atba’ al tabi’in
masih mampu menjelaskan hadis dengan baik yang disandarkan kepada para sahabat dan
tabi’in.
Akan tetapi hal ini tidak menutup adanya kitab syarah hadis yang lahir. Imam Malik
telah menulis kitab Syarh Al-Muwaththa’ atas permintaan khalifah al-Mansur pada masa
dinasti Abbasiyyah. karakteristik penulisan kitab Syarh Al-Muwaththa’ yaitu Imam Malik
selalu menyebutkan Hadis Nabi SAW. pada muqaddimah setiap tema. Kemudian, ia juga
menukil atsar-atsar para sahabat dan tabi’in. Semua atsar tersebut hampir tidak ada yang
berasal dari ulama di luar Madinah, karena diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak pernah
keluar dari Madinah. Tak jarang ia menyebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan
amal atau perbuatan yang telah disepakati oleh ijma’ ulama ahli Madinah. Ia juga
menjelaskan maksud kalimat hadis dan menyertakan beberapa penjelasan kalimat dengan
penjelasan bahasa.
Meski kegiatan syarah hadis tertulis pada masa itu belum populer. Namun pada waktu
yang tidak lama terdapat ulama yang mensyarahi kitab Al-Muwaththa’. Syarah kitab Al-
Muwaththa’ tersebut ditulis oleh ‘Abd Allah ibn Nafi’ (W. 180 H) yang berjudul kitab Tafsir
ila al Muwatta’. Langkah ini kemudian dilanjutkan oleh ulama hadis lainnya, dengan
sistematika yang lebih sistematis. Seperti Abu Marwan ibn ‘Abdul Malik Ibn Hubayb al-
Maliki (w. 239 H) dengan karyanya kitab A’lam Sunan yang merupakan syarah Sahih Al
Bukhori, dan Abu Sulaiman Ahmad Ibn Ibrahim Al-Khattabi (w. 388 H.) dengan karyanya
Ma’alim al Sunan Sharh Sunan Abi Daud dan kitab ini telah sampai pada masa kini.
E. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Pertengahan

Menurut Hasbi Ash Shiddiqiey, kegiatan syarah hadis secara tertulis mulai marak dan
populer terjadi pada abad ke-7 Hijriyah sampai abad ke-11 Hijriyah. Hal ini berbeda dengan
pendapat Thahir al-Jawwabi, menurutnya kegiatan syarah hadis populer dimulai pada abad
ke-4 hijriyah. Ia menyandarkan pendapatnya pada realitas sejarah bahwa kegiatan kodifikasi
pada masa itu telah berakhir, dan geliat penulisan syarah mulai muncul. Sedangkan Hasbi
Ash Shiddiqiey menyandarkan pendapatnya pada maraknya kitab syarah hadis yang
berkualitas tinggi bagi kitab-kitab hadis yang telah ada sebelumnya.
Keseriusan para ulama dalam mensyarah hadis pada abad pertengahan ini ditandai dengan
lahirnya berbagai kitab syarah hadis yang memiliki karakteristik dan sistematika yang
berbeda-beda. Para ulama tidak hanya mensyarah kitab hadis mu’tabar, melainkan kitab-kitab
hadis ahkam, kitab zawaid dan mensyarah hadis-hadis gharib atau hadis yang sulit dipahami
menurut mereka. Dalam mensyarah hadis, para ulama tidak lagi hanya fokus terhadap sanad
dan ke-sahih-an hadis melainkan fokus terhadap pemahaman isi kandungan hadis yang
direlasikan dengan kebutuhan umat pada masa tersebut.
Beberapa kitab syarah hadis yang lahir pada periode pertengahan pertama mensyarahi
kutub al sittah antara lain al-Tuqsa li Hadīth al-Muwatta’ dan al-Tamhid lima fi al-Muwatta’

