Anda di halaman 1dari 24

MODEL PENYAJIAN AL QUR’AN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al Qur’an, Metodologi dan Tematik

Dosen Pengampu : Dr. Tobibatussaadah, MA

Dr. Ratu Vina Rohmatika, M.Pd

Oleh:

Fajar Abrori

NPM: 2271010058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT

AGAMA ISLAM NEGERI METRO

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah-Nya kepada
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Shalawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kepada
kita jalan yang paling baik diantara jalan yang ada di dunia ini untuk menuju
kepada ridhotillah Tuhan semesta alam. Dengan pertolongan-Nya, penyusun dapat
menyelesaikan makalah initanpa suatu halangan apa pun.

Terima kasih penyusun ucapkan kepada seluruh pihak yang telah


membantu dan memberikan pengarahaan serta bimbingannya sehingga tugas
makalah mata kuliah “Studi Al Qur’an, Metodologi dan Tematik” dapat
terselesaikan tepat waktu.

Akhirnya, Penyusun berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan


saran serta masukan yang membangun guna perbaikan kemudian hari. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan penyusun
pada khususnya.dan semoga Allah selalu meridhoi setiap langkah kita. Amin...

Metro, 11 November 2022

Penyusun

Fajar Abrori
227101005
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Ada dua variabel penting yang perlu dikaji secara serius dalam
penafsiran Al-Qur’an ini. Variabel pertama berkaitan dengan teknis
penulisan tafsir. Variabel teknis ini menyangkut sistematika dan bentuk
tekstual literatur tafsir ditulis dan disajikan, gaya bahasa yang digunakan,
sifat-sifat penafsir, serta buku-buku rujukan yang digunakan. Untuk
memetakan dan menjelaskan kecenderungan metodologi penafsiran
Quraish Shihab, ada dua variabel yang menjadi pisau analisisnya.
Veriabel pertama dapat dipetakan dalam beberapa bagian. Pertama,
sistematika penyajian tafsir. Sistematika penyajian tafsir ini, paling tidak,
memiliki dua bentuk dasar, yaitu: (1) sistematika runtut sesuai dengan
susunan mushaf Al-Qur’an, dan (2) sistematika penyajian tematik sesuai
dengan tema-tema tertentu yang telah dipilih penafsir. Kedua, bentuk
penyajian tafsir. Bentuk penyajian tafsir terdiri dari dua bagian, yaitu: (1)
penyajian bentuk global, dan (2) penyajian bentuk rinci. Ketiga, gaya
bahasa yang digunakan dalam penulisan tafsir. Gaya bahasa yang
digunakan dalam penafsiran meliputi: (1) gaya bahasa ilmiah, (2) gaya
bahasa populer, (3) gaya bahasa kolom, dan gaya bahasa reportase.
Keempat, sifat mufasir. Dilihat dari sifat mufasirnya karya tafsir
mencakup: (1) literatur tafsir yang ditulis oleh penafsir secara individual,
dan (2) literatur tafsir yang ditulis oleh penafsir secara kolektif atau oleh
tim yang secara khusus disusun oleh suatu lembaga tertentu untuk menulis
tafsir. Variabel kedua berkaitan dengan aspek ‘dalam’, yaitu konstruksi
hermeneutika karya tafsir. Aspek hermeneutika tidak terbatas hanya pada
variabel linguistik dan riwayat, tetapi juga menggunakan unsur triadik
(teks, penafsir dan audiens sasaran teks). Suatu penafsiran tidak lagi
berpusat pada teks, tetapi juga penafsir di satu sisi dan audiens di sisi lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan model penyajian al qur’an?
2. Bagaimana model penyajian Al Qur’an?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan model penyajian al qur’an.
2. Untuk mengetahui model penyajian Al Qur’an
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan memahami Al Qur’an


