Anda di halaman 1dari 10

1.1.

Pengertian Metode Tafsir

Pengertian metode yang bersifat umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik
yang berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau yang menyangkut pekerjaan
fisik. Jadi, metode merupakan salah satu sarana yang teramat penting untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.

Dalam kaitan ini, studi tafsir Alquran tidak bisa dilepaskan dari metode, yakni cara
yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksud Allah dalam ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir Alquran berisi seperangkat kaidah dan aturan
yang harus ditaati ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran. Bila seseorang menafsirkan Alquran
tanpa menerapkan metode, penafsirannya dipastikan akan keliru. Ilmu tentang metode
penafsiran Alquran disebut metodologi tafsir. Berdasarkan makna itu kita dapat membedakan
metode tafsir dan metodologi tafsir.

Metode tafsir merupakan cara-cara penafsiran Alquran, sementara metodologi tafsir


adalah ilmu tentang cara penafsiran itu. Pembahasan yang bersifat teoretis dan ilmiah tentang
metode disebut analisis metodologis, dan cara penyajian atau formulasi tafsir disebut teknik
atau seni penafsiran.

Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan ketika
menafsirkan ayat-ayat Alquran, sedangkan seni atau tekniknya ialah cara yang dipakai ketika
menerapkan kaidah yang tertuang dalam metode.

1.2. Metode-Metode Penafsiran Alquran


Metode merupakan cara atau jalan (cara ilmiah) untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran kajian ilmu. Metode yang dalam istilah Arab lazim disebut ath-thariqah,
memiliki peranan yang sangat penting dalam proses penggalian ilmu, termasuk dalam kaitan
ini adalah ilmu tafsir. Ungkapan ath-thariqah ahammu min al-maddah, metode terkadang lebih
penting daripada materi yang sangat dikedepankan oleh Imam al-Ghazali (450-505 H/1057-
1111 M) mengisyaratkan hal itu. 1

1 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), h. 103


Terkait dengan metode penafsiran Alquran, ada beberapa jenis metode yang biasa
digunakan ulama tafsir. Penafsiran yang lazim digunakan itu ada yang bersifat meluas-melebar
dan global, ada juga yang menafsirkannya melalui studi perbandingan (komparasi). Bahkan,
ada pula menggunakan metode penafsiran Alquran sistematis.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa terdapat empat metode dalam menafsirkan
Alquran. Empat metode tersebut adalah : metode tahlili (altafsir al-tahlili), metode ijmali (al-
tafsir al-ijmali), metode perbandingan (altafsir al-muqaran), dan metode tematik (al-tafsir al-
mawdhu'i). 2 Keempat metode ini dipakai oleh para mufassir sesuai dengan
kecenderungan yang mereka punyai masing-masing terhadap metode tersebut.
a) Metode at-Tahlili
Secara harfiah, at-tahlili berarti terlepas atau terurai. Jadi, at-tafsir at-tahlili ialah
metode penafsiran ayat-ayat Alquran melalui pendeskripsian (menguraikan) makna
yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tata-tertib susunan atau
urut-urutan surat-surat dan ayat-ayat Alquran yang diikuti oleh sedikit-banyak analisis
tentang kandungan ayat itu. Metode tafsir at-tahlili yang biasa disebut metode tajzi'i ini
termasuk metode tafsir tertua usianya. 3
Tahlili merupakan metode yang banyak dipergunakan oleh banyak kalangan
ulama pada masa-masa dahulu. Tahlili adalah model sistematika penyajian tafsir yang
rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan penulisan tafsir yang ada dalam model
tafsir klasik. Yaitu sejak dipakai oleh ahli tafsir al-Farra (w. 206 H/821 M) menerbitkan
kitab tafsirnya itu atau sejak Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau selambat-lambatnya
sejak masa ath-Thabari (w. 310 H/922 M). Kita-kitab tafsir Alquran yang pernah ditulis
para mufasir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir, atau bahkan semuanya,
menggunakan metode at-tahlili. Metode itu bisa berbentuk tafsir bi al - ma'tsur seperti
Jami 'al-Bayan Ta'wilayi al-Qur'an karya Ibn Jarir ath-Thabari atau tafsir bi ar-ra'yi
seperti at-Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Muhammad Fakhr al-Din ar-
Razi. Aliran tafsir bi al ' isyarah atau al-bathiniyyah pun menampilkan tafsir dengan
metode at-tahlili seperti kitab Gharaib al-Qur'an wa Raghain al-Furqan karya an-
Naysaburi (w. 728 H/1328 M).4