6
min Ma‘ani wa al-Asanid karya Abū‘Umar Yusuf ibn ‘Abd al-Barr (w. 463 H.). Kasyf al-
Mughta’ fi Syarh alMuwatta’ dan Tanwīr al-Hawalik karya Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān ibn
abū Bakr al-Suyutī (w. 911 H). Fathal-Bari karya Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani (w.
852 H). Irsyad al-Sari ila Sahih al-Bukhari karya Ahmad ibn Muhammad al-Qastalani (w.
922 H). Al-Minhaj fi Sharh Sahih Muslim karya Yahya ibn Syarf al-Nawawī al-Syāfi‘ī (w.
676 H). Al Mu’lim bi Fawaid Muslim karya Abū ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Alī al-Māzirī
(w. 556 H) dengan karyanya . Ikmal al-Mu‘allim Bi Fawa’id Kitab Muslim karya Qadi ‘Iyad
ibn Musa al-Malikī (w. 554 H). ‘Āridah Al-Ahwazī fi Sharh Sahih alTurmuzi karya Ibnu
‘Arabi al-Mālikī(w. 543 H).
Seiring dengan lahirnya kitab-kitab hadis ontologis pada era ini, maka juga banyak
ulama yang mensyarahi, antaralain: Subul al Salam Bulug Al Maram karya Muhammad Ibn
Isma’il Al Amir al San’ani (1099 H1182H/1688-1769 M), Sharh ‘Umdat Al Ahkam karya
‘Abdurrahman Ibn Nashir al Sa’di, Nail al-Autar sharh Muntaqo Al Akhbar karya
Muhammad Ibn Ali Al-Syaukani (W. 1250 H), Al Mawahib al Laduniyyah bi al-Minah al
Muhammadiyyah karya Ahmad Ibn Muhammad Al-Qastalani (W. 923 H).
Maraknya aktivitas penulisan kitab syarah hadis, maka pada era inilah metode syarah
hadis mulai berkembang. Jika pada masa atba’ al tabi’in syarah hadis masih mengunakan
metode ijmali, pada periode pertengahan berkembang menjadi metode tahlili (analitis) dan
muqarin (komparatif) tanpa meninggalkan metode ijmali. Hal inilah yang mendukung
pendapat Thahir alJawwabi bahwa masa inilah yang disebut periode penyempurnaan syarah
hadis.
F. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Era Modern-Kontemporer

Pada masa ini syarah mengalami perkembangan yang cukup pesat, metode dan jenisnya
juga begitu kolektif. Syarah hadis sangat diminati oleh pemikir muslim pada era modern
karena munculnya problema-problema masyarakat global yang membutuhkan solusi dari
Alquran dan hadis. Kajian syarah hadis juga tidak lagi terfokus mensyarahi kitab hadis
lainnya, akan tetapi lebih fokus dalam menjawab isu-isu global yang berkembang. Metode
semacam ini disebut metode maudlu’i.
Perkembangan syarah hadis di era modern-kontemporer tidak berbeda dengan
perkembangan tafsir Alquran di era yang sama. Sehingga, karakter dari syarah modern-
kontemporer ialah tersusun dalam tema-tema tertentu (tematik) atau membahas topik-topik
yang menjadi problematik dalam masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari
hasil kajian syarah tersebut. Pada era ini, metode maudlu’i mendominasi metode lainnya
namun metode ijmali, tahlili dan muqarin masih dapat ditemukan dalam dekade ini.
Memahami maksud suatu hadis secara baik relatif tidak mudah, khususnya jika
ditemukan haadis-hadis yang tampak saling bertentangan. Terhadap kasus tersebut, pada
umumnya para ulama menempuh metode tarjih, nasakh mansukh, metode al-Jam’u atau
tawaqquf. Selain itu memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadis
tersebut. Mayoritas sarjana muslim menggunakan berbagai pendekatan dalam memahami
hadis Nabi seperti pendekatan antropologi, sosiologi, psikologis, historis dan lainnya. Bahkan
ada yang menggunakan pendekatan ilmiah atau saintifik sebagaimana yang dilakukan oleh
Zaghlul Najjar.