Abdullah Saeed mencatat ada empat pendekatan tradisional yang
digunakan dalam penafsiran al-Qur’an: pendekatan berbasis linguistik,
pendekatan berbasis logika, pendekatan berbasis tasawuf, dan pendekatan
riwayat.1 Saeed menambahkan, bahwa, secara alamiah, banyak hal yang
tumpang tindih dalam pendekatan-pendekatan di atas, yang kemudian
memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya
tafsir al-Qur’an.
1. Pendekatan Linguistik
Penggunaan pendekatan linguistik atau kebahasaan memiliki alasan
yang kuat, mengingat al-Qur’an merupakan pesan-pesan Allah yang
dikemas dalam media bahasa. Cara paling mendasar untuk
memecahkan pesan-pesan tersebut adalah mencocokkannya dengan
pengetahuan kebahasaan yang secara konvensional telah berlaku dalam
kehidupan bangsa Arab. Tanpa bahasa Arab, tak ada yang dapat
dipahami dari al-Qur’an.2
Menggunakan pengetahuan kebahasaan untuk menafsirkan al-Qur’an
bukan berarti selalu memaknai setiap kata dan kalimat-kalimatnya
secara harfiah (literal). Orang Arab mengenal mantuq (makna tersurat)
dan mafhum (makna tersirat), sehingga pemahaman tidak harus
didapat dari kata-kata yang tertulis. Seperti dalam bahasa lain,
sebagian lafaz dalam bahasa Arab kadang juga memiliki makna haqiqi
(literal) dan sekaligus majazi (metafor). Dalam konteks makna haqiqi,
sebuah lafaz ada kemungkinan memiliki makna syar’i (legal), ‘urf
(konvensional) dan atau lughawi (etimologis) sekaligus. Secara literal,

1
Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual (Bandung: Mizan, 2016), 30
2
Ata’ bin Khalil, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, (Beirut: Dar al Ummah, 2006), 32
kata tangan bermakna salah satu anggota badan, tapi secara metafor,
tangan juga bisa bermakna kekuasaan (qudrah).3
2. Pendekatan Berbasis Logika
Ketika suatu lafaz memiliki banyak alternatif makna, mana yang akan
dipilih untuk diterapkan dalam memahami suatu ayat? Agar dapat
menjawabnya, seorang mufasir harus mengaktifkan seluruh daya
pikirnya (ijtihad). Apa yang dilakukan oleh kelompok Mu’tazilah,
yang gemar mengalihkan makna literal ayat menuju makna
metafornya, atau yang biasa disebut dengan istilah ta’wil, tidak lain
hanyalah usaha untuk menjatuhkan pilihan makna yang dianggap
paling tepat di antara alternatif makna yang tersedia dalam khazanah
bahasa Arab berdasarkan suatu indikator (qarinah). Misalnya makna
harfiah alQur’an yang dalam kacamata suatu mazhab teologis
berimplikasi pada penyematan sifat makhluq kepada Allah SWT
(antropomisme/tasybih). Barangkali inilah salah satu bentuk
pendekatan tafsir berbasis logika yang dipraktekkan dalam tradisi
tafsir. Di sini kita dapat menyaksikan pertalian antara pendekatan
bahasa dengan logika. Tidak heran jika secara tradisional, penafsiran
kebahasaan, seperti Tafsir Jalalain, tercakup pula dalam kategori tafsir
bi al- ra’yi. 4
Pendekatan logika kadang juga sering dihubungkan dengan
kecenderungan untuk menghubungkan al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan atau menjelaskan hal-hal gaib yang tidak bisa dinalar
dengan cara tertentu, sehingga tidak bertentangan dengan sains
modern. Muhammad Abduh misalnya, memaknai batu-batu dari sijjil
yang dibawa oleh burung-burung Ababil sebagai mikrobia atau virus
pembawa penyakit.5

