Anda di halaman 1dari 15

Kaidah dan Cara Memahami Hadis Nabi

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“STUDI HADIS”
AKUNTANSI SYARIAH 1 A

Disusun oleh :
Oktarina (2133024)
Nur Syaidah (2133025)
Dosen pengampuh : Misbahul Munir, M.Hum.

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH
IAIN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK BANGKA BELITUNG
2021/2022

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah yang maha ESA atas segala rahmat dan
hidayatnya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, Berkat beliaulah kita
bisa sampai ke alam yang penuh dengan ilmu Pendidikan.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Misbahul Munir,
M.Hum. selaku dosen pengampuh studi hadis yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kaidah dan Cara Memahami Hadis Nabi.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, Bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar kami bisa menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan mendatang.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Masalah.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A. Pengertian metodologi pemahaman hadis............................................ 3
B. Metode pemahaman hadis.................................................................... 6
C. Teknik Interpretasi................................................................................ 7
D. Aliran-aliran pemahaman hadis............................................................ 9
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 11
A. Kesimpulan........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Problem memahami hadis nabi merupkan persoalan yang sangat urgen untuk
diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran islam
setelah al-Qur’an yang dalam banyak aspeknya berbeda dengan al-Qur’an. Sejarah
mencatat, terkodifikasinya al-Qur’an relatif dekat dengan masa hidup nabi,
diriwayatkan secara mutawatir, qath’I al-wurud, dijaga otentitsnya oleh Allah dan
secara kuantitas lebih sedikit dibandingkan hadis. Sementara hadis nabi tidaklah
demikian kondisinya.
Realitas telah berbicara, perkembangan pemikiran terhadap hadis nabi memang
tidak sesemarak yang terjadi dalam pemikiran terhadap al-Qur’an. Problem utama hadis
yang senantiasa mencuat ke permukaan, mempersoalkan otentisitas hadis. Dari
kalangan orientalis muncul nama-nama Ignez Goldziher (1850-1921 M.) dan Yoseph
Schacht (1902-1969 M.), yang menganggap negative keberadaan hadis/sunnah1
Realita lain yang tidak kalah pentingnya adalah Rasulullah dalam berbagai
posisi dan fungsinya. Ada kalanya Rasulullah berperan sebagai manusia biasa, sebagai
pribadi, sebagai suami, sebagai utusan allah, sebagai kepala negara, sebagai pemimpin
masyarakat, sebagai panglima perang maupun sebagai hakim. Oleh karenanya penting
sekali mendudukan pemahaman hadis pada tempat yang proposional, kapan dipahamai
secara tekstual, kontekstual, universal, temporal, situasional maupun local. Karena
bagaimanapun juga, pemahaman yang kaku, radikal dan statis sama artinya menutup
keberadaan islam yang Shalih li kulli zaman wa makan.2

1
DR.Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogjakarta:Teras, 2008), h. 1-2.
2
DR.Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogjakarta:Teras, 2008), h. 4-5

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan metodologi pemahaman hadis?
2) Bagaimana metode/cara yang benar dalam pemahaman hadis?
3) Apa saja pembagian pemahaman hadis dalam Teknik Interpretasi?

