Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ULUMUL HADIST
METODE MEMAHAMI HADIST NABI 1
DOSEN PENGAMPU: Dr. Syarif, S.Ag, M.A
Ihsan Nurmansyah, M.Ag

Kelompok 11:
Rizal Kurniadi (12101094)
Nila Pratini (12101075)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA NEGERI PONTIANAK
2022
BAB 1
PEMBAHASAN
A. Metode Memahami Hadist Nabi

Secara epistemologi, hadist dipandang oleh mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran
Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebab hadist merupakan bayan ( penjelas ), terhadap ayat-
ayat Al-Qur’an yang masih mujmal ( global ), ‘am ( umum ), serta muthlaq ( tanpa batasan ).
Bahkan secara mandiri hadist dapat berfungsi sebagai penetap ( mukarrir ) suatu hukum yang
belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.1

Hadist sebagai sumber kedua, nampaknya selalu menarik untuk dikaji, baik yang
menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad dan matan) maupun metodologi
pemahaman (syarh) hadist itu sendiri. Para ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan
penafsiran atau pemahaman hadist yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni dengan menulis
kitab syarah terhadap kitab tersebut.2

Meskipun demikian, upaya untuk menemukan metode yang digunakan ulama dalam
penyusunan kitab syarah hadist tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Namun dari
beberapa metode yang dipergunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarh tersebut dapat
diklasifikasikan beberapa metode pemahaman hadis, yakni metode tahlili, metode ijmali, dan
metode muqari. Metode ini diadopsi dari metode penafsiran Al-Qur’an dengan melihat karakter
persamaan yang terdapat antara penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran atau syarh hadis. Artinya
metode penafsiran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarh hadis dengan mengubah redaksi/kata
Al-Qur’an menjadi hadis, tafsir menjadi syarh.3

Berbicara tentang metode, metode itu sendiri berasal dari bahasa yunani methodos, yang
berarti cara atau jalan. Yang kita kaitkan dengan pembahasan yaitu cara atau jalan memahmi
hadist nabi. Sedangkan jika bicara tentang syarh (syarah), dalam bahasa arab yang artinya
menerangkan, membukakan, melapangkan. Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk

1
agl husain munawwar, ASBABUL WURUD (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), 1.
2
Burhanuddin Burhanuddin, “Metode dalam memahami Hadis,” Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan
Tafsir 3, no. 1 (2018): 1, doi:10.47435/al-mubarak.v3i1.210.
3
Ibid., 1–2.

1
hadist, sedangkan tafsir untuk kajian al-Qur’an. Namun secara subtansial keduanya sama-sama
menjelaskan maksud, arti atau pesan. Tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir
(tafsir) spesifik bagi al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat al-
Qur’an), sedangkan istilah syarah (syarh) meliputi hadist (menjelaskan maksud, arti, kandungan,
atau pesan hadis) dan disiplin ilmu lain.4

Adapun Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadis ada tiga, yaitu metode tahlili,
metode ijmali, dan metode muqarin.

1. Metode Tahlili { Analisis }

Metode tahlili adalah menjelaskan hadist-hadist Nabi dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung dalam hadist tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di
dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.5

Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti


sistematika hadist sesuai dengan urutan hadist yang terdapat dalam sebuah kitab hadist yang
dikenal dari al-Kutub al-Sittah. Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat,
hadis demi hadist secara berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang
dikandung hadis seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis (jika
ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar
pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama
hadist.6

Ciri-ciri metode tahlili, Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode
tahlili biasanya berbentuk ma'sur (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang
berbentuk ma'sur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari
sahabat, tabi'in atau ulama hadist. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi
oleh pemikiran rasional pensyarahnya.7

Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

4
Nizar Ali, konstribusi imam nawawi dalam penulisan syarh hadis (yogyakarta, 2007), 3.
5
Nizar Ali, memahami hadis nabi (metode dan pendekatan) (yogyakarta: center for educational studies and
development, 2001), 3.
6
Burhanuddin, op. cit., 3.
7
Ibid.

2
a. Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di
dalam hadist secara komprehensif dan menyeluruh.
b. Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara
berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurûd dari hadist-hadist
yang dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab wurûdnya.
c. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat,
tabi' in dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
d. Di samping itu dijelaskan juga munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadiis
lain.
e. Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah
pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti
corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.8

Dari kutipan syarah di atas dapat diketahui bahwa dalam menerangkan hadis, pensyarah
mengemukakan analisis tentang periwayat (rawi) sesuai dengan urutan sanad, sabab al-wurûd,
juga menyajikan hadist-hadist lain yang berhubungan dengan hadist tersebut, bahkan ayat al-
Qur’an yang berkenaan dengan hadist.

2. Metode Ijmali { Global }

Metode ijmali (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadist-hadist sesuai dengan
urutan dalam kitab hadist yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat
merepresentasikan makna literal hadist dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang
dipahami.