3
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, 2008),
306
4
Muhammad Husain al-Dhahabi, ‘Ilm al-Tafsir (ttp: Dar al-Ma’arif, tt), h. 67., lihat juga
al-‘Uthaimin, Sharh Muqaddimah Usul al-Tafsir (Riyad: Dar al-Minhaj, 1432 H), 160
5
Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-Rahin (Aman: Maktabah
al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982), 267
3. Pendekatan Berbasis Tasawuf
Seorang mufasir yang mendekati al-Qur’an secara mistis melihat ayat-
ayat alQur’an sebagai simbol atau isyarat, merujuk pada perkara yang
melampaui makna kebahasaannya. Dengan kata lain, menurut para
pengguna pendekatan ini, al-Qur’an memiliki dua tingkat makna,
yakni makna lahir dan makna batin.3 Makna lahir alQur’an adalah
makna kebahasaan yang dibahas oleh para mufasir pada umumnya,
sedangkan makna batin adalah pesan tersembunyi di balik kata-kata.
Makna ini hanya bisa ditangkap melalui penyingkapan (kashf) yang
dialami oleh mereka yang melakukan latihan mental sampai tingkat
tertentu hingga Allah memberinya pengetahuan yang bersifat intuitif.6
4. Pendekatan Berbasis Tradisi (Riwayah).
Riwayat, khususnya hadis Nabi saw, memiliki peranan penting dalam
tafsir tradisional. Riwayat dari Rasulullah saw berperan dalam
menjelaskan makna al-Qur’an yang global, mengkhususkan hal yang
umum, membatasi hal yang mutlak. Riwayat juga menjadi sumber
informasi tentang kondisi spesifik yang melatarbelakangi turunnya
ayat al-Qur’an (sabab al-nuzul) yang penting dalam memahami
lingkup masalah yang dicakup oleh suatu ayat. Pengetahuan tentang
ayat-ayat yang mansukh tak lepas pula dari peranan riwayat dalam
penafsiran al-Qur’an.
Para ahli tafsir klasik juga memakai penjelasan yang bersumber dari
para sahabat dan sebagian tabi’in, sekalipun mereka sadar, besar
kemungkinan apa yang diriwayatkan itu merupakan ijtihad (ra’yu)
sejauh bukan merupakan ijma’ mereka. Tidak mengherankan jika di
antara mereka yang dinukil penafsirannya itu sering muncul perbedaan
pendapat. al-Tabari sendiri, selaku penyusun kitab tafsir bil ma’thur
paling masyhur, sering mengaktifkan ra’yu-nya dalam mentarjih satu
pendapat yang dianggapnya benar, seperti saat membahas makna

6
Muhammad Husain al-Dhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), 92
“kursiy”, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kalimat-
kalimat sebelumnya, dan dengan menghadirkan ungkapan-ungkapan
orang Arab, al-Tabari lebih memaknainya dalam arti pengetahuan
(‘ilmu) yang didasarkan pula pada salah satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas
ra.7
5. Pendekatan Kontekstual.
Pendekatan ini didasarkan pada pandangan bahwa, lafaz-lafaz al-
Qur’an diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan spesifik yang
dihadapi oleh Nabi saw dan para sahabat di lingkungan mereka dan
pada waktu hidup mereka. Terdapat jarak waktu yang sangat jauh
antara masa itu dengan hari ini. Persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh umat manusia sudah jauh berbeda, realitas kehidupan manusia
pun sudah tidak lagi sama. Oleh karenanya, aturan-aturan hukum yang
secara literal ada di dalam al-Qur’an dianggap terikat dalam konteks
tertentu, tidak bisa diaplikasikan lepas dari konteksnya. Padahal
sebagai wahyu terakhir, al-Qur’an harus senantiasa salih likulli zaman
wa makan. Untuk itu, pendekatan ini memandang bahwa petunjuk al-
Qur’an tidak cukup hanya dicari di dalam teks. Harus ada usaha untuk
memahami konteks sejarah saat mana al-Qur’an itu diturunkan, baik
keadaan sosial, politik, ekonomi, budayanya, dan lain sebagainya.
Persoalan spesifik yang ingin dipecahkan oleh tiaptiap hukum dalam
al-Qur’an pada konteks tersebut juga harus dipahami; alasan
pemberlakuan hukum (ratio-legis) al-Qur’an atas suatu kasus harus
ditangkap, selanjutnya alasan tersebut digeneralisasikan dalam bentuk
tujuan-tujuan moral-sosial umum yang kohenren dengan pesan al-
Qur’an secara utuh. Tujuan moral-sosial umum itulah yang kemudian
dibawa ke masa kini untuk dituangkan dalam rumusan yang sesuai
dengan keadaan zaman. Abdullah Saeed menyebutnya sebagai
pendekatan kontekstual, dan menambahkan perlunya “konteks
penghubung”, yakni mempelajari bagaimana generasi sebelumnya

7
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Vol. IV, (Giza: Dar Hijr, 2001), 540
mengembangkan tradisi tafsir dalam konteks kesejarahan yang
membentang antara hari ini dan masa turunnya al-Qur’an.
Masih menurut Saeed, pemahaman atas teks al-Qur’an secara tekstual
sering gagal melihat pelbagai nilai dan prinsip etis dan moral umum
yang hendak ditanamkan oleh al-Qur’an ke dalam pikiran dan hati
orang-orang beriman. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, dan
kesetaraan berperan penting dalam penafsiran teks al-Qur’an dan
semestinya diberi perhatian yang memadai.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa pendekatan kontekstual
mengasumsikan adanya nilai-nilai kebajikan yang secara independen
eksis dengan sendirinya, tidak semata ditentukan oleh keputusan
hukum secara arbitrer, justru hukum Islam bertumpu di atas nilai-nilai
yang sudah ada itu. Tokoh-tokoh modern-kontemporer yang tergolong
dalam aliran kontekstualis ini diantaranya adalah Fazlur Rahman,
dengan teori double movement-nya, Muhammad al-Talibi dengan
konsep al-tafsir al-maqasidinya, serta Nasr Hamid Abu Zayd dengan
konsep al-tafsir al-siyaqi, dan beberapa sarjana kontemporer lain.

B. Ragam Corak dalam penafsiran al Qur’an


Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai
muncul, yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti
Abbasiyah. Momentum ini menemukan masa emasnya terutama pada
masa pemerintahan khalifah kelima dinasti Abbasiyah, yaitu Harun al-
Rashid (785-809 M). Sang khalifah memberikan perhatian khusus
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tradisi ini kemudian
dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-Makmun (813-830 M). Dunia
Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan dalam peta
pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman
keemasan (the golden age).8

8
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 61.
Disisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama
periode abad pertengahan yang bersentuhan langsung dengan keislaman
adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, sastra dan
filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi setiap
disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai
kerangka dalam memahami al-Qur’an, serta mencari dasar yang
melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an, maka muncullah kemudian
tafsir fiqhi, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan lain-lain.9
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai
sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual
seseorang mufasir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an.
Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi
sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau
tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang
kemudian muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.10
Kitab-kitab tafsir yang berhasil dikaryakan oleh sarjana-sarjana
muslim pada masa itu antara lain seperti tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil
al-Ayat al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari (w: 923 M), al-Kasysyaf
karya Zamakhshari (w:1144 M) yang bercorak ideologi Mu’tazilah,
kemudian Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi (w:1209 M)
dengan corak teologi sunni, dan Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli
(w:1459 M) bersama al-Suyuti (w:1505 M) dengan corak lughawi.
Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang
yang membaca kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam corak(alwan)-
nya tidak akan memiki keraguan bahwa segala hal yang berkaitan dengan
kajian-kajian tafsir tersebut telah dibahas dan dirintis oleh mufasir-mufasir
terdahulu (al-Aqdamun). 2 Adapun corak-corak tafsir yang berkembang
dan populer hingga masa modern ini adalah sebagai berikut:
1. Corak Lughawi

9
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 20.
10
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 61.
Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
kecenderungan atau pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir
model seperti ini biasanya banyak diwarnai dengan kupasan kata per
kata (tahlil al-lafz), mulai dari asal dan bentuk kosa kata (mufradat),
sampai pada kajian terkait gramatika (ilmu alat), seperti tinjauan aspek
nahwu, sarf, kemudian dilanjutkan dengan qira’at. Tak jarang para
mufasir juga mencantumkan bait-bait syair arab sebagai landasan dan
acuan. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an
dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan
al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang
terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui
bahasa al-Qur’an, seorang mufasir akan mudah untuk melacak dan
mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga
akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan
Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu,
sarf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi
seorang mufasir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam
penafsirkan al-Qur’an.
Diantara kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughah
adalah Tafsir al-Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan al-
Mahalli, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.

2. Corak Filsafat
Di antara pemicu munculnya keragaman penafsiran adalah
perkembangan kebudayaan dan pengetahuan umat Islam. Bersamaan
dengan itu pada masa Khilafah ‘Abbasiyah banyak digalakkan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab. Di antara buku-
buku yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku filsafat, yang
pada gilirannya dikonsumsi oleh umat Islam.
3. Corak Ilmiah
Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran al-Qur’an yang
sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi. Di samping itu, al-
Qur’an juga dianggap dan diyakini mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan. al-Qur’an mendorong umat Islam untuk memerdekakan
akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu berfikir,
dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah ta’ala
telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di
samping ayat-ayat qur’aniah.
Keberadaan ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan
bahwa ayat-ayat seperti ini ditujukan bagi kelompok tertentu yang
mampu berfikir secara mendalam. Merekalah yang dibebani untuk
menyingkapnya karena hanya mereka yang mampu melakukannya,
sebagaimana hanya ahli Balaghah-lah yang dapat mengungkap
keindahan bahasa al-Qur’an. Dengan semangat ini, bermunculan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat kauniah dengan bertolak dari
proposisi pokok-pokok bahasa, berdasarkan kapasitas keilmuan yang
mereka miliki dan hasil pemikiran dan pengamatan langsung terhadap
fenomena-fenomena alam. Menurut Muhammad Shahrur,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, untuk memahami ayat-
ayat alQur’an yang berisi informasi ilmu pengetahuan diperlukan
“ta’wil ‘ilmi” (penafsiran secara ilmiah). Dengan demikian, posisi
Nabi Muhammad SAW. sebagai Nabi sebenarnya belum melakukan
takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berisi informasi ilmu
pengetahuan tersebut. Nabi hanya diberi tugas untuk
menyampaikannya kepada manusia tanpa menakwilkannya. Kalaupun
Nabi melakukan takwil, maka takwil itu merupakan sesuatu yang
nisbi, sesuai dengan konteks zamannya. 11
4. Corak Fikih

11
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 128
Sebagaimana corak-corak lain yang mengalami perkembangan dan
kemajuan dengan berbagai macam kritik dan pro kontranya, corak
fiqhi merupakan corak yang berkembang. Tafsir fiqhi lebih popular
disebut tafsir ayat al-Ahkam atau tafsir ahkam karena lebih
berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an.12
Dilihat dari sisi pro-kontranya, tafsir corak fiqhi merupakan jenis
corak yang banyak diterima hampir semua mufasir. Tafsir ini berusia
sudah sangat tua, karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran
tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak sekali judul kitab yang layak untuk
disebutkan dalam deretan daftar namanama kitab tafsir ayat al-
Ahkam, baik dalam bentuk tahlili maupun maudu’i, antara lain :
Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (917-980 M), seorang faqih mazhab
Hanafi. Ahkam al-Qur’an karya ibn al-‘Arabi (1075-1148 M). al-Jami’
li ahkam alQur’an karya al-Qurtubi (w:1272 M). ahkam al-Qur’an
karya al-Shafi’i (w: 204 H.). dan masih banyak lagi karya tafsir di
bidang fikih atau Tafsir Ahkam.
Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat ‫ وأرجلكم‬dalam masalah
wudhu’ yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Jika dibaca
mansub (fathah) maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika
berwudhu’ adalah membasuh bukan mengusap. Akan tetapi jika
majrur (kasrah) maka yang wajib hanya mengusap.
5. Corak Tasawuf
Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya
gerakangerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak
terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh
Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era
penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka
muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi. Antara lain adalah Tafsir al-
Qur’an karya Sahal ibn Abdillah al-Tustari (w: 283H). Tafsir ini

