Dosen Pengampu :
Dr. H. Rangga Saadillah S.A.P., M.Pd.
Disusun Oleh :
1. Rania Alfi Syahrin / 06021020020
2. Rifqqah Nadila Rasyid / 06041020032
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………...………...………......…1
KATA PENGANTAR……………………………………………………….…….……2
DAFTAR ISI ……………………………………………………….…………………...3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………….…………………………………………4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………................5
1.3 Tujuan.…………………………………………………………………….................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis …………………………….............................................6
2.2 Ilal Al-Hadis..............................................................................................................12
2.3 Manfaat Mempelajarinya…………………………………………...........................17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................. …………………………………...19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa pengertian dari Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis ?
3. Apa pengertian dari Ilal Al-Hadis ?
4. Bagaimana Sejarah Pertumbuhan Ilmu Mukhtalif Hadits ?
5. Bagaimana Kerangka Umum Penyelesaian Hadits Mukhtali ?
6. Bagaimana Cara Mengetahui Ilal al-Hadis ?
7. Apa saja Buku Terkenal dalam ’Ilal Hadits ?
8. Dimana Tempat-Tempat ’Illal al-Hadis Banyak Terdapat dan Contohnya ?
9. Apa manfaat memperlajari Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis dan Ilal Al-Hadis ?
1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui pengertian dari Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis
3. Untuk mengetahui pengertian dari Ilal Al-Hadis
4. Untuk mengetahui Bagaimana Sejarah Pertumbuhan Ilmu Mukhtalif Hadits
5. Untuk megetahui Bagaimana Kerangka Umum Penyelesaian Hadits Mukhtali
6. Untuk mengetahui Bagaimana Cara Mengetahui Ilal al-Hadis
7. Untuk mengetahui Apa saja Buku Terkenal dalam ’Ilal Hadits
8. Untuk mengetahui Dimana Tempat-Tempat ’Illal al-Hadis Banyak Terdapat dan
Contohnya
9. Untuk mengetahui manfaat memperlajari Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis dan Ilal Al-Hadis
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
B. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Mukhtalif Hadits
Dalam sejarah perkembangannya dapat dikatakan bahwa praktisnya ilmu ini
sebenarnya sudah ada sejak priode sahabat yang kemudian berkembang dari generasi ke
generasi berikutnya. Dikatakan demikian karena mereka (para ulama) baik dari kalangan
sahabat maupun dari kalangan generasi sesudahnya dalam berijtihad untuk menemukan
jawabnya terhadap berbagai masalah yang muncul pada zamannya, senantiasa
berhadapan dengan hadits-hadits Nabi Saw, diantaranya terhadap hadits-hadits mukhtalif
yang perlu mendapat perhatian tersendiri yakni untuk menyelesaikan pertentangan yang
kelihatan agar maksud yang dituju dapat dipahami dan hukum-hukum yangdikandungnya
dapat di-istinbath-kan dengan baik.
Perkisaran abad ke-2 dengan abad ke-3 H. ilmu mukhtalif hadits ini masih saja hanya
ada dalam bentuk praktisnya, dengan arti belum merupakan suatu teori yang dapat
diwarisi dalam bentuk warisan tulisan. Pada masa awal sistematis, perumusan dan
penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini
merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fikih. Ini jelas terlihat dalam rumusan yang
dilakukan oleh Imam Syafi’i membuka lembaran baru sejarah perkembangan dari yang
secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif dan dalam teori penyelesaian hadits-
hadits mukhtalif-nya dalam karyanya” kitab Ikhtilafal-hadits”, kitabnya yang secara
khusus membahas hadits-hadits mukhtalif dan juga di dalam kitabnya “al-Risalat”.
