Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“Perkembangan dan Tahapan Janin Menurut Alquran dari


Perspektif Empat Kitab Tafsir”

Dosen Pengampu :

Achmad Syauqi Al Fanzhari, M.Ag

Hardivizon, M.Ag

Disusun Oleh :

Halima Tussakdiyah

Meyti Yansih

Wulan Karuniawati

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Institut Agama Islam Negeri Curup

2022 M / 1444 H

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk memahami Alquran secara mendalam dan benar, maka seseorang harus
senantiasa mempelajarinya. Dan salah satu, juga merupakan sarana utama untuk mendapatkan
pemahaman itu adalah dengan memahami penafsiran dari kitab tafsir yang ada.

Ada banyak kitab tafsir yang telah disusun oleh para mufassir selama ini, dan di
antaranya ada yang familiar juga ada yang asing di telinga masyarakat umum Indonesia. Pada
kesempatan kali ini kami menyusun makalah mengenai penafsiran dari empat kitab tafsir dari
pengarang yang berbeda yang kemungkinan besar masyarakat umum jarang mengetahuinya.

Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tafsir, kami menyusun makalah ini
juga bertujuan agar tulisan ini bisa dijangkau masyarakat luas dan semoga bisa menambah
pengetahuan kita semua.

Untuk memahami lebih jauh tentang kitab-kitab tafsir tersebut, maka dibahas dalam
makalah ini topik yang meliputi keempat rumusan masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut
pada bab-bab ke depannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran menurut kitab tafsir karya Muhammad Rasyid Ridha?
2. Bagaimana penafsiran menurut kitab tafsir karya Imam al-Thabari?
3. Bagaimana penafsiran menurut kitab tafsir karya Ibnu Hayyan?
4. Bagaimana penafsiran menurut kitab tafsir karya Sa’id Hawa?
5. Bagaimana perbandingan dari keempat kitab tafsir tersebut?
6. Bagaimana analisis penulis terhadapnya?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kitab Tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha


1. Biografi Muhammad Rasyid Ridha

Lahir dengan nama Muhammad Rasyid ibn Ali Ridha ibn Muhammad Syamsuddin al-
Qalamuni, selanjutnya terkenal dengan nama "Ridha" lahir di desa Qalamun Libanon pada
tanggal 23 September 1865. Beliau berasal dari keturunan bangsawan Arab memiliki garis
keturunan langsung dari Husain ibn Ali, cucu Muhammad dari Fatimah. Oleh karena itu ia
memakai gelar "Sayyid".1

Ayahnya seorang ulama terekat Syazaliyah, maka itu sejak kecil Rasyid Ridha sudah
terbiasa mengenakan jubah dan serban bahkan bertekun diri dalam pengajian dan wirid. Di
Madrasah Tradisional desa al-Qalamun ia memulai pendidikan formalnya. Setelah tamat ia
pindah ke Madrasah Ibtidaiyyah Rasyidah di Tripoli. D sini in belajar ilmu alat (nahwu &
Sharaf), aqidah, fiqh, geografi serta bahasa Arab dan Turki.

Agaknya, Rasyid Ridha tidak tertarik untuk terus belajar di Madrasah tersebut, karena
para pelajar di sana hanya dipersiapkan untuk menjadi pegawai Pemerintah, maka setahun
kemudian ia pindah ke Madrasah al-wathaniyah al Islamiyah di Tripoli. Sekolah ini didirikan
oleh Syaikh Husain al Jisr seorang pengagum al- Afghani dan penganjur pembaharuan. Syaikh
inilah yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha,
khususnya ide-ide ide-ide pembaharuannya.

Kendati tidak sedominan al-Jisr pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran


Ridha, tampaknya in pernah berguru pada Syaikh Mahmud Nashabab, Syaik abd al Ghani dan
Syaikh al-Qawiyi dalam bidang ilmu Hadits. Disamping berguru dengan para syaikh di atas,
Ridha juga merupakan pengagum al Ghazali. Bahkan karyanya, Ihya Ulum al Din begitu
berpengaruh terhadap kepribadiannya sehingga membawanya masuk terikat Naqsabandiyah.
Meskipun pada perkembangan selanjutnya in tinggalkan setelah berkenalan dengan ide-ide
pembaharuan Abduh melalui majalah "Al-Urwah al Wustha".

1 Masnur Kasim, “Muhammad Rasyid Ridha Antara Rasionalisme dan Tradisionalisme”, (Riau: UIN
Sultan Syarif Kasim, Vol.37, No. 2, 2012) h. 129

3
Pada saat Abduh berkunjung ke Bainut sekitar tahun 1885 M dalam rangka menemui
temannya Syaikh Abdullah al-Barakah yang mengajar di sekolah al-Katimiyah, Ridha sempat
berdiskusi, di seputar tafsir yang cukup representatif saat itu yakni Tafsir al-Kasysyaf karya al-
Zamakhsyari, dengan Abduh. Tampaknya pertemuan ini sangat berkesan pada diri Ridha
sehingga pada tahun 1898 M Hijrah ke Mesir. Setelah beberapa bulan menjadi murid Abduh
segera bersama-sama dengan gurunya menerbitkan majalah "Al-Manar".

Selain sebagai Jurnalis, Ridha ternyata merupakan seorang penulis yang cukup
produktif. Karya-karyanya antara lain ialah:

1. Tarikh al ustadz al-imam al-Syaikh Abduh

2. Nida Li al Jins al Lathif

3. Al Wahyu Al Muhammadi

4. Yusral Islam wa ushul al Yasyri al "Am

5. Al Khilafat

6. Al Wahabiyah wa al Hijaz

7. Munawarat al-Muslih wa al Muqallid

8. Zikra al Maulid al Nabawi

9. Syubaht al-Nashara wa Hujaj al Islam

10.Al Azhar wa al Manar

11.Al Hikmah al Syar'iyah fi Mahakamat al Dadiriyah wa al Rifa'yah

12.Risalatu Hujjat al Islam al Ghazali

13.Al Sunnah wa al Syi'ah

14.Al Wahdah al Islamiyah 15.Haqiqah al Riba

16.Tafsir al Manar.

Rasyid Ridha wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M. karena kecelakaan mobil setelah
pulang dari Suez untuk mengantarkan Pangeran Su'ud al Faisal.

2. Latar Belakang Pendidikan

4
Ayahnya sangat memperhatikan pendidikan sehingga keadaan rumah dan tempat
tinggalnya dijadikan sarana utama untuk mendidik anaknya. Perhatian ayah yang begitu besar
mendorong Ridla selalu memelihara rumah tempat tinggalnya sebagai tempat memuliakan
akhlak. Ia memandang pola pembinaan yang telah dibangun oleh ayahnya perlu dilestarikan
karena di saat itu, di rumah-rumah jarang dijumpai pola pembinaan moral dan fitrah manusia
seperti yang diterapkan oleh ayahnya. Perhatian pendidikan orang tua Ridla terhadap anak,
dapat dicermati dari pengakuan Rasyid Ridla sendiri: 2

“Sesudah belajar dasar-dasar bacaan, tulisan dan tulisan indah di kampung, pada sebuah
rumah yang di dalamnya terdapat berbagai macam buku, tanpa memperhatikan urusan dunia
dan kurang memperhatikan bermain bersama dengan teman-teman sebaya, maka tidak ada di
hadapan saya sesuatu pun kecuali buku-buku dan saya sangat bangga mempelajarinya. Kata
Ridla selanjutnya, orang tuaku menunda mendaftarkan saya di kota karena beliau takut atas
pembentukan akhlak dan pendidikan akan dirusak oleh gaya pergaulan penduduk kota. Dengan
alasan itu, Ayahku kemudian menunggu sampai saya memiliki kecerdasan yang dapat
menentramkan saya."

Pernyataan Ridla di atas telah menunjukkan adanya komitmen orang tua dalam
menanamkan disiplin pendidikan kepada anaknya. Nilai- nilai agama yang selama ini telah
tertanam dalam keluarga Ridla merupa- kan bangunan kepribadian moral yang kokoh yang
tidak boleh dihancurkan oleh generasi berikutnya. Dengan kata lain, keteladanan orang tua
yang senantiasa ta'at dan berpegang teguh dengan ajaran agama Islam dapat mewarnai
kehidupan anaknya, yang jika telah tumbuh dewasa anaknya terbiasa hidup dengan
berpedoman kepada ajaran yang baik dan benar.

Kegigihan orang tua semacam itu mengandung arti pendidikan khusus bagi anaknya
dalam menumbuhkan kepribadian mulia dan membangun wawasan pemikiran. Termasuk
pemikiran pembaharuan yang kelak menjadi misi anaknya di dalam memperbaiki kejumudan
masyarakat di bidang ilmu pengetahuan agama.

Asuhan orang tua yang demikian dan sikap Rasyid Ridla terhadap orang tuanya,
menyiratkan adanya gagasan Ridla bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan utama
dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan anak. Begitu pula fungsi dan peran rumah

2 Fauzul Iman, “Muhammad Rasyid Ridha Sejarah dan Pemikirannya”, (Banten: STAIN Sultan

Maulana Hasanuddin, Vol. 19, No. 92, 2002) h. 29-30

5
sebagai tempat pertama dan utama dalam upaya menanamkan akhlak yang mulia terhadap
anak.

Pendidikan formal yang diterima oleh Rasyid Ridla adalah lembaga pendidikan
tradisional yang bemama 'Kuttab' di Qolamun, tempat kelahirannya. Setelah itu, ia meraih
pendidikan yang didirikan oleh pemerintahan Usmani di Tripoli, yang direkturnya adalah
Syaikh Husain al-Djisr.

Syaikh Husain al-Djist adalah ulama Tripoli yang lahir pada tahun 1261 H./1845 M.
dan meninggal pada tahun 1909 M. Pada Ulama inilah Rasyid Ridla berguru dan sekaligus
pembimbing di masa mudanya." Bagi Ridla Al-Djisr merupakan guru pertama, walaupun
sebelumnya terdapat beberapa orang guru yang telah mendidiknya.