12
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 200.
dinilai oleh sebagian orang tidak memuaskan karena tidak lebih dari
200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi al-Qur’an 30 juz.
Kemudian muncul pula Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman
alSulami (w: 412 H). Namun tafsir ini dinilai oleh Ibnu Salah} dan al-
Dhahabi sebagai tafsir yang banyak mengadung kecacatan, bahkan
dituduh banyak bid’ah, berbau shi’ah dan banyak memuat hadis palsu
(maudu’). 2 Demikian pula al-Dhahabi dalam kitab Tazkirah al-Huffaz
pernah berkomentar bahwa kitab Haqaiq al-Tafsir banyak terdapat
takwil kaum batini. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj al-Sunnah
menyatakan bahwa kitab tersebut banyak dusta. Ada juga pula Lataif
al-Isharat karya Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abd alMalik ibn
Talhah ibn Muhammad al-Qushairi (374 H- 465 H). Kitab ini dinilai
positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang dan
selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syariat dan hakikat,
antara lain makna lahir dan batin. Selain itu, tafsir tersebut relatif steril
dari pembelaan ideologi mazhab.
C. Sistematika Penyajian Al Qur’an
Sistematika penyajian tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu sistematika penyajian runtut (tahlili) dan sistematika
penyajian tematik (mawdu’i).
1. Sistematika Penyajian Runtut
Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian
tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada dua hal. Pertama,
urutan surat yang ada dalam model mushaf standar.
Model sistematika penyajian tafsir runtut ini memiliki beberapa
kelebihan, yaitu: (1) pembaca dapat melihat bagaimana runtutan
petunjuk Tuhan yang diberikan kepada Nabi saw. dan umatnya, (2)
dipilihnya suratsurat pendek, penulis ingin menegaskan bahwa
suratsurat tersebut mengandung uraian yang berkaitan dengan
kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa serta banyak
dibaca umat.
Sebagai hasil kreasi manusia, model sistematika penyajian runtut
yang oleh sebagian kalangan disebut metode atomistik, memiliki
banyak kelemahan. Menurut Quraish Shihab, sistematika penyajian
tafsir runtut yang dideskripsikan sebagai hidangan prasmanan
membutuhkan waktu yang lama sehinga menimbulkan kejenuhan. Di
samping itu, tidak semua yang dihidangkan dalam prasamanan itu
sesuai dengan kebutuhan dan selera para tamu.13 Namun, Quraish
Shihab menegaskan sisematika penyajian tafsir runtut tetap urgen
untuk era sekarang, sebab terdapat kesempatan yang luas untuk
memilih dan mengatur hidangan yang sesuai dengan kebutuhan.
Seoang penafsir untuk sampai kepada sisematka penyajian tafsir
lainya, seperti tematik dan penerapannya, tetap merjuk kepada
sistematika penyajian tafsir runtut.
Al-Farmawi, penggagas metodologi penafsiran AlQur’an
menjelaskan, kelemahan model penafsiran sistematika penyajian
runtut menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial, sehingga memberikan
kesan bahwa memberikan pedo-man secara tidak utuh dan tidak
konsisten, karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda
dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya.Fazlur Rah}man berpandangan, model penyajian runtut
(atomistik) menjadi penyebab kegagalan umum memahami keutuhan
ajaran. Nas (teks Al-Qur’an) dengan metode parsial ini dipahami kata
demi kata atau ayat demi ayat yang ada dalam surah secara
terpisahpisah, sehingga Al-Qur’an terkesan tidak menjadi satu kesatun
yang utuh, melainkan terpisah-pisah, dan pada gilirannya hukum-
hukum yang diambil dari Al-Qur’an pun tidak sejalan dengan
semestinya.
Model penafsiran secara atomistik ini, termasuk yang terpanjang
dalam sejarah penafsiran, sehingga dunia Islam identik dengan dunia

13
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbai Persoalan mat (Bandung:
Mizan, 1999), h. 21.
teks (hadarah an-nas). Model penafsiran ini telah ‚memperkosa
universalitas Al-Qur’an, sehingga produk penafsirannya pun terkesan
tidak membebaskan, tidak mencerahkan, rigid, dan tendensius. Model
penafsiran ini, pada akhirnya akan merambah pada sakralitas teks
yang berimplikasi pada hilangnya dimensi historisitas teks. Teks
menjadi tertutup, sakral dan monointerpretasi. Teks pada tataran
paradigmatis kehilangan daya transformatifnya, teks tidak bisa
digunakan untuk mendobrak kesenjangan sosial, ketidakadilan politik,
karena watak teks digiring untuk mengedepankan ‚kepentingan Tuhan
daripada‚ kepentingan manusia, sehingga teks tercerabut dari
konteksnya. Penafsiran bersifat teologis yang mapananti kritik,
disejajarkan dengan Al-Qur’an. Padahal tafsir hanyalah hasil
pemikiran manusia untuk memahami teks yang dapat dikembangkan
dalam takwil, yang menjadikan teks sebagai obyek dan penafsir
sebagai subyeknya.14
Beberapa karya Qurais Shihab yang dikategorikan dalam
sistematika penyajan tafsir runtut Hidangan Ilahi dan Tafsir Al-
Mishbah.
2. Sistematika Penyajian Tematik
Sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkaian
penulisan tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu
atau pada surat tertentu dan juz tertentu.15 Amin al-Khuli (1859-1966)
sarjana pertama di abad ke-20 yang menekankan pentingnya penyajian
tematik dalam memahami isi Al-Qur’an. Gagasan al-Khuli tersebut
diikuti oleh seorang muridnya, ‘Aisyah Abd ar-Rahman bint Syati.
Seperti halnya sang guru, bint Syati juga tidak memberikan definisi
tentang tafsir tematik tersebut. Sebagai gantinya Bint al- Syati
menawarkan metode silang atau metode induktif (the cross referential
method), sama dengan apa yang ditawarkan gurunya, al-Khuli.

