Anda di halaman 1dari 22

HADITS TEMATIK

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Cara


Benar Memahami Hadits
Dosen Pengampu:
Zia Ul Haramein Lc, M.Si

PENYUSUN:

Muhammad Puja Alam (211410075)


Afaf Muhibbullah (211410110)
Idris Zulfakar (211410049)
Rayhan Dhani Amirul

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
2023 M / 1444 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul HADITS TEMATIK
dapat selesai. Begitu pula shalawat dan salam semoga senantiasa
kita lantunkan kepada baginda Rasulullah SAW yang menjadi
suri tauladan dari segala aspek dalam kehidupan ini.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap dosen


dan teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca dan teman-teman sekalian.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen dan
teman-teman sekalian demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 24 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................1
A. LATAR BELAKANG................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................2
C. TUJUAN MAKALAH...............................................................2
BAB II.....................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. DEFINISI HADITS TEMATIK...............................................3
B. METODE HADITS TEMATIK...............................................6
C. CONTOH HADITS TEMATIK...............................................8
BAB III..................................................................................................21
PENUTUP.............................................................................................21
A. KESIMPULAN........................................................................21
B. SARAN......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits tematik adalah salah satu jenis koleksi Hadits yang
disusun berdasarkan topik atau tema tertentu. Dalam tradisi Islam,
Hadits adalah kumpulan perkataan, perbuatan, atau persetujuan
yang distribusikan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadits
memiliki peran penting dalam menjelaskan dan
menginterpretasikan ajaran Al-Qur'an serta memberikan panduan
bagi umat Muslim dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam mempelajari Hadits, para ulama dan ahli Hadits


sering mengumpulkan dan mengklasifikasikan Hadits berdasarkan
topik atau tema tertentu. Tujuan dari pengelompokan ini adalah
untuk memudahkan akses dan pemahaman terhadap Hadits -
Hadits yang berkaitan dengan topik tertentu, sehingga umat
Muslim dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Hadits tematik dapat mencakup berbagai topik, seperti


ibadah, etika, akhlak, hukum Islam, keluarga, ekonomi, sosial,
dan lain sebagainya. Contohnya, terdapat koleksi Hadits - Hadits
yang berkaitan dengan doa, shalat, puasa, zakat, haji, pergaulan,
perilaku baik, perlakuan terhadap orang tua, perilaku bisnis yang
adil, dan sebagainya. Dengan mempelajari Hadits tematik, umat
Muslim dapat mendapatkan panduan langsung dari ajaran Nabi
Muhammad SAW mengenai berbagai aspek kehidupan mereka.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka dapat kita rumuskan beberapa
masalah yaitu:

1. Bagaimana Memahami Hadits Tematik?


2. Bagaimana Memahami Metode Hadits Tematik?

C. TUJUAN MAKALAH
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari pembuatan
makalah ini ialah:

1. Memahami Hadits Tematik


2. Memahami Metode Hadits Tematik

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. DEFINISI HADITS TEMATIK

3
Hadits Tematik atau dalam bahasa arab yaitu “Maudhu’i”, Secara
bahasa berasal dari kata “Maudu’un” (‫ )موضوع‬yang merupaka isim
maf’ul dari kata wada’a yang berarti masalah atau pokok
permasalahan.1 Dan secara etimologi, kata “maudu’i” berarti
meletakkan sesuatu atau merendahkannya, sehingga kata tersebut
merupakan lawan kata dari “al-Raf’u” (mengangkat).2 Maka, yang di
maksud tematik atau maudu’i ialah mengumpulkan Hadits - Hadits
yang terpecah-pecah dalam kitab-kitab Hadits yang terkait dengan
topik tertentu kemudian disusun dengan sebab-sebab munculnya atau
dan pemahamannya dengan penjelasan dan pengkajian dalam masalah
tertentu.

Metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode tafsir


tematik (al-tafsir al- maudhu’i) yaitu salah satu cara yang
digunakan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Hanya saja dalam
metode Hadits tematik seseorang harus menyeleksi kualitas
Hadits terlebih dahulu apakah ia Hadits shahih atau tidak.
Sedangkan dalam metode tafsir tematik hal itu tidak diperlukan
karena al-Quran sudah pasti kebenarannya. Metode ini perlu
dilakukan karena mengingat Nabi Muhammad terkadang
menyampaikan perkataannya kepada beberapa orang sahabat yang
tidak disampaikan kepada sahabat yang lain, terkadang pula
sebuah Hadits dalam riwayat yang satu (jalur sanad) berbeda
dengan riwayat yang kedua. Begitu pula terdapat banyak riwayat
Hadits yang kadang-kadang disampaikan secara ringkas
sedangkan dalam satu riwayat sedangkan dalam riwayat yang lain
disampaikan dengan panjang lebar padahal ia satu tema.

Imam Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) pernah

1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 1565.
2
Abū al-Ḥusain, Aḥmad ibn Fahris ibn Zakariya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah,
juz 2 (Beirūt: Dār al-Fikr, tth.), 218.

4
menjelaskan, “sebagian perawi Hadits ada yang meringkas
Hadits Oleh karennya, setiap orang yang berbicara tentang
Hadits maka hendaklah baginya untuk mengumpulkan seluruh
jalur periwayatannya (sanad) kemudian mengumpulkan lafaz-
lafaz matannya, jika sanad-sanad Hadits tersebut dapat
dipertanggung jawabkan keshahihannya, maka ia kemudian
menjelaskannya bahwa itu sebenarnya adalah satu Hadits yang
sama. Karena pada dasarnya yang lebih berhak untuk
menjelaskan maksud sebuah Hadits adalah Hadits itu sendiri”.

Selain itu di dalam Hadits nabi banyak ditemukan redaksi


yang bersifat umum sedangkan dalam riwayat yang lain dengan
topik yang sama bersifat khusus. Maka dalam kasus seperti ini
Hadits yang bersifat umum tersebut harus dipahami secara
khusus. Sama halnya ketika terdapat Hadits dengan redaksi
yang bersifat muthlaq (pengertian luas), muqayyad (pengertian
terbatas), mujmal (global), mubayyin (penjelas) pada topik Hadits
yang sama3.

Sejauh ini metode tematik dalam bidang tafsir telah


mendapat respons yang cukup ramai di kalangan ahli tafsir untuk
memahami isi kandungan Alquran, namun tidak terjadi di bidang
Hadits Pesatnya perkembangan di bidang tafsir memacu
mufassirūn untuk melakukan eksplorasi metodologi, di antaranya
metode tematik, seperti yang dilakukan ‘Abbās Maḥmūd
al-‘Aqqād, Fazlur Rahman, Toshihiko Izutzu, Quraish Shihab,
Harifudin Cawidu dan sebagainya. Di kajian bidang Ulumul
3
https://bincangsyariah.com/kalam/cara-memahami-Hadits-menggunakan-
metode-Hadits-tematik

5
Hadits ulama Hadits berusaha merumuskan epistemologi ‘ilm
ma‘ānī al-ḥadīṡ yang boleh diartikan dengan ilmu tentang
pemahaman Hadits, namun ilmu ini belum banyak dikembangkan
secara signifikan, sehingga belum bisa ditemukan rumusan
metodologi yang mapan dalam aplikasinya. Akibatnya,
pemahaman Hadits Nabi cenderung masih bersifat general tanpa
melihat struktur Hadits Artinya semua Hadits dipahami sama,
apakah itu riwāyah bi al-lafẓ atau riwāyah bi al-ma‘nā, begitu
juga apakah Hadits itu muṭlaq atau muqayyad.