Adapun Ciri-ciri metode ijmali diantaranya:

a. Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
b. Penjelasan umum dan sangat ringkas.

8
Ibid.

3
c. Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya.
Namun demikian, penjelasan terhadap hadist-hadist tertentu juga diberikan agak luas,
tetapi tidak seluas metode tahlili.9

3. Metode Muqarin { Komparatif }

Metode Muqarin adalah metode memahami hadist dengan cara, pertama membandingkan
hadist yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. Yang kedua Membandingkan berbagai
pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadist.10

Adapun ciri-ciri metode muqarin antara lain:

a. Membandingkan analitis redaksional (mabahis lafziyyah) dan perbandingan periwayat


periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadist yang diperbandingkan.
b. Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
c. Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena
uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadist
maupun korelasi (munasabah) antara hadist dengan hadist.11

Selain dari beberapa metode yang telah dipaparkan di atas untuk memahami sebuah hadist
nabi agar tidak meleset dari apa yang dimaksud dan dikeehdaki oleh pesan sabda nabi
diantaranya:

1. Pemahaman Tekstual

Pemahaman hadis dengan cara tektual artinya memahami sebuah hadist dengan
apa adanya pada teks hadist (lafzhiyah). Pada dasarnya hadist dapat dipahami secara
tektual, namun apabila tidak dapat dipahami secara tektual, maka bisa ditempuh dengan
pemahaman kontektual. Kebanyakan hadist yang dibaca oleh umat Islam adalah tektual.
Dapat kita ambil contoh:

}‫صلوا كما رأيتموىن اصلى {رواه مسلم‬

9
Ibid., 7.
10
Ibid., 8.
11
Ibid., 8–9.

4
artinya “Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Nah hadist ini bisa kita
pahami dengan jelas melalui teks {lafazh} nya. Artinya kita bisa memahami hadits dalam
bentuk teks hadist nya.12

2. Pemahaman Dengana Cara Kontekstual

Apabila sebuah hadist tidak dapat dipahami dengan tektual, maka harus dipahami
dengan kontektual yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafazh (teks) hadist
itu sendiri, bisa dipahami dengan ada kaitanya dengan asbab wurud al hadis, secara
geografis, sosio-kultural dan lain-lain.13

2.1. Pemahaman dengan cara asbab wurud al hadis.

Perlu diketahui bahwa tidak semua hadist mempunyai latar belakang historis,
ada hadist yang diriwayatkan karena faktor-faktor tertentu, ada yang tidak
mempunyai faktor dan latar belakang tertentu, dia datang begitu saja, seperti Al-
Qur’an ada yang turun ibtida’an tanpa ada sebab, ada yang turun karena ada sebab
kejadian, pertanyaan atau peristiwa-peristiwa yang dialami oleh rasul dan para
shabatnya, demikian halnya dengan hadist.14

Berkaitan dengan pemahaman hadist yang benar apakah hadist yang akan
dikaji itu mempunyai latar belakang asbab wurud atau tidak, karena mengetahui
asbab wurud hadist akan memudahkan pemahaman terhadap hadist, seperti asbab
nuzul ayat apabila diketahui maka akan memudahkan pemahaman terhadap ayat
tersebut. Tela’ah historis melalui sebab wurud hadist sangatlah penting dilakukan
karena dengan mengetahuinya, maka akan diketahui makna hadist yang umum,
khusus, mutlak, muqayyad, sehingga diketahui makna hadis sesuai porsinya. Seperti
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

‫قال رسول هللا ص م اذا جاء احد كم اجلمعة فليغتسل‬

12
Ahmad Sobari Ahmad Sobari, “Metode Memahami Hadis,” Mizan: Journal of Islamic Law 2, no. 2 (2018): 142,
https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/mizan/article/view/142/58.
13
Ibid., 143.
14
Ibid.

5
artinya “Rasulullah saw bersabda apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan
shalat) Jumat maka hendaklah dia mandi.”15

Menurut Imam Daud al-Zhohiri hadits tersebut menunjukkan wajib bagi


setiap muslim yang hendak pergi untuk menunaikan shalat Jumat melakukan mandi
sebelumnya. Hadist ini mempunyai sebab wurudnya. yaitu ketika dua orang
penduduk Irak datang kepada Ibnu Abas dan bertanya tentang mandi pada waktu
hendak melakukan sotal Jumat. Ibnu Abbas menjawab, bahwa orang yang mandi
ketika hendak shalat Jumat adalah sangat baik dan bersih. Diriwayatkan pada saat itu
perekonomian para sahabat umumnya masih dalam keadaan sulit, sehingga mereka
hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci, sedangkan pada
waktu itu sebagian mereka banyak yang bekerja di kebun, mereka ada yang langsung
pergi ke Masjid untuk menunaikan ibadah shalat Jumat, pada suatu Jumat cuaca
sangat panas, sementara masjid pada saat itu sangat sempit, ketika nabi berkhutbah
aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol dan belum mandi tadi tercium
oleh rasulullah saw, sehingga suasana hening dalam masjid menjadi terganggu oleh
aroma yang tidak sedap itu, sehingga nabi mengatakan hadist tersebut. Ketika
diambil pengertian secara zhohir (Tektual) “maka hendaklah ia mandi“. Maka
sebagian ulama menggunakan kaidah ushul fiqh bahwa kalimat ‫ فليغتسل‬adalah fi’il
yang menunjukan suruhan, dalam kaidah ushul bisa mengandung arti wajib bisa
mengandung suruhan hanya sunnah atau anjuran.16

