Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang

SEJARAH AWAL KAJIAN HADIS DI INDONESI


(Jaringan Ulama Timur Tengah)

Diajukan sebagai Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah


Studi Tokoh Hadis di Indonesia
Konsentrasi Ilmu Hadis Semester II
Oleh
Nandi Pinto, S.Th.I
088172755

Dosen pembimbing
Prof. Dr. Edi Safri

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
TAHUN AKADEMIK 2018/2019

1
SEJARAH AWAL KAJIAN HADIS DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Sebagai sebuah negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia. Di Indonesia sendiri terdapat banyak lembaga
pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan
tinggi. Hadis sebagai bagian dari pangkal ajaran Islam masuk ke Indonesia
bersamaan dengan penyebarannya di nusantara. Sementara itu, kajian Hadis
tidak mendapati perkembangan yang signifikan dan bahkan mengalami
ketertinggalan dalam perkembangannya dibanding dengan bidang-bidang kajian
Islam lainnya. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya
dan syariat khususnya, Hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian
Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran, Hadis tidak mungkin
terabaikan. Namun, pada kenyataan perkembangan hadis di Indonesia masih
mengalami ketertinggalan.
Di samping itu, kajian-kajian mengenai pembaharuan Islam di Nusantara
dalam rentang abad 13-20 selama ini sebagian besar terfokus pada bidang
pendidikan secara umum, sementara kajian mengenai hadis masih amat sangat
jarang ditemukan.
Kajian Hadis di lndonesia masih dalam permulaan. Hal ini tercermin dari
keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur Hadis, jumlah para sarjana dan
pakar Hadis yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keterbatasan kajian Hadis di
lndonesia juga tercermin pada metode dan hasil penetapan hukum yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-Iembaga yang berkuasa
memberikan fatwa.
Pada abad XVII dan XVIII, buku-buku tentang fiqh, tafsir, dan tasawuf yang
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu telah banyak beredar di Nusantara.
Misalnya, di bidang fiqh, kitab Mir’ât al-Tullâb karya Abdul Ra’uf al-Sinkili (w.
1693M)1 yang ditulis pada abad ke-17, Hidâyah ‘Awwâm karya Syekh Jalaluddin
yang ditulis pada tahun 1719,2 Sabîl al-Muhtadîn karya Muhammad Arsyad
al-Banjari (w. 1812M) yang ditulis pada tahun 1778,3 di bidang tasawuf Kifâyah
al-Muhtâjîn karya Abd al-Rauf al-Sinkili;4 di bidang tafsir Tarjuman al-Mustafîd
yang juga ditulis Abd al-Rauf al-Sinkili.5 Kitab-kitab tersebut merupakan contoh

1 Buku ini telah dicetak di dalam kumpulan sejumlah kitab karya ulama Aceh yang berjudul Jam ‘al-Jawâmi’
al-Mushannafât oleh penerbit Musthafa Bâb al-Halabi, tanpa tahun terbit. Lihat: Ramli Abdul Wahid,
“Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia: Studi Tokoh Dan Organisasi Masyarakat Islam”, dalam Jurnal Al-Bayan
vol. 4 tahun 2006, hlm. 64.
2 Buku ini juga telah dicetak di dalam kumpulan sejumlah kitab karya ulama Aceh yang berjudul Jam
‘al-Jawâmi’ al- Mushannafât oleh penerbit Musthafa Bâb al-Halabi, tanpa tahun terbit. Lihat: Ramli Abdul Wahid,
“Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia …, hlm. 64.
3 Buku ini telah beberapa kali cetak ulang, diantaranya dicetak oleh PT. Karya lnsan Indonesia, Jakarta,
tanpa tahun terbit. Lihat: Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia …, hlm. 64.
4 Kitab ini membicarakan secara ringkas tentang ilmu tasawuf. Lihat: Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan
Kajian Hadis Di Indonesia …, hlm. 64.
5 Upaya penulisan kitab tafsir telah dilakukan oleh ulama Indonesia. Pada Abad XVII, ‘Abdul Ra’uf al-Sinkili
menulis scbuah kitab tafsir yang berjudul Tafsîr Tarjuman al-Mustafîd. Kitab ini diidentifikasi sebagai kitab tafsir

2
kecil dari karya para ulama Nusantara. Karya-karya ini tidak menunjukkan satu
pun dari bidang Hadis atau ilmu Hadis.
Kajian hadis sendiri juga bisa ditemukan dalam sebuah kitab yang berjudul
Kitâb al-Hadîs al-Musamma bi Syifâ’ al-Qulûb yang ditulis ulama Aceh bemama
Syekh Abdullah. Namun, kitab ini tidak membahas hadis-hadisnya dari aspek
kajian hadis dan tidak pula membahas ilmu Hadis. Hadisnya ditulis tanpa sanad,
tanpa rujukan sumber asli Hadis, dan orientasinya adalah tasawuf.6
Sarjana Belanda, Kaarel Stembrink juga pernah mengatakan bahwa ketika
melakukan penelitian tentang kitab-kitab Agama di Perpustakaan Nasional
Jakarta, ia tidak menemukan satu pun kitab Hadis atau ilmu Hadis karya ulama
Indonesia. 7 Namun demikian, sebagai sumber kedua hukum Islam sesudah
aI-Quran, Hadis tidak mungkin diabaikan begitu saja. Dalam mengkaji apa pun di
bidang agama, Hadis sekurang-kurangnya menjadi bagian dari bahasannya.
Sehubungan dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka
perkembangan kajian Hadis perlu dikaji secara lebih luas. Dengan demikian,
masalah pokok dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana
sejarah awal dan perkembangan kajian Hadis di lndonesia?
B. Sejarah awal kajian hadis di Indonesia

Kajian hadits di Indonesia sangat erat hubungannya dengan para ulama


timur tengah dalam penyembaran agama Islam. Pada awalnya dalam
menyebarkan agam Islam melalui bebagai cara baik melalui berdangan yang
berasal dari beberapa negara seperti Arab, bahkan dari Persia, dan benua India
yang mendatangi kepulauan Indonesia untuk berdagang, tetapi dalam batas
tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penyebaran Islam
di masa lalu dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12
datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Indonesia.
Pada abad ke 17-18 merupakan dinamika penyebaran agama Islam ke
Wilayah Indonesia yang memiliki hubungan yang semakin kuat anatara ulama
Indonesia dan Timur Tengah. Hal ini tidak lepas dalam penyebaran agama Islam
dan orang-orang yang menuntut Ilmu di Timur Tengah, yang berpusat di Mekkah
dan Madinah sebagian besar mereka kembali ke Indonesia setelah mendalami
ilmu pengetahuan untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu.8
Mekkah dan Madinah merupakan tempat yang sangat istimewa di dunia
Islam dan kehidupan kaum muslim, kedua tempat tersebut merupakan awal
berkembangnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mekkah
merupakan pusat kiblat bagi orang Islam dalam melaksanakan shalat dan tempat
suci kaum muslimin untuk haji. Jadi tidak heran kalau kedua tempat tersebut
mempunyai kelebihan dan kualitas khusus dalam mengkaji ilmu pengetahuan

pertama di Nusantara. Kitab ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Cetakan pertamanya pada tahun
1884 di Konstantinopel. Lihat: Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia …, hlm. 64.
6 Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia …, hlm. 65.
7 Ibid.
8 Nurdinah Muhammad, “Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut Pemikiran Azyumardi
Azra”, Substantia, Vol. 14, No. 1, ( April 2012), 76

3
yang bersumber dari al-Qur'an dan al-hadits. Sebagaimana banyaknya para
ulama yang belajar di al-Haramayn.
Di sisi lain, pulang perginya orang-orang yang melaksanakan hajji setiap
tahun, Mekkah dan madina juga menjadi tempat perkumpulan orang-orang
muslim yang paling luas dari segala penjujru dunia, intelektual dunia
muslim, dimana para ulama, sufi, para penguasa, para filosof, para penyair, dan
para sejarawan bertemu dan saling tukar informasi.9 Di sinilah mereka menjadi
transmitter memainkan peranan menentukan dalam menyiarkan pembaruan
baik melalui pengajaran maupun karya tulis.
Pada abad-abad sebelumnya, Islam didominasi oleh mistik sehingga dalam
pembaruan Islam di Wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17 bukan
semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga Islam yang
berotientasi pada syariat (Hukum). Hal ini setelah adanya pusat jaringan di Timur
Tengah, para ulama melayu-Indonesia belajar sejak paruh ke dua abad ke-17
dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar, bahkan
secara serentak, untuk menyebarkan neo-Sufisme di Indonesia. Pada giliranya
mendorong munculnya upaya-upaya serius ke arah rekontruksi sosio- moral
masyarakat-masyarakat Muslim.10
Pada masa pembaharuan agama Islam terdapat tiga ulama yang cukup
terkenal pada abad ke-17 diantara tiga ulama yaitu; Nuruddin Ar-Raniry,
Al-Singkili dan Al-Maqasari. Ketiga ulama tersebut mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dalam pembaharuan Islam serta mempunyai hubungan dengan
ulama timur tengah, sehingga dalam mengembangkan ilmu agama Islam sangat
mudah. Nuruddin Ar-Raniry merupakan ulama yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang sangat luas serta kiprahnya sangat berpengaruh terutama
dilingkunagna Nanggroe Aceh Darussalam pada akhirnya nama beliau
diabadikan sebagai nama IAIN di Nanggroe Aceh Darussalam. Beliau menggeluti
berbagai ilmu pengetahuan serta mempunyai beberapa karya yang telah
diterbitkan di antaranya: Bustan al-Salathin, Al-Shirath al-Mustaqim merupakan
kitab fiqih, beliau juga menulis kurang lebih 29 karya yang terdiri dari Ilmu-ilmu
kalam, fiqih, hadits, sejarah bahkan sampai perbandingan agama merupakan
minat yang terbesar.11
al-Singkili pernah menulis Mir’at al-Thullab yang membahas tentang
masalah fiqh dan hukum. Beliau jug menulis tentang fiqih muamalat dan tafsir
al-Qur'an dengan judul Tarjuman al-Mustafid yang pertama kali terbit di timur
tengah.
Melalui program pengiriman ulama-ulama indonesia ke timur tengah untuk
memperdalam ilmu agama dan pertukaran ulama-ulama timur tengah ke
indonesia untuk penyebaran dan dakwah, hal ini dapat memberikan pencerahan
dan dakwah tentang ajaran islam .

9 Azyumardi Azra, The Origins Of Islamic Reformism In Southeast Asia (Australia: Allen & Unwin, 2004).
10 Nurdinah Muhammad “Karakteristik.., 77
11 Su’aidi, H. (2013). JARINGAN ULAMA HADITS INDONESIA. JURNAL PENELITIAN, 5(2).
doi:10.28918/jupe.v5i2.240.

4
Generasi setelah ar-Raniry tepatnya pada abad ke 18 jaringan ulama
Indonesia dan timur tengah menemui puncaknya diantara yang terkenal : Syekh
Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang, Syekh Muhammad Asyad al-Banjari
dari Kalimantan, Syekh Rahman al-Batawi dari Betawi dan Syekh Dawud
al-Fatani dari Patani Thailan Selatan.
Ulama-ulama tersebut merupakan ulama yang mempunyai jaringan kuat
dan pernah belajar di Timur tengah diantara ilmu-ilmu yang dipelajari mulai dari
aqidah, akhlak, fiqh, sejarah Islam, matematika hingga ilmu falak dan astronomi.
Hubungan ini tetap berlanjut sampai abad ke 19 yang muncul beberpa
ulama di antaranya Nawawi al-bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh
Mahfud at-Tirmasi, Kiai Ahmad Rifai dari kali salak, Kiai Ahmad Darat
as-Samarangi.12
C. Kondisi Objektif yang Menyangkut Perkembangan Studi Hadis di Indonesia

1. Situasi sosial-politik
Sumber dinamika Islam pada abad 17-18 adalah jaringan ulama yang
terutama berpusat di Makkah dan Madinah. 13 Hubungan antara kaum
Muslim Nusantara dan Timur Tengah pun telah terjalin sejak masa-masa
awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak Benua India
yang mendatangi kepulauan Nusantara tak hanya berdagang, tetapi dalam
batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Kemakmuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama
dikarenakan hasil perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya, memberikan
kesempatan bagi masyarakat Muslim Indonesia untuk melakukan perjalanan
ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah.
Upaya Dinasti ‘Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji juga
membuat perjalanan naik haji dari Nusantara semakin baik.14 Maka, tatkala
hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan antarnegara-negara Muslim
di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad XIV dan
XV, banyak pula jama’ah haji sekaligus penuntut ilmu dari Nusantara yang
berangkat ke Tanah Arab dan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di
sepanjang rute perjalanan haji.
Hal ini yang mendorong munculnya komunitas atau jaringan
intelektual-keagamaan Ashâb al-Jawiyyîn,15 sebutan yang diberikan oleh
sumber-sumber Arab bagi setiap orang yang berasal dari Nusantara. Maka,
dapat dipastikan bahwa para “Jawi” ini, sekembalinya ke tanah air, menjadi
pusat transmitter tradisi intelektual-keagamaan dari pusat-pusat keilmuan
Islam di Timur Tengah ke Nusantara. Mereka mengajar kepada masyarakat
sekitarnya mengenai ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di Tanah Suci.

12 Ibid.
13 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 16.
14 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 17.
15 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 17.

5
Maka, Islamisasi Indonesia, pada hematnya, perlu dilihat sebagai suatu
proses yang telah berlangsung sejak abad ketiga belas dan masih terus
berlanjut sampai sekarang. Entah siapa yang pertama-tama membawa Islam
ke Indonesia –orang India, Arab atau Cina– yang jelas, bahwa sejak abad
ketujuh belas, peran utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang
telah belajar di Tanah Suci. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di
Nusantara, hingga awal abad kedua puluh, bersumber dari Makkah dan
Madinah.16
2. Pendidikan Islam
Meski agama Islam masuk ke Nusantara lewat jalan “damai” (tidak
dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik), dengan adanya
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang masih berkuasa dan berpengaruh di
Nusantara, maka penyebaran Islam sebelumnya dilakukan secara diam-diam
dan sembunyi-sembunyi.
Seiring dengan surutnya kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut,
terutama Majapahit dan Sriwijaya, pemberian pendidikan agama (dalam
bentuk non-formal) mulai dilakukan secara lebih terang-terangan dan intens.
Kuat dugaan, pada zaman peralihan dan kebebasan inilah mulai munculnya
sistem pendidikan pondok atau pesantren, yang dimulai oleh Sunan Ampel
dan Sunan Giri, yang menghimpun santri-santri untuk diajarkan agama
Islam.17
Dapat diketahui pada abad XVII, di Jawa Tengah terdapat Pesantren
Sunan Bonang, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti Giri, dan
sebagainya.18 Pada masa jauh sebelum itu ternyata telah ada pesantren di
Hutan Glagah, selatan Jepara, yang didirikan oleh Raden Fatah pada 1475
M.19
Perkembangan pendidikan Islam di Jawa pada khususnya mencapai
puncaknya pada zaman kejayaan Kerajaan Islam Demak, sekitar abad XV.
Mulai periode Demak, penyebaran Islam mulai mendapat legitimasi dari
pemerintah atau penguasa, sebab Sultan beserta segenap keluarganya yang
telah memeluk Islam telah membuat penyebaran agama secara lebih luas
kepada masyarakat menjadi lebih mudah.20
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, sebagai salah satu
pusat perdagangan tersibuk kala itu dan daerah yang pertama sekali
menerima agama Islam tentunya telah jauh lebih maju dalam hal
pengajaran Islam-nya. Bahkan kerajaan Islam pertama di Nusantara berdiri
di sini, yakni Pasai.

16 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesanten dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 47.
17 Lihat Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: DEPAG RI,
1986), hlm. 8-11.
18 Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal sampai sebelum
Kemerdekaan”, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 310.
19 Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam…, hlm. 310.
20 Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia …, hlm. 13.

6
Aceh terkenal dengan para ulama besarnya dan tempat berguru para
kiai sebelum pergi menunaikan ibadah haji, karena itu Aceh sering digelari
Serambi Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani,
Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Ra’uf Al-Sinkili, dan lainnya.
Dari Acehlah mulai ditulis sastra keagamaaan Islam dalam huruf Jawi
berbahasa Melayu dan tersebar ke berbagai daerah Indonesia: Sumatra,
Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan, Banten, Cirebon dan lainnya.
Adapun pada zaman rezim kolonialis Hindia Belanda, Pemerintah
Belanda berupaya sangat keras dalam membatasi laju penyebaran Islam di
Indonesia, antara lain dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau
brosur-brosur dari luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak-kontak
langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan tokoh luar,
membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi ke Makkah, dan
lain-lain.21 Akan tetapi, upaya tersebut tak sepenuhnya berhasil. Banyak
tokoh-tokoh Muslim yang mendapