Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AGAMA ISLAM IV

Yang Berjudul
“AL HADIST II”

Dosen Pengampu:

Syaifuddin, Dr. S.Si, M

Disusun Oleh:
M Farij Al Ghozi 21801073080
Febryan Dwi Fernando 21801073172
Husen Sukarno 21901073006

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pendidikan
Agama Islam Semester ke-1 tahun 2020.
Berkat rahmat dan karunianya, serta di dorong kemauan yang keras disertai kemampuan
yang ada, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang ”AL HADITS
II” dalam mata kuliah Agama Islam I.
Makalah ini berisi tentang penjelasan Al Hadits sebagai sumber ajaran Islam dan pedoman
hidup manusia.

Malang, 15 Desember 2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari
sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan
dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan
yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.

Kajian Hadis terbagi beberapa pembahasan, diantaranya: kajian ilmu mustalah al Hadis,
kritik sanad dan matan, serta berkaitan dengan pemahaman Hadis. Banyak ulama klasik dan ulama
kontemporer yang menulis buku Hadis sehingga sangat mudah mendapatkan akses untuk
melakukan pengkajian hadis. Hadis atau Sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya baik sebelum
diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya. Secara epistomologi, hadis dipandang oleh mayoritas
umat Islam sebagai sumber ajaran Islam setelah al Qur‘an. Sebab, ia merupakan bayan (penjelasan)
terhadap ayat ayat al Qur‘an yang masih global. Bahkan secara mandiri, hadis dapat berfungsi
menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al Qur‘an. Selain itu, al Sunnah oleh Yusuf
Qardhawi, adalah penafsiran praktis terhadap al Qur‘an, implementasi realitas, dan juga
implementasi ideal Islam. Pribadi nabi Muhammad SAW. itu sendiri adalah merupakan penafsiran
al Qur‘an dan pengejawantahan Islam. Keberadaan hadis tidak hanya telah mewarnai masyarakat
dalam berbagai kehidupan, terutama dalam dunia akademisi. Akan tetapi, juga telah menjadi
bahasan dalam kajian dan penelitian yang menarik dan tiada hentinya, termasuk metode
pemahaman hadis beserta aplikasinya. Untuk itu, penulis akan membahas mengenai metode
pemahaman hadis.

B. Rumusan Masalah
a. Beberapa pedoman dalam memahami al-Hadist
b. Mengenal beberapa kitab al-Hadist rujukan (kutub al-sittah)
c. Al-Hadist sebagai sumber ajaran dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Beberapa Pedoman Dalam Memahami Al-Hadist

A.1 Prinsip prinsip Metodologi Memahami Hadist

Memahami hadis tidak semudah dengan membalikkan telapak tangan, sehingga


ulama melakukan kajian secara serius mengenai bagaimana cara untuk memahami hadis. Dari
itu para ulama memberikan beberapa prinsip umum sebagaimana tulisan dari Abdul
Mustaqim7 dalam memahami hadis Nabi saw.:
1. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan dengan akal,
sebelum
melakukan penelitian yang mendalam.
2. Prinsip memahami hadis secara tematik (maudhu’i) sehingga memperoleh gambaran utuh
mengenai tema yang dikaji Ali Mustafa Yaqub menyatakan hadis
saling menafsirkan karena sumbernya adalah Raasulullah dan untuk memahaminya harus
dengan melihat riwayat yang lain.
3. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan, mempertimbangkan struktur teks dan konteks.
4. Prinsip membedakan Antara ketentuan hadis yang bersifat legal formal dengan aspek yang
bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju), membedakan sarana dan tujuan.
5. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal kultural, temporal dan universal.
6. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah beliau sebagai manusia biasa, nabi atau
rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain sebagainya. Sehingga pengkaji dan peneliti
hadis harus cermat menangkap makna yang terkandung dibalik teks tersebut.
7. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis, baik sanad dan matan, serta berusaha
memahami segala aspek yang terkait dengan metode pemahaman hadis.
8. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lebih kuat.
9. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains modern untuk memperoleh kejelasan makna
tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadung dalam hadis hadis sains.
Beberapa poin mengenai prinsip prinsip memahami hadis Nabi tersebut bukanlah merupakan
hal yang final, boleh dikembangkan pada hal yang lebih luas sesuai dengan kebutuhan
memahami hadis Nabi.
A.2 Teknik Interpretasi

Tekhnik interpretasi dapat diartikan sebagai metode atau cara menafsirkan sesuatu,
dimana pada tulisan ini adalah tekhnik interpretasi terhadap Hadis.