Hal ini disebabkan barangkali kompleksnya wilayah kajian


‘ulūm al- ḥadīṡ–sanad dan matan kalaupun ada yang berusaha
melakukan pemahaman secara tematik, belum mencapai level
yang memuaskan, karena yang muncul adalah baru pemahaman
tekstual, parsial dan sporadis, tanpa melihat konteks kesejarahan
(historis), geografis dan sosio-kultural, dan aspek lainnya
misalnya kapasitas Nabi, setting antropologis,4 bahkan politis.5
Maka, sudah tentu pemahaman semacam ini tidak membuahkan
hasil yang memuaskan yang bisa diacu secara keilmuan. Belum
lagi pertimbangan-pertimbangan kategorik Hadits berdasar pada
lokal, temporal (insidental) atau universal, termasuk kategori
Hadits tentang akidah, ibadah, atau muamalah.

Meskipun demikian, para ahli Hadits berusaha keras

4
Yunahar, Ilyas (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits
(Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), 155.
5
Jalaluddin, Rakhmat. “Pemahaman Hadits: Perspektif Historis” dalam Ilyas
(ed.), Pengembangan, 144.

6
melakukan klasifikasi dan sebagian kategorisasi, spesifikasi dan
tematisasi, tetapi belum terlihat rumusan metodologis dan
kerangka kerjanya. Sehingga masih terkesan masih umum dan
sedang menuju ke arah metode tematik. Sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Imam al-Syāfi‘ī, yang mencoba mengkompilasi
matan Hadits semakna maupun yang kontradiktif (ta‘āruḍ) untuk
dilakukan kompromi, para penyusun Kutub al-Sittah, dengan
model klasifikasi dan spesifikasi tema, juga kitab Bulūg al-
Marām dengan tampilan Hadits yang bertema hukum. Begitu
juga yang dilakukan Majdī ibn Manṣūr ibn Sayyid al- Syurī yang
melakukan takhrīj secara spesifik terhadap Hadits - Hadits dalam
Majmū‘al-Fatāwā li al-Imām Taqī al-Din Ibn Taymiyah. Mungkin
yang lebih concern belakangan muncul Muḥammad al-Gazālī,
Yūsuf al-Qaraḍāwī, dan Syuhudi Ismail.6

B. METODE HADITS TEMATIK

Langkah-langkah pengkajian Hadits dengan metode


tematik ini antara lain dapat dilakukan dengan:
a. Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas.
b. Menghimpun atau mengumpulkan Hadits - Hadits yang
terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara

makna melalui ke-giatan takhrīj al- ḥadīṡ.

c. Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan Hadits


dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan

6
Suryadi dalam Jurnal Esensia, Fak. Ushuluddin, Vol. 3 No. 1 Januari 2002,
53.

7
peristiwa wurūd-nya Hadits (tanawwu‘) dan perbedaan
periwayatan Hadits.
d. Melakukan kegiatan i‘tibār dengan melengkapi seluruh
sanad.
e. Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian
kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan
metode periwayatan yang digunakan.
f. Melakukan penelitian matan yang meliputi kemungkinan
adanya ‘illat (cacat) dan syāż (kejanggalan).
g. Mempelajari tema-tema yang mengandung arti serupa.
h. Membandingkan berbagai syarah Hadits.
i. Melengkapi pembahasan dengan Hadits - Hadits atau ayat-
ayat pendukung.
j. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar
konsep.
k. Menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan dasar
argumentasi ilmiah.7

Secara sepintas pemaknaan Hadits dengan model tematik


terkesan nampak sederhana, tetapi jika yang diinginkan hasil
yang memadai sudah barang tentu diperlukan keseriusan,
sehingga tidak semudah yang dikesankan, karena melibatkan
sejumlah elemen pendukung yang memperkokoh kajian ini.
Sehingga diharapkan dapat ditangkap makna yang holistik dari
sebuah tema tertentu. Memang disadari, kajian ini menjadi sulit,
jika seluruh langkah dan prosedur berikut ini dipenuhi secara

7
Yusuf, Muhammad, Metode & AplikasiPemaknaan Hadits (Yogyakarta:
Sukses Offset, 2008), 27-29.

8
konsisten dan lengkap. Paling tidak, tawaran model ini sedikit
banyak mampu mengantarkan kita ke arah pemahaman yang
lebih makro dan luas. Sehingga kandungan dalam Hadits Nabi
Saw, didapatkan pemahaman yang lebih bermakna.
C. CONTOH HADITS TEMATIK

Dalam dunia bisnis, Nabi Saw. pernah bersabda tentang


larangan menimbun harta dagangan dengan merumuskan kode
etik dan hukum dagang yang adil dan humanis. Setidaknya ada
tiga buah Hadits yang dapat dipaparkan, yaitu:
 Hadits pertama, diriwayatkan oleh Ahmad bersifat
informatif:
‫ " َمِن اْح َتَك َر َطَع اًم ا‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫َع ِن اْبِن ُع َم َر‬
‫ " َأْر َبِع يَن َلْيَلُة َفَقْد َبِر َئ ِم َن ِهَّللا َو َبِر َئ ُهَّللا َتَباَر َك َو َتَع اَلى ِم ْنُه‬.

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi Saw, bahwa Beliau bersabda:


Barangsiapa menimbun bahan pangan selama 40 malam, maka
dia telah mengacuhkan Allah Ta’ala dan Allah benar-benar telah
mengacuhkannya.” (H.R. Aḥmad)8
 Hadits kedua, diriwayatkan oleh Muslim, isinya bersifat
pernyataan tegas, menimbun makanan itu suatu tindakan
yang salah:
‫ َفُهَو‬، ‫ " َمِن اْح َتَك َر‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َأَّن َم ْع َم ًرا َقاَل‬
‫" َخ اِط ٌئ‬
“Sesungguhnya Ma‘mar berkata, telah bersabda Rasulullah
alaihi wa sallam: Barangsiapa yang menimbun (sesuatu) berarti
telah melakukan tindakan salah” (H.R. Muslim)9

8
‫موسوعة الحديث‬
9
‫موسوعة الحديث‬

9
 Hadits ketiga, diriwayatkan oleh Ibn Mājah dan al-Dārimī
yang isinya bersifat hukuman bagi penimbun berupa
kutukan:
‫ " اْلَج اِلُب‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫ َقاَل‬، ‫َع ْن ُع َم َر ْبِن اْلَخ َّطاِب‬
‫" َم ْر ُز وٌق َو اْلُم ْح َتِكُر َم ْلُعوٌن‬
“Dari‘Umar Ibnu al-Khaṭṭāb berkata, telah bersabda
Rasulullah Saw.: Orang yang telah mendistribusikan akan
mendapatkan rizki (keuntungan), dan penimbun mendapatkan
laknat (kerugian).” (H.R. Ibnu Mājah dan Al-Dārimī)10
Dari Hadits di atas bila dikaji menurut metode tematik,
maka aplikasinya sebagai berikut:

Langkah ke-1: Menentukan tema. Secara jelas temanya


adalah penimbunan (al-Iḥtikār), dengan penyebutan kata kunci,
yaitu: “‫( ”اﺣﺘﻜﺮ‬penimbunan) disebutkan dua kali dan “‫”اﻟﻤﺤﺘﻜﺮ‬
(penimbun) disebutkan sekali.
Langkah ke-2 dan ke-3: Bila dilihat dari segi sanad, bahwa
Hadits nomor pertama dan kedua diriwayatkan oleh beberapa
orang rawi melalui jalur Imam Muslim dan Abū Dāwud dan
sanadnya sahih, ada yang mengatakan sanadnya hasan melalui
jalur lain, sehingga derajatnya menjadi ṣaḥīḥ li gayrihi, karena
adanya mutābi‘ yang berpredikat sahih. Hadits pertama,
meskipun sanadnya hasan, tetapi sejalan dengan Hadits kedua.11
Sedangkan Hadits ketiga diriwayatkan oleh Ibn Mājah dan al-
Dārimī dengan kualitas sanad hasan. Ketiga Hadits tersebut tidak
ada kontradiksi dan diungkapkan dengan bahasa yang jelas,
10
‫موسوعة الحديث‬
11
Zuhri, Telaah, 79. Dalam Muslim Hadits nomer 3012, Abu Daud: 2990, Ibn
Majah: 2145, Ahmad: 15198, 15201, 25987 dan al-Tirmidzi: 1188.