7
Imam al-Syafi’i sendiri, ketika menjelaskan tentang metode al-jam’u wa taufiq,
menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadis yang bertentangan kecuali ada jalan
penyelesaiannya. Ada kemungkinan antara dua hadits yang bertentangan itu, satu
harus dipahami secara umum dan yang lain dipahami secara khusus. Kemungkinan
kedua, hadits yang bertentangan terjadi karena situasi yang berbeda. Untuk
memahami hadits-hadits seperti ini dengan baik dan benar harus melihat dan
mempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbeda tersebut. Lebih lanjut, terdapat
pula kemungkinan-kemungkinan lain, seperti untuk menjawab pertanyaan sahabat
tertentu. Pemahaman kontekstualitas ini dalam analisisnya tentu saja memerlukan
kepada data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebutuhan ini dalam kerangka pemahaman hadis dibahas secara khusus dalam
Ilmu Asbab Wurud al-Hadis. Di samping itu, penguasaan terhadap sirah nabawiyah
yang memadai akan sangat membantu proses penyelesaian tahap awal ini. Dari
penjelasan di atas dapat ditarik beberapa cara penyelesain dalam bentuk kompromi:
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul Yang
dimaksud dengan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul di sini ialah
memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani
ketentuan atau kaedah-kaedah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para
ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena masalah bagaimana harusnya
memahami maksud suatu hadits atau untuk dapat meng-istinbath-kan hukum-
hukum yang dikandung dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek
kajian ilmu ushul.
Penyelesain berdasarkan pemahaman kontekstual Yaitu memahami hadits-hadits
Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yang melatarbelakangi munculnya haditshadits tersebut, atau dengan
perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif Pendekatan terhadap hadits-hadits
mukhtalif yang tampak bertentangan menyangkut suatu masalah yang dikaji
bersama dengan hadits lain yang terkait, dengan memperhatikan ketrkaitan makna
satu dengan lainnya, agar maksud atau kandungan makna yang sebenarnya dari
8
hadits-hadits tersebut dapat dipahami dengan baik dan dengan demikian
pertentangan yang tampak dapat ditemukan pengompromiannya.
Penyelesaian dengan cara ta’wil Yakni dengan cara mena’wilkannya dari makna
lahiriah yang tampak bertentangan kepada makna lain sehingga pertentangan
yang tampak tersebut dapat ditemukan titik temu atau pengompromnya.
2. Penyelesaian Dengan Menggunakan Metode Nasakh
Secara bahasa, kata “ naskh” mengandung arti: menghilangkan, sebagai suatu
istilah, naskh sebagaimana dirumuskan para ulama adalah:” diangkatnya suatu hukum
syar’iy oleh syari’ berdasarkan dalil syari’ yang datang kemudian”. Maksudnya
adalah bahwa suatu hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh syari’, yakni dengan datangnya dalil syar’iy baru, yang membawa
ketentuan hukum lain dari yang berlaku sebelumnya.
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelasaian
haditshadits mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian karena salah satu dari
hadits tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam al-Syafi’i
terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadits-hadits bertentangan kecuali tidak
mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini
terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian, oleh sebab itu
ditempuh cara nasakh. Sebab pada hadits-hadits mukhtalif yang pertentangannya
tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya,
dalam masalah seperti ini munkin sekali antara hadits-hadits tersebut telah terjadi
nasakh.
Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh
yakni mengamalkan yang nasakh dan meninggalkan yang mansukh. Dalam kerangka
teori keilmuan, nasakh dipahami sebagai sebuah kenyataan adanya sejumlah hadits
mukhtalif bermuatan taklif yang mengandung kesamaan topik, tetapi dengan makna
yang berlawanan dan tidak dapat dikompromikan. Persoalan ini menjadi pembicaraan
di kalangan ulama hadits dalam karya-karya mereka dan bahkan telah melahirkan
suatu cabang ilmu yang disebut ilmu nasikh al-hadis wa mansukhih, yakni satu
cabang ilmu hadis yang membahas hadits-hadits yang tampak mengandung makna
saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan; baik dengan memperhatikan
9
matan hadits; apakah mengandung penegasan adanya naskh dari Rasulullh saw
sendiri atau para sahabatnya, atau dengan mengkaji kronologi waktu munculnya
hadits, untuk diketahui mana diantaranya yang naskh dan mana yang mansukh. Untuk
mengetahui pembahasan lebih jauh dan mendalam menyangkut masalah nasakh ini
hendaklah kembali kepada kitab-kitab ushul fiqh.
3. Penyelesaian Dengan Menggunakan Metode Tarjih
Ketika hadits-hadits mukhtalif yang ditemukan tidak biasa dikomromikan dan
tidak pula ditemukan antara satu dengan yang lainya telah terjadi naskh, maka
langkah penyelesaian berikutnya di tempuh al-Syafi’i adalah cara tarjih. Tarjih
dirumuskan oleh para ulama, dapat diartikan sebagai “ memperbandingkan dalil-dalil
yang tampak bertentangan untuk dapat mengtahui manakah diantaranya yang lebih
kuat diantara yang lainya”.Dalam pengertian sederhana, tarjih adalah suatu upaya
komparatif untuk menentukan mana yang lebih kuat dari hadits-hadits yang tampak
ikhtilaf.
Sebagai salah satu langkah metodologis, penggunaan tarjih tidak bersifat opsi.
Karena itu, penerapannya tanpa didahului oleh penggunaan dua metode sebelumnya,
akan mengundang konsekuensi yang besar berupa pengabaian sebuah sunnah sebagai
akibat memilih atau menguatkan hadis tertentu. Atas dasar inilah agaknya tidak
ditemukan ulama yang mengatakan boleh melakukan tarjih pada hadis mukhtalif
sebelum terlebih dahulu didekati melalui pendekatan al-jam’u wa taufiq.33 Kekuatan
atau hujjah suatu hadits didukung oleh banyak hal, baik menyangkut sanad maupun
matn. Dalam men-tarjih, hal-hal yang menyangkut sanad dan matn dan hal-hal yang
ada kaitanya dengan nilai hujjah hadits tersebut, dikaji secara rinci dan mendalam dan
diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya dapat diketahui manakah
sebenarnya di antara hadits yang lebih tinggi nilai hujjahnya dan mana yang lemah.
Maka dengan demikian pertentangan yang tampak sudah dapat diselesaikan, yakni
dengan memegang dan mengamalkan yang lebih kuat dan meninggalkan yang lemah.
Dalam men-tarjih, sebenarnya banyak hal yang bisa dikaji dan diperbandingkan di
antara hadis-hadis yang bertentangan tersebut baik menyangkut sanad maupun matan.
Meskipun demikian, secara garis besar pentarjihan tersebut tidak terlepas dari empat
hal pokok, yaitu: 1) dari segi sanad; 2) dari segi matan; 3) dari segi madlul, dan 4)dari
10
segi halhal lain yang turut mendukung nilai hadis tersebut. 35 Tentang bagaimana
cara men-tarjih suatu hadits, karena rumit dan banyak hal yang perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan, terdapat uraian yang relatif panjang dari para ahli hadits dan ahli
ushul. Seperti yang dikatakan oleh Al-‘Iraqi lebih dari seratus kemungkinan, dan
semua itu kalau disimpulkan dapat dibedakan dalam tujuh katagori: 1) Tarjih dengan
memperhatikan keadaan periwayat dalam segala aspeknya. 2) Tarjih dengan
memperhatikan aspek Tahammul. 3) Tarjih dengan memperhatikan cara periwayatan.
4) Tarjih dengan Waktu Wurud. 5) Tarjih dengan memperhatikan lafal khabar, seperti
mentarjih khabar yang bersifat khash atas yang bersifat ‘am, dan mendahulukan
hakikat atas majaz. 6) Tarjih memperhatikan aspek hukum, seperti mentarjih nas yang
menunjukkan kepada haram yang menunjukkan kepada mubah 7) Mentarjih dengan
faktor luar seperti kesesuaian dengan lahir Al-Qur’an atau sunnah lain, dengan kias,
amal ulama terutama para Khalifah, dan sebagainya.
4. Penyelesaian Dengan tanawwu’al-ibadah
Imam syafi’i juga memberikan bagaimana cara-cara penyelesaian dengan
tanawwu’al-ibadah, imam Syafi’i memasukan masalah tanawwu’al-ibadah kedalam
katagori hadits-hadits mukhtalif dalam pembahasanya. Ibnu Manzhur
mengungkapkan, “ an-nau’ dan anwa” berarti jamaah (sekumpulan). Yakin setiap
macam dari sesuatu dan setiap varian baju, buah-buahan dan sebagian. Kata annau’
lebih spesifik dibandingkan kata al-jinsu (jenis).
Secara istilah Tanawwu’ al Ibadah ialah hadits-hadits yang menerangkan praktek
ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Nabi SAW, akan tetapi antara satu
dengan yang lainnya tedapat perbedaan sehingga mengambarkan adanya
keberagaman ajaran dalam pelaksanan ibadah tersebut.38 Masalah yang muncul dari
tanawwu’al-ibadah bagaimana menghadapinya haruskan ada satu yang diamalkan dan
satu haru di tolak. Imam Syafi’i mengatakan bahwasannya hadits-hadits tersebut satu
dengan lainya tidaklah mengandung makna yang saling bertentangan sebagaimana
yang halal dengan yang haram, atau antara petintah dan larangan”. 39Dengan arti,
tidak mungkin dikompromikan atau di cari titik temunya. Daniel Juned seorang yang
mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu hadits dosen Program Pascasarjana
IAIN ar-Raniry Banda Aceh, menjelaskan kembali terlihat bahwasanya dalam batasan
11
makna yang dikemukakan Syafi’i di atas bahwa dua hadits disebut mukhtalif jika
keduanya mengandung makna yang bertentangan antara yang Halal dan Haram, atau
Makruh dan Sunnah. Selama tidak ada pertentangan seperti itu, hadits-hadits yang
tampak mukhtalif tersebut dikatagorikan sebagai hadits ikhtilafal-mubah artinya
kedua atau hadits-hadits tentang ibadah yang beragam ini dapat diamalkan semuanya
dan tidak perlu dilakukan naskh atau tarjih
12
untuk memaparkan contoh-contohnya di sini akan terlalu panjang. (Al-Ba’itsul-Hatsits
Syarh Ikhtishar Ulumil-Hadits halaman 64a). Dari Abdurrahman bin Mahdi
berkata,”Mengetahui ’ilat hadits bagiku lebih aku sukai daripada menulis sebuah hadits
yang bukan milikku”. Dia juga berkata,”Mengetahui hadits adalah ilham”.
13
C. Buku Terkenal dalam ’Ilal Hadits
Sebagian ulama telah mengkhususkan ’illat hadits dalam satu buku karangan, ada
sebagian tersusun berdasarkan urutan bab fiqh, dan sebagian lagi berdasarkan
sistematikan musnad. Namun pada umumnya, metode penyusunan karya tentang ’ilal
adalah seorang syaikh menanyakan sebuah hadits dari jalan sanad tertentu, lalu
menyebutkan kesalahan pada sanadnya atau matannya atau pada keduanya. Kadang pula
menyebutkan sebagian jalan yang shahih sebagai pedoman dalam menjelaskan ’illat
haditsyang ditanyakan. Kadang mengenalkan pada sebagian perawi dan menjelaskan
keadaan mereka baik dari segi kuat dan lemahnya, dan hafalannya, serta ke-dlabith-
annya. Oleh karenanya, sebagian penyusun menamakan buku mereka dengan At-Tarikh
wal-‘Ilal atau Ar-Rijal wal-‘Ilal.
Diantara karya-karya tersebut adalah :
1. Kitab At-Tarikh wal-‘Ilal, karya Al-Hafidh Yahya bin Ma’in (wafat 233 H),
diterbitkan dengan judul ’Ilal Al-Hadits wa Ma’rifat Ar-Rijaal.
2. Kitab ’Ilal Al-Hadits, karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H).
3. Kitab Al-Musnad Al-Mu’allal karya Al-Hafidh Ya’qub bin Syaibah As-Sadusi Al-
Bashri (wafat 262 H).
4. Kitab Al-‘Ilal karya Imam Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi (wafat 279 H).
5. Kitab ’Ilal Al-Hadits karya Imam Al-Hafidh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi
(wafat 327 H), diterbitkan atas biaya Syaikh Muhammad An-Nashif, Pustaka
Salafiyyah.6. Kitab ’Ilal Al-Waridah fil-Ahaaditsi An-Nabawiyyah karya Imam Al-
Hafidh Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni (wafat 385 H).
14
Tadribur-Rawi, dengan kesimpulan sebagai berikut : Bahwa’illal terdapat pada sanad
saja, atau pada matan saja, atau terdapat pada keduanya yaitu sanad dan matan.
1. Contoh Illal pada Sanad
Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin ‘Ubaid Ath-Thanafisi, dari Sufyan Ats-
Tsauri, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda : ”Kedua orang yang berjual beli Itu dapat melakukan khiyar (hak pilih)….”
(al-hadits).
Keterangan : Sanad pada hadits ini adalah muttashil atau bersambung, diceritakan
oleh orang yang ‘adil dari orang yang ‘adil pula; akan tetapi sanadnya tidak shahih
karena terdapat ’illat didalamnya. Sedangkan matannya shahih.Letak ’illat-nya,
karena riwayat Ya’la bin ‘Ubaid terdapat kesalahan pada Sufyan yang mengatakan :
“Amru bin Dinar”, sedangkan yang benar adalah “Abdullah bin Dinar”. Demikian
yang diriwayatkan oleh para imam dan huffadh dari murid-murid Sufyan Ats-Tsauri
seperti : Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakin, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, dan
Makhlad bin Yusuf. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan, dari ’Andullah bin
Dinar, dari Ibnu ‘Umar; bukan Amru bin Dinar dari Ibnu ‘Umar. (Tadribur-Rawi
halaman 159 dan seterusnya).
Dari Ibnu Abi Hatim berkata,”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan kepada
Abu Zur’ah pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubaidah bin Al-Aswad, dari
Qasim bin Walid, dari Qatadah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang membasu khuff. Keduanya menjawab,”Salah,
yang benar diriwayatkan dari Musa bin Salamah, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf”.
(’Ilalul-Hadits, Ibnu Abi Hatim 1/17).
2. Contoh ’illal pada matan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya dari riwayat Al-
Walid bin Muslim : “Telah bercerita kepada kami Al-Auza’I, dari Qatadah,
bahwasannya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang Anas bin
Malik yang telah bercerita kepadnya, dia berkata,”Aku pernah shalat di belakang
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman, mereka
memulainya dengan membaca : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin dengan tidak
menyebut : Bismillaahir-rahmaanir-rahiim pada awal maupun akhir bacaan. Imam
15
Muslim jga meriwayatkan dari Al-Walid, dari Al-Auza’I, telah meberitahukan
kepadaku Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, bahwasanny dia mendengar Anas
menyebut demikian.
Ibnush-Shalah dalam kitab ’Ulumul-Hadits berkata,”Sebagian kaummengatakan
bahwa riwayat tersebut di atas (yang menafikkan bacaan basmalah) terdapat ’illat.
Mereka berpendapat bahwa kebanyakan riwayat tidak menyebut basmalah tapi
membaca hamdalah di permulaan bacaan, dan ini yang muttafaqun-‘alaih menurut
riwayat Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya. Mereka mengatakan bahwa lafadh
tersebut adalah
riwayat yang dipahaminya secara maknawi, yaitu lafadh (yang artinya) : ”Mereka
membuka bacaan shalat dengan membaca ‘Alhamdilillaahi rabbil-‘aalamiin’;
dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwayatkan seperti apa
yang dipahaminya, dan ternyata salah. Karena maknanya bahwa surat yang mereka
baca adalah surat Al-Fatihah yang tidak disebutkan di dalmnya basmalah. Ditambah
lagi dengan beberapa hal, yaitu : Shahabat Anas ditanya tentang iftitah dengan
basmalah, lalu dia menyebutkan bahwa dia tidak mengetahui sesuatu pun dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang itu. (Tadribur-Rawi, halaman 164).
3. Contoh Illal Pada Sanad dan Matan
Diriwayatkan Baqiyyah dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu ‘Umar,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa mendapatkan satu
raka’at dari shalat Jum’at dan shalat lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya”.
Abu Hatim Ar-Razi berkata,”Hadits ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah
riwayat Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat, maka
telah mendapatkannya”. Sedangkan lafadh : ”shalat Jum’at” tidak ada dalam hadits
ini. Dengan demikian terdapat ’illat pada keduanya”. Jalan Menerima Hadits dan
Bentuk Penyampaiannya Tadribur-Rawi halaman 236; Ulumul-Hadits halaman 118;
Nudhatun-Nadhar halaman 76; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 158
16
2.3 Manfaat Memperlajari Ilmu Hadis
Dalam mempelajari cabang-cabang ilmu hadis, ada beberapa manfaat utama yang dapat
dipahami dan dicermati, antara lain:
1. Memberikan gambaran tentang cara untuk menjaga As-sunah dan menghindari kesalahan
dalam periwayatannya.
2. Memberikan pengetahuan baru tentang cara mengetahui kualitas sebuah hadis, apakah
hadis tersebut diterima dan ditolak, baik dari sudut sanad maupun matanya.
Meski demikian ada pula, manfaat lainnya secar spesifik ktika mempejarai cabang-cabang
ilmu hadis, seperti:
1. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembagan hadis maupn ilmu hadis, dari masa ke
masa sejak masa Rasulullah saw, sampai sekarang;
2. Dapat mengetahu para tokoh-tokoh serta usaha yang telah mereka lakukan dalam
mengumpulkan memelihara dan meriwayatkan hadis;
3. Dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklasifikasi hadis;
4. Dapat mengetahui istilah-istialah, nilainilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoam
dalam beristinbat. Dengan uarain di atas, hemat penulis bahwa untuk memahami hadis
dengan segala persoalannya, minimal kita sebagai generasi muslim harus mampu dan
berusaha untuk megetahui tentang ilmu hadis, serta segala bentuk cabang-cabangnya,
agar penerapan kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang akan datang, kita bisa
menjadi tameng dalam menyelasaikan setiap masalah-masalah yang muncul, tertama
yang berkenaan dengan fiqih dan sebagainya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ilmu Mukhtalif Hadis dan Ilmu Ilal al-hadis merupakan bagian dari cabang-cabang ilmu
hadis yang harus kita pelajari. Ilmu Mukhtalif Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-
hadits yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, untuk kemudian dapat menghilangkan
pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromiannya. Sedangkan ilmu
ilal al-hadis adalah ilmu yang tersamar bagi banyak ahli hadits.Ia dapat dikatakan jenis ilmu
hadits yang paling dalam dan rumit, bahkan dapat dikatakan inilah intinya yang termulia.
Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari mempelajari cabang-cabang ilmu
hadis, seperti kita dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama
dalam mengklasifikasi hadis; Dapat mengetahui para tokoh-tokoh serta usaha yang telah
mereka lakukan dalam mengumpulkan memelihara dan meriwayatkan hadis; serta dapat
Memberikan gambaran tentang cara untuk menjaga As-sunah dan menghindari kesalahan
dalam periwayatannya.
3.2 Saran
Diperlukan konteks materi yang mendalam guna menangkap dan memahami materi
yangtelah disampaikan. Perlunya membaca (literasi) berbagai buku dengan judul yang
berbeda tetapi isi materi yang sama agar dapat membentuk sebuah diskusi untuk
menghidupkan pembelajaran.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://pontrenminhajuttholabah.wordpress.com/2012/10/24/ilmu-mukhtalif-al-hadis/
http://repository.uin-suska.ac.id/6321/3/BAB%20II.pdf
https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/universum/article/download/595/356
https://www.researchgate.net/publication/337558677_FUNGSI_DAN_MANFAAT_CABANG-
CABANG_HADIS_DALAM_PERSPEKTIF_STUDI_HADIS
19