7
Pendekatan semacam itu diharapkan mampu memberikan pemahaman hadis yang relatif
lebih tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman sehingga
dalam memahami hadis tidak hanya fokus terhadap zahir teks hadis, melainkan mampu
mengkolaborasikan dengan konteks sosio-kultural yang ada.
G. Sejarah dan Perkembangan Fiqh Al-Hadits

A. Pengertian Fikih Hadis


Fiqh al-hadits merupakan istilah yang secara bahasa artinya adalah memahami (matan) hadis.
Adapun secara istilah, beberapa ulama mendefinisakannya secara berbeda, di antaranya
adalah:
1. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H)
Tafaqquh fi al-hadits artinya mengupas hikmah dan hukum dari nas-nas hadis sekaligus
makna-maknanya, memperjelas lafad-lafad yang muskil dengan penafsiran yang paling tepat,
dan mempertemukan hadis-hadis yang mengandung kontradiksi secara terperinci dan
terkonsep.
2. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H)
Fiqh al-hadits adalah menyingkap makna-makna dan mengeluarkan detail-detail (kandungan)
hadis, serta menyelidiki berbagai tema yang menunjukkan adanya hubungan dengan hadis
yang diriwayatkan.
3. Ali ibn Nayif Asy-Syahud (Ulama Kontemporer)
Pemahaman yang mendalam terhadap nas nabawi, dengan memperhatikan karakteristik sikap
Nabi SAW dan keadaan orang yang menerima (ajaran beliau), sesuai konteks zaman dan
kondisi tempat.
B. Sejarah dan Perkembangan Fikih Hadis
-Fikih Hadis sebelum Dibukukan
A. Fikih Hadis di Masa Nabi
Di masa Nabi SAW, banyak nas-nas syariat yang tidak langsung dipahami dengan
jelas dari bunyi teksnya. Meskipun Bahasa yang disampaikan Nabi adalah Bahasa yang juga
digunakan oleh para sahabat sebagai sasaran hukum ketika itu. Hal itu dapat dimaklumi
karena Bahasa sebagai instrumen atau alat untuk mengungkapkan persepsi, pikiran, dan
emosi. Sedangkan, persepsi, pikiran, dan emosi setiap orang tidak setara. Secara teks,
mungkin kata demi kata dari hadis yang disampaikan Nabi dapat dipahami, tapi gagasan
utuhnya, pemikiran, dan persepsinya bisa jadi belum bisa ditangkap. Pada saat itulah sahabat
bertanya, bahkan mereka juga bertanya tentang sesuatu di luar teks. Sebagai asy-syari’ maka
Nabi adalah sumber tunggal bagi umat untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap
kandungan hadis. Proses inilah yang disebut dengan fiqh al-hadits.
Di masa Nabi, fiqh al-hadits (pengupasan hikmah, hukum, makna, dan perincian
hadis) langsung bersumber dari penjelasan Nabi sendiri. Hal itu sering kali muncul sebagai
akibat dari dialog atau interview sahabat pada Nabi. Fiqh al-hadits masih sangat murni dan