1. Interpretasi Tekstual
Interpretasi tekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan teksnya
semata. Teknik interpretasi ini cenderung mengabaikan latar belakang peristiwa hadis
(asbab al wurud). 9 Dasar penggunaan teknik ini adalah setiap ucapan dan perilaku Nabi
saw. tidak terlepas dari konteks kewahyuan bahwa segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah adalah wahyu.Sebagaimana dalam QS al Najm/53: 3 4 yang artinya:
Dan tiadalah yang diucapkan itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Karena itu, apa yang dinyatakan secara eksplisit sebagai hadis Nabi seharusnya dipahami
seperti apa adanya kecuali dijumpai kesulitan, maka harus ditakwilkan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam teknik interpretasi ini adalah bentuk bentuk lafal, susunan kalimat,
frase dan klausa, gaya bahasa, kejelasan lafal, petunjuk (dalalah), makna kandungan lafal
baik bersifat hakiki maupun majazi.11 Pendekatan yang digunakan untuk teknik
interpretasi ini adalah pendekatan linguistik, teologi normatif dan teologis (kaidah kaidah
ushul fiqh).12 Contoh pengaplikasian interpretasi ini adalah bentuk matan hadis yang
berupa jawami’ al kalim, yakni artinyai berikut:Telah bercerita kepada kami Sadaqah bin
al Fadl, telah mengabarkan kepada kami Ibn ‘Uyainah dari ‘Amr dia mendengar Jabir bin
‘Abdullah ra. berkata; Nabi saw. bersabda:”Peran adalah siasat”.

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya yakni setiap
perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, berlaku universal sebab
tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat
apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama dengan menyatakan takluk
kepada lawan tanpa syarat.
2. Interpretasi Kontekstual
Interpretasi kontekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis dengan
memperhatikan asbab al wurud yang dihubungkan dengan konteks kekinian.15 Dasar
penggunaan tehnik ini adalah Nabi Muhammad saw. adalah teladan terbaik, uswatun
hasanah, sebagaimana dinyatakan dalam QS al Ahzab/33: 21 yang artinya:

Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak
mengingat Allah.

Rasulullah saw. diutus oleh Allah swt dengan membawa misi kerahmatan bagi seluruh
alam, sebagaimana dinyatakan dalam QS al Anbiya‘/21: 107 yang artinya: Dan Kami
tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
alam.

Kedua ayat di atas, masing masing menegaskan bahwa segala sesuatu yang telah
diperankan oleh Rasulullah saw. adalah patut untuk diteladani dan merupakan bagian dari
perwujudan misi kerahmatannya. Oleh karena itu, semua pemahaman terhadap hadis hadis
beliau yang menyalahi kedudukannya sebagai uswah hasanah atau misi kerahmatannya
perlu ditinjau kembali. Dalam konteks inilah, maka pemahaman terhadap hadis Nabi
memerlukan pertimbangan konteksnya, baik di saat hadis tersebut diwurudkan maupun
tatkala hadis hadis itu akan diamalkan. Ini berarti bahwa hadis Nabi merupakan bukti
kepatutan beliau menjadi teladan terbaik dan bukti kerahmatan misi yang dibawa oleh
beliau, sekalipun beberapa di antaranya dianggap bertentangan dengan kemajuan zaman.
Hal yang perlu diperhatikan dalam teknik interpretasi ini adalah peristiwa peristiwa
yang terkait dengan wurud hadis (asbab al wurud), kondisi yang dialami dan dihadapi oleh
Rasulullah saw pada saat beliau mengucapkan hadis itu atau pada saat beliau melakukan
suatu amalan yang disaksikan oleh para sahabat atau memang bersama sama dengan para
sahabatnya.19 Pendekatan yang dapat digunakan dalam teknik interpretasi ini adalah
pendekatan historis, sosiologis, filosofis yang bersifat interdisipliner
3. Interpretasi Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah pemahaman terhadap matan hadis dengan
memperhatikan sistematika matan hadis bersangkutan atau hadis lain yang semakna atau
ayat ayat al Qur‘an yang terkait. Ambo Asse menamai teknik interpretasi ini dengan
interpretasi antarteks. Teknik interpretasi ini disebut juga teknik munasabah. Dasar
penggunaan teknik ini adalah penegasan bahwa hadis Nabi adalah perilaku terhadap Nabi
yang merupakan satu kesatuan dengan hadis lain atau ayat ayat al Qur‘an. Bukankah hadis
Nabi berfungsi sebagai bayan terhadap ayat ayat al Qur‘an. Allah swt berfirman dalam QS
al Nahl/16: 44 yang artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al Qur‘an agar kamu
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw. diberi tugas sebagai orang yang
memiliki kewenangan untuk menjelaskan ayat ayat al Qur‘an. penjelasan Beliau itulah
yang kemudian disebut sebagai hadis Nabi. Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis
seharusnya tidak memisahkan atau mengabaikan petunjuk al Qur‘an yang terkait
dengannya.
Di samping itu, Nabi sebagai utusan Allah menyampaikan hadis secara bertahap
sehingga memungkinkan suatu hadis dengan hadis yang lain dalam satu tema, berbeda dan
tampak bertentangan. Dengan memahami hadis dengan interteks atau antarteks,
diharapkan syarahan hadis dapat mengungkapkan kandungan yang lebih komprehensip
dan sesuai dengan misi kerasulan beliau.
Hal yang perlu diperhatikan dalam teknik interpretasi ini adalah hubungan antara
teks teks hadis yang lain, baik yang berada dalam satu makna atau tema yang sama dengan
melihat keragaman lafalnya. Dan yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara teks
teks hadis yang dikaji dengan ayat ayat al Qur‘an sebagai sumber ajaran dan sumber
hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan hubungan fungsional antara hadis dengan
al Qur‘an.
B. Mengenal Beberapa Kitab Al-Hadist Rujukan (Kutub Al Sittah)