2 M. Yunan Yusuf, Syamil, “Metode Penafsiran Alquran”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Vol.2, No.1,
2014) h. 59
3 Ahmad Izzan, Op. Cit,. h. 103
4 Ibid.,
Perkembangan metode tafsir at-tahlili mengalami perkembangan yang sangat
pesat pada masa-masa berikutnya. Bahkan, hingga kini, kitab-kitab tafsir yang
menggunakan pendekatan tafsir at-tahlili masih terus mengalir penerbitannya. Ada
banyak kitab tafsir karya ulama besar yang berbentuk tafsir at-tahlili. Beberapa di
antaranya yang dapat disebutkan, antara lain, adalah Jami' al-Bayan'an Ta'wil Ayi al-
Qur’an karya besar Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H/922 M) ; Tafsir al-Qur'an al- 'Azhim
karya al-Hafizh Imad al-Din Abi al-Fida 'Isma'il bin Katsir al-Quraisyi al-Simasyqi (w.
774 H/1343 M); Bahr al- 'Ulûm karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abu al-laits
as-Samarqandhi (w. 393 H/1002 M); dan, Ad-Durr al-Ma’tsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur
karya Jalal al-Din as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M).5
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti Alquran dengan memaparkan
segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang
terdapat di dalam Alquran mushaf Utsmani. Dalam melakukan penafsiran, mufasir
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat
yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian
ayat, untuk itu, ia merujuk kepada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah saw.
dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Model inilah sebetulnya yang hampir dikatakan menjadi model standar dalam
penyajian tafsir, karena telah secara umum banyak digunakan oleh para ulama tafsir,
dalam model ini, literatur disusun hampir selalu dimulai dari pembahasan tentang
urutan surat yang ada dalam model mushaf standar.
Sebagai metode yang paling awal muncul dalam studi tafsir, metode tahlili ini
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat
Alquran. Metode ini mencakup : 6

• Al-Munasabah (hubungan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu surah
dengan surah yang lain, atau antara awal surah dengan akhirnya.
• Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun) yakni latar belakang sejarah atau kondisi sosial
turunnya ayat Alquran.
• Al-Mufradat (kosa kata) atau lafal dari sudut pandang dan qaidah kebahasaan yang
terdapat dalam bahasa Arab. Termasuk juga dalam langkah ini menelaah syair-syair
yangberkembang pada masa sebelum dan waktu turunnya Alquran.

5 Ibid.,
6 M. Yunan Yusuf, Op. Cit,. h. 59
• Fasahah, Bayan dan I’jaz yang terdapat dalam ayat ynag sedang ditafsirkan, terutama
ayat-ayat yang mengandung balaghah (keindahan bahasa).
• Al-Ahkam fi al-ayat, dengan melakukan istinbath sehingga diperoleh kesimpulan
hukum fiqh dari ayat yang sedang ditafsirkan.
• Al-Hadits yang menjelaskan maksud dari kandungan ayat Al-Qur'an, termasuk qawl
sahabat dan tabi‟in.
• Apabila tafsir bercorak saintifik maka pendapat-pendapat para pakar di bidangnya juga
dijadikan rujukan oleh mufassir.