8
asli. Adapun hadis yang muncul dari pertanyaan sahabat mengenai suatu hukum tertentu,
maka tidak termasuk kategori fiqh al-hadits yang origin. Karena pada prinsipnya, fiqh al-
hadits yang origin muncul setelah adanya hadis, yakni hadis yang sulit atau bahkan tidak bisa
dipahami, baik itu maknanya, kesimpulannya, lafadnya, atau yang lainnya. Minimal ada tiga
bentuk sebab munculnya origin fiqh al-hadits. Pertama, karena ada pertanyaan dari sahabat
yang selanjutnya dijawab oleh Nabi. Pertanyaan tersebut bisa mengenai hikmah dibalik
perbuatan Nabi, perincian suatu hal, makna suatu lafad, atau yang lainnya. Kedua, lantaran
Nabi sendiri yang bertanya dan beliau sendiri yang menjawab. Ketiga, hasil ijtihad sahabat
yang dimintakan persetujuan dari Nabi.
B. Fikih Hadis di Masa Sahabat
1. Ijtihad
Fokus ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad untuk memahami matan hadis, bukan
ijtihad yang digunakan sahabat ketika tidak ada dalil hukum dari nas. Dalam ijtihad ini, para
sahabat menggunakan banyak perangkat yang telah diajarkan Nabi secara tersirat maupun
tersurat. Berikut sebagian perangkat ijtihad tersebut: a) Qiyas, b) Konfirmasi Riwayat, c)
Mengombinasikan Riwayat dengan Kesaksian, dan d) At-Takhyir baina ar-Riwayat.
2. Takwil
Dalam memahami matan hadis, para sahabat juga menggunakan takwil. Takwil di
masa sahabat bukanlah takwil yang dipahami sebagai pemalingan lafad dari makna rajih
kepada makna marjuh karena ada bukti yang menyertainya, melainkan berupa taqyid dan
takhsish.
C. Fikih Hadis di Masa Tabi’in
Dalam upaya para tabi’in mengupas fiqh al-hadits, mereka belajar banyak pada para
sahabat. Dari hasil intensitas belajar kepada para sahabat itulah, para tabi’in akhirnya
mengenal metodologi yang digunakan sahabat dalam mengupas fiqh al-hadits. Sehingga para
tabi’in mewarisi metodologi para sahabat dalam hal periwayatan, pengambilan keputusan,
dan istinbath mereka. Ada beberapa metodologi yang digunakan tabi’in dalam mengupas fiqh
al-hadits, di antaranya adalah:
1. Qaul sahabat
Sebagaimana yang telah diketahui, ketika kekuasaan Islam semakin luas dan
penyebaran sahabat ke berbagai wilayah digalakkan, maka muncullah ijtihad individual dari
kalangan sahabat. Di periode ini, fiqh al-hadits mulai muncul sebagai hasil dari pemahaman
individu berdasarkan ijtihad dan kesaksian mereka. Pemahaman individual sebagian sahabat
tersebut kemudian menjadi cabang hadis atau subhadis. Sehingga umat (sahabat muda dan
tabi’in) pun menjadikan para sahabat sebagai rujukan. Perkataan sahabat ini menjadi puncak
dan sumber rujukan, terutama apabila itu merupakan ijtihad, qaul yang disandarkan kepada
Nabi, dan sesuatu yang bukan wilayah rakyu. Oleh sebab itu, di antara metodologi fiqh al-
hadits di masa tabi’in adalah mengambil qaul sahabat. Karena para sahabat tidak lain adalah
guru bagi generasi tabi’in.
2. Ijtihad

9
Metode lain yang digunakan para tabi’in untuk memahami matan hadis adalah dengan
berijtihad. Artinya, mereka melakukan seperti apa yang telah dilakukan para sahabat. Mereka
mewarisi metode istinbath, hujah, dan cara memutuskan hukum dari para sahabat. Namun,
sebagaimana sahabat, fukaha tabiin juga berhati-hati dalam berijtihad. Meskipun mereka
menggunakan rakyu tapi tidak murni rakyu. Karena sudah menjadi tradisi dan metode ijtihad
para ulama salaf untuk selalu menyandarkan rakyu mereka pada hadis.
Selain itu, dalam ijtihadnya, tabi’in tidak bisa lepas dari mengikuti qaul para sahabat.
Qaul sahabat merupakan hujah bagi mereka. Jika dalam qaul itu terjadi pertentangan maka
tabi’in akan melakukan tarjih. Perangkat lain yang juga digunakan tabi’in dalam memahami
matan hadis (fiqh al-hadits) adalah kaidah ushuliyah dan qiyas.
3. Takwil
Takwil di masa tabi’in sudah mengalami pergeseran makna. Banyak praktik takwil
yang dilakukan para tabi’in memiliki arti yakni memalingkan lafad dari makna rajih kepada
makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Ini adalah takwil yang dipahami semua
ulama setelah sahabat, baik ahli hadis, ahli fikih, ahli kalam, maupun kaum sufi. Tabi’in
menggunakan praktik takwil semacam itu dalam memahami matan hadis.

10
BAB III
KESIMPULAN

Istilah syarah hadis berasal kata syarh dan hadits yang diserap menjadi bahagian dari
kosa kata bahasa Indonesia. Secara bahasa, kata syarh berarti al-kasyf, al-wadh, al-bayan, al-
tawsi‘, al-hifz, al-fath, dan al-fahm, artinya menampakkan, menjelaskan, menerangkan,
memperluas, memelihara, membuka, dan memahami.
Fiqh al-Hadits berasal dari dua kata yaitu fiqh dan al-Hadits. Fiqh berasal dari kata ‫ا‬
yang artinya secara bahasa adalah mengerti atau faham akan sesuatu. Sedangkan secara
istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci. Adapun al-Hadits berasal dari yang artinya secara bahasa adalah baru,
dan secara istilah adalah sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi s.a.w. dari perkataan,
perbuatan, penetapan dan sifatnya
Perkembangan syarah saling beriringan dengan perkembangan hadis dan ilmu hadis.
Diketahui dari periode keduanya, bahwa usaha pemahaman hadis pernah berada dipuncak
perkembangan lalu mengalami kemunduran secara berangsur, seperti aktivitas keilmuan
Islam lainnya.
Fiqh al-hadits merupakan istilah yang secara bahasa artinya adalah memahami
(matan) hadis. Adapun secara istilah Tafaqquh fi al-hadits artinya mengupas hikmah dan
hukum dari nas-nas hadis sekaligus makna-maknanya, memperjelas lafad-lafad yang muskil
dengan penafsiran yang paling tepat, dan mempertemukan hadis-hadis yang mengandung
kontradiksi secara terperinci dan terkonsep.
Di masa Nabi SAW, banyak nas-nas syariat yang tidak langsung dipahami dengan
jelas dari bunyi teksnya. Meskipun Bahasa yang disampaikan Nabi adalah Bahasa yang juga
digunakan oleh para sahabat sebagai sasaran hukum ketika itu. Hal itu dapat dimaklumi
karena Bahasa sebagai instrumen atau alat untuk mengungkapkan persepsi, pikiran, dan
emosi. Sedangkan, persepsi, pikiran, dan emosi setiap orang tidak setara. Secara teks,
mungkin kata demi kata dari hadis yang disampaikan Nabi dapat dipahami, tapi gagasan
utuhnya, pemikiran, dan persepsinya bisa jadi belum bisa ditangkap. Pada saat itulah sahabat
bertanya, bahkan mereka juga bertanya tentang sesuatu di luar teks. Sebagai asy-syari’ maka
Nabi adalah sumber tunggal bagi umat untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap
kandungan hadis. Proses inilah yang disebut dengan fiqh al-hadits.

11
DAFTAR PUSTAKA

Daemalaksana, W. (2020). Penelitian Hadis Metode Syarah Pendekatan Kontemporer.


Sebuah Panduan Skripsi, Tesis dan Disertasi, V.
Ghozaly, M. Y. (2016). Fiqh al-Hadits: Studi Genealogi dan metodologi.
Mukhtar, M. (n.d.). Upaya Memahami dan Mengamalkan Hadits Nabi. Syarh Hadits dan
Fiqh Hadits.
Nadhiran, H. (2007). Reformulasi Studi Ilmu Hadits. Sejarah Perkembangan Hadits, I.
Shagir, A. (2010). Perkembangan Syarh Hadits dalam Tradisi Keilmuan Islam. Jurnal Ilmu
Ushuluddin, IX.
Suryadilaga, M. A. (2016). Aplikasi Penelitian Hadits. Yogyakarta: Kalimedia.

12

Anda mungkin juga menyukai