14
Amina Wadud, Qur’an and Woman (Kualalumpur: Fajar Bakti, 1992), h. 1-2
15
al-Farmawi, al-Bidayah fi at-Tafsir al-Mawdu’i, hlm. 49.
Sedangkan Muhammad Khalafatullah dan al-Farmawi dianggap
sebagai murid yang mengembangkan gagasan al-Khuli dengan
memformulasikan secara metodologis penafsiran tematik.
Selanjutnya, penafsiran dengan sistematika penyajian tematik ini
secara garis besar dibagi dua bagian. Pertama, tematik yang
didasarkan pada surat demi surah dari Al-Qur’an yang ide dasarnya
bahwa setiap surat dari Al-Qur’an memiliki penekanan sendiri
meskipun di dalamnya dibahas sejumlah topik. Semua ayat yang ada
dalam satu surat tersebut harus dihubungkan dengan subyek
pokoknya. Bersamaan dengan itu, ketika membahas surat tersebut,
ayat lain yang ada di surat lain yang membicarakan topik yang sama
juga harus diikutsertakan. Karena itu, baik ayat yang ada dalam surat
tersebut maupun ayat lain yang membahas topik yang sama dari surat
lain harus disertakan menjadi satu pembahasan yang utuh.16
Kedua, tematik yang didasarkan pada subyek tertentu dari dengan cara
mengumpulkan semua ayat yang membahas subyek tersebut yang ada
dalam Al-Qur’an, mulai awal sampai akhir. Kemudian mengumpul-
kan semua ayat untuk menemukan konsep dari satu masalah tertentu
tersebut. Selanjutnya, menggabungkan dan menghubungkan semua
ayat-ayat tersebut menjadi satu pembahasan yang utuh dan menyatu.
Ketika membuat hubungan (munasabah) antarsemua ayat, ayat-ayat
tersebut diurutkan secara kronologis berdasar urutan turunnya.
Langkah terakhir mendiskusikan subyek yang ada secara keseluruhan
dengan mempertimbangkan konteksnya masing-masing (asbaban-
nuzul), termasuk di dalamnya Hadis Nabi saw.yang berhubungan
dengan subyek yang dibahas. Karena itu, setiap ayat dan subyek harus
dihubungkan dengan Hadis Nabi saw. yang berhubungan.
Dilihat dari segi ayat yang dikaji, cakupan model penafsiran penyajian
tematik bersifat spesifik dan mengerucut. Model penyajian tematik

