Istilah metodologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos dan logos.
Methodos berarti cara, kiat, dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan
sesuatu. Sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala, dan wawasan 1. Dengan
demikian, metodologi adalah pengetahuan tentang metode atau cara-cara yang berlaku dalam
kajian atau penelitian.
Jadi dapat disimpulkan Metodologi Memahami Islam adalah pengetahuan tentang caracara yang berlaku dalam kajian atau penelitian untuk lebih mendalami Islam.
B; Jenis-Jenis Metodologi Memahami Islam
1; Metodologi Ulumul Tafsir
Istilah metodologi tafsir terdiri atas dua terms, yaitu metodologi dan tafsir. Seperti
disebutkan diatas kata metodologi memiliki arti ilmu tentang tata cara yang dipakai untuk
mencapai tujuan (ilmu pengetahuan). Adapun Term tafsir, mempunyai dua pengertian,
yaitu:
a; Pertama, tafsir adalah pengetahuan atau ilmu yang berkenaan (berhubungan)
dengan kandungan Al-Quran dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk
memperolehnya.
b; Kedua, tafsir diartikan sebagai cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertianpengertian, hukum-hukum, dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Al-Quran.
Dengan demikian maka istilah metodologi tafsir berarti kerangka, kaidah, atau cara
yang dipakai dalam menafsirkan al-Quran baik itu ditinjau dari aspek sistematika
penyusunannya, aspek sumber-sumber penafsiran yang dipakai maupun aspek sistem
pemaparan atau keluasan tafsirannya guna mencapai pemahaman yang benar tentang apa
yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Metodologi tafsir berbeda-beda dilihat dari aspek yang mendasarinya.
Jika ditinjau dari aspek sistematika penyusunannya, metodologi tafsir terbagi menjadi
dua, yaitu:
a; Sistematika tartib mushafiy, yaitu sistematika penyusunan tafsir al-Quran sesuai
dengan tertib susunan surat dan ayat dalam mushaf.
b; Sistematika tartib nuzuliy, yaitu sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan
kronologis turunnya surat-surat al-Quran.
1 Jamali Sahrodi, METODOLOGI STUDI ISLAM, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2008), 67
1
c; Dan yang ketiga, sistematika maudhuiy, yaitu sistematika penyusunan penyusunan alQuran dengan berdasarkan tema atau topik permasalahan yang akan dibahas.2
Pengerian tafsir secara etimologi berasal dari akar kata Al-Fasr yang berarti :
penjelasan atau keterangan yaitu menjelaskan sesuatu yang tidak jelas pengertiannya.
Dengan demikian dapat dikatakan member penjelasan tentang sesuatu atau member
pengertian tentang sesuatudisebut tafsir.3
Sepanjang sejarah penafsiran Al-Quran, ada dua bentuk penafsiran yang dipakai
(diterapkan) oleh ulama yaitu al-matsur (riwayat) dan al-ray (pemikiran).
a; Bentuk Riwayat (Al-Matsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan tafsir bi
al-matsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir
dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan
dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir semisal Tafsir at-Thabari, Tafsir ibn Katsir,
dan lain-lain. Dalam tradisi studi Al-Quran klasik, riwayat merupakan sumber
penting di dalam pemahaman teks Al-Quran. Sebab, Nabi Muhammad SAW diyakini
sebagai penafsir pertama terhadap Al-Quran. Dalam konteks ini, muncul istilah
metode tafsir riwayat. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik AlQuran klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Quran yang menggunakan data
riwayat dari Nabi Muhammad SAW, atau sahabat, sebagai variabel penting dalam
proses penafsiran ayat Al-Quran. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu
ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat.
Dari segi material, menafsirkan Al-Quran memang bisa dilakukan dengan
menafsirkan antar ayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun
secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat lain dan atau
dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran
yang dilakukan nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi
penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi
dalam menafsirkan Al-Quran, tentu ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya
disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai
2 Jonika Wijaya, http://jonikawijaya.wordpress.com/makalah/makalah-ululumul-tafsir/ diakses tanggal 12
November 2014
3 Ahmad Syurbasyi, Study Tentang SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 07
metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Nabi
Muhammad SAW yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk
asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data. Sebagai salah satu metode, model
metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya
tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak
setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.
b; Bentuk Pemikiran (Al-Ray)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin
maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat.
Banyakk golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Quran
dan Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Inilah masa dimana berkembangnya bentuk penafsiran al-ray atau bentuk
penafsiran melalui pemikiran atau ijtihad. Meskipun tafsir Bi al-ray berkembang
dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menjadi dua, yaitu ada
yang membolehkan ada pula yang melarangnya.
Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat
lafzhi atau redaksional. Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran
berdasarkan ray (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria
yang berlaku. Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Quran
dengan Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mutabarah (diakui sah secara
bersama). Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak
dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu Bi al-matsur
yaitu melalui riwayat, dan Bi al-ray yaitu melalui pemikiran atau ijtihad.
Pembagian Metode Tafsir
Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab-kitab karangan menyangkut AlQuran dan kitab-kitab tafsir. Ada empat macam metode tafsir, yaitu:
a; Metode Ijmali (global)
Yang dimaksud dengan metode ijmali ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran
secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat dalam mushaf. 4
Maksudnya penafsirannya terhadap Al-Quran berdasarkan urutan-urutan ayat secara
ayat per ayat dengan suatu uraian yang ringkas tetapi jelas dan dengan bahasa yang
sederhana sehingga dapat diterima baik oleh masyarakat awam maupun intelektual.5
4 Jonika Wijaya, http://jonikawijaya.wordpress.com/makalah/makalah-ululumul-tafsir/, Loc.Cit.,
5Ahmad Syurbasyi, Op.Cit., h. 232
3
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Quran dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh
berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam metode analitis lebih rinci
daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak
ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu.
Kitab Tafsir Al-Quran Al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al-tafsir AlWasith terbitan Majma Al-Buhus Al-islamiyyat, dan Tafsir Al-Jalain serta Taj AlTafsir karangan Muhammad Ustman al-Mirgani, masuk kedalam kelompok ini.6
b; Metode Tahlili (analitis)
Yang dimaksud dengan metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Quran, ayat demi
ayat, surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Perbedaan yang
mencolok antara tafsir tahlili dengan ijmali terutama dari sudut keluasan wawasan
yang dikemukakan dan kedalaman serta ketajaman analitis. Yang menjadi ciri dalam
metode analitis ini bukan menafsirkan Al-Quran dari awal mushaf sampai akhirnya,
melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama
pembahasan tidak mengikuti pula perbandingan. Pola penafsiran yang diterapkan
mufasir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha
menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-matsur, maupun al-ray.
c; Metode Muqarin (komparative)
Yang dimaksud dengan metode komparative adalah metode penafsiran Al-Quran
yang dilakukan dengan cara perbandingan (komparatif), dengan menemukan dan
mengakaji perbedaan-perbedaan antara unsure-unsur yang diperbandingkan, atau
untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang
dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis), unsure-unsur yang berbeda itu.7
Dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga objek kajian
tafsir, yang meliputi:
1; Membandingkan Ayat Al-Quran Dengan Ayat Al-Quran Yang Lain
6 Muhaimin, Abdul Majid & Jusuf Mudzakir. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana,2005), h.114.
7Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, h. 114.
4
sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadits merupakan salah satu
sumber ajaran Islam.
Hadits yang diteliti adalah hadits yang berstatus Ahad. Untuk hadits yang berstatus
mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits-hadits yang
bersangkutan berasal dari Nabi. Menurut Syuhudi Ismail bagian-bagian hadits yang
menjadi objek penelitian ada dua yaitu Sanad dan Matan. Sanad adalah rangkaian para
periwayat yang menyampaikan riwayat Hadits. Sedangkan Matan adalah materi atau isi
hadits itu sendiri.11
Sanad hadits mengandung dua bagian peneliti yaitu:
a; Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan
b; Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah diinginkan oleh masing-masing
periwayatan dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan.
Para peneliti hadits dalam melakukan penelitian berbekal metodologi yang baku dan
ketat. Mereka menggolongkan hadits kedalam empat golongan utama, yaitu shahih (asli),
hasan (baik), dhaif (lemah), maudu (palsu). Apabila kita meneliti sebuah hadits maka ia
harus melucuti hadits tersebut satu persatu mulai dari sanadnya, matanya, rawinya,
caranya dengan metode yang disebut takhijul-hadits.
Metode dalam pemahaman hadits
a; Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
Al-Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti urutan ayat-ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf .
b; Maudhuiy
Tafsir Mudhui disebut juga dengan tafsir tawhidi yakni, usaha untuk mengkaji
dan mempelajari ayat-ayat Alquran dengan menampilkan suatu topik diantara topiktopik yang ada yang menyangkut kehidupan akidah, kemasyarakatan, kauniyyah,
sejarah dan sebagainya.
c; Tekstual
Pemahaman hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan,
setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar
11 Hakim Rosniati, Metodologi Studi Islam, (Padang: Hayfa Press, 2009), hal. 69
6
belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadits yang bersangkutan sehingga pemahamannya secara kontekstual
dilakukan bila dibalik teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan untuk
dipahami tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual
d; Kontekstual
Kata kontekstual berasal dari konteks yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengandung dua arti:
1; Bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
kejelasan makna;
2; Situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.
Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian
pemahaman Hadits.
Pemahaman kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan
kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada
siapa pula hadis itu ditujukan. Hadits Nabi saw hendaknya tidak ditangkap makna dan
maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek
kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang
paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga
tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi
dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap menjadi
komunikatif.
e; Pemahaman hadits: Historis, Sosiologis, Antropologis, dan Psikologis
Kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting.
Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang
lebih luas tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits.
Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak fungsi, antara
lain sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan demikian,
hadits-hadits tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu.
Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits
pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh Rasul dalam ruang
dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun
situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang sahabat).
3; Metodologi Filsafat Islam dan Teologi (Kalam)
7
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu
atau hikmah. Demikian secara bahasa filsafat artinya cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Selanjutnya islam berasal dari bahasa arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh,
tunduk, berserah diri, serta memohon selamat, dan sentosa. Kata tersebut berasal dari
salima yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. selanjutnya islam menjadi suatu
istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai rasul. Islam pada hakikatnya
membawa ajaran ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai
segi dari kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek
itu ialah Alquran dan hadist. Menurut Ahmad Fuad Al-Ahwani mengatakan bahwa
filsafat islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan macam macam
masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama
islam.12
Model-model penelitian filsafat islam
a; Model M.Amin Abdullah
Hasil penelitiaanya berjudul the idea of universality ethical norm in ghazali and
kant. Dilihat dari segi judulnya, penelitian ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan
bahan kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti
itu sendiri (sumber primer), maupun sumber yang ditulis oleh orang lain
mengenai tokoh yang ditelitinya itu (sumber sekunder). Bahan bahan tersebut
selanjutnya diteliti keontentikkannya secara seksama, diklasifikasikan menurut
variabel yang ingin ditelitinya, dalam hal ini masalah etik; dibandingkan antara
satu sumber dengan sumber lainnya di deskripsikan (diuraikan menurut logika
berfikir tertentu), dianalisis dan disimpulkan.
Selanjutnya dilihat dari segi pendekatan yang digunakan ,M.Amin Abdullah
kelihatannya mengambil pendekatan study tokoh dengan cara melakukan studi
komparasi antara pemikiran kedua tokoh tersebut (Al-Ghazali dan Immanuel
Kant), khususnya dalam bidan etika.
Dalam bukunya yang berjudul Studi Agama Normativitas atau Historisitaas
M.Amin Abdullah juga mengatakan ada kekaburan dan kesimpangsiuran yang
patut disayangkan di dalam cara berpikir kita, tidak terkecuali di lingkungan
perguruan tinggi dan kalangan akademis.
b; Model Otto Horrassowitz, Majid Fakbry dan Harun Nasution
12 Abudinata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), h.254
8
iman, islam dan ihsan, juga membahas berbagai aliran dalam teologi islam
seperti Mutazilah lengkap dengan tokoh tokohnya, jabariyah lengkap
dengan tokoh tokohnya, dan masih banyak lagi aliran beserta tokohnya.
9; Model Al-bazdawi
Belia menulis buku yang berjudul Kitab Ushul al-Din buku ini membahas
tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai mempelajari ilmu kalam,
mengajarkan penyusunannya, perbedaan pendapat para ulama mengenai
sebab seorang hamba mengetahui sesuatu, panca indra lima, definisi
mengenai ilmu pengetahuan dan masih banyak lagi masalah teologi lainnya
yang mencapai 97 permasalahan.
Semua penelitian yang dilakukan oleh para ulama dan dituangkan dalam
buku dapat dikategorikan sebagai penelitian pemula. Dengan demikian,
penelitian tersebut bersifat eksploratif yakni menggali sejauh mungkin
ajaran teologi islam yang diambil dari Al-Quran dan hadis serta berbagai
pendapat para pemikir di bidan teologi islam. Karena sifatnya eksploratif
penelitian tersebut tidak menguji suatu teori atau mencari pembenaran atas
suatu konsep yang ingin dibangun. Penelitian ini bersifat murni penggalian
mengingat sebelumnya belum ada penelitian yang dilakukan para ahli.
Penelitian tersebut menggunakan doktriner atau subtansi ajaran, karena yang
dicari adalah rumusan ajaran dari berbagai golongan atau aliran yang ada
dalam ilmu kalam.
b; Penelitian lanjutan
Penelitian lanjutan yaitu penelitian atas sejumlah karya yang dilakukan
oleh para peneliti pemula. Pada penelitian lanjutan ini, para peneliti mencoba
melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalisasi. Hasil penelitian
lanjutan adalah sebagai berikut :
1; Model Abu Zahrah
Abu zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai bidang aliran
ndalam bidang politik dan teologi yang dituangkan dalam bukunya yang
berjudul Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fi al-siyasah wa al-Aqaid.
Penelitian ini disekitar masalah objek objek yang dijadikan pangkal
pertentangan oleh berbagai aliran dalam bidang politik yang berdampak
pada masalah teologi. Selanjutnya dikemukakan pula aliran dalam mazhab
syiah yang mencapai dua belas golongan, selanjutnya dikemukakan pula
aliran khawarij dengan beberapa sektenya yang berjumlah enam aliran.
2; Model Ali Mustafa Al-Ghurabbi
13
3;
4;
5;
6;
dalam dirinya. Terdapat hubungan yang erat antar akidah, Syariah dan akhlak. Berkenan
dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengkonsentrasikan kajiannya pada
masalah tasawuf. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di
bidang tasawuf.
Berbagai bentuk dan model penelitian tasawuf adalah sebagai berikut:
a; Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim ternama abad
modern. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya yang
berjudul Tasawuf Dulu dan Sekarang. Di dalam buku tersebut disajikan hasil
penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu
pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema tertentu. Di
dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana menjalin hubungan yang
intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan
Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan
pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
b; Model Mustafa Zahri
Penelitian yang dilakukannya bersifat eksploratif, yaitu menggali ajaran tasawuf
dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Penelitian tersebut menekankan pada ajaran yang
terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu
serta dengan mencari sandaran pada Alquran.
c; Model Kautsar Azhari Noor
Penelitian yang ditempuh Kautsar adalah studi tentang tokoh dengan pahamnya
yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya Wahdat al-wujud.
d; Model Harun Nasution
Harun Nasution, Guru besar dalam Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian
terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dituangkan dalam bukunya
yang berjudul Falsafat dan Mitisisme Dalam Islam. Dan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan tematik.
e; Model A.J. Arberry
Penelitian yang digunakan adalah analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut
dipahami berdasarkan konteks sejarah dan tidak di analisis ke dalam konteks
kehidupan modern.16
16 http://abiavisha.blogspot.com/2013/02/aneka-metodologi-memahami-islam_1385.html
16
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena tidak akan
paham Islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa
Allah itu ada? Jika dijawab Alquran, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Alquran
benar-benar dari Allah? Jika dijawab Ijaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa
Ijazul quran sebagai dalil bahwa alquran bersumber dari Allah swt.? Dan
seterusnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam tidak akan dipahami
tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan syarat taklif dalam Islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama,
bahwa akal tidak bisa berkerja sendiri tanpa syari. Akal hanyalah sarana untuk
mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadis. Allah lah
yang menjadi hakim, dan akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum
Allah tersebut.
e; Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat
Rasulullah adalah
1; Hadis-hadis Ahad zonniyah
2; Qiyas adalah hujjah
3; Hukum yang terakhir menghapus hukum yang terdahulu (naskh)
4; Orang awam boleh taqlid
5; Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma
Model Penelitian
a; Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga
mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini
dituangkan dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap hukum Islam
dengan menggunakan pendekatan Sejarah. Selanjutnya melalui pendekatan
sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu
periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid. Model penelitian
yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan
menggunakan pendekatan sejarah.
b; Model Noel J.Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam
karyanya yang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya
bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Penelitiannya itu
dituangkan ke dalam tiga bagian. Pada bagian pendahuluan ia mengatakan bahwa
18
problema yang mendasar pada saat ini ialah adanya pertentangan antara
ketentuan-ketentuan hukum tradisional yang dinyantakan secara kaku di satu
pihak, dan ketentuan-ketentuan masyarakat modern di pihak lain.
c; Model Mohammad Atho Mudzhar
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui materi fatwa
yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial
politik yang melatar belakangi timbulnya fatwa tersebut. Hasil penelitiannya di
tuangkan ke dalam empat bab.17
6; Metodologi Pemikiran Modern
Pemikiran modern dapat diartikan arah pemikiran yang maju menuju kepada
pembaruan. Menurut muhammad abduh terdapat dua macam metodologi pemikiran
modern yaitu:
a; Pemikiran modern sekuler, yakni pemikiran yang menjaga akidah isalm, tetapi juga
mengaplikasikan pemikiran barat sebagai hukum positif. Pemikiran ini cenderung
skularisme, yang bertujuan memisahkan agama dan negara dan menjadikan hukum
positif barat sebagai pengganti syariat islam yang masih memerlukan pembenahan.
Prinsip-prinsip tersebut telah diterapkan di turki tahun 1924 dan negara negara di
sekitarnya. Namun dengan sikap netral dan lembaga lembaga islam.
b; Pemikiran modern agamis, yaitu pemikiran yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
mobilitas rohani dan keagamaan. Pemikiran ini menerapkan aqidah dan syariat
islam sebagai sumber hukum paling utama dalam kehidupan beragama18
Berikut ini beberapa model penelitian Modern:
1; Model penelitian Deliar Noer
Salah satu buku yang memuat hasil penelitian Deliar Noer berjudul Gerakan
Islam Modern, penelitiannya bersifat deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan
gerakan modern islam di Indonesia tahun 1900-1942. Penelitian tersebut antara
lain memuat latar belakang penelitian, permasalahan yang ingin dipecahkan,
metode dan pendekatan analisis yang digunakan. Yang melatar belakangi
penelitian tersebut adalah adanya asumsi bahwa perkembangan yang terjadi pada
akhir periode 1900-1942 merupakan tahun pergantian kekuasaan di Indonesia dari
tangan belanda ke tangan jepang. Tetapi pemikiran, gerakan dan perkembangan
umum yang bersangkutan dengan pergerakan islam modern di negeri kita ini tidak
17 Ibid., Loc.Cit.,
18 aneka metodologi study islam II blog kang slamet msitadriskimia.blogspot.com
19
berhenti pada pergantian tersebut. Bukan pada masa kepemimpinan jepang saja
bahkan setelah merdeka sampai saat ini. Dengan latar belakang tersebut Deliar
Noer terlihat ingin mengetahui tentang pemikiran, pendekatan, dan pemecahan
masalah yang dilakukan umat islam pada periode tersebut. Lebih lanjut deliar
Noer juga mengatakan perkembangan masa kemerdekaan banyak relevansi
dengan perkembangan periode tahun 1990, yaitu:
a; Soal khilafiyah. Gerakan islam modern di negeri kita, juga gerakan islam di
negri lain, bermula dari soal-soal ubudiyah. Paham ini merubah paham
tradisional seperti takhayul dan lain sebagainya.
b; Sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini pada masa 1920-1942, timbul organisasi
islam seperti Serikat Islam Indonesia (SII) muncul pula permi, perti parii,
penyadar, PII dan lain sebagainya
c; Kepemimpinan yang bersifat pribadi. Pemimpin dengan alasan tersendiri
membawa pengikutnya keluar dari organisasi semula, membangun partai baru
atau mengubah organisasinya menjadi bersifat partai politik.
d; Perbedaan dan pertentangan. Terjadi pada masa demokrasi terpimpin, ketika
kalangan islam dengan keras menolak kosep soekarno sedangkan sebagian
menerima paham ini.
e; Hubungan dengan pemerintah.
Untuk mendapatkan bahan bahan yang diperlukan Deliar Noer menggunakan
literatur baik tulisan berbahasa indonesia maupun berbahasa inggris ataupun
belanda dan menggunakan hasil wawancara dari tokoh tokoh yang ahli pada
bidangnya, kemudian di deskripsikan secara sistematik dan kronologis serta
dianalisa menggunakan pendekatan historis dan sosiologis.
2; Model penelitian H.A.R. Gibb
Hasil penelitiannya berjudul modern ternds in islam. Penelitian Gibb tentang
gerakan modern dalam islam bertentangan dengan tesisnya yang mengatakan
bahwa islam adalah agama yang hidup dan vital yang menyampaikan dakwah
kepada hati, pikiran, dan perasaan kepada umat manusia dengan tujuan
memberikan pedoman hidup seluruh umat manusia, agar memiliki sifat jujur,
sungguh-sungguh dan takwa. Untuk membenarkan penelitiannya itu Gibb
melakukan penelaahan terhadap doktrin-doktrin ajaran islam sebagaimana yang
terdapat di dalam Al-Quran dan As-sunnah, dan bukan dari sumber-sumber yang
sudah tidak sejalan dengan doktrin tersebut. Dengan demikian penelitiannya
bersifat eksploratif deskripstif, yaitu penelitian yang mencoba mendeskripsikan
secara mendalam suatu objek dengan menggunakan data-data yang terdapat pada
20
19 Adib Susilo, Model Penelitian Pemikiran Modern, intuisi-mimpi.blogspot.com diakses 12 November 2014
21
Mazhab Hanafi (80 150 H), Mazhab Maliki (93 179 H), Mazhab SyafiI (150 204
H), dan Mazhab Hambali (164 241 H).
Beberapa Metode Muqaranah Mazhab dan diantaranya:
a; Metode Fikih Mazhab.
Yang dimaksudkan dengan metode fikih mazhab ini dimana para fukaha
dalam menghimpunkan dan menulis fikih hanya terbatas pada satu mazhab saja,
tidak menyinggung pendapat dalam mazhab yang lain. Metode penulisan yang
seperti ini dapat dillihat dalam Al Um yang ditulis oleh Imam Syafei, yang
merupakan pandangan-pandangan beliau dalam masalah fikih.
b; Metode Mazahib.
Dalam metode ini para fukaha bukan saja menulis berdasar pandangan satu
mazhab saja, namun mereka kemukakan juga pendapat-pendapat dari mazhab
yang lainnya, namun dalam mengemukakan pendapat itu tidak disinggungsinggung dalil dimana pendapat itu terambil. Sebagai contoh penulisan fikih
dalam metode ini dapat dilihat dalam Kitab Al Fiqhi Alal Mazahibil Arbaah
oleh Abdul Wahab Khalaf, dan Kitabul Fiqhi Alal Mazahibil Arbaah oleh
Abdurahman Al Jariry.
c; Metode Muqaratul Mazahib.
Dalam metode ini para fukaha berusaha untuk mencari masalah yang
diperselisihkan para fukaha, dan dalam mengemukakan pendapat-pendapat dari
berbagai mazhab diikuti dengan sandaran dari pendapat-pendapat itu, kemudian
dikemukakan pula kritik dari pendapat-pandapat lain, dengan demikian barulah
nyata pendapat yang terkuat dalilnya. Metode ini dapat dilihat dalam kitab
Muqaranatul Mazahib Fil Fiqhi oleh Mahmud Muhammad Syaltut dan
Muhammad Ali Sais, dan kitab Mujaz Fil Fiqhil Islamy Al Muqarin oleh
Abdus Sami Ahmad Imam dan Muhammad Abdul Latif Syafei.
Seorang muqarin (pelaku Muqaranah Mazahib) harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a; Memiliki sifat teliti dalam mengambil mazhab dari kitab-kitab fiqih
mutabar dan benar-benar dikenal, bahwa pendapat itu memang benar
pendapat ashhab al-mazahib. Kemudian hendaknya mengambil dari
pendapat mazhab tersebut yang terkuat dalilnya dan tidak mengambil yang
lemah dalilnya supaya mudah menolaknya.
b; Mengambil dan memililh dalil-dalil yang terkuat dari setiap mazhab serta
tidak membatasi diri pada dalil yang lemah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
23
c; Memiliki pengetahuan tentang ushul dan qaidah yang dijadikan dasar oleh
setiap mazhab dalam mengambil dan menentukan hukum (thuruq alistinbath). Hal ini perlu, agar ia mengetahui betul latar belakang pandangan
mereka dalam menentukan hukum dari dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh
mazhab yang akan dibandingkan itu.
d; Mengetahui pendapat-pendapat ulama yang banyak terdapat dalam kitabkitab fiqih disertai dalil-dalilnya dan harus pula mengetahui cara-cara
mereka beristidlal dan dalil-dalil yang mereka jadikan pegangan.
e; Hendaklah muqarin setelah mendiskusikan pendapat mazhab-mazhab
tersebut dengan dalil-dalilnya yang terkuat, mentarjih salah satunya secara
obyektif, tanpa dipengaruhi oleh pendapat mazhabnya yang sudah terbiasa
dia pegang (anut). Ini dimaksudkan, agar kesimpulan yang diambilnya itu
benar-benar adil, tanpa dipengaruhi apapun, selain demi kebenaran dan
keadilan semata.
Tujuan dan manfaat mempelajari perbandingan mazhab antara lain sebagai berikut:
a; Untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam mazhab (para imam mujtahid)
dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau
alasan-alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath
hukum dari dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan
oleh para imam mazhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang
melakukan studi perbandingan mazhab akan mendapatkan keuntungan ilmu
pengetahuan secara sadar dan meyakinkan akan ajaran agamanya, dan akan
memperoleh hujjah yang jelas dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga ia
tergolong kedalam kelompok orang yang disebut dalam al-Quran surat yusuf
ayat108.
b; Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yang digunakan setiap imam
mazhab (imam mujtahid) dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya, dimana
setiap imam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil
Al-Quran atau As-Sunnah. Sebagai hasil dari cara ini, orang yang melakukan
studi tersebut, akan menjadi orang yang benar-benar menghormati semua imam
mazhab tanpa membedakan satu dengan lainnya, karena pandangan dan dalil yang
dikemukakan masing-masing pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan
ijtihad. Maka sepantasnyalah orang yang mengikuti (bertaklid) kepada salah satu
imam mazhab itu mengikuti pula jejak dan petunjuk imamnya dalam
menghormati imam lain.
24
25
pada pendapat suatu mazhab, melainkan memerintahkan untuk mengikuti hukumhukum yang diambil dari sumbernya yang kuat.23
23 http://msitadriskimia.blogspot.com/2010/09/aneka-metodologi-studi-islam-ii.html
26