Syaikh Husain al-Djisr dikenal sebagai seorang guru yang mem- bawa kebangkitan
kebudayaan Arab. Ia menggagas, di sisi Pemerintah Kerajaan Usmani, berdirinya Al-Madrasat
al-Wathaniyat. Al-Djisr, menurut al-Adawy, berpendapat bahwa umat Islam tidak akan baik
dan maju kecuali dengan menggabungkan ilmu agama dan ilmu dunia sesuai dengan metode
modern Eropa dengan pendidikan Islam Nasional. Ketika itu di Suria, lanjut al-Adawy,
bermunculan pendidikan asing yang didirikan oleh sekolah-sekolah negara Eropa dan
Amerika, yang dapat menarik sejumlah besar anak-anak negeri untuk belajar di sana."
Berkenaan dengan gurunya itu, Rasyid Ridla mengakui ia mengambil pengetahuan Bahasa
Arab, Syari'at, pengetahuan umum dari al-Syaikh Husain al-Djisr. Al-Djisr memiliki
pandangan yang luas tentang pengetahuan modern, seperti diketahui dari kitabnya al-Risalat
al-Hamidiyat, dan ia adalah penulis dari penyair modem. Ia menulis dan mengarang dalam
berbagai topik dengan susunan yang mudah, mempunyai metode khusus dalam pen- didikan
berbeda dengan metode al-Azhar. Ia berusaha memberi penjelasan dengan mudah,
menghindari permainan kata-kata dan pembuatan catatan-catatan pinggir.

Al-Djisr dipandang oleh Ridla sebagai guru pertama karena beliau adalah yang pertama
kali memberikan ide-ide modern dan pendidikan modern terhadap Rasyid Ridla. Pendidikan
modem yang dimaksud sudah barang tentu pendidikan yang dilaksanakan sesuai dengan
perkembangan zaman modem, walaupun tidak sepersis dengan pendidikan yang dilaksanakan
zaman modern sekarang.

Melalui lembaga pendidikan yang dipimpin oleh al-Djist, Ridla mempelajari bahasa
Arab, Perancis, dan bahasa Turki di samping belajar ilmu Syari'ah, filsafat kejiwaan dan ilmu
pasti. Akan tetapi lembaga pendidikan ini umurnya tidak begitu panjang karena mendapat

6
tantangan dari Kerajaan Usmani, sehingga para pelajarnya memilih pindah ke sekolah lain.
Ridla sendiri meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun
ia masih tetap mengadakan hubungan dengan gurunya, Husain al-Djist.

3. Mazhab dan Dasar Pola Pikir

Rasyid Ridha bermazhab Hanbali dan ia memiliki pola pikir sendiri dalam hal agama.
Dalam bidang agama, Rasyid Ridha berpendapat umat Islam lemah dikarenakan tidak lagi
mengamalkan ajaran agama yang murni seperti yang diterapkan pada masa Rasulullah SAW.
Sebab, ajaran pada saat itu sudah tercampur bid'ah dan khurafat. Rasyid Ridha juga
menegaskan, jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang teguh kepada Al-
Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW tanpa terikat oleh pendapat-pendapat ulama terdahulu
yang tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Ia kemudian mengamati paham fatalisme
yang menyelimuti umat Islam pada waktu itu. Rasyid Ridha berpendapat ajaran Islam itu
seharusnya mengandung paham dinamika, bukan fatalisme. Idenya yang lain ialah toleransi
dalam bermazhab. Menurutnya, timbulnya perpecahan pada kalangan umat Islam dikarenakan
adanya sikap fanatisme terhadap mazhab. Oleh karena itu, menurut Rasyid Ridha perlu
menghidupkan toleransi dalam bermazhab. Bahkan, termasuk dalam bidang hukum, walaupun
ia sendiri sebagai pengikut Mazhab Hanbali.

4. Metode dan Corak Tafsir

Dalam kitab tafsirnya, al Manar, Rasyid Ridha menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah
dan perbuatannya. Bahkan menurutnya pengetahuan akan Allah dan sifat sifatnya merupakan
ilmu yang fundamental bagi kesempurnaan hidup manusia. Allah sendiri, kata Ridha telah
menempatkan sifat-sifat itu tidak dapat disamakan dengan makhluknya, bahkan sifat tersebut
tidak mungkin terdapat pada makhluknya. Semua sifat-sifat Allah justru membuktikan
kesempurnaannya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Allah menyebutkan sifat-sifatnya
agaknya nampak sama dengan sifat manusia, tetapi secara esensial sifat tersebut tidak dapat
diperbandingkan. Sebab Allah maha suci dari keserupaan terhadap makhluknya, baik dalam
sifat, zat maupun perbuatannya.

Dari uraian data di atas dapat dipahami bahwa Rasyid Ridha, dalam masalah sifat Allah
terperangkap dalam paham "Sifatiyah". Dan dalam hal inilah Rasyid Ridha bertolak belakang
dengan paham gurunya, Muhammad Abduh. Bagi Ridha ayat-ayat yang mengatakan bahwa
Tuhan mempunyai wajah, tangan, kursi, arsy dan lain-lain tidak harus diberi interpretasi
sebagaimana Abduh. Dalam hal ini Rasyid Ridha cenderung tawakuf, artinya Ridha tetap

7
memberi arti sebagaimana adanya. Tentang penulisan tafsir al-Manar, bahwa Muhammad
Abduh menenulis Tafsir al-Manar tidak sampai selesai, bahkan jauh dari kata selesai. Ia
menulis Tafsir al-Manar hanya sampai pada surah al-Nisa ayat 126. Dari sini kemudian
kemudian diteruskan oleh sahabat dan juga muridny, Muhammad Rasyid Ridha.3

Tafsir ini mempunyai metode tahlili dan bercorak adabi wa ijtima'i. Dalam menafsirkan
al-Qur'an Rasyid Ridha sangat hati-hati terhadap riwayat israiliyyat, karena menurutnya
israiliyyat adalah cerita palsu yang dikarang oleh non muslim untuk menghancurkan akidah
orang muslim, dan lebih percaya kepada cerita-cerita yang mereka karang. Penafsiran Rasyid
Ridha juga membahas ayat al-Qur'an secara panjang lebar dan lebih rinci apabila dibanding
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode tafsir yang dilakukan Rasyid Ridha ini dalam bidang
tafsir lebih dikenal dengan metode tahlili (analisis). Selain itu Rasyid Ridha juga sangat kritis
terhadap pendapat mufasir sebelumnya.

Tafsir karangan Rasyid Ridha ini mendapat sambutan baik dari masyarakat. Tafsir ini
bukan hanya terkenal di daerah Mesir saja, bahkan tafsir ini sudah sangat masyhur di wilayah
Indonesia. Karena banyak yang berpendapat bahwa tafsir ini bagus untuk dijadikan rujukan,
khususnya bagi pelajar. Karena dalam tafsir ini Rasyid Ridha menghindari pemakaian istilah-
stilah ilmiah. Jadi tafsir ini dengan mudah dapat dipahami oleh orang awam, namun tidak bisa
diabaikan oleh para cendikiawan. Tafsir al-Manar menyuguhkan nuansa baru dalam
menafsirkan al-Qur'an, karena penafsirannya menjawab hal-hal yang dibutuhkan masyarakat
pada saat itu.

5. Penafsiran Tentang Surah Al-Hajj ayat 5

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫علَقَة ث َّم مِن ُّمضغَة ُّم َخلَّقَة‬ ِ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلنَّاس ِإن كنتم فِي َريب مِنَ ٱلبَع‬
َ ‫ث فَإِنَّا َخلَقنَكم مِن ت َراب ث َّم مِن نُّطفَة ث َّم مِن‬
‫َوغَي ِر م َخلَّقَة لِن َب ِينَ لَكم ۚ َونق ُِّر فِي ٱۡلَر َح ِام َما نَ َشآَٰء ِإلَ َٰٓى أَ َجل ُّم َس ًّمى ث َّم نخ ِرجكم طِ ف ًل ث َّم ِلتَبلغ َٰٓوا أَشدَّكم ۖ َومِ نكم َّمن‬
َ ‫ض هَامِ دَةً فَإِذَآَٰ أَنزَ لنَا‬
‫علَي َها ٱل َما َٰٓ َء ٱهت ََّزت‬ َ ‫يت ََوفَّى َومِ نكم َّمن ي َردُّ إِلَ َٰٓى أَرذَ ِل ٱلعم ِر ِلكَي َل يَعلَ َم مِن بَع ِد عِلم شَيئًا ۚ َوت ََرى ٱۡلَر‬
ِ ‫َو َربَت َوأَنبَتَت مِن ك ِل زَ و‬
‫ج بَ ِهيج‬

"Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar

3 Mahbub Junaidi, “Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridh”,

(Lamongan: Universitas Darul Ulum, Vol.8, No. 1, 2021) hlm. 157

8
Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun),
sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah." 4

Penafsiran menurut Kitab Tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha adalah sebagai
berikut :5

Di antara manusia, dan ketika mereka membuat pemisahan mereka menjadi orang-
orang dan suku-suku adalah penyebab ketekunan dan ketakutan, dan kami telah memisahkan
perkataan ini.

Di Akhirat, yaitu jiwa. Dan dalam sebuah riwayat darinya: kandang di dalam rahim,
dan gudang adalah tempat dia meninggal. Hal yang sama diriwayatkan atas otoritas al-Hasan
dan Qatadah, dan al-Razi mengutip pernyataan al-Hasan sebagai penjelasan.

Kepadanya, dia berkata: Apa yang stabil adalah kondisinya setelah kematian; Karena
jika dia bahagia, maka kebahagiaan itu stabil, dan jika dia kesulitan, maka benih itu stabil. Dan
dia menyebutkan kepada orang mengatakan dua, salah satunya: kandang yang diciptakan dari
jiwa pertama dan memasuki dunia dan menetap di dalamnya. Dan yang kedua: Kandang adalah
orang yang menetap dalam keputusan dunia, dan tempat penyimpanan adalah orang yang
berada di dalam kubur sampai dia dibangkitkan, karena air mani dihasilkan di pinggangnya,
dan dia menyatakan betina sebagai gudang, karena rahim diibaratkan sebagai gudang.
Mungkin dia mengambilnya dari penyair; Ibu layaknya bejana atau gudang, dan ayah punya
anak laki-laki.