Ditilik dari kandungan dan corak pembahasan serta sumber yang dipergunakan oleh
tafsir dengan metode tahlili, maka dapat dikatagorikan ke dalam tujuh corak penafsiran, yaitu
: Al-Tafsir bi al-Ma'tsur, Al-Tafsir bi al-Ra'yi. Al-Tafsir Al-Shufi, Al-Tafsir Al-Fiqh, Al-Tafsir
Al-Falsafi, Al-Tafsir Al- ‘Ilmi dan Al-Tafsir Al-Adabi al-Ijtima'i.
Kelebihan tafsir at-tahlili, antara lain, keluasan dan keutuhannya dalam memahami
Alquran. Melalui metode tahlili, seseorang diajak-serta untuk memahami Alquran dari awal
hingga akhir. Ruang lingkupnya sangat luas, Karena luasnya ruang lingkup metode ini mufasir
dapat menggunakan bentuk bi al-matsur dan bi al-ra’yi. Memuat berbagai ide, Metode ini
memberikan kesempatan yang luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide dalam menafsirkan
Alquran, terlebih lagi dalam bentuk bi al- ra’yi sehingga melahirkan penafsiran yang lebih
bercorak dan lebih berkembang.
Sebagai sebuah metode yang bersifat nisbi karena hasil-karya manusia, metode tafsir
at-tahlili tidak bisa terlepas dari kelemahan, antara lain, kajian metode tafsir al-tahlili kurang
mendalam, tidak detil, dan tidak tuntas dalam pembahasan dan penyelesaian topik-topik yang
dibicarakan. Penafsiran Alquran dengan metode tafsir at-tahlili pun memerlukan waktu yang
sangat panjang dan menuntut ketekunan-kesabaran yang tinggi. Di sisi lain, jalan metode tafsir
tahlili pun "terseok-seok" (tidak sistematis) seperti yang dikritik oleh Rasyid Ridha.7

b) Metode al-Ijmali

Al-Tafsir Al-Ijmali, yakni metode tafsir yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat


Alquran secara global. Dengan metode ini mufasir hanya menafsirkan ayat-ayat Alquran secara
garis besar, tanpa perincian detail sama sekali. Oleh sebab itu penafsiran yang disajikan terasa
ringkas dan padat, menyangkut kata-kata yang memerlukan penjelasan. Adakalanya metode

7 Ahmad Izzan, Op. Cit,. h. 105


ijmali ini terkesan menerjemah kata saja. Tetapi penerjemahan di sini dimaksudkan memberi
tafsir tentang kata yang sedang diterjemahkan itu, bukan hanya menggali bahasa. Itu sebabnya
metode ijmali terkesan membiarkan Alquran menjelaskan dirinya sendiri.
Adapun ijmali adalah metode tafsir yang digunakan untuk menjelaskan uraian-uraian
singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Atau boleh dikatakan metode ini menjelaskan
ayat-ayat Alquran secara singkat tetapi mencakup, dengan menggunakan bahasa yang populer,
serta mudah dimengerti dan dibaca. Sistematikanya menuruti susunan ayat dalam mushaf.
Dengan menggunakan metode ini, mufasir menjelaskan makna ayat-ayat Alquran secara garis
besar dengan mengikuti sistematika tata-tertib mushaf, sehingga makna-makna saling
berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ayat Alquran tersebut, mufasir menggunakan
ungkapan-ungkapan yang diambil dari Alquran sendiri dengan menambahkan kata atau kalimat
penghubung, juga menyajikan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbabun nuzul),
hadis Rasulullah saw., dan pernyataan-pernyataan dari ulama secara singkat. Dengan gaya
bahasa yang mirip, bahkan sama dengan lafaz Alquran, tampak terkesan bahwa lafaz-lafaz
Alquran itu menjadi jelas dan mudah dipahami.
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlah. Jadi,
tafsir al-ijmali ialah penafsiran Alquran dengan cara mengemukakan isi dan kandungan
Alquran melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. Pembahasan tafsir al-
ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Misalnya, Tafsir
al-Farid li al-Qur'ân al-Madjid hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-
nuzul dan penjelasan singkatnya. Adakalanya juga mengedepankan al-mufradat, lalu sabab an-
nuzul dan al-ma'na, atau mendahulukan al-ma'na dan sabab an-nuzul. Ada beberapa kitab tafsir
yang menggunakan metode tafsir al-ijmali yang hanya mengedepankan makna sinonim itu.
Beberapa kitab tafsir yang bisa disebut, antara lain, Tafsir al-Jalalayn karya Jalal ad-Din as
Suyuti dan Tafsir Ijmali karya Muhammad Mahmud Hijazi yang juga hanya mengemukakan
al-mufradat, ma'na (penjelasan), dan sabab al-nuzul.
Tafsir klasik yang disajikan dengan metode ijmali ini antara lain adalah Tanwir al-
Miqbas min Tafsir ibn Abbas, karya Ibnu Abbas dan Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, karya Imam
Jalal al-Din al-Suyuti dan Jalal al-Din AlMahalli.8
Beberapa kitab tafsir lainnya yang metode penafsirannya menggunakan manhaj al-
ijmali, antara lain, at-tafsir al-Farid li al-Qur'an al-Majid karya Dr. Muhammad 'Abd al-