C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1) Mengetahui tentang devinisi dari metodologi pemahaman hadis,
2) Mengetahui secara tepat mengenai pemahaman hadis,
3) Mengetahui pembagian pemahaman hadis dalam Teknik interpretasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
“Metodologi pemahaman hadis” terdiri dari beberapa kata, yakni metodologi,
pemahaman dan hadis. Untuk memberikan penjelasan yang lebih luas terhadap
pengertian metodologi pemahaman hadis ini, akan dijelaskan pengertian masing-masing
kata terlebih dahulu.
1. Metodologi
Istilah metodologi berasal dari gabungan dua kata, yakni metode dan logi.
Metode dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai cara yang telah teratur dan
terpikirkan baik-baik untuk mencapai sesuatu maksud.3 Dalam bahasa Arab, metode
disebut minhâj. Kata ini juga digunakan al-Qur’an, seperti pada surat al-Maidah: 48
dengan pengertian “jalan yang terang”.
‫ )امالئدة‬..ً‫لِ ُكلٍّ َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ َعةً َو ِم ْنهَاج‬:
untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang… (Q.S. al-Maidah: 48) Dalam beberapa kitab tafsir, syir’ah dalam ayat di
atasbermakna aturan yang tertera di dalam al-Qur’an dan hadis (syariat), sedangkan
minhâj bermakna prosuder atau cara yang jelas (al-tharîq al-wâdhih) melaksanakan
aturan-aturan tersebut.2 Dalam pengertian umum, metode atau minhâj dapat berarti
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. 4
2. Pemahaman
Pemahaman dalam bahasa Arab disebut dengan fiqh (‫) فقه‬,yang secara bahasa
berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya”. Kata fiqh sudah menjadi istilah yang
ekslusif dipakai untuk menunjukan salah satu disiplin ilmu keislaman. Karena itu, dapat
dilihat batasannya sebagai “ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diitstinbagkan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. Tetapi kata fiqh yang dimaksudkan di
sini, adalah kata fiqh dalam makna dasarnya. Kata ini sebanding dengan kata fahm (‫) فهم‬
yang juga bermakna memahami. Tetapi kata yang lebih populer dipakai untuk
menunjukan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan atau cabang ilmu agama
tertentu adalah fiqh. Hal ini wajar, karena meskipun kedua kata ini sama-sama
bermakna memahami, namun kata fiqh lebih menunjukan kepada makna “memahami
secara dalam” sehingga seperti kata al-Raghib al-Asfahani fiqh adalah pemahaman yang
sampai pada sesuatu yang abstrak alam ghoib. 5 Itu pula sebabnya, Ibnu al-Qayyim
3
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustakan, Jakarta, 1985, h. 649
4
Lihat misalnya, Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Muassasah al-Mukhtar, al-
Qahirah, 2002, Juz II, h. 67, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir Jalâlain, Dar al-Hadits,
al-Qahirah, t.th, h. 146.
5
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradâd Alfadz al-Qur’ân, Dar al-
Fikr, Beirut, t.th, h. 398.

3
menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik dari kata fahm, karena fiqh memahami
maksud yang diinginkan pembicara. Jadi fiqh merupakan kemampuan lebih dari sekedar
memahami pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan.6
Hal ini membutuhkan pengetahuan yang mendalam, pandangan yang teliti dan
kajian yang komprehensif atas teks-teks hadis. Ditambah lagi wawasan yang luas atas
tujuan-tujuan syariat dan hakikat agama. Di samping itu, juga diperlukan keberanian
moriel dan kekuatan jiwa untuk menegakkan kebenaran, sekalipun bertentangan dengan
kebiasaan atau tradisi masyarakat. Tentu, semua ini bukan hal yang mudah. Syekh Islam
Ibn Taimiyyah, misalnya, berkali-kali dijebloskan ke penjara, bahkan sampai meninggal
di sana karena sikapnya menentang kebanyakan ulama pada zamannya. Untuk
memahami hadis dengan baik dan mendalam, kita perlu mengetahui konteks yang
menjelaskan situasi dan kondisi munculnya suatu hadis, sehingga diketahui maksud
hadis tersebut dengan saksama, bukan atas dasar perkiraan semata atau dipahami sesuai
dengan makna lahiriah yang jauh dari tujuan sebenarnya. Seperti diketahui, para ulama
telah menetapkan bahwa untuk memahami Al-Quran dengan baik diperlukan
pemahaman atas asbabun an-nuzul, schingga tidak mengalami kesalahan sebagaimana
kaum ekstrem Khawarij dan yang lainnya. Mereka menerapkan ayat-ayat yang turun
mengenai kaum Musyrik untuk kaum Muslim. Oleh karena itu, Ibn Umar memandang
mereka "makhluk yang paling jahat", karena telah mengubah Kitab Allah dari tujuan
yang sebenarmya.7
3. Hadis Tinjauan Ontologis dan Epistemologis
Secara ontologis, definisi hadis memang berbeda-beda.Sebagian ulama berkata
bahwa hadis adalah segala sesuatu dinisbatkan kepada Nabi SAW, meliputi perkataan
(qawl), perbuatan, atau ketetapan (taqrir), termasuk sifat khuluqiyyah (berkaitan dengan
akhlak Nabi) dan khalqiyyah (berkaitan dengan fisik Nabi), baik sebelum bi'tsah (diutus
menjadi rasul) maupun sesudahnya.² Definisi tersebut dianut oleh ulama ahli hadis.
Mereka berangkat dari asumsi bahwa Nabi Saw. Adalah uswah hasanah, sehingga
semua yang datang dari beliau layak untuk dijadikan teladan hidup. 8 Namun ulama
Ushul Fiqh justru berkata lain. Tidak semua yang dinisbatkan kepada Nabi Saw. dapat
disebut sebagai hadis. Menurut mereka, yang disebut hadis atau sunnah adalah segala
yang keluar dari Nabi Saw. selain al-Qur'an, baik berupa ucapan, perbuatan atau
ketetapan, yang layak untuk dijadikan dalil untuk hukum syar'i. 9
Sehingga ucapan dan perbuatan Nabi yang berkaitan dengan posisi beliau
sebagai manusia biasa, atau yang berkaitan dengan tradisi Arab dan hal itu tidak ada
kaitannya dengan persoalan tugas Nabi menyampaikan syariat, maka tidak bisa
dikategorikan sebagai hadis atau sunnah. Padangan ini berangkat dari asumsi bahwa
Nabi Saw. adalah seorang musyarri' ('pembuat syariat). Perbedaan asumsi dasar ini
membawa implikasi terhadap perbedaan pandagan ontologis mereka terhadap hadis.
Mereka juga berbeda dalam menyebut istilah hadis dan sunnah. Umumnya ulama ahli
6
Ibnu al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-Ālamîn, Jilid 2, h. 462
7
Lihat Asy-Syatibi,Al-Muwafaqat
8
Subhi al-salih, ulum al hadis wa musthalahuhu(Beirut:Dar al-Ilm al-malayin,1977), h. 3
9
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, al-sunnah Qabl al-tadwn, h. 16

4
hadis menyamakan istilah hadis dengan sunnah.10 Kata lain yang juga menunjukan
riwayat dari Nabi adalah sunnah (‫نة‬ll‫ )س‬Kata ini secara bahasa berarti jalan, arah,
peraturan, cara tentang tindakan, sikap hidup. Kata yang bentuk jamaknya sunan (‫)سنن‬
ini juga telah digunakan al-Qur'an sebanyak 16 kali dengan pengertian aturan yang
mapan, garis sikap. Bagi muhadditsîn (ahli hadis) istilah hadis dan sunnah adalah
sinonim, di mana keduanya sering dipertukarkan dalam arti yang sama. Ketika
menyebut studi tentang hadis, maka istilah yang populer dipakai adalah ilmu hadis,
bukan ilmu sunnah, meskipun di dalamnya termasuk juga sunnah.Tetapi ketika
mengidentifikasi orang-orang yang menolak hadis dipakai istilah “inkar sunnah”, bukan
“inkar hadis”, meskipun yang mereka ingkari termasuk juga hadis. Jadi, tampak bahwa
mereka tidak memiliki kepentingan untuk membedakan makna kedua istilah ini dalam
karya-karya mereka, kecuali hanya sedikit perbedaan di mana oleh sebagian
muhadditsîn sunnah lebih luas, yakni mencakup riwayat-riwayat sebelum kenabian.11
Hal ini disebabkan kajian mereka yang membahas segala sesuatu yang berasal
dari Nabi, baik itu narasi tentang atau dari Nabi serta teladan beliau. Oleh karena itu,
seperti yang dijelaskan di atas istilah hadis dan sunnah adalah sinomin. Demikian juga
dalam karya ini, hadis dan sunnah sama sekali tidak dibedakan. Karena itu, meskipun
disebut metodologi pemahaman hadis, tetapi dimaksudkan juga sebagai adalah
metodologi pemahaman sunnah. Bagi ulama ushul—seperti yang diungkapkan oleh
Ajjaj al-Khathib—istilah hadis dipahami terbatas pada narasi (qaul) yang dari Nabi.
Sementara sunnah lebih luas, mencakup narasi, praktek dan teladan dari Nabi.12
Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sunnah yang dimuat di dalam karya-karya
ushul fiqh.13 Pada sisi lain, juga terlihat perbedaan yang dipersepsi oleh sebagian ahli
hukum, bahkan pada masa-masa paling awal, secara eklusif pada praktek dan teladan
kehidupan Nabi. Pembedaan ini dimaksudkan terutama sekali untuk menarik
kesimpulan-kesimpulan hukum. Itu sebabnya kita dapat melihat tokoh-tokoh yang lebih
awal dalam pernyataanmereka membedakan hadis dengan sunnah. Dalam kasus
Barirah, seorang budak perempuan, misalnya, Aisyah menyatakan ada tiga sunnah.14
Ahmad Hasan mengutip riwayat dari Abd al-Rahman ibn Mahdi yang menyatakan
bahwa Sufyan al-Tsauri adalah pakar (imâm) dalam bidang hadis, bukan pakar sunnah.
Sedangkan Al-Auza’i, pakar dalam bidang sunnah, bukan pakar dalam bidang hadis.
Sementara Imam Malik, pakar dalam bidang hadis dan sunnah.15

10
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Usul al-hadis wa mustalahuhu(Beirut:Dar al-fikr,1989), h. 25
11
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: 'Ulumuhu wa Musthalahuhu, Dar al-Fikri, 1989, h. 19
12
‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts, h. 27
13
Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Dar al-Fikr, al-Arabi, t.th, h. 105
14
Muhammad ibn Ismail Abu ‘Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, Dar Ibn
Katsir al-Yamamah, Beirut: 1987, Juz V, h. 1959
15
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Mizan, Bandung, 1984, h. 78.

5
B. Metode Pemahaman Hadis
a.Prinsip prinsip Metodologi Memahami Hadis
Memahami hadis tidak semudah dengan membalikkan telapak tangan, sehingga
ulama melakukan kajian secara serius mengenai bagaimana cara untuk memahami
hadis. Dari itu para ulama memberikan beberapa prinsip umum sebagaimana tulisan dari
Abdul Mustaqim dalam memahami hadis Nabi saw.:
1. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan dengan akal,
sebelum melakukan penelitian yang mendalam.
2. Prinsip memahami hadis secara tematik (maudhu’i) sehingga memperoleh gambaran
utuh mengenai tema yang dikaji Ali Mustafa Yaqub menyatakan hadis saling
menafsirkan karena sumbernya adalah Raasulullah dan untuk memahaminya harus
dengan melihat riwayat yang lain.
3. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan, mempertimbangkan struktur teks dan
konteks.
4. Prinsip membedakan Antara ketentuan hadis yang bersifat legal formal dengan aspek
yang bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju), membedakan sarana dan
tujuan.
5. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal kultural, temporal dan
universal.
6. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah beliau sebagai manusia biasa, nabi
atau rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain sebagainya. Sehingga pengkaji dan
peneliti hadis harus cermat menangkap makna yang terkandung dibalik teks tersebut.
7. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis, baik sanad dan matan, serta
berusaha memahami segala aspek yang terkait dengan metode pemahaman hadis.
8. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lebih
kuat.
9. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains modern untuk memperoleh kejelasan
makna tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadung dalam hadis hadis sains.16
Beberapa poin mengenai prinsip prinsip memahami hadis Nabi tersebut
bukanlah merupakan hal yang final, boleh dikembangkan pada hal yang lebih luas
sesuai dengan kebutuhan memahami hadis Nabi.

16
8Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi berbagai teori dan metode memahami
hadis nabi (Cet. II: Bantul Yogyakarta; Idea Press Yogyakarta, 2016), h. 33-36.

6
C. Teknik Interpretasi
Tekhnik interpretasi dapat diartikan sebagai metode atau cara menafsirkan
sesuatu, dimana pada tulisan ini adalah tekhnik interpretasi terhadap Hadis.
1.Interpretasi Tekstual
Interpretasi tekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan
teksnya semata. Teknik interpretasi ini cenderung mengabaikan latar belakang peristiwa
hadis (asbab al wurud).17 Dasar penggunaan teknik ini adalah setiap ucapan dan perilaku
Nabi saw. tidak terlepas dari konteks kewahyuan bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah adalah wahyu. Sebagaimana dalam QS al Najm/53: 3 4
yang berbunyi,
‫ق ع َِن ْالهَ َوى‬
ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
‫ِإ ْن هُ َو ِإاَّل َوحْ ٌي يُو َح ٰى‬
Artinya: dan tiadalah yang diucapkan itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).18
Karena itu, apa yang dinyatakan secara eksplisit sebagai hadis Nabi seharusnya
dipahami seperti apa adanya kecuali dijumpai kesulitan, maka harus ditakwilkan. Hal
yang perlu diperhatikan dalam teknik interpretasi ini adalah bentuk bentuk lafal,
susunan kalimat, frase dan klausa, gaya bahasa, kejelasan lafal, petunjuk (dalalah),
makna kandungan lafal baik bersifat hakiki maupun majazi.19 Pendekatan yang
digunakan untuk teknik interpretasi ini adalah pendekatan linguistik, teologi normatif
dan teologis (kaidah kaidah ushul fiqh).20
2. Interpretasi Kontekstual
Interpretasi kontekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis dengan
memperhatikan asbab al wurud yang dihubungkan dengan konteks kekinian.15 Dasar
penggunaan tehnik ini adalah Nabi Muhammad saw. adalah teladan terbaik, uswatun
hasanah, sebagaimana dinyatakan dalam QS al Ahzab/33: 21 yang berbunyi
‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هّٰللا ِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا هّٰللا َ َو ْاليَوْ َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْير ًۗا‬
Artinya: Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
yang banyak mengingat Allah.21
Hal yang perlu diperhatikan dalam teknik interpretasi ini adalah peristiwa
peristiwa yang terkait dengan wurud hadis (asbab al wurud), kondisi yang dialami dan
dihadapi oleh Rasulullah saw pada saat beliau mengucapkan hadis itu atau pada saat
17
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis; Kajian Ilmu Ma’ani al-Hadis, h. 19.
18
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Insan Kamil, 2009), h. 526.
19
Ambo Asse, Studi Hadis Maudhu’i (Suatu Kajian Metodologi Holistik) (Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2013), h. 138.
20
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis; Kajian Ilmu Ma’ani al-Hadis, h. 20
21
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 420

7
beliau melakukan suatu amalan yang disaksikan oleh para sahabat atau memang
bersama sama dengan para sahabatnya. Pendekatan yang dapat digunakan dalam teknik
interpretasi ini adalah pendekatan historis, sosiologis, filosofis yang bersifat
interdisipliner. 22
3. Interpretasi Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis dengan
memperhatikan sistematika matan hadis bersangkutan atau hadis lain yang semakna
atau ayat ayat al Qur‘an yang terkait. 23 Ambo Asse menamai teknik interpretasi ini
dengan interpretasi antarteks.24 Teknik interpretasi ini disebut juga teknik munasabah.
Dasar penggunaan teknik ini adalah penegasan bahwa hadis Nabi adalah perilaku
terhadap Nabi yang merupakan satu kesatuan dengan hadis lain atau ayat ayat al Qur‘an.
Bukankah hadis Nabi berfungsi sebagai bayan terhadap ayat ayat al Qur‘an. 25 Allah swt
berfirman dalam QS al Nahl/16: 44 yang berbunyi,

ِ َّ‫الزب ۗ ُِر َواَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْيكَ ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬


َ‫اس َما نُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ ِ ‫بِ ْالبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

Artinya:…Dan Kami turunkan kepadamu al Qur‘an agar kamu menerangkan


kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.26
Selain tekhnik interpretasi teksual, interpretasi kontekstual dan interpretasi
intertekstual, Ali Mustafa Yaqub menambahkan metode memahami hadis Nabi salah
satu metodenya tidak terlepas dari metode al Tafsir al Maudhu’i (Tafsir Tematik) pada
ilmu tafsir dalam memahami ayat ayat al-Qur‘an. Dalam memahami hadis, perlu
menyeleksi terlebih dahulu hadis hadis sahih dan da‘if lalu menggunakan langkah
langkah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan semua riwayat dalam tema yang sama.
2. Mengkritisi riwayat riwayat tersebut, dengan menyeleksi yang mana sahih dan
da‘if.
3. Mengambil riwayat yang sahih lalu meninggalkan yang tidak sahih, mengambil
hadis yang ma’mul (berlaku) dan meninggalkan hadis yang tidak berlaku,
misalnya hadis yang telah di nasakh.
4. Mengambbil teks hadis yang maknanya jelas, lalu menyeleksi dari teks teks
yang petunjuk maknanya tidak jelas.
5. Menafsirkan teks teks hadis yang tidak jelas petunjuk maknanya dengan teks
teks hadis yang jelas maknanya, berdasarkan kaidah ―lafas yang jelas dapat
menafsirkan afas yang tidak jelas.27
22
Ambo Asse, Studi Hadis Maudhu’i (Suatu Kajian Metodologi Holistik), h. 138.
23
Ambo Asse, Studi Hadis Maudhu’i (Suatu Kajian Metodologi Holistik), h. 85.
24
Ambo Asse, Studi Hadis Maudhu’i (Suatu Kajian Metodologi Holistik), h. 138
25
Arifuddin Ahmad, op.cit, h. 85.
26
Kementrian Agama RI., Mushaf al-Qur’an dan Terjemah, h. 272.
27
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 135-136.

8
D. Aliran-aliran Pemahaman Hadis
Dalam memahami hadis Nabi, secara garis besar dapat dibagi dalam dua
kelompok, yakni:
(1) Kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadis disebut dengan
Ahl al-Hadīts, Tekstualis
(2) Kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada di
belakang teks disebut Ahl al-Ra'yi, Kontekstualis.
Ahl al-Hadīts telah muncul sejak generasi sahabat, 28 dengan berbagai persoalan
kehidupan yang belum begitu kompleks. Kelompok ini berpegang kepada arti lahiriah
nas karena dalam pandangan mereka, kebenaran al-Quran be sifat mutlak, sedangkan
kebenaran rasio adalah nisbi. Sesua yang nisbi tidak akan mungkin dapat menjelaskan
sesuatu yang mutlak 29 Keengganan mereka menggunakan akal inilah, yan menjadikan
mereka dijuluki dengan Ahl al-Hasyw.30
Dengan demikian, hadis-hadis ahad memperoleh kedudukan yang cukup penting
di kalangan kelompok ini. Ahl al-Hadits juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang
berada di sekeliling teks. Dalam kultur yang relatif deka dengan Nabi, dampak yang
ditimbulkan belum begitu ke lihatan, karena perubahan yang signifikan dalam budaya
dan gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belum terlalu terasa Namun ketika hadis
telah melintasi banyak generasi dan linte kultural serta berhadapan dengan berbagai
kemajuan ilma pengetahuan mengimbas pada semakin kompleksnya per soalan
kehidupan. Kelompok kedua, Ahl al-Ra'yi. Kelompok ini memahami persoalan secara
rasional dengan tetap berpegang kepada nash al-Qur'an dan hadis. Oleh karenanya, tidak
jarang mereka “mengorbankan” hadis ahad yang bertentangan dengan al- Qur'an.31
Kelompok rasionalis (Ahl al-Ra'yi) mempertahankan akal dalam
mengembangkan konsep-konsep seperti mash- lahah dan istihsan32 dan mengutamakan
qiyas dari pada teks- teks yang bersifat hipotetik 33, karena qiyas menurut mereka
didasarkan pada qarinah dan hukum-hukum kulliyah (uni- versal), yang kemudian
disebut dengan tujuan umum (maqa- shid al-syari'ah). Argumentasi kelompok yang
menjustifikasi pendekatan rasional ini adalah hadis masyhur yang diriwayat- kan dari
Mu'ādz bin Jabal ketika ia diutus Nabi ke Yaman. Mayoritas ulama Hijāz adalah Ahl al-
Hadīts, sedangkan mayoritas ulama Irak dan negeri-negeri yang jauh dari Hijāz adalah

28
Munawir Sjadzali (dkk.),Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), hlm. 10-
27.
29
Ali Sāmi al-Nasysyar, Nas'at al-Fikr al-Falsafi fi al- Islam (Kairo: Dār al-Ma'ārif, 1981), jilid I, him. 249.
30
Ibid., hlm. 250. Hasyuwiyyah
31
Mushthafa 'Abd al-Rāziq, Tamhid li-Tarikh al-Islamiyyah (Kairo: Lajnah wa al-Tarjamah wa Nashr,
1959), hlm. 206.
32
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin
(Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 48.
33
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi'i: Moderatisme, Eklektisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin
(Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 51.

9
Ahl al-Ra'yi. Istilah Hijāzī dan Irāqi mengacu kepada dikotomi ini. 34 Perseteruan antara
Ahl al-Hadīts dan Ahl al-Ra'yi menjadi salah satu fenomena dikotomi antara naql dan
'aql, antara filsafat dan agama, atau antara taklid dan kreativitas. Per- selisihan antara
Ahl al-Hadīts dengan Ahl al-Ra'yi ini diwarnai dengan saling membenci dan
mencemooh antara kelompok pertama dan kelompok kedua.35
Dalam wacana figh, istilah Ahl al-Hadīts merujuk pada mazhab Hanbali, yang
berpandangan bahwa segala hal harus dirujuk pada teks yang ada, sedangkan kelompok
Ahl al-Ra'yi mengacu pada mazhab Hanafi.36 Dalam khazanah kalam klasik istilah Ahl
al-Ra'yi diorien- tasikan pada kalam Mu'tazilah. Dalam sejarahnya, Ahl al- Hadīts
pernah terlibat sengketa cukup sengit dengan kaum Mu'tazilah yang diawali dengan
peristiwa mihnah,37 yang di lakukan penguasa Abbasiyyah di bawah khalifah al-
Ma'mün. Dalam peristiwa itu, para ulama Ahi al-Hadits mendapat tekanan keras dari
Mu'tazilah, sehingga beberapa ulama ter kemuka gugur sebagai syahid. Ahmad bin
Hanbal (w 241 H/ 855 M) sempat dipenjarakan dan didera hingga cedera tubuhnya.
Pada perkembangan selanjutnya, para pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal menyebut
diri sebagai penganut salat, dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H/1328 M.) disebut-sebut
sebagai tokoh kedua sesudah Ahmad bin Hanbal yang membangkitkan kem- bali
salafisme dalam bentuknya yang baru."38
Mazhab ini di- anut secara rigid oleh Wahabiah di Saudi Arabia, dan disebar-
luaskan ke seluruh penjuru dunia Islam melalui buku-buku yang mereka cetak dengan
dana yang cukup besar. Dalam perkembangan lebih lanjut, Ahl al-Ra'yi digolong- kan
sebagai kelompok yang memiliki semangat pembaruan. Kelompok ini mengakui
eksistensi akal pikiran sebagai perang- kat yang dapat digunakan untuk mengambi
keputusan hukum dan etika. Sekalipun Ahi al-Ra'yi mengakui eksistensi akal, namun
pemanfaatan akal tidaklah semaksimal para filosuf. Oleh karenanya rasionalitas Ahl al-
Ra'yi dalam penggunaan akal hanya sampai pada tahap justifikasi saja. Sekalipun demi-
kian kelompok ini dibanding Ahl al-Hadits lebih memiliki semangat pembaruan.39

BAB III

34
Syah Wali Allah al-Dahlawi, Hujjah Allah al-Balighah (Beirūt: Dār al- Ma'ārif, t.th.), hlm. 147-148.
35
Färüq Abu Zayd, al-Syari'ah al-Islamiyyah baina al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin (Kairo: Dār al-
Ma'mun, 1978), h. 5.
36
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi'i, h. 47.
37
Water Melvile Patton, Ahmadbin Hanbal waal-Mitnah, terjemahan Arab oleh 'Abd al-Azız 'Abd al-
Haqq (Kairo: Dār al-Hilāl, tth), h. 33.
38
Ali Sami al-Nasysyar, Nas'at, h. 213.
39
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terį. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 138.

10
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, Metode pemahaman hadis adalah cara yang ditempuh seseorang untuk
memahami atau menafsirkan hadis Nabi saw. Kedua, Interpretasi tekstual adalah
metode pemahaman hadis nabi yang berdasarkan teks semata. Interpretasi kontekstual
adalah metode memahami hadis berdasarkan latar belakang munculnya hadis (asbab al
wurud) yang dikaitkan dengan masa kekinian. Sementara itu, interpretasi intertekstual
atau antarteks adalah metode memahami hadis dengan sistematika matan hadis
bersangkutan atau hadis lain yang semakna atau ayat ayat al-Qur‘an yang terkait.

11
DAFTAR PUSTAKA
 DR.Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogjakarta:Teras,
2008)
 Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Muassasah al-
Mukhtar, al-Qahirah, 2002, Juz II
 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir Jalâlain, Dar al-Hadits,
al-Qahirah, t.th
 Ibnu al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-Ālamîn, Jilid 2
 Subhi al-salih, ulum al hadis wa musthalahuhu(Beirut:Dar al-Ilm al-
malayin,1977)
 Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: 'Ulumuhu wa Musthalahuhu,
Dar al-Fikri, 1989
 Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Dar al-Fikr, al-Arabi, t.th, h. 105
 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi berbagai teori
dan metode memahami hadis nabi (Cet. II: Bantul Yogyakarta; Idea Press
Yogyakarta, 2016),
 Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis; Kajian Ilmu Ma’ani al-
Hadis, h. 19.
 Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis

12

Anda mungkin juga menyukai