Diciptakan dan ciptaan lainnya untuk menunjukkan kepada Anda dan memutuskan
dengan penuh kasih, apa yang kami ciptakan untuk nama yang bernama, kemudian kami akan
keluar dari Anda, dan kemudian Anda akan datang kepada Anda. Dan dia berkata: "Tempat
tinggalnya" ada di dalam rahim, "dan gudangnya" adalah tempat dia mati.

Alquran Indonesia, (https://quran-id.com, diakses pada 25 Desember 2022)


4
5
Muhammad Rasyid Ridha, Kitab Tafsir al-Manar, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada 15
Desember 2022)

9
Umur yang panjang, dan di antara kamu ada tempat penyimpanan yang tidak memiliki
keteguhan baginya, bahkan kematian akan menimpanya, baik dia masih kecil atau sudah
dewasa. Bacaan Al-Fath dapat diartikan demikian, artinya adalah kemantapan dan isti`ah. Dan
hal terakhir yang terlintas di benak saya setelah meringkas ucapan para komentator adalah
bahwa yang menetap dalam ruh - yaitu laki-laki dan perempuan - dan yang tersimpan di dalam
tubuh. Dan kalimat yang memperluas ruang interpretasi, apresiasi, dan keringkasan
dimaksudkan olehnya.

Dan penggelapannya dalam kegelapan kebenaran dan lautan, itu adalah salah satu hal
yang zalim, yang tidak berhenti pada ketelitian pandangan, dan tidak, dan tidak Oleh karena
itu, dalam ayat sebelumnya, dia puas dengan ungkapan pengetahuanKomprehensif untuk apa
yang tidak membutuhkan keakuratan deduksi sebagai fenomenanya, dan melaluinya sebagai
risalahnya. Dan dia telah memberikan waktu ini - dan apa yang dia temukan bersamanya - dan
dia berkata: (Jika Anda mengatakan), apa yang dikatakan, "mereka tahu" dengan mengingat
bintang-bintang, Ibn al-Munir mengikutinya, mengklaim bahwa ini adalah ucapan artifisial,
dan perbedaan ekspresi adalah untuk seni. Dia menyebutkan aspek lain berdasarkan klaimnya
bahwa fikih adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Karena itu hanyalah pemahaman,
dan apa yang dibangun di atas yang korup itu korup, dan di manakah pemahaman rahasia
bahasa dari Zamakhshari? Dan di manakah peniru makna yang tampak dari beberapa kutipan
dari imam al-Ludha'i? Dan mana yang mentah dan sintetis?

B. Kitab Tafsir Jamiul Bayan fi al-Tafsir al-Quran Imam al-Thabari


1. Biografi Imam al-Thabari

Nama lengkap al-Tabari adalah Abu Ja'far Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yasid Ibnu
Khalib al-Tabari al-Amuli.2 Tanah kelahirannya di kota Amul, ibu- kota Tabaristan Iran,
sehingga nama belakangnya sering disebutkan al-Amuli penisbatan tanah kelahirannya. Ia dila-
hirkan 223 H (838-839 M), dan wafat 311 H/923 M. 6

Al-Tabari hidup, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan


cukup perhatian terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Bersamaan dengan
situasi Islam yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuan di bidang pemikiran Kondisi

6 Ratnah Umar, “Jami’ al-Bayan an Takwil al-Quran Manhaj Metode Penafsirannya”, (Palopo: IAIN

Palopo, Vol. 1, No. 2, 2018) hlm. 15

10
sosial yang demikian itu secara psikologis turut berperan dalam membentuk kepribadian al-
Tabari dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.

Dan dalam ilmu itu al-Tabary mempunyai karya-karya yang tidak tertandingi.

Karya-karya Imam al-Tabary antara lain:

1. Adab al-Manasik

2. Adab al-Nufus

3. Ikhtilaf al-Ulama al-Amshar

4. Ahaadis Ghadir Kham

5. Al-Jami fi al-Qiraat

6. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk Qur'an

7. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an

2. Latar Belakang Pendidikan

Al-Tabari berkunjung ke berbagai kawasan untuk menuntut ilmu, sehingga ia menjadi


ilmuan. Ia menghimpun ilmu- ilmu yang belum pernah dihimpun oleh ulama pada masanya.
Seorang imam yang diikuti, telah mencapai derajat mujtahid dan menjadi rujukan dalam bidang
ilmu. Karir pendidikannya di awali dari kampung halamannya, Amul tempat yang sangat
kondusif untuk membangun struk tur fundamental awal pendidikannya. Al- Tabari diasuh oleh
ayahnya sendiri kemu- dian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir untuk mendalami ilmu
dalam usia yang masih belia. Namanya bertambah popular di kalangan masyarakat karena
otoritas keilmuannya. Al-Syajari meriwa- yatkan dari Ibnu Jarir bahwasanya ia menghafal al-
Quran ketika berusia 7 tahun, menjadi imam shalat ketika berusia 8 tahun dan menulis hadis
pada usia 9 tahun.

Al-Tabari kembali ke Bagdad dan menetap untuk waktu yang lama, ia memusatkan
perhatian pada qiraat dan figh dengan bimbingan guru seperti, Ahmad bin Yusuf al-Sa'alabi,
Hasan Ibnu Muha- mmad al-Sabbah al-Za'farani dan al-Ra- by al-Murady. Belum puas dengan
apa yang dicapai, ia melanjutkan perjalanan ke berbagai kota untuk mencari ilmu terutama
pendalaman gramatika, sastra. Dorongan kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh guru-
nya, Sufyan bin Uyainah, Waqi' bin al-Jarrah, Syu'bah bin al-Hajjaj dan Yazid bin Harun. Dari

11
hasil pengembaraannya dalam mencari ilmu, tidak berlebihan jika dika- takan al-Tabary adalah
orang yang ahli atau faham tentang fiqh, hadis, tafsir, nahwu, giraat dan bahasa Arab.

3. Mazhab dan Dasar Pola Pikir

Al-Tabari pada saat munculnya aliran tradisional Asy'ariyah yang disebut sunni di
samping sekte-sekte yang lain turut menyemarakkan bursa pemikiran di panggung sejarah umat
Islam. Komp- leksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari

Tabari, menggugah sensivitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam dengan


jalan melakukan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Pergulatan mazhab yang dialami
al-Tabari menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri sendiri dan kota
sekitarnya tak terbantahkan, sampai pada mazhab yang diikutinya. Kitab tafsir ini ditulis pada
kalimat. paruh abad III II dan disosialisasikan pada murid-muridnya selama kurang lebih 8
tahun, sekitar 282-290 H.

Jariri adalah nama dari mazhab fiqh ahlus sunnah yang hanya berumur pendek yang
dinisbahkan kepada Imam Ibnu jarir Ath-Thabari yang eksis pada abad ke-9 hingga 10 M.
Pengikut murni mazhab ini terus menyusut hingga mazhab Jariri akhirnya bisa dikatakan
punah, meskipun sebagian besar ajarannya sudah terwakili, berpengaruh, dan tersebar pada
mazhab-mazhab fikih yang masih bertahan hingga sekarang. Dibuktikan dengan masih
digunakannya karya-karya Imam Thabari pada banyak mazhab sunni, terutama Tafsir Al-
Qur'annya, Tafsir Ath-Thabari.

4. Metode dan Corak Tafsir

Dalam kitabnya, al-Thabari sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber


penafsiran, yang disan-darkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi'in dan tabi' al-
tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-ma 'tsur).

Di sisi lain al-Tabari sebagai ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid terutama
dalam persoalan-persoalan fiqh, ia selalu berusaha menjelaskan ajaran Islam tanpa melibatkan
diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara
tidak langsung ia telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademik yang sehat di
tengah-tengah masyarakat di mana ia berada dan bagi generasi berikutnya. Tafsir al-Tabary
dikenal sebagai tafsir bi al-ma’sur, yang berdasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat yang
bersumber dari Nabi saw, para sahabat tabiin dan tabiit tabiin.

12
Dalam periwayatan biasanya tidak memeriksa rantai periwayatan, meskipun kerap
memberikan kritik sanad dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu. Sekalipun
demikian untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafaz, ia juga
menggunakan ra’yi.

Dalam tafsir ini al-Tabary menggunakan metode tahlili,7 yaitu suatu metode tafsir yang
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan
urutan ayat-ayat al-Qur’an yang tercantum dalam mushaf, atau penafsiran berdasarkan urutan
ayat atau surah, dalam kaitan ini, secara runtut yang pertama dilakukan adalah menjelaskan
makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai struktur linguistiknya. Dalam
metode ini segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seorang mufasir diuraikan, baik dari
penjelasan makna lafaz-lafaz tertentu, ayat per ayat atau surah persurah, persesuaian kalimat
yang satu dengan yang lain (munasabah), asbab nuzul, dan hadis yang berkenaan dengan ayat-
ayat yang ditafsirkan. Pada saat tidak menemukan rujukan riwayat dari hadis, maka ia
melakukan pemaknaan kalimat, dan dikuatkan dengan syair kuno. Di samping itu ketika
berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan, maka harus menggunakan logika
(mantiq). Karena al-Tabari merupakan seorang fuqaha, maka tafsirnya bercorak hukum (fiqh).