8
Mun'im; Marah Labid Tafsir an Nawawi atau at-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Tanzil al-
'Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani.9
Penafsiran Alquran dengan metode ijmali (global) tampak sederhana, mudah, praktis,
dan cepat, serta pesan-pesan Alquran yang disampaikan pun mudah ditangkap. Inilah kelebihan
yang sesungguhnya tepat dikatakan untuk metode tafsir yang tampak sederhana, yakni tafsir
ijmali, dibandingkan metode tafsir lainnya. Di sisi lain, kelemahan tafsir ijmali terletak pada
sifatnya yang simplisitis sehingga telaah dan kajiannya terlalu dangkal, berwawasan sempit,
dan parsial (tidak komprehensif).

c) Al-Tafsir al-Muqaran

Muqarran memiliki arti perbandingan, sehingga berarti metode yang digunakan dalam
metode ini adalah cara kerja dengan membandingkan. Tetapi definisi lain memberikan
pengertian muqaran sebagai metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan
merujuk pada perbandingan ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi di dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama, bisa juga berarti membandingkan ayat Alquran dengan hadis yang pada lahirnya
bertentangan, dan juga membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
Alquran.

Objek kajian tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:

• Perbandingan ayat Alquran dengan ayat lain. Dengan cara ini, membandingkan ayat-
ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi yang berbeda dalam masalah atau kasus
yang diduga sama. Di dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang memiliki kemiripan
redaksi atau lafaz yang tersebar pada beberapa surat. Kemiripan itu dapat terjadi dalam
berbagai bentuk yang menyebabkan adanya nuansa makna tertentu, misalnya
perbedaan dalam susunan kalimat. Perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya
nuansa perbedaan makna sering kali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat
dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, ilmu munasabah dan ilmu asbabun
nuzul sangat membantu dalam menafsirkan melalui metode muqarran ini dalam hal
perbedaan ayat tertentu dengan ayat yang lain.

9 Ahmad Izzan, Op. Cit,. h. 105


• Perbandingan ayat Alquran dengan hadis. Mufasir membandingkan ayat-ayat Alquran
dengan hadis Rasulullah SAW. yang terkesan bertentangan, kemudian berusaha
menemukan kompromi antara keduanya. Dalam melakukan perbandingan ayat Alquran
dengan hadis yang terkesan bertentangan itu, langkah pertama yang ditempuh mufasir
adalah menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat Alquran. Hadis
tersebut harus shahih, karena bila ada hadis yang memiliki kualifikasi yang lemah
(hadis daif) tidak dapat diperbandingkan, karena di samping nilai autentisitasnya
rendah, justru semakin tertolak karena bertentangan dengan Alquran. Setelah itu
mufasir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.
• Perbandingan produk penafsiran mufasir dengan mufasir lain, dalam membandingkan
penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf dalam menafsirkan ayat-
ayat Alquran tertentu ditemukan adanya perbedaan di kalangan ulama tafsir, karena
perbedaan hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan dan sudut pandang masing-
masing. Dalam hal perbedaan di kalangan ulama tafsir tersebut, mufasir berusaha
mencari, menggali, menemukan dan mencari titik temu di antara perbedaan itu apabila
memungkinkan, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.

Jelaslah bahwa yang menjadi objek pembahasan pada bagian ini adalah berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh para ulama tafsir dalam satu ayat tertentu, kemudian
melakukan perbandingan di antara berbagai pendapat yang dikemukakan itu. Sedangkan yang
dianalisis dua bagian yang sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang mirip dari
ayat-ayat Alquran atau antara ayat dengan hadits yang kelihatannya secara lahiriah berlawanan.

Namun satu hal perlu ditegaskan di sini bahwa al-tafsir al-muqarran hanya berfokus
pada persoalan redaksi yang berbeda antara ayat-ayat Alquran, bukan dalam aspek
pertentangan maknanya. Sebab dalam aspek makna, memang terdapat perbedaan, karena kosa
kata Alquran sering mengandung makna yang berbilang.

