Anda di halaman 1dari 13

METODE PENAFSIRAN AL-QURAN

Nurazizah

Program Studi Tadris Matematika

Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai

Email: nurazizah.asnur@gmail.com.

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral


universal bagi umat manusia sepanjang masa. Ajaran moral itu yang menjadi landasan

hidup manusia di dunia.Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran

atas teks, selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya

alQur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinpretasikan dengan

berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan

tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Qur’an.

Al-Qur’an di dalamnya sudah sangat lengkap dan tidak ada satu kekurangan,

jikalau ada kekurangan munurut seseorang, maka itu bukan disebabkan al-Qur’an yang

tidak sempurna, melainkan hanya pengetahuan manusia sajalah yang belum sempurna.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, pada mulanya berdasarkan sumber dari penafsiran Rasul
Saw., penafsiran-penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in yang disebut Tafsīr

bi al-Ma`tsur , kemudian muncul penafsiran yang diakibatkan oleh perkembangan zaman

dengan menggunakan ijtihad atau yang disebut dengan Tafsīr bi al-Ra’yu.

Dalam khazanah perkembangan penulisan tafsir al-Qur’an di Nusantara

mempunyai sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan refrensi, sejarah dan

perkembangan penulisan tafsir al-Qur’an sudah di mulai abad 15 hingga abad 17,

walaupun penulisannya belum lengkap 114 surat atau 30 juz Hingga sekarang
bermunculan banyak sekali tafsir-tafsir yang berkembang dengan berbagai macam corak

dan metode.

Selanjutnya, penulisan tafsir al-Qur’an di Indonesia sudah banyak, baik yang

menggunakan metode Taḥlīliīy (runtut) maupun menggunakan tematik atau mauḍū’i

(sesuai dengan topik yang ditentukan). Sedangkan metode penulisan buku Tafsir Ijmaliy

ini lebih condong menggunakan metode Taḥlīliīy (runtut), yaitu penulisan tafsir yang

mengacu pada urutan surat yang ada dalam muṣḥaf atau mengacu pada turunnya wahyu.

B. Pembahasan

1. Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global

tanpa uraian panjang lebar. ”Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an

secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan

enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf.

Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an. Dengan demikian, ciri-

ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib

mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam

tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas,

sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan

berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar. Sebagai contoh:

”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-

Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau

penjelasan yang memadai.

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan faf’il, berasal dari kata al-fasr (f,s,r) yang

berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan kata yang

abstrak. Tasfsir menurut istilah, sebagaimana didefenisikan Abu Hayyan ialah ilmu

yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-


petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun

dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal yang

melengkapinya.

a. Pendapat ulama yang mendukung

- Alimin Mesra dkk, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005), 215-

216.

Berpendapat bahwa “dalam metode ijmali, kita dapat memahami detail-

detailnya, sehingga disini letak peran Rasulullah untuk menafsirkan kata-kata


yang asing bagi para sahabatnya, seperti dalam surah al-Fatihah, para sahabat

tidak mengetahui makna kata yang terkandung dalam ayat

Ghairalmagdhubi’alaihim wa la al-Dhalliin, sehingga nabi menafsirkan kata

al-Maghdhub dengan kaum Yahudi, dan kata Al-Dhallin dengan kaum

Nashrani. Demikian dengan contoh bagaimana nabi menafsirkan kata-kata

sulit yang tidak dipahami oleh para sahabatnya dengan menggunakan metode

ijmali (singkat dan global). Setelah beliau meninggal para sahabat nabi

mengambil peran sebagai penafsir Al-Qur’an. Diantara para sahabat tersebut

adalah Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,

Abdullah bin Mas’ud, ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu

Musa asy’ari, Abdullah bin Zubair. Diluar dari 10 sahabat tersebut

diatas,terdapat sahabat lain yang turut ambil bagian isi dalam menafsirkan Al-

Qur’an.

- Penulis adalah Ketua STIS Al-Ittihad Bima, Dosen tetap UIN

Mataram,mahasiswa Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

berpendapat bahwa “sepanjang perjalanan sejarah Islam itu, melahirkan hasil

nyata dalam bentuk karya tafsir dalam aneka macam corak dan metodologi

yang saling melengkapi satu sama lain. Dalam pembahasan metode penafsiran

Al-Quran, kita mengenal ada beberapa metode tafsir yang digunakan oleh
para ulama yang menghiasi berbagai macam kitab tafsir yang terkenal dalam

dunia Islam. Di antara metode tafsir tersebut ada yang menggunakan metode

Tafsir Ijmali, metode tafsir Tahlily, metode Tafsir Muqarin dan metode tafsir

Maudhu`iy, penggunaan metode tafsir oleh para ulama tersebut tergantung

dari kecenderungan dan minat para ulama masing-masing dalam penggunaan

metodenya, yang disertai dengan kelebihan dan kekurangan yang meliputi

metode tersebut. Tulisan ini akan memaparkan secara singkat tentang metode

tafsir ijmali, yang meliputi sejarah penafsiran Al-Qur`an, definisi tafsir dan
tafsir Ijmali, syarat-syarat mufassir, kelebihan dan kelemahan metode tafsir

ijmali, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ijmali dan contoh

penafsiran metode tafsir ijmali. Sejarah Penafsiran Al-Qur`an Pertumbuhan

tafsir Al-Qur`an dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW,

sebagai orang pertama yang menjelaskan Al Qur`an dan menjelaskan kepada

ummatnya akan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam hatinya.

Pada masa itu tidak ada seorangpun dari sahabat yang berani menafsirkan Al-

Qur`an, karena beliau masih berada ditengahtengah sahabatnya. Beliau

sendirilah yang memikul beban dan menunaikan kewajiban sebagai al-

Mufassir al-Awwal. Nabi memahami Al-Qur`an secara global dan terperinci.

Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya. Firman

Allah, yang artinya: Dan kami turunkan kepadamu Az-Zikr agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka

supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl: 44).Para sahabat juga memahami

Al-Qur`an karena diturunkan dalam bahasa Arab, bahasa mereka sendiri

sekalipun mereka tidak.

Kesimpulan dari kedua pendapat :


Dari kedua pendapat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa

bendapat yang ditulis oleh Alimin Mesra dkk, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PSW

UIN Jakarta, 2005), 215-216 dan Ketua STIS Al-Ittihad Bima, Dosen tetap

UIN Mataram,mahasiswa Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

keduanya sama-sama berpendapat bahwa dalam metode ijmali, kita dapat

memahami detail-detailnya dan mengatakan bahwa metode ini juga

memparkan tentang sejarah penafsiran Al-Qur’an.

b. Pendapat yang bertentangan


Dalam metode ijmali,tidak terdapat pembahasan-pembahasan yang terlihat

bertentangan dengan adanya metode ijmali. Alasannya karena dalam metode

ijmali penggunaan bahasa yang digunakan ringan, penafsirannya mudah dipahami

oleh beragam kalangan, serta relatif murni dan terbebas dari pemikiran-

pemikiran Israiliyat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur'an

sebagai kalam Allah yang Maha Suci.

2. Metode Tahlili (Analitis)

Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan

memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu

serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian

dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, ”pendekatan

analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian

ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai pendekatan ini

mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,

dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang ia yakini efektif [seperti

mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai

beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas

kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang

ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.


a. Pendapat ulama yang mendukung

- Menurut M. Quraish Shihab

Metode tafsir tahlili merupakan suatu bentuk tafsir yang berusaha

menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sisi dengan

memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam

mushaf.

- Menurut Muhammad Baqir al-Shadr

Metode tafsir tahlili sebagai metode tajzi’iy yaitu metode tafsir yang berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi dengan

memperhatikan susunan surat dengan ayat Al-Qur’an.