5. Penafsiran Tentang Surah Al-Hajj Ayat 5

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫علَقَة ث َّم مِن ُّمضغَة ُّم َخلَّقَة‬ ِ ‫ََٰٓيأَيُّ َها ٱلنَّاس ِإن كنتم فِي َريب مِنَ ٱل َبع‬
َ ‫ث فَإِنَّا َخلَقنَكم مِن ت َراب ث َّم مِن نُّطفَة ث َّم مِن‬
‫َوغَي ِر م َخلَّقَة لِنبَيِنَ لَكم ۚ َونق ُِّر فِي ٱۡلَر َح ِام َما نَ َشآَٰء إِلَ َٰٓى أَ َجل ُّم َس ًّمى ث َّم نخ ِرجكم طِ ف ًل ث َّم ِلتَبلغ َٰٓوا أَشدَّكم ۖ َومِ نكم َّمن‬
َ ‫ض هَامِ دَةً فَإِ َذآَٰ أَنزَ لنَا‬
‫علَي َها ٱل َما َٰٓ َء ٱهت ََّزت‬ َ ‫يت ََوفَّى َومِ نكم َّمن ي َردُّ إِلَ َٰٓى أَر َذ ِل ٱلعم ِر ِلكَي َل يَعلَ َم مِن بَع ِد عِلم شَيئًا ۚ َوت ََرى ٱۡلَر‬
ِ ‫َو َربَت َوأَنبَتَت مِن ك ِل زَ و‬
‫ج بَ ِهيج‬

"Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar
Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun),
sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini

7 Ibid,. hlm. 19

13
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah." 8

Dan penafsiran menurut Kitab Tafsir Jamiul Bayan fi al-Tafsir karya Imam al-Thabari
adalah sebagai berikut :9

Dikatakan dalam kitab ini, bahwa ayat ini merupakan argmentasi Allah terhadap
manusia yang diberitakan-Nya pada ayat sebelumnya, bahwa ia membantah tentang Allah
tanpa ilmu pengetahuan, melainkan karena mengikuti syetan yang jahat. Juga sebagai
peringatan dari Allah terhadapnya mengenai letak kesalahan ucapannya dan pengingkarannya
terhadap kekuasaan Tuhannya. Maksud ayat ini adalah, wahai manusia, jika kalian meragukan
kekuasaan Kami untuk membangkitkan kalian dari kubur sesudah mati dan hancur-luluh
karena kalian menganggap sulit hal itu, maka penciptaan Kami pertama kali terhadap bapak
kalian yaitu Adam AS, dari tanah, kemudian Kami menciptakan kalian dari muthfah Adam,
kemudian Kami mengubah-ubah kondisi kalian, dari satu kondisi ke kondisi lain, dari setetes
mani menjadi segumpal darah, kemudian dari segumpal darah menjadi daging. (Penciptaan
Allah yang demikian) mengandung pelajaran serta nasihat yang dapat kalian petik, sehingga
kalian tahu bahwa Tuhan yang kuasa melakukan hal itu pasti tidak sulit mengembalikan kalian
setelah fana sebagaimana dahulu kalian hidup.

Para ahli takwil berbeda pendapat dalam menakwilkan firman Allah, "Yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna." Sebagian berpendapat bahwa itu nmerupakan sifat
nuthfah (air mani). Menurut mereka, maknanya adalah, Kami menciptakan kalian dari tanah,
kemudian dari nuthfah yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. Menurut mereka,
lafazh berarti ciptaan yang sempurna, dan lafazh berarti nuthfah yang ditolak rahim dan
digugurkan sebelum menjadi ciptaan. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan
riwayat berikut ini:

Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Mu'awiyah menceritakan


kepada kami dari Daud bin Abu Hindun, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah, ia berkata,
"Apabila nuthfah telah masuk ke rahim, maka Allah mengutus satu malaikat, lalu malaikat itu
berkata, "Wahai Tuhanku, apakah sempurna kejadiannya? Atau tidak sempurna?”

8 Alquran Indonesia, (https://quran-id.com, diakses pada 25 Desember 2022)


9 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir ath-thabari jilid 18 / Abu Ja'far Muhammad Bin
Jarir Ath-Thabari ; penerjemah: Ahsan Askan ; editor: Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). h.
364-372

14
Apabila Allah berfirman, 'Tidak sempurna kejadiannya”, maka rahim akan
mengeluarkannya dalam bentuk darah. Apabila Allah berfirman, 'Sempurna kejadiannya',
maka malaikat itu bertanya, 'Apa jenis kelamin nuthfah ini, laki-laki atau perempuan?
Bagaimana rezeki dan ajalnya? Sengsara atau bahagia? Lalu dikatakan kepada malaikat itu,
'Pergilah ke Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) dan catatlah darinya sifat nuthfah ini!' Malaikat itu
pun pergi dan mencatat sifat tersebut. Oleh karena itu, catatan tersebut tetap ada padanya
sampai ia melaksanakan sifatnya yang terakhir."

Ahli takwil lain berpendapat bahwa maksudnya adalah, yang sempurna dan yang tidak
sempurna. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:

Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Sulaiman menceritakan kepada


kami, Abu Hilal menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah, "Yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, " ia berkata, "Maksudnya adalah, yang
sempurna dan tidak sempurna."

Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Hakam menceritakan kepada


kami dari Anbasah, dari Muhammad bin Abdurrahman, dari Qasim bin Abu Bazzah, dari
Mujahid, tentang firman Allah, "Yang sempurna kejadiannya," ia berkata, "Maksudnya adalah
janin yang gugur, yang sempurna kejadiannya atau yang belum sempurna kejadiannya."

Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa maksud
lafazh adalah yang telah dibentuk menjadi makhluk yang sempurna, dan maksud lafazh adalah
janin yang gugur sebelum sempurna penciptaannya, karena lafazh Yang sempurna kejadiannya
dan yang tidak sempurna merupakan sifat mudhghah. Sedangkan nuthfah setelah menjadi
mudhghah tidak lagi memiliki kondisi atau bentuk, sehingga ia menjadi ciptaan yang sempurna
kecuali setelah dibentuk. Itulah maksud firman Allah, "Yang sempurna kejadiannya dan yang
tidak sempurna." Yaitu yang sempurna kejadiannya dan yang belum sempurna karena
digugurkan ibunya dalam bentuk mudhghah, belum berbentuk, dan belum ditiupkan roh
padanya.

Firman-Nya: "Agar Kami jelaskan kepada kamu" Maksudnya adalah, Allah berfirman,
"Kami jadikan mudhghah sebagiannya sempurna kejadiannya dan sebagian lain gugur serta
tidak sempurna, guna menjelaskan kepada kalian kekuasaan Kami terhadap hal-hal yang Kami
tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan."
Maksudnya adalah, Allah berfirman, "Barangsiapa Kami tetapkan hidup hingga batas waktu
tertentu, maka Kami tetapkan ia dalam rahim ibunya hingga waktu yang Kami tetapkan

15
baginya untuk berdiam di rahim ibunya sehingga rahim itu tidak menggugurkannya, dan ia pun
tidak keluar dari rahim itu hingga sampai batas waktu tersebut. Apabila telah sampai waktu
keluarnya dari rahim, maka Kami izinkan ia untuk keluar dari rahim, dan ia pun keluar."

Penakwilan kami sejalan dengan pendapat para ahli takwil lainnya, dan yang
berpendapat demikian adalah:

Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim menceritakan
kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al Harits menceritakan kepada kami,
ia berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Warqa' menceritakan kepada kami,
seluruhnya dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, tentang firman Allah, Dan Kami tetaphan dalam
rahim"apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan," ia berkata,
"Maksudnya adalah, sempurna kehamilannya.”

Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Hasein menceritakan kepada kami,


ia berkata: Al Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, dari Mujahid, dengan riwayat
yang semisalnya."

Yunus menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Wahb mengabari kami, ia berkata:
Ibnu Zaid berkomentar tentang itu dan firman Allah tetapkan dalam rahim apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan," ia berkata, "Maksudnya adalah, batas waktu
tertentu saat janin berdiam di dalam rahim sampai ia keluar.”

Firman-Nya: "Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi." Maksudnya adalah,


Allah berfirman, "Kemudian Kami keluarkan kalian dari rahim ibu kalian apabila kalian telah
sampai pada batas waktu yang telah Aku tentukan bagi kalian untuk keluar dari rahim sebagai
bayi."

Lafazh disebutkan dalam bentuk tunggal, padahal ia menjadi sifat bagi kata jamak,
karena lafazh adalah mashdar, seperti Firman-Nya: "Kemudian (dengan berangsur-angsur)
kamu sampailah kepada kedewasaan." Maksudnya adalah, Allah berfirman, "Agar kalian
mencapai kesempurnaan akal kalian dan puncak kekuatan kalian dengan bertambahnya usia
kalian."

Aku telah menyampaikan perbedaan pendapat ulama mengenai lafazh "Kedewasaan,"


serta pendapat yang benar tentangnya menurut kami berdasarkan argumen-argumennya dalam
penjelasan sebelumnya, sehingga aku tidak perlu mengulangnya di sini.

16
Lagi Maksud ayat kelima ini juga, Allah Ta'ala berfirman, "Wahai manusia, di antara
kalian ada yang dicabut nyawanya sebelum mencapai kedewasaannya, dan ada pula yang
dipanjangkan umurnya hingga tua-renta, sehingga sesudah berakhir masa mudanya dan
mencapai puncak kedewasaannya ia kembali kepada kondisi usia yang paling lemah, yaitu usia
senja, sehingga ia kembali seperti kondisinya pada masa kecil. Ia tidak memahami sesuatu
setelah memahaminya pertama kali. Tegasnya, di antara kalian ada yang dikembalikan kepada
kondisi usia yang paling lemah setelah mencapai kedewasaannya mengetahui lagi sesuatupun
yang dahulunya telah diketahuinya!"

Dan kamu lihat bumi ini, maksudnya adalah, Allah berfirman, "Engkau melihat, wahai
Muhammad, bumi kering, hilang bekas-bekas tanaman dan tumbuh- tumbuhannya."