1. Sahih Bukhary (Al Jami’ush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw)

Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara di
Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah tertarik
mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah Islam untuk
mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta
semua rawi-rawinya.

Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa diulang-ulang.
Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan sholat sunnah 2 rokaat.

Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary
karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Jumhur ulama sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan dan
mutunya.

2. Sahih Muslim

Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820
M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke seluruh kota
kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu haditsnya masih dibawah
Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih
Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000
hadits yang tidak diulang-ulang. Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin,
karya Imam Nawawi.

3. Sunan An Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan / Sunan-sunan pilihan)

Penulisnya adalah Imam Abu ‘Abdir Rahman Ahmad Bin Syu’aib bin Bahr (215 H-303 H
/ 839 M-915 M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu
bertanya , “Apakah isi sunan ini sahih seluruhnya ?”, Imam An Nasay menjawab : “Isinya ada
yang sahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya.” Kemudian sang Amier
berkata lagi “Pisahkanlah yang sahih saja”. Sesudah itu An Nasay pun menyaring sunannya dan
menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).

4. Sunan Abu Dawud

Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats Bin Ishaq As-Sijistany
(202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah,
kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah dan beliau
berkata : “Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk
ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati
sahih, dan jikadalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka saya jelaskan.
Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut bernilai sahih dan
sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain.”

5. Sunan At Turmudzy

Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M-
892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : “Aku tidak memasukkan ke dalam kitab
ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fukaha”. Beliau
menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya
sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang
ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.

6. Sunan Ibnu Majah

Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M-
887 M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa
hadits dhaif, gharib dan ada yang munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya
Imam Malik lebih tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat
bahwa kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir
berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam. Kitab-Kitab Hadits
yang lain yang penting :

- Sunan Ad Darimy
- Al Muntaqa karya Ibnu Jarud
- Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, aslinya bernilai tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad
wafat, anaknya Abdullah dan muridnya Abu Bakr Al Qathi’y menambahkan beberapa
hadits lagi, hingga didalamnya tersisip banyak hadits dhaif dan ada empat buah hadits
maudlu’.
- Al Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits mursal dan munqathy yang
dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.

C. Al-Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam


Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam
beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah : Firman
Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179
2. Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya,
adalah sabdanya “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.” (HR. Malik).
3. Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman
Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak
ada yang mengingkarinya.
4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban
misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun
formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun
juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang
tidak dibimbing oleh wahyu.
Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan
hadits paling tidak dapat dipahami dari 7 aspek, yaitu:
1. ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan).
2. Sikap Sahabat terhadap sunnah.
3. Al-Qur’an.
4. Al-Sunnah.
5. Kebutuhan al- Qur’an terhadap al-Sunnah.
6. Realitas-Sunnah sebagai wahyu.
7. Ijma’
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
Metode pemahaman hadis adalah cara yang ditempuh seseorang untuk memahami atau
menafsirkan hadis Nabi saw. Kedua, Interpretasi tekstual adalah metode pemahaman hadis nabi
yang berdasarkan teks semata. Interpretasi kontekstual adalah metode memahami hadis
berdasarkan latar belakang munculnya hadis (asbab al wurud) yang dikaitkan dengan masa
kekinian. Sementara itu, interpretasi intertekstual atau antarteks adalah metode memahami hadis
dengan sistematika matan hadis bersangkutan atau hadis lain yang semakna atau ayat ayat al-
Qur‘an yang terkait. Setelah mengetahui hadist-hadist rujukan diharapkan pembaca mengerti dan
mengetahui bahwa hadist dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam dan pedoman manusia
sesuai dengan dalil yang telah disebut diatas.

DAFTAR PUSTAKA

References
Ahmad, A. (2012). Metodologi Pemahaman Hadis. Kajian Ilmu Ma’ani al Hadis.

Anwar, S. (2018). HADIS SEBAGAI PEDOMAN HIDUP DAN PENGEMBANGAN KEILMUAN•. 4-11.

Asriady, Muhammad;Institut Parahikma Indonesia (IPI), Indonesia. (2017). METODE PEMAHAMAN


HADIS. METODE PEMAHAMAN HADIS, 314-321.

Anda mungkin juga menyukai