16
Hadidjah dan M. Karman al-Kuningani, Pengantar Studi Islam (Bogor: Hilliana Press, 2007), h.
30.
yang lebih bersifat teknis ini mempunyai pengaruh terhadap proses
penafsiran yang bersifat metodologis. Dibandingkan dengan model
penyajian runtut, sistematika penyajian tematik ini memiliki
kelebihan, antara lain membentuk arah penafsiran menjadi fokus dan
memungkinkan adanya tafsir ulang antarayat secara komprehensif dan
holistik.
Bentuk Penyajian Tafsir dalam tulisan ini dilihat dari dua indikator,
yaitu bentuk penyajian global dan bentuk penyajian rinci, yang masing-
masing memiliki karakteristik sendiri. Tafsir bentuk penyajian global
adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir yang
penjelasannya dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya bentuk ini
lebih menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an yang
dikaji.
Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model
analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah,
sesekali asbâb an-nuzul dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-
ayat yang dikaji. Langkah-langkah epistemologis dan analisis term-term
penting yang menjadi kata kunci di suatu konteks ayat, juga perdebatan
dan pemaknaan atas kata kunci yang pernah dielaborasi para ulama
sebelumnya, juga upaya kontekstualisasi, tidak dilakukan.Al-Farmawi
menyebut penyajian ini sebagai metode ijmali. Bentuk penyajian global
ini dalam batas tertentu bermanfaat bagi pembaca Muslim yang tidak
memiliki kesempatan waktu banyak untuk belajar secara detail, rinci dan
mendalam, dari aspek tatabahasa, balâgah, perubahan makna semantik dari
pelbagai kata kunci dalam Al-Qur’an, serta pelbagai disiplin keilmuan
yang terkait dengan kajian Al-Qur’an. Sebab, dengan bentuk penyajian
global hanya disajikan kesimpulan dan pokok pikiran yang dirumuskan
dari Al-Qur’an.
Tafsir bentuk penyajian rinci adalah model penyajian tafsir yang
menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam
dan komprehensif. Tema-tema kunci di setiap ayat dianalisis untuk
menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat.
Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang
sebelumnya ditelisik aspek asbAb an-nuzul dengan kerangka analisis yang
beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis dan lainnya. Berbagai
karya tafsir yang oleh al-Farmawi dikategorikan sebagai tafsir tematik,
dapat dimasukkan dalam bentuk penafsir-an model rinci ini.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model
analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah,
sesekali asbâb an-nuzul dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-
ayat yang dikaji. Langkah-langkah epistemologis dan analisis term-term
penting yang menjadi kata kunci di suatu konteks ayat, juga perdebatan
dan pemaknaan atas kata kunci yang pernah dielaborasi para ulama
sebelumnya, juga upaya kontekstualisasi, tidak dilakukan.Al-Farmawi
menyebut penyajian ini sebagai metode ijmali. Bentuk penyajian global
ini dalam batas tertentu bermanfaat bagi pembaca Muslim yang tidak
memiliki kesempatan waktu banyak untuk belajar secara detail, rinci dan
mendalam, dari aspek tatabahasa, balâgah, perubahan makna semantik dari
pelbagai kata kunci dalam Al-Qur’an, serta pelbagai disiplin keilmuan
yang terkait dengan kajian Al-Qur’an. Sebab, dengan bentuk penyajian
global hanya disajikan kesimpulan dan pokok pikiran yang dirumuskan
dari Al-Qur’an.
Tafsir bentuk penyajian rinci adalah model penyajian tafsir yang
menitikberatkan pada uraian-uraian penafsiran secara detail, mendalam
dan komprehensif. Tema-tema kunci di setiap ayat dianalisis untuk
menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat.
Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang
sebelumnya ditelisik aspek asbâb an-nuzul dengan kerangka analisis yang
beragam, seperti analisis sosiologis, antropologis dan lainnya. Berbagai
karya tafsir yang oleh al-Farmawi dikategorikan sebagai tafsir tematik,
dapat dimasukkan dalam bentuk penafsiran model rinci ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual (Bandung: Mizan,


2016)
Ata’ bin Khalil, al-Taisir fi Usul al-Tafsir, (Beirut: Dar al Ummah, 2006)
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Beirut:
Dar al Fikr, 2008)
Muhammad Husain al-Dhahabi, ‘Ilm al-Tafsir (ttp: Dar al-Ma’arif, tt), h.
67.,
lihat juga al-‘Uthaimin, Sharh Muqaddimah Usul al-Tafsir (Riyad: Dar
al-Minhaj, 1432 H)
Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asr al-
Rahin
(Aman: Maktabah al-Nahdhah al-Islamiyah, 1982)
Muhammad Husain al-Dhahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran al-Qur’an (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993)
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, Vol. IV, (Giza: Dar Hijr,
2001)
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka
Pelajar,
2008)
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009)
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar,
2008),
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar,
2008),
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbai
Persoalan mat (Bandung: Mizan, 1999)
Amina Wadud, Qur’an and Woman (Kualalumpur: Fajar Bakti, 1992),
al-Farmawi, al-Bidayah fi at-Tafsir al-Mawdu’i, hlm. 49.
Hadidjah dan M. Karman al-Kuningani, Pengantar Studi Islam (Bogor:
Hilliana Press, 2007)

Anda mungkin juga menyukai