Makna adalah lenyap dan hilang. Darinya terambil lafazh yang berarti tanah itu kering.
Darinya juga terambil kata dalam syair Al A'sya Maimun bin Qais berikut ini,

"Qutailah berkata, 'Betapa buruk tubuhmu, dan kulihat pakaianmu rusak serta kering"."
Lafazh merupakan bentuk jamak dari, seperti lafazh ‫ رائع‬yang merupakan bentuk jamak dari
‫ رفع‬Penakwilan kami sejalan dengan pendapat para ahli takwil lainnya, dan yang berpendapat
demikian adalah:

Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Hasein menceritakan kepada kami,


ia berkata: Al Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, tentang firman " ,Dan kamu lihat
bumi ini kering", ia berkata, "Maksudnya adalah, tidak ada tumbuhan padanya, "

Kemudian Firman-Nya: “telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu."
Maksudnya adalah, Allah befirman, "Jika Kami menurunkan hujan dari langit pada tanah yang
kering dan tidak ada tumbuhannya ini, maka hiduplah ia."

Lafazh artinya adalah, bergerak oleh tumbuh-tumbuhan. Lafazh artinya adalah,


tumbuh-tumbuhan itu berkembang karena datangnya air hujan.

Penakwilan kami sejalan dengan pendapat para ahli takwil lainnya, dan yang
berpendapat demikian adalah: Ibnu Abdil A'la menceritakan kepada kami, ia berkata:

Muhammad bin Tsaur menceritakan kepada kami dari Ma'mar, dari Qatadah, tentang
firman Allah, "Hiduplah bumi itu dan suburlah," ia berkata, "Maksudnya adalah, air hujan bisa
ditengarai melalui kesuburan tanah."

17
Al Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrazzaq mengabari
kami, ia berkata: Ma'mar menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah,
"Hiduplah bumi itu dan suburlah," ia berkata, "Maksudnya adalah, tanah itu menjadi baik, dan
air hujan bisa ditengarai melalui kesuburan tanah." Sebagian berpendapat bahwa maksudnya
adalah, jika Kami turunkan air padanya, maka ia menggeliat. Makna kalam diarahkan kepada
cocok tanam, meskipun kalam ini berbicara tentang tanah.

Mayoritas ulama qira'at dari berbagai negeri membacanya yang terambil dari yang
artinya berkembang serta bertambah.

Abu Ja'far Al Qari' membacanya, dengan huruf hamzah. Kami menceritakan dari Al
Fara', dari Abu Abdullah At- Tamimi, darinya. Ini adalah bacaan yang keliru, karena tidak ada
alasan penempatan lafazhdi sini. Lafazh artinya menjaga, yang terambil dari lafazh yang
artinya pengintai, dan arti menjaga tidak relevan di tempat ini. Jadi, bacaan yang benar adalah
yang dipegang para ulama qira'at dari berbagai negeri.

C. Kitab Tafsir al-Bahrul Muhith Ibn Hayyan


1. Biografi Abu Hayyan al-Andalusi

Lahir dengan nama lengkap Abu Hayyan Muhammad Ibn Yusuf Ibn Hayyan al-
Andalusi al-Gharnathi atau yang lebih dikenal dengan Abu Hayyan al-Andalusi merupakan
salah satu tokoh mufassir yang lahir di Granada, Andalusia pada 1256 M / 654 H dan wafat
pada 1344 M / 745 H di Mesir.

Ia dilahirkan di Andalusia pada November 1256 dari keluarga keturunan bangsa Barbar.
Diperselisihkan apakah ia dilahirkan di kota Jaen atau Granada, meskipun kota Jaen sebenarnya
berada dibawah kedudukan Granada pada waktu itu. Ia berperawakan tinggi dan rambutnya
dibiarkan panjang. Pada masa tuanya rambut dan jenggotnya dipenuhi uban namun secara
umum penampilannya cukup tampan. Ia adalah seorang ulama ahli tafsir Al-Qur'an dan ahli
tata bahasa Arab yang hidup berasal dari Spanyol Islam pada abad ke-14. Pada masanya
kepakarannya dalam bidang tata bahasa telah mendapat pengakuan hampir secara universal. Ia
juga dikenal sebagai ahli bahasa yang sangat tertarik dengan berbagai bahasa selain bahasa
Arab, sehingga menulis banyak karya tulis baik dalam perbandingan linguistik juga analisis
dan penjabaran tata bahasa dari bahasa asing secara rinci yang ditujukan bagi orang yang
bahasa ibunya berbahasa Arab.

18
2. Latar Belakang Pendidikan

Di usia muda, Abu Hayyan meninggalkan Spanyol dan berkelana untuk menuntut ilmu
(rihlah) . Di Spanyol sendiri, ia pergi ke Malaga, Almeria sebelum pindahke Cueta, Tunis,
Iskandariyah, Kairo, Damietta, Minya, Kush, dan Aydhab di Afrika utara. Ia juga mencapai
Mekkah untuk melaksanakan haji juga mengunjungi Madinah sebelum kembali ke
Iskandariyah.

Al-Gharnathi menghafal karya Sibawaih yang terkenal berjudul "Kitab" dengan


sungguh-sunguh, iapun menjadikannya sebagai patokan utama dalam tata bahasa Arab,
sebagaimana kedudukan hadits nabi bagi ilmu fikih.

Dalam safarnya ke negeri Mesir era Mamluk Bahri, Al-Gharnati ditunjuk sebagai
pengajar ilmu tafsir Al-Qur'an di Perguruan Tinggi milik Sultan Al-Mansyur al-Qalawun di
Iskandariyah. Ibnu al Jazariy mengatakan Abu Hayyan seorang Imam al Hafiz, syaikhul Arab
yang menguasai ilmu Qiraat secara tsiqa. Imam al Syaukaniy mengatakan Abu Hayyan seorang
yang menguasai bahasa Arab, tafsir dan tidak ada yang menyamainya pada masanya.
Sementara Jalaluddin al Suyuti mengungkapkan beliau seorang ahli Nahwu pada masanya, ahli
bahasa, tafsir, hadis, dan sejarahwan.10

3. Mazhab dan Dasar Pola Pikir

Abu Hayyan seorang yang bermazhab Maliki 11, sehingga tampak pada pemikirannya
yang lebih cenderung ke mazhab ini jika berkaitan dengan masalah hukum. Pola pikirnya yang
terlihat dalam menulis kitab tafsirnya itu cenderung ke dalam manhaj lughawiy atau adabiy
karena kental pendekatan kebahasaan. Beliau juga tidak lepas dari pengutipan dan pengambilan
kesimpulan hukum berdasarkan empat mazhab meskipun pada akhirnya lebih cenderung pada
mazhab Maliki sehingga bisa dimasukan ke dalam manhaj fiqhiy. Dan penafsirannya pun
banyak mengupas persoalan sosial dengan pertimbangan akal sehingga masuk dalam kategori
manhaj aqliy ijtima’i.

4. Metode dan Corak Tafsir

Tafsir al Bahru al Munith yang terdiri dari 8 jilid besar adalah salah satu karya yang
paling terkenal dari Abu Hayyan. Tafsir ini disusun berdasarkan pada tiga motif yakni ia ingin

10 Restu Ashari Putra dan Andi Malaka, “Manhaj Tafsir Bahrul Muhith Abu Hayyan al-Andalusi”,

(Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, Vol. 2, No. 1, 2022) hlm. 92


11Ibid., hlm. 94

19
selalu membaca al Quran, la ingin memperbanyak amal kebajikan, dan yang ketiga agar upaya
jiwanya selalu terjaga. Abu Hayyan dalam karya tafsirnya banyak dipengaruhi Zamakhsari dan
Ibnu Atiyyah. Abu Hayyan tetap memperhatikan asbabun nuzul, naskh mansukh, qiraat,
balagah, juga menukil pendapat para ulama dalam menginterpretasikan ayat tersebut. Dalam
kitab tafsimya ini, beliau juga memperluas cakupan perhatiannya pada bentuk-bentuk i'rab dan
masalah-masalah nahwu sehingga dinilai tafsirnya ini lebih dekat kepada kitab-kitab nahwu
ketimbang kitab-kitab tafsir. Untuk persoalan israilyat, Abu Hayyan juga banyak mengutip
dalam kitabnya kisah-kisah israiliyat, yang jika sepintas dilihat banyak mengambil hadis-hadis
maudhu. Seperti dalam menceritakan kisah nabi Musa, Daud dan istrinya, disinyalir
bedasarkan riwayat yang bathil. Abu Hayyan mulai menyusun kitab tafsimya ini di usia 57
tahun tepatnya pada tahun 710 Hijriah Dikatakan dalam muqaddimahnya, ”... jika aku telah
sampai kepada masa terpecahnya kulit, yaitu masa melepaskan kebebasan para pemuda yang
dikatakan apabila seorang laki-laki mencapai usianya 60 hendaklah ia menghindari minuman
keras. (Maka) saya memohon kepada Allah yang Maha Pengasih untuk semata-mata
memikirkan tafsir Alquran, Allah memperkenankan keinginanku, waktu itu akhir tahun 710 H,
yaitu awal tahun dari umurku yang ke 57 tahun, maka saya berniat menyusun kitab ini”12

Manhaj Abu Hayyan dalam Tafsir Bahrul Muhith Jika dilihat dari bentuknya tafsir
Bahrul Muhith ini disusun secara tahlili ala hasbi tartibi mushaf. Ini menafsirkan ayat-ayat
Alquran dari mulai Al-Fatihah hingga An-Naas: Sementara Manna Al-Qaththan dan Hasby
Ash-Shiddiqley memasukkan tafsir Bahrul Muhith ke dalam corak tafsir bi Rayi. Dari
penelusuran penulis secara umum berdasarkan klasifikasi manhaj tafsir Fahd Al-Rumi, Abu
Hayyan cenderung pada pola Manhaj Tadzuwuqul Adabi atau Lughawly (bahasa) dan Manhaj
Fiqhiy.