Kitab tafsir yang termasuk kedalam tafsir muqaran ini adalah The Quran and Its
Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba memperbandingkan beberapa tafsir
dari para mufasir yang berbeda latar belakang aliran, mazhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu
Araby (tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab Syafi‟I dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir lughawi) Al-
Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir Mu'tazili), Al-Razy (tafsir Sunny), AlQumi
dan Al-Thabdil (Syi'ah klassik), Thabathaba'I (Syi'ah modern) dan Sayyid Quthb (ijtima'i).

d) Al-Tafsir al-maudhu'i

Untuk pengertiannya, dapat disimpulkan definisi tafsir maudhu’i mempunyai dua sudut
pandang yaitu dari:10

• Pengertian tafsir maudhu’i dari segi metode, bahwa tafsir maudhu’i adalah suatu
metode dalam menafsirkan Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang
mempunyai tema atau topik pembahasan dan juga tujuan yang sama lalu
menafsirkannya dengan terperinci seperti yang ada pada kaidah tafsir tahlili,
menjelaskan maknanya dan mengistinbatkan hukum-hukum di dalamnya.
• Pengertian tafsir maudhu’i dari segi definisi adalah suatu ilmu yang di dalamnya
mencakup atau membahas tema-tema tertentu yang tampak dan menjadikannya sebagai
dasar dalam menjelaskan metode penafsiran Alquran berdasarkan kaidah dan syarat-
syarat yang sesuai agar penafsiran tersebut selamat dan sampai kepada tujuannya yaitu
menjadi hidayah.

Sehingga tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang menggunakan metode tematik dalam
menafsirkan Alquran. Yang dimaksud dengan tematik adalah suatu tema yang ditetapkan oleh
mufasirnya dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut menjadi satu
kesatuan dan melakukan analisis terhadap ayat-ayatnnya secara spesifik. Tujuannya adalah
untuk menemukan makna dan konsep, sesuai dengan tema yang sedang dibahas serta menarik
hubungan satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan.
Secara global metode ini memiliki dua bentuk, yaitu: pertama, tafsir yang membahas
satu surah Alquran secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud
umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menggabungkan ayat yang satu dengan
ayat yang lainnya, sehingga surat tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-
betul cermat, teliti dan sempurna. Berkenaan dengan bentuk ini, al-Syatibi dalam kitabnya al-
Muwafaqat berkata: “Satu surat Alquran, meskipun banyak mengandung masalah, tetapi
sebenarnya masalah itu satu, karena pada hakikatnya menunjuk kepada satu maksud”. 11
Bentuk kedua adalah tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Alquran yang
memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil

10
11
kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Melalui kajian seperti ini, mufasir mencoba
menetapkan pandangan Alquran yang mengacu kepada tema khusus dari berbagai macam tema
yang berkaitan dengan alam dan kehidupan. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat
lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufasir kepada kesimpulan yang menyeluruh
tentang masalah tertentu menurut pandangan Alquran.
Lebih lanjut secara rinci, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyusun tafsir
berdasarkan bentuk metode ini yaitu:12

• Menentukan pokok bahasan setelah menentukan batasan-batasannya dan mengetahui


jangkauannya di dalam ayat-ayat Alquran.
• Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut.
• Merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnya
• Kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir metode
tahlili, pengetahuan asbab al-nuzul, munasabah, dan pengetahuan tentang petunjuk
(dalalah) suatu lafaz dan penggunanya.
• Menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna.
• Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut dengan masalah yang
sedang dibahas.
• Mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
sama pengertiannya, atau yang mengompromikan antar yang ‘am dan khas yang
muthlaq dan muqayyad, atau yang kelihatannya kontradiktif, sehingga semuanya
bertemu dalam suatu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
• Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa pasal, dan setiap pasal
itu dibahas secara luas sesuai dengan cakupan bahasannya itu, kemudian diterapkan
unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, lalu
menjadikan unsur yang bersifat cabang sebagai satu macam dari pasal. Hal ini untuk
mempermudah kepada para pembaca dalam menelaah kandungan pokok ayat Alquran.

Kitab-kitab tafsir yang termasuk ke dalam tafsir maudhu'i ini adalah Al Insan fi al-
Qur'an dan Al-Mar'ah fi al-Qur'an karya Abbas Mahmud Aqqad, Al-Riba fi al-Qur'an dan Al-
Musthalahat al-Arba'ah fi al-Qur'an karya Abu Al-A'la alMaududi.

12

Anda mungkin juga menyukai