Kesmpulan dari kedua pendapat :

Dari pendapat kedua ulama tersebut,dapat disimpulkan bahwa pendapat dari

M.Quraish Shihab dan Baqir al-Shadr keduanya sama-sama berpendapat

bahwa metode tahlili adalah metode yang dimana keduanya menjelaskan ayat-

ayat al-Qur’an dengan melihat dari susunan ayat-ayat yang ada dalam Al-

Qur’an.

b. Pendapat ulama yang bertentangan

Pada pendapat ulama yang bertentangan,para ulama tidak ada yang

mengemukakan pendapat yang bertentangan antara yag satu dengan yang

lain,tetapi para ulama atau para Mufasir yang membandingkan penafsiran ulama

tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur’an, baik yang bersifat manqul (altafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat

ra’yu(al-tafsir bi al-ra’yi). Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini

adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada

ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak

menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih. Sedang dalam hal perbedaan

penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari,
menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu

apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas

argumentasi masing-masing.

3. Metode Muqarin (Komperatif)

Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara

dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau

antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-

pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segisegi perbedaan tertentu dari
obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: [a]

membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau

kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang

berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan

hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan [c] membandingkan berbagai

pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat

luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang

berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat

yang dikandungnya. Maka,M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam metode ini

khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat dengan

hadis]...biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan denagan

perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus

masalah itu sendiri.

a. Pendapat ulama yang mendukung

- Nasruddin Baidan

menyatakan bahwa para ahli ilmu tafsir tidak berbeda pendapat dalam

mendefinisikan tafsir muqaran.(Nasruddin,2002:75) Dari berbagai literatur

yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode muqaran
antar ayat ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang memiliki

persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau

memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama. Syahrin Harahap

menjelaskan bahwa tafsir muqaran antar ayat adalah suatu metode mencari

kandungan al-Quran dengan cara membandingkan suatu ayat dengan ayat

lainnya, yaitu ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua masalah

atau kasus yang berbeda atau lebih dan atau yang memiliki redaksi yang

berbeda untuk masalah/kasus yang sama atau yang diduga sama.


- Al Kumi

Menyatakaan bahwa tafsir muqaran antar ayat merupakan upaya

membandingkan ayat-ayat Al-Quran antara sebagian dengan sebagian lainnya.

Selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat al Farmawi yang mendefinisikan

tafsir muqaran antar ayat dengan upaya membandingkan ayat dengan ayat

yang berbicara masalah yang sama.(al-Farmawi,1977:93).

Kesimpulan pendapat :

- Dari kedua pendapat diatas, yang dikemukakan oleh Nasruddin Baidan dan Al

Kuni keduanya berpendapat bahwa dalam metode muqorin menjelaskan

mengenai perbandingan dari ayat-ayat Al-Qur’an antara perbandingan yang

satu dengan perbandingan yang lainnya.

b. Perbedaan pendapat yang bertenangan

Dalam metode muqorin ini,para ulama tidak menjelaskan secara langsung

mengenai berbedaan pendapat mereka,hanya saja mereka menggabungkan

dalam satu gagasan mengenai hal-hal yang bertentangan dalam metode ini

yaitu metode ini [1] penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat

diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir,karena pembahasan

yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim, [2]

metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial


yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan

perbandingan dari pada pemecahan masalah, [3]metode ini terkesan lebih

banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para

ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.

4. Metode Maudhu’I (Tematik)

Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema

atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian

dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya,
seperti asbab al-nuzul, kosakata,dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan

tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an,

hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak

dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah

tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang

dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam

al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-

Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan,sehingga

tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi,

mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau

berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang

sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya

sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang

ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari

pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat

dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y almahdh].Oleh karena itu dalam
pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara

umum di dalam ilmu tafsir.

a. Pendapat yang mendukung

- Zihad Khalil Muhammad al-Daghawin

Berpendapat bahwa semisal ia memakai al-tafsir al-maudhu’I sebagai metode

dalam penafsiran Al-Quran dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an

yang memiliki kesamaan maksud atau tema pembahasan.

- Abd al-Hayy al-Farmawi mendefenisikan al-tafsir al-maudhu’I sebagai


metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan memalui cara penghimpunan

ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan tema kemudian pembahasan

tersebut di susun berdasarkan susunan kronologi dan sebab turunnya ayat.

Kesimpulan pendapat :

Dari kedua pendapat ulama tersebut,dapat disimpulkan bahwa kedua sama-

sama melakukan penafsiran dalam al-qur’an yang dilakukan dengan cara

menghimpun ayat-ayat al-qur’an hanya saja yang membedakan adalah

caranya.

b. Pendapat yang bertentangan

dalam metode ini para ualama tidak ada yang yang mengemukakan

perdebatan pertentangan antara pendapat yang satu dengan yang lainnya kare

sudah jelas bahwa Memenggal ayat al-Qur’an:Yang dimaksud memenggal

ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih

mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang

shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu

ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak

mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf

agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.


C. Penutup

Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi

umat manusia sepanjang masa. Ajaran moral itu yang menjadi landasan hidup manusia di

dunia. Al-Qur’an di dalamnya sudah sangat lengkap dan tidak ada satu kekurangan,

jikalau ada kekurangan munurut seseorang, maka itu bukan disebabkan al-Qur’an yang

tidak sempurna, melainkan hanya pengetahuan manusia sajalah yang belum sempurna.

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti Penjelasan: [a]

Bahasa: dipakai oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan al-Qur’an
diperlukan pengetahuan bahasa Arab, [b] Konteks antara kata dan ayat: untuk memahami

pengertian suatu kata dalam rangkaian suatu ayat tidak dapat dilelpaskan dari konteks

kata tersebut dengen keseluruhan kata dalam redaksi ayat tadi.


REFERENSI

Abdul Mustaqim,Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang

2010),h. V

Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, (Jakarta: PT.Penamadani,2005), h. 3

Muhibbin Noor, Tafsir Ijmali, (Semarang: Fatawa Publishing,2016), h. 1

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan 1994), h. 71

Muhibbin Noor, op. cit., h. VI

Muhibbin Noor, loc.cit


Hujair. A.H. Sanaky: Metode Tafsir, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008

Ahmad Warso Munawwie. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit

Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP.”al-munawwir” Krapyak. Kata: Thariqah

[jalan,cara], hlm.910-1645. Manhaj [cara,metode], hlm. 1567,Ittijah [arah],h;m.1645, dan

Allaunu [warna,corak],hlm.1393. Sebagai perbandingan: Menurut Hans Wehr : thariqah[jamak:

thara’iq] berarti cara,mode,alat,jalan,metode,prosedur dan system.

H.Said Agil Husin al-Munawar,Silabus Diskusi,tanggal 21 Oktober 1998

Contoh Ittijah dalam penafsiran al-Qur’an, buku karangan Abdul Majid Abdus Salam Al-

Muhtasib. 1973. Ittijah al-Tafsir fy al-Ashr al-Hadis, al-Kitab al-Awwal: Ittijah Salafy, Ittijah.

Beirut: Dar al-Fikir, yaitu tentang orientasi tafsir pada masa modern, dan buku karangan Nasr

Hamid Abu Zaid. 1996. Qadliyah al-Majaz fy al-Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah. Beirut: al-Markaz

al-Tsaqafly al-Araby, yaitu tentang orientasi tafsir yang rasional menurut Mu’tazilah. [Muqowin.

1997. Metode Tafsir, Makalah Seminar al-Qur’an Program Pasca Sarjana [S-2] IAIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 18 Desember 1997, hlm.5].

M. Quraish Shihab. 1986. Tafsir al-Qur’an dengan Metode Mawdhu’i, dalam Bustami A. Ginani

et.,al, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an.

hlm. 34. dalam Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an..., hlm. 3-4.

Nashruddin Baidan. Ibid. hlm. 13.


M. Quraish Shihab. Loc. Cit.

Nashruddin Baidan. Op. Cit. hlm. 143-144.

Anda mungkin juga menyukai