Itu karena dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, Abu Hayyan mula-mula menafsirkan
setiap kata atau lafadz dari sisi kebahasaan dalam hal ini kaidah nahwu sesuai yang dibutuhkan.
Jika salu kala dibutuhkan itu mengandung makna dua atau lebih, maka ia menyebutkan
kemudian melihat manakah makna yang cocok dengannya. Setelah itu barulah la menguraikan
asbabun nuzuinya, munasabah ayatnya, nasikh mansukh, mengungkapkan sejumlah qiraatnya
dengan dilengkapi pendapat para ulama salaf atau terdahulu dan khalaf dalam memandang ayat
tersebut (Al- Andalusy, 1993). Pendekatan kebahasaan dengan merujuk pada kitab-kitab
nahwu sangat terasa dalam penafsiran Abu Hayyan, terutama juga ilmu balaghah

12 Ibid., hlm. 93

20
(kesusastraan), sebelum akhirnya menafsirkan dengan bebas ayat tersebut. Abu Hayyan juga
menekankan ketidaksetujuannya dengan manhaj tafsir ilmiy dengan mengaitkan pada tafsir
Fakhruddin Ar-Razi yang memang lekat dengan pola tafsir seperti itu.

5. Penafsiran Tentang Surah Al-Hajj Ayat 5

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫علَقَة ث َّم مِن ُّمضغَة ُّم َخلَّقَة‬ ِ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلنَّاس ِإن كنتم فِي َريب مِنَ ٱلبَع‬
َ ‫ث فَإِنَّا َخلَقنَكم مِن ت َراب ث َّم مِن نُّطفَة ث َّم مِن‬
‫َوغَي ِر م َخلَّقَة لِن َب ِينَ لَكم ۚ َونق ُِّر فِي ٱۡلَر َح ِام َما نَ َشآَٰء ِإلَ َٰٓى أَ َجل ُّم َس ًّمى ث َّم نخ ِرجكم طِ ف ًل ث َّم ِلتَبلغ َٰٓوا أَشدَّكم ۖ َومِ نكم َّمن‬
َ ‫ض هَامِ دَةً فَإِذَآَٰ أَنزَ لنَا‬
‫علَي َها ٱل َما َٰٓ َء ٱهت ََّزت‬ َ ‫يت ََوفَّى َومِ نكم َّمن ي َردُّ إِلَ َٰٓى أَرذَ ِل ٱلعم ِر ِلكَي َل يَعلَ َم مِن بَع ِد عِلم شَيئًا ۚ َوت ََرى ٱۡلَر‬
ِ ‫َو َربَت َوأَنبَتَت مِن ك ِل زَ و‬
‫ج بَ ِهيج‬

"Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar
Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun),
sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah." 13

Penafsiran menurut Kitab Tafsir al-Bahrul Muhith Ibn Hayyan adalah sebagai berikut:14

Al-Zamakhshari berkata: Dan buku-buku tentang dia seperti itu.

Tampaknya ini dari atribusi verbal yang tertulis pada kalimat tersebut, yaitu kata-kata
ini tertulis di atasnya, seperti yang dikatakan: Itu ditulis oleh kata tersebut. Dia menggunakan
kata "bimbingan" sebagai sarkasme. Dan lintah, dan embrio, dan pengusiran seorang anak, dan
pencapaian yang paling parah, dan kematian atau kembali ke usia tua.

Mereka mengukurnya, dan apa yang disebutkan itu adalah apa yang mereka miliki
tentang apa yang datang dalam dua bahasa, makanan dan makanan adalah hewan dan

13 Alquran Indonesia, (https://quran-id.com, diakses pada 25 Desember 2022)


14 Abu Hayyan al-Andalusi, Kitab Tafsir al-Bahrul Muhith Ibn Hayyan, (Aplikasi Maktaba Shamila,

diakses pada 15 Desember 2022)

21
tumbuhan, dan hewan kembali ke tumbuhan, dan tumbuhan dari tanah, air dan mani mani. Dan
konon katanya sperma Adam yang dibicarakan dalam diskusi. Dan lintah adalah sepotong

Darah padat, artinya dan tidak berbentuk, yaitu tidak lengkap atau halus, sehingga
pengunyahannya berbeda, sehingga bervariasi panjang, pendek, dan pendeknya. Dan Mujahid
berkata bahwa dialah yang melakukan aborsi, dan Qatadah, Al-Sha'bi dan Abu Al-Alia
mengatakannya. Dan karena seseorang memiliki organ yang berbeda-beda, dan masing-masing
dari mereka terspesialisasi dalam perilaku yang baik, kata kerjanya menjadi lemah karena
memiliki banyak karakteristik.

Dan Ibnu Abi Abla melafalkan Makhlaqah dengan akusatif dan selain akusatif juga,
menurut kasus ketakterhinggaan lanjut, yaitu Qalasil dan Qasil. Pikiran menyelubunginya, dan
tidak ada deskripsi yang melingkupinya.Dan biarkan kami menunjukkan kepada Anda terkait
dengan kreasi Anda. Dikatakan bahwa kami akan menunjukkan kepada Anda masalah
kebangkitan. Ibnu Attia mengatakan: Ini adalah keberatan antara dua kata. Al-Kirmani berkata:
Artinya petunjuk dan kesesatanmu. Dan dikatakan untuk menunjukkan kepada Anda bahwa
ciptaan adalah pilihan dari pelaku yang dipilih, dan jika bukan karena dia, sebagian darinya
tidak akan menjadi tidak tercipta. Dan Ibn Abi Abla membacakannya untuk menjelaskannya
kepada Anda dan mengakuinya.

Dan mereka tumbuh dewasa dan mencapai batas tugas, jadi saya mempercayakan
mereka. Dan bacaan ini didukung oleh ucapannya, “Maka, agar kamu mencapai kekuatanmu.”
Selesai.

Ibnu Atiyyah berkata: Dia mengarahkannya untuk menjadi orang yang mengangkat
orang. Dan dikatakan polos dan polos. Dan penyair berkata:

Kami mengirim yang tidak bersalah sebelum itu dengan beludru... seperti serigala
kemerahan yang berjalan melewati kesulitan dan waspada. Keberadaannya harus, dan
masalahnya adalah jamnya adalah awal dan beritanya. Dan dikatakan diposisikan dengan kata
ganti, yaitu kita melakukan itu.

Dan akhirat, biarkan dia menyampaikan alasan ke langit, lalu dia akan terputus, jadi
biarkan dia melihat, sehingga kakeknya pergi ke apa yang dia marah, dan itulah yang kami
ungkapkan.

Nampaknya dalil pada ayat ini berbeda dengan dalil pada ayat sebelumnya.Muhammad
ibn Ka'b meriwayatkan bahwa terungkap tentang snark para Akhun. Atas otoritas Ibnu Abbas

22
dalam Abi Jahal. Dan dikatakan: Yang pertama dari dua peniru, dan ini dalam dua peniruan,
dan publik pada fakta bahwa itu sebelumnya dalam kesegaran, dan itu baik. Dan dikatakan
tentang itu: bahwa terungkap tentang itu

D. Kitab Tafsir al-Asas fi al-Tafsir Sa’id Hawa

1. Biografi Said Hawa

Memiliki namalengkap Sa‘id bin Muhammad Dib Hawa, lahir tahun 1935 di kota
Hamah, Syria. Dalam usia 2 tahun, ia sudah ditinggal wafat oleh ibunya. Pendidikan dan
pengasuhannya dilanjutkan oleh ayahnya yang kemudian pindah dan tinggal bersama
neneknya. Ayahnya seorang pemberani dan pejuang dalam melawan kolonial Perancis. 15

Darah pejuang yang terpatri dalam jiwanya dipengaruhi oleh perjuangan ayahnya
dalam melawan kolonial Prancis. Situasi Syria yang sedang menghadapi penjajahan Perancis
membuat Sa‘id Hawa tumbuh menjadi pemuda yang tegar. Pada zaman remaja telah
berkembang pada diri beliau pemikiran sosial, Nasional, ba'ats, dan perjuangan Ikhwanul
Muslimin. Penglibatan beliau dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, tahun 1952, sewaktu beliau
masih pelajar telah menyerlah perjuang beliau terhadap agama Islam.

Sa'id Hawwa berguru dengan beberapa ulama Syria. Antara guru-guru beliau adalah
terdiri daripada ulama Hamah seperti Syeikh Muhammad al- Hamid, Syeikh Muhammad al-
Hasyimi, Syeikh Abdul Wahab Dabas, Syeikh Abdul Karim Arrifa'i, Syeikh Ahmad al-Murad
dan Syeikh Muhammad Ali Murad. Said Hawwa juga berguru dengan Sheikh Musthafa al-
Shiba'i, Mushthafa al-Zarga, Fauzi Faidhullah, dan lain-lain. Pada tahun 1961 beliau lulus dari
Universiti Syria, mengikuti kursus ketenteraan pada tahun 1963, berumahtangga pada tahun
1964, dan dikaruniakan empat orang anak.16

2. Latar Belakang Pendidikan

Dalam perjalanan intelektualnya, Sa'id Hawwa banyak berguru dan belajar kepada
beberapa ulama' dan Syaikh yang terdapat di kota Hamah. Di antara ulama' yang menjadi guru
beliau adalah Syaikh Muhammad al-Hamid, Syaikh Muhammad Hasyimi, Syaikh Abdul

15 Muhammad Idris, “Karakteristik Kitab Al-Asas Fi Al-Tafsir Karya Said Hawa”, (Padang: UIN
Imam Bonjol, Vol. 8, No. 1, 2019) hlm. 116
16 Nur Zainatul, “Sorotan Awal Proses Tazkiyah Al-Nafs Sebagai Wadah Pembersihan Jiwa”,

(Malaysia: Universitas Tun Husein Onn, Vol. 1, No. 2, 2019) hlm. 75

23
Wahhab Dabuz Wazit, Syaikh Abdul Karim al-Rifa'l, Syaikh Ahmad al- Murad, dan Syaikh
Muhammad Ali al-Murad.

Kiprah Sa'id Hawwa di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga


pendidikan, seperti pada al-Ma'had al-Ilmi di kota al- Hufu wilayah ihsa selama dua tahun.
Selain itu Sa'id Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun dan disampaikan lewat ceramah,
diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk penulis besar pada modern ini,
kemampuan menulisnya mengambil tema; dakwa dan pergerakan, fiqih, tentang pembinaan
jiwa (ruhiyyah-tasawuf).