2.2. pemahaman dengan geografis

Geografis dapat memberikan pemahaman terhadap hadist dimana hadist itu


diucapkan karena kalau dipahami secara tektual (lafzhiyah), malah tidak tepat untuk
lokasi lain seperti hadist riwayat Imam al Timirdzi. ‫ ما بني املشرق واملغرب قبلة‬: artinya
“Arah antara timur dan barat adalah kiblat”.17

Hadist ini disabdakan rasul ketika di kota Madinah sebelah utara Ka’bah
(Mekkah), maka makna tektual hadist ini sangat tepat sekali bagi penduduk Madinah,
akan tetapi tidak tepat dan tidak berlaku untuk kota dan negeri lain seperti Indonesia.
15
Ibid., 143–44.
16
Ibid., 144.
17
Ibid.

6
Oleh karena itu, pemahaman hadist ini harus melalui pendekatan kontektual yaitu
dengan melihat lokasi dimana hadist ini disabdakan.18

2.3. Pemahaman dengan Sosio-Kultural.

Pemahaman hadist secara kontektual bisa melalui sosio-kultural yaitu dengan cara
mengaitkan hadist dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu misalnya hadist
yang membolehkan meludah di masjid pada waktu shalat ke sebelah kiri atau ke
bawah telapak kaki kiri. Yang mana artinya: “Dari Anas bin Malik Dia berkata
Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang kamu dalam keadaan shalat
sesungguhnya dia sedang bermunajat kepada tuhannya, maka janganlah meludah
diantara tanganya dan kesebalah kanannya, akan tetapi kesebelah kiri dibawah
telapak kakinya”. (H.R Muslim).19

Untuk konteks waktu itu meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena
masjid ketika itu masih berlantaikan tanah dan padang pasir belum mengenal lantai
keramik atau marmer, sehingga ludah yang jatuh pada saat itu bisa diserap langsung
oleh tanah padang pasir, disamping udara kering dan panas, menyebabkan bakteri-
bakteri tidak tahan hidup, berbeda dengan masjid zaman sekarang yang lantainya
menggunakan keramik atau marmer, jika meludah dibenarkan justru akan mengotori
masjid dan akan membahayakan kesehatan serta menjauhnya jama’ah dari masjid
karena kotor.20

18
Ibid., 145.
19
Ibid., 145–46.
20
Ibid., 146.

7
BAB 2

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Metode adalah bagaimana cara atau jalan kita untuk mengetahui dan memahami sesuatu,
yang mana dalam konteks ini kita dalam memahami suatu hadist nabi.
Adapun metode dalam memahami hadis-hadist nabi adalah dengan beberapa cara, yang
pertama bisa dengan cara metode tahlili {analisis}, bisa dengan metode ijmali {global} dan
metode maqarin {komparatif}.
Selain dari beberapa metode yang bisa kita gunakan untuk memahami hadist nabi ada
juga bentuk pehamanan yang dibilang sangat mudah untuk dilakukan diantaranya adalah
dengan pemahaman tekstual, pemahaman kontekstual, asbabul wuwrud, pemahaman
geografis, serta pemaham sosio-kultural.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah yang kami buat ini dengan judul metode memahami
hadist nabi, mudah untuk diphami dan di mengerti, sehingga kawan-kawan pembaca mudah
untuk memahami teks-teks hasit yang disampaikan oleh nabi kita Muhammah SAW.

8
DAFTAR PUSTAKA

agl husain munawwar. ASBABUL WURUD. yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021.

Ali, Nizar. konstribusi imam nawawi dalam penulisan syarh hadis. yogyakarta, 2007.

———. memahami hadis nabi (metode dan pendekatan). yogyakarta: center for educational
studies and development, 2001.

Burhanuddin, Burhanuddin. “Metode dalam memahami Hadis.” Jurnal Al-Mubarak: Jurnal


Kajian Al-Qur’an dan Tafsir 3, no. 1 (2018): 1–11. doi:10.47435/al-mubarak.v3i1.210.

Sobari, Ahmad Sobari Ahmad. “Metode Memahami Hadis.” Mizan: Journal of Islamic Law 2,
no. 2 (2018): 141–52.
https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/mizan/article/view/142/58.

Anda mungkin juga menyukai