10
bahkan saling melengkapi dan memperkuat, sehingga memenuhi
syarat untuk dimaknai.
Langkah ke-4: melacak asbāb al-wurūd. Hadits tersebut
ditemukan asbāb al-wurūd, bahwa di zaman Nabi Saw, ada dua
sahabat (rawi Hadits) saling tuding melakukan perbuatan
penimbunan (iḥtikār), Said tertuduh sebagai pelaku penimbunan
(muḥtakir), tetapi Said mengelak, bahkan menuduh balik
Ma‘mar-lah yang melakukan praktik penimbunan. Sehingga
muncul perdebatan cukup sengit di antara berdua.
Langkah ke-5: Analisa linguistik, yang paling mungkin
dilihat adalah kalimat: ‫َمِن اْح َتَك َر‬. Abu Yusuf memberi arti Ihtikar
yaitu “Setiap yang diperlukan kepentingan umum dan
menahannya”. Kalimat ini adalah ‘am, tanpa ada kepastian
subyek pelakunya laki-laki atau perempuan, beragama Islam
ataupun tidak, tanpa ada kategori kelas pengusaha, apakah kecil,
menengah atau konglomerat. Kata kedua, ‫ ))طعام‬makanan adalah
kata muthlaq, tanpa disebutkan secara spesifik (muqayyad) jenis
makanan/barang apa yang ditimbun, bisa beras, jagung, gandum,
minyak atau jenis bahan/barang yang lain, juga tanpa ada
batasan (limit) berapa besar dan jumlahnya. Secara tekstual,
penimbunan tersebut mengindikasikan secara jelas jika
dilakukan selama 40 malam.
Langkah ke-6: Ada beberapa konsep ekonomis yang dapat
ditangkap antara lain tentang distribusi, pasar, supply and
demand, stabilitas ekonomi, dan sebagainya. Ide pokok (ihtikar)
terkait erat dengan konsep ekonomi yang menyangkut masalah
distribusi, bukan masalah berapa waktu penimbunan.

11
Langkah ke-7: Pemaknaan terhadap kandungan Hadits
dengan cara melihat variabel dan indikatornya. Variabel terlihat
dari Hadits pertama adalah berupa kata kunci (keyword) ‫طعام‬,
indikatornya adalah 40 hari. Secara tekstual dipahami,
menimbun pangan selama kurang dari 40 hari diperbolehkan
(Hadits I) dan perbuatan ihtikar merupakan perbuatan yang salah
(Hadits II) dan orang yang melancarkan distribusi dagangan
(bahan makan) akan diberi rizki sedang bagi penimbun adalah
terkutuk (Hadits III). Menurut ar-Ramli dalam kamusnya,
Ihtikar berarti: Menimbun sama artinya perbuatan aniaya dan
buruk pergaulan dan perbuatan, atau dapat diartikan sebagai
‫احتباس‬: (menahan/menyandra).
Langkah ke-8: Pemaknaan yang holistik-komprehensif
(integratif-interkonektif) Persoalan pokok dari Hadits - Hadits
tersebut adalah isu ekonomi, lebih khusus persoalan penimbunan
makanan. Jika dilihat wilayah kajiannya termasuk masā’il al-
fiqhiyyah bidang mu‘āmalah māliyah. Maka untuk menentukan
dan menjelaskan konsep yang ada, tidak cukup hanya berkutat
hanya pada wilayah teks secara sempit tanpa didekati dengan
teoriteori ekonomi yang terkait erat dengan tema.
Langkah ke-9: pelacakan ayat-ayat yang terkait dengan
perdagangan, apakah itu ṡahīḥ ataupun ghairu ṡahīḥ yang
membicarakan: prinsip-prinsip ekonomi, etika-moral, dan aspek
teologis, antara lain:

‫َو اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل َو ُتْد ُلْو ا ِبَهٓا ِاَلى اْلُح َّك اِم ِلَتْأُك ُلْو ا َفِرْيًقا ِّم ْن َاْم َو اِل‬
‫الَّناِس ِباِاْل ْثِم َو َاْنُتْم َتْع َلُم ْو َن‬

12
188. “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 188)

Langkah ke-10: Pemaknaan secara kontekstual. Dalam


Islam, mungkin juga dalam agama-agama yang lain memiliki
prinsip ajaran bahwa manusia hidup itu harus saling tolong-
menolong, memberi kemudahan-kemudahan (profesional) dan
tidak saling membuat kesempitan dan kesengsaraan orang lain.

Di kalangan ahli fiqh dalam mensikapi hal ini beragam


pandangan, seperti Abu Yusuf melihat keumuman teks Hadits
menyatakan bahwa setiap tindakan iḥtikār dilarang tidak terbatas
bahan pangan, apalagi bahan pangan tersebut sangat dibutuhkan
masyarakat umum. Karena penimbunan akan menimbulkan
bahaya yang merata (ḍarar), maka hukumnya haram yang dapat
dianalogikan (qiyās) sebagai perbuatan dhalim, karena yang
untung hanya pihak yang kuat (kapitalis), sedangkan pihak
konsumen menjadi berat dan kesulitan. Iḥtikār, termasuk usaha
spekulatif mengandung arti membeli suatu komoditi dengan
maksud akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi, hal ini
mengakibatkan kenaikan harga. karena berkurangnya barang
dengan cara buatan. Kenaikan harga buatan ini oleh Islam tidak
dibenarkan, bahkan dikutuk (mal‘ūn).

13
Bahkan bila dimaknai lebih jauh, penimbunan hanya salah
satu contoh tindakan ekonomi yang salah, karena dalam
kenyataannya banyak tindakan lain yang berbeda tetapi juga
menimbulkan gejolak ekonomi, misalnya eksport yang irasional
(tanpa kendali), deposito uang dalam jumlah yang besar di bank-
bank internasional (luar negeri) dalam praktik money loundry,
spekulasi, pasar gelap (black market), monopoli-moligopoli
(dalam produkdi dan peranan), monosopni oligosopni (bidang
pembelian), eksplorasi tanpa batas, eksploitasi sumberdaya alam
(misalnya: illegal logging), yang menjurus mencari keuntungan
dengan segala cara (profiteering) dan penyalahgunaan kebebasan
pasar.12

Langkah ke-11 (akhir): pengambilan kesimpulan. Dari


uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan relevan, bahwa semua
tindakan ekonomi yang didasarkan atas kepentingan sektoral-
eksklusif (individu maupun kelompok tertentu), sebagai tindakan
penyalahgunaan kebebasan pasar, karena hak-hak publik (public
rights) akan terganggu, terutama dalam pemenuhan kebutuhan
dan pada glilirannya akan menimbulkan instabilitas di beberapa
sektor kehidupan yang menjurus kepada perilaku dhalim.
Sesungguhynya rizki dari Allah dilarang untuk dimonopoli
dengan cara dan dalih apapun, termasuk di dalamnya adalah
ihtikar, sejak abad pertengahan umat Islam menentangnya, yang
dikategorikan tindakan dosa, karena menimbulkan dampak pada
harga yang tidak adil dan tidak jujur, yang hal itu tidak

12
A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi IbnuTaimiyah, terj. H. Anshari Thayib
(Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 297.

14
dikehendaki yurisprudensi Islam sejak awal, sebab dalam sistem
ekonomi termasuk ekonomi Islam menghendaki harga yang
ekuivalen (setara) atau ṡaman al-miṡl.

Untuk mensikapi hal itu, maka pemerintah (Ulil Amri)


melalui institusi ḥisbah sebagai pengontrol dan pengawas
berkewajiban dan bertanggung jawab mengendalikan sistem
produksi dan distribusi barang, terutama bahan pangan pokok
(basic need) dan kebutuhan primer lainnya, dengan tidak memberi
ruang dan kesempatan bagi pelakunya menerapkan sistem bebas
(laissez faire), tapi harus mengedepankan sistem terkendali yang
berbasis etika dan moral yang melekat dan demi kesejahteraan
rakyat. Hadits di atas bila dilihat dari perspektif filsafat ilmu,
secara ontologis, kebenaran ajaran yang dikandung tidak cukup
untuk diyakini pada level iman saja, sedangkan pada dataran
epistemologis institusi ekonomi (ḥisbah) berperan dalam
mengatur dan mengendalikan mekanisme pasar yang menyangkut
produksi dan distribusi, sehingga tindakan pengawasan, regulasi
dan pencegahan (aksiologis) terhadap perilaku pasar bisa
dikendalikan, termasuk praktik iḥtikār. Bila dilihat dari
kandungan Hadits, muatan substansinya berskala makro universal
yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang geografi dan waktu,
karenanya mengandung tuntutan aktual syar‘iyyah yang harus
ditaati oleh seluruh pelaku ekonomi, khususnya para
praktisi/pelaku ekonomi Islam.

15
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Studi Hadits mauḍū‘ī adalah mengumpulkan Hadits- Hadits
yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun
sesuai dengan asbāb al-wurūd dan pemahamannya yang disertai
dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah
tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman Hadits pendekatan
tematik (mauḍū‘ī) adalah memahami makna dan menangkap
maksud yang terkandung di dalam Hadits dengan cara
mempelajari Hadits - Hadits lain yang terkait dalam tema
pembicaraan yang sama dan memperhatikan korelasi masing-
masingnya sehingga didapatkan pemahaman yang utuh.

Langkah-langkah studi Hadits tematik dapat disimpulkan


sebagai berikut: Menentukan tema dibahas, menghimpun atau
mengumpulkan Hadits-Hadits yang terkait, melakukan
kategorisasi berdasarkan kandungan Hadits, melakukan kegiatan
i‘tibar, melakukan penelitian sanad, dan melakukan penelitian
matan.

16
Penelitian matan Hadits meliputi kemungkinan adanya ‘illat
(cacat) dan syaż (kejanggalan), mempelajari tema-tema yang
mengandung arti serupa, membandingkan berbagai syarah Hadits,
melengkapi pembahasan dengan Hadits - Hadits atau ayat-ayat
pendukung, menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar
konsep, dan menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan
dasar argumentasi ilmiah.

B. SARAN

Sekiranya dalam makalah kami ini terdapat kesalahan maka


kami mohon dari teman-teman dan bapak dosen untuk
memberikan kritikan yang bersifat membangun dan dapat
dijadikan acuan sehingga kedepannya kami dapat membuat
makalah yang lebih baik lagi.

17
DAFTAR PUSTAKA
Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terj. H. Anshari
Thayib Surabaya: Bina Ilmu,1997.

al-Ḥusain, Abū. Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, juz 2 (Beirūt: Dār al-


Fikr, tth.), 218.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-


Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Rakhmat, Jalaluddin. “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis”


dalam Jurnal AlHikmah,Bandung, 17, Vol. VII, Tahun
1996.

al-Munawwar, Said Agil Husein. “Kemungkinan Pendekatan


Historis dan Antropologis” dalam Yunahar Ilyas,
Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis. Yogyakarta:
LPPI UMY, 1996.

Surya. Jurnal Esensia, Fak. Ushuluddin. Vol. 3 No. 1 Januari


2002.

Yusuf, Muhammad. Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis.


Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.

https://bincangsyariah.com/kalam/cara-memahami-Hadits-
menggunakan-metode-Hadits-tematik.
18
‫‪.‬موسوعة الحديث‬

‫‪19‬‬

Anda mungkin juga menyukai