Selain memberikan kuliah, Sa'id Hawwa dikenal sebagai da'i aktifitas dakwahnya tidak
hanya diwilayah suriah, tapi pada umumnya meliputi Negara-negara Arab seperti Mesir. Qatar,
Yordania dan seterusnya bahkan pernah sampai ke Jerman dan Amerika. Hal itu dilakuan
ketika ia berkunjung ke Amerika dan daerah-daerah Eropa. Semangat dakwahnya sangat
melekat pada dirinya apalagi ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwan al-Mulimin Suriah.8 Dari
sini bias terlihat bahwa kegiatan dakwahnya yang ia lakukan berkaitan dengan kepemimpinan.

3. Mazhab dan Dasar Pola Pikir

Para ulama berbeda pendapat tentang orientasi intelektual Hawwa. Emmanuel Sivan
menyebut Hawwa sebagai "murid" Sayyid Qutb dan, seperti Qutb, pendukung revolusi
Islam.Demikian pula, Stephane Lacroix menyebut Hawwa sebagai "seorang Qutb yang yakin".
Itzchak Weismann, di sisi lain, percaya bahwa Hawwa menolak gagasan Qutb dan berpendapat
bahwa "selama aktivitasnya di bawah Ba`th Hawwa mencoba mengekang pengaruh tentang
Marwan Hadid, orang yang membawa pesan Qutb ke Suriah, dan yang menyatakan perang
tanpa syarat melawan rezim. Michael Cook menyoroti perbedaan Hawwa dengan Qutb dalam
doktrin Islam dimana Hawwa mengambil posisi yang lebih tradisionalis/literalis bukan lebih
moderat daripada Qutb. Membandingkan tafsir Al-Qur'an oleh Hawwa dengan Sayyid Qutb
(dan modernis awal Muhammad Abduh dan Rashid Rida), Cook mencatat bahwa tidak seperti
Qutb (dan Abduh dan Rida).17

4. Metode dan Corak Tafsir

Cara penyajian uraian seperti kitab tafsir Al-Asas fi Al-Tafsir karya Said Hawa dikenal
juga dalam dunia tafsir dengan metode tahlili. Penulisan tafsir ini dan menggunakan 4 kitab

17 Wikipedia, “Sa’id Hawwa”, (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sa%CA%BDid_%E1%B8%A4awwa ,

diakses pada 30 November 2022)

24
tafsir sebagai rujukan utama yaitu tafsir Ibnu Katsir, an-Nasafi, al-Alusiy dan Sayyid Qutb.
Karakteristik kitab ini terletak pada analisis aspek munasabah dengan konsep seperti
ditegaskan penyusunnya yaitu kesatuan Alquran.

Selain itu, dinyatakan juga dalam pendahuluan tafsir ini bahwa orientasi penulisan tafsir
ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah (ushuluddin), fiqh, ruhiyyah, dan sulukiyyah.
Dua hal terakhir berkenaan dengan kajian tasawuf dan prilaku menempuh jalan tasawuf.
Penafsiran metode tahlili dimulai dari al–Fatihah sampai surat terakhir an–Nas sesuai dengan
urutan yang terdapat dalam Mushaf. Penjelasan uraian penafsiran dikemukakan secara rinci
dan panjang. Pertama dengan mengemukakan pengertian global ayat kemudian menjelaskan
makna ayat dari tinjauan bahasa dan menerangkan susunan uslub ayat (keterkaitan susunan
ayat–ayat). Sa‘id Hawa sering mengemukakan hadis Nabi untuk memperkuat uraiannya
disamping menggunakan pendapat mufasir lain yang menjadi referensi utama dalam menyusun
kitab tafsir ini.

Selain itu, orientasi penulisan tafsir ini berorientasi untuk menjelaskan aspek aqidah
(ushuluddin), fiqh, ruhiyyah, dan sulukiyyah. Dua hal terakhir berkenaan dengan kajian
tasawuf dan prilaku menempuh jalan tasawuf. Kitab al-asas fi al-tafsir ini dapat ditegaskan
mengusung teori munasabah sebagai karakter metodologis secara umum dan corak sufistik
sebagai karakter substansi penafsiran. 18

5. Penafsiran Tentang Surah Al-Hajj Ayat 5

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫علَقَة ث َّم مِن ُّمضغَة ُّم َخلَّقَة‬ ِ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلنَّاس ِإن كنتم فِي َريب مِنَ ٱلبَع‬
َ ‫ث فَإِنَّا َخلَقنَكم مِن ت َراب ث َّم مِن نُّطفَة ث َّم مِن‬
‫َوغَي ِر م َخلَّقَة لِنبَ ِينَ لَكم ۚ َونق ُِّر فِي ٱۡلَر َح ِام َما نَ َشآَٰء ِإلَ َٰٓى أَ َجل ُّم َس ًّمى ث َّم نخ ِرجكم طِ ف ًل ث َّم ِلتَبلغ َٰٓوا أَشدَّكم ۖ َومِ نكم َّمن‬
َ ‫ض هَامِ دَةً فَإِذَآَٰ أَنزَ لنَا‬
‫ع َلي َها ٱل َما َٰٓ َء ٱهت ََّزت‬ َ ‫يت ََو َّفى َومِ نكم َّمن ي َردُّ ِإ َل َٰٓى أَرذَ ِل ٱلعم ِر ِلكَي َل َيع َل َم مِن َبع ِد عِلم شَيئًا ۚ َوت ََرى ٱۡلَر‬
‫َو َربَت َوأَنبَتَت مِن ك ِل زَ وجِ بَ ِهيج‬

"Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) Kebangkitan, maka sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar
Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai

18 Muhammad Idris, Op. Cit,. hlm. 125

25
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun),
sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan
menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah." 19

Penafsiran menurut Kitab Tafsir al-Asas fi al-Tafsir Sa’id Hawa adalah sebagai
berikut:20

Penjelasan ini meluas dari ayat (5) sampai akhir ayat (7), dan ini adalah:

Kita melihat di bagian pertama surah bahwa gangguan utama dari kesalehan adalah
ketidaktahuan akan Tuhan

Yang mengharuskan mengikuti Setan, dan di antara efek ketidaktahuan akan Tuhan
adalah kurangnya iman pada Hari Akhir, atau keraguan tentangnya, dan kemudian kelompok
pertama datang di bagian kedua untuk membahas keraguan tentang Hari Akhir, dan ketika
membahas dengan keraguan, itu adalah masalah prioritas yang berurusan dengan kekafiran
terlebih dahulu.Wahai manusia, jika Anda ragu. Keraguan apa pun tentang kebangkitan, yaitu
kebangkitan dan kebangkitan Ruh dan jasad pada hari kiamat, karena Allah telah menciptakan
kamu dari debu. Manusia diciptakan dari debu dua kali: pertama kali pada hari Adam
diciptakan, dan kedua kali pada hari ia menjadi mani dan telur, karena ia diciptakan dari
makanan, dan makanan itu adalah debu, air dan udara, kemudian dari mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal darah.Ini disebutkan. Untuk perkembangan tahap
keduaIni adalah penyebutan perkembangan embrio tahap ketiga, dan ini adalah pokok bahasan
yang akan kami bahas secara mendetail dalam manfaat untuk menunjukkan kepada Anda
kesempurnaan bertahap dari kemampuan dan kebijaksanaan kami, dan siapa pun yang mampu
menciptakan manusia dari debu terlebih dahulu, maka dari sedetik sperma dan tidak ada
kecocokan antara kotoran dan air, dan ditakdirkan air mani itu menjadi lintahDan segumpal,
dan segumpal dan segumpal itu adalah tulang-tulang, yang mampu memulihkan apa yang Dia
mulai, dan arti umum: “Jika Anda ragu tentang kebangkitan, maka keraguan Anda akan hilang
jika Anda melihat awal penciptaan Anda, untuk siapa pun mampu menjadikanmu yang pertama

Alquran Indonesia, (https://quran-id.com, diakses pada 25 Desember 2022)


19
20
Said Hawa, Kitab Tafsir al-Asas fi al- Tafsir, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada 15
Desember 2022)

26
kali seperti yang kamu lihat, mampu mengembalikanmu, dan Kami jadikan di dalam rahim apa
saja yang Kami kehendaki, yaitu Kami jadikan di dalam rahim apa saja yang Kami kehendaki.
untuk jangka waktu.”

Itu bergerak dengan tumbuhan, hidup kembali setelah kematiannya, dan bangkit, yaitu
mawar, dan ini adalah salah satu pengamatan ilmuwan kerak bumi kontemporer: bahwa bumi
bangkit dan tumbuh setelah hujan, dan ini adalah masalah yang akan kita lihat manfaatnya. ,
dan itu tumbuh dari segala jenis, yaitu tipe yang menyenangkan, yaitu, baik dan menyenangkan
bagi mereka yang melihatnya, menarik perhatian ke bumi saat ia menumbuhkan apa yang ada
di dalamnya Warna dan seni, dari buahnya, tanaman dan serba-serbi tanaman dalam berbagai
warna, rasa, bau, bentuk, dan manfaat dari setiap jenis terlihat bagus, menyebabkan
kegembiraan dalam jiwa.

Sebuah kata dalam konteks: Kesalehan memiliki jalan yaitu ibadah kepada Tuhan, dan
ibadah kepada Tuhan didasarkan pada ilmunya yang benar, dan ilmunya yang benar
membutuhkan mengetahui kebijaksanaannya dalam menciptakan sesuatu, dan itu membawa
kita pada iman pada Hari Akhir, dan kelompok ini menunjukkan Hari Terakhir, dan menarik
perhatian manusia pada dua hal yang mengingatkannya akan hal itu: penciptaan manusia, dan
kebangkitan kembali bumi yang telah mati, dan kami tahu itu tentang Tuhan, dan apaAnda
memperkenalkan kami kepada Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan menciptakan makhluk jika
bukan karena Jam dan Kebangkitan, yang menunjukkan bahwa Jam dan Kebangkitan
diperlukan oleh kebijaksanaan, dan siapa pun yang berpikir bahwa tidak ada Jam atau
Kebangkitan, dia tidak akan mengetahui kebijaksanaan Tuhan, jadi kami melihat bahwa
konteks surah berfungsi sebagai sumbu surah.

1 - Pada kesempatan sabda-Nya, "Dan bahwa Dia menghidupkan orang mati," Ibn
Katheer menyebutkan: Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad atas otoritas Wakee bin
Uday atas otoritas pamannya Abi Razin Al-Aqili - yang namanya Laqit bin Amer - bahwa dia
berkata: Wahai Rasulullah, apakah kami makan untuk melihat Tuhannya Yang Maha Kuasa
pada Hari Kebangkitan? Apakah tanda itu dalam ciptaan-Nya? Kemudian Rasulullah, semoga
doa dan damai Allah besertanya, berkata: "Apakah kamu tidak semua melihat bulan kosong
darinya?" Kami berkata: Ya, dia berkata, “Tuhan itu lebih besar.” Dia berkata: Aku berkata:
Wahai Rasulullah, bagaimana Dia menghidupkan orang mati? Apakah tanda itu dalam ciptaan-
Nya? Dia berkata: "Bukankah kamu melewati lembah keluargamu dengan garam?" Dia
berkata: Ya, dia berkata: Lalu aku melewatinya gemetar hijau.

27
Ya, dia berkata: "Beginilah cara Tuhan menghidupkan orang mati, dan itu adalah tanda-
Nya dalam ciptaan-Nya."

2 - Pada kesempatan Yang Maha Kuasa mengatakan, Kami menciptakan Anda dari
tanah, kemudian dari sperma, kemudian dari hubungan, kemudian dari mengunyah, diciptakan,
dan ciptaan lainnya untuk Nabi Allah, Nabi Allah, Rasul Tuhan, ibunyaEmpat puluh malam,
kemudian menjadi lintah seperti itu, kemudian menjadi segumpal daging seperti itu, kemudian
Allah mengirimkan malaikat kepadanya, dan dia akan diperintahkan dengan empat kata, dan
dia akan menuliskan mata pencahariannya, miliknya bekerja, hidupnya, apakah dia celaka atau
bahagia, maka ruh akan dihembuskan kepadanya

E. Perbandingan Keempat Kitab Tafsir

Persamaan dari keempat kitab tafsir ini yang kami temukan adalah metode yang
dipakai oleh semua mufasirnya yaitu sama-sama menggunakan metode Tahlili atau
analisis. Juga keempat mufasir sama-sama menambahkan pendapat-pendapat dari mufasir
terdahulu, tapi tetap kritis terhadapnya.

Sedangkan untuk perbedaannya, keempat kitab tafsir ini berbeda di corak


penafsiran. Di mana pada kitab tafsir karya Muhammad Rasyid Ridha corak penafsirannya
adalah Adabi wal Ijtima’i, yaitu penafsirannya lebih menekankan terhadap rasionalisasi
petunjuk Alquran dalam kehidupan umat Islam secara nyata, berorientasi pada sastra yang
terlihat dari kutipan penyair yang ikut dimasukkan dalam kitabnya, budaya, dan
kemasyarakatan. Kitab tafsirnya menyusun redaksi penafsiran dengan indah serta
menonjolkan penjelasan mengenai pengertian ayat-ayat dengan hukum yang berlaku di
masyarakat tanpa menggunakan istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas yang sangat
dibutuhkan.

Lain lagi dengan kitab tafsir karya Imam al-Thabari, di mana beliau menggunakan
corak bi al-Ma’tsur, yaitu penafsirannya menggunakan dan menambahkan banyak bahkan
sebagian besar riwayat untuk menafsirkan dengan lebih menitikberatkan pada persoalan
fiqih. Dalam hal ini kitab tafsir karya Abu Hayyan memiliki kesamaan yaitu sama-sama
menggunakan corak bi al-Ma’tsur. Di mana dalam kitab tafsirnya banyak mengumpulkan
data dari riwayat-riwayat juga lebih spesifik menjelaskan tentang fiqih.

28
Untuk kitab tafsir karya Said Hawa, beliau memiliki corak bi al-Rayi yaitu
menafsirkan ayat demi ayat dengan rinci. Dalam kitabnya juga lebih spesifik lagi bahwa
beliau berusaha mengungkapkan makna ayat dengan mengaitkan dengan ayat dan surah
lain. Sehingga dalam awal setiap penafsirannya, beliau menambahkan hubungan ayat itu
dengan ayat lainnya atau surah itu terhadap surah lainnya. Penafsirannya juga tidak lupa
memberikan riwayat-riwayat meskipun tidak sebanyak pada kitab tafsir karya al-Thabari
juga Abu Hayyan.

F. Analisis Penulis

Setelah meneliti keempat kitab tafsir tersebut kami sebagai penulis menyimpulkan
bahwa kami memiliki dua pendapat.

Pertama, kami cenderung menilai kitab tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha
lebih cocok digunakan jika tujuannya untuk memudahkan pemahaman masyarakat umum
terhadap penafsiran Alquran. Seperti yang sempat dikatakan sebelumnya bahwa kitab ini
bercorak Adabi wal Ijtima’i yang di mana penafsirannya menitikberatkan pada penjelasan ayat-
ayat dengan ketelitian redaksi kemudian menyusun penafsirannya agar sesuai dengan keadaan
zaman di mana kitab itu ditulis. Hal ini tentu saja sangat membantu masyarakat umum untuk
memahaminya. Ditambah lagi fakta bahwa dalam penafsirannya, Muhammad Rasyid Ridha
jarang sekali menambahkan istilah-istilah rumit ataupun sulit dimengerti dalam penafsirannya.
Oleh karena itu, kitab tafsir ini menurut kami lebih unggul dari ketiga lainnya.

Kedua, jika yang dituju adalah untuk pemahaman dalam bidang studi keilmuan
sebagaimana digunakan dalam perkuliahan, maka menurut kami kitab Jamiul Bayan fi al-Tafsir
karya Imam al-Thabari adalah pilihan yang lebih tepat dari ketiga kitab lainnya. Hal ini tentu
saja karena penafsiran yang beliau tuliskan sangat rinci yaitu pertama beliau akan menafsirkan
ayat Alquran dengan mencari makna dari segi bahasa lalu dilanjutkan dengan riwayat-riwayat
dari Alquran, Hadith, juga pendapat sahabat dan tabiit tabi’in lalu memberikan pendapat beliau
sendiri terhadap riwayat-riwayat itu. Juga dengan pemahaman fiqih beliau yang mana membuat
kitab tafsir ini menjadi lebih kaya lagi.

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keempat kitab tafsir yang telah dibahas memiliki keunggulannya masing-masing,


hal ini tidak terlepas dari biografi para mufasirnya yang meliputi latar belakang pendidikan,
mazhab, juga metode dan corak penafsiran yang mereka gunakan. Analisis dari kami ada
dua yaitu, kami cenderung kepada kitab tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha
jika untuk membantu pemahaman masyarakat umum, dan kitab tafsir Jamiul Bayan fi al-
Tafsir karya Imam al-Thabari jika untuk pemahaman lebih dalam sebagaimana digunakan
dalam perkuliahan.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini kami sadar bahwa terdapat banyak kekurangan
mungkin kesalahan padanya. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran dari para
pembaca demi membantu kami memperbaikinya.

Terlepas dari itu, kami tetap berharap bahwa sedikit banyaknya makalah ini dapat
memberi kebaikan bagi para pembaca, juga tentu saja kami mengharapkan nilai terbaik dari
dosen pengampu terhadap hasil tugas kami ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir Al-Thabari Jilid 18 / Abu Ja'far
Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari ; penerjemah: Ahsan Askan ; editor: Besus Hidayat Amin,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).

Idris, Muhammad, “Karakteristik Kitab Al-Asas Fi Al-Tafsir Karya Said Hawa”, (Padang: UIN
Imam Bonjol, Vol. 8, No. 1, 2019).

Iman, Fauzi, “Muhammad Rasyid Ridha Sejarah dan Pemikirannya”, (Banten: STAIN Sultan
Maulana Hasanuddin, Vol. 19, No. 92, 2002).

Junaidi, Mahbub, “Studi Kritis Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridh”,
(Lamongan: Universitas Darul Ulum, Vol.8, No. 1, 2021).

Kasim, Masnur, “Muhammad Rasyid Ridha Antara Rasionalisme dan Tradisionalisme”, (Riau:
UIN Sultan Syarif Kasim, Vol.37, No. 2, 2012).

Putra, Restu Ashari dan Andi Malaka, “Manhaj Tafsir Bahrul Muhith Abu Hayyan al-
Andalusi”, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, Vol. 2, No. 1, 2022).

Umar, Ratnah, “Jami’ al-Bayan an Takwil al-Quran Manhaj Metode Penafsirannya”, (Palopo:
IAIN Palopo, Vol. 1, No. 2, 2018).

Zainatul, Nur, “Sorotan Awal Proses Tazkiyah Al-Nafs Sebagai Wadah Pembersihan Jiwa”,
(Malaysia: Universitas Tun Husein Onn, Vol. 1, No. 2, 2019).

Al-Thabari, Kitab Tafsir Jamiul Bayan fi al-Tafsir, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada
15 Desember 2022).

Hayyan, Abu, Kitab Tafsir al-Bahrul Muhith, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada 15
Desember 2022).

Hawa, Said, Kitab Tafsir al-Asas fi al-Tafsir, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada 15
Desember 2022).

Ridha, Muhammad Rasyid, Kitab Tafsir al-Manar, (Aplikasi Maktaba Shamila, diakses pada
15 Desember 2022).

31
Wikipedia, “Sa’id Hawwa”,
(https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sa%CA%BDid_%E1%B8%A4awwa , diakses pada 30
November 2022).

32

Anda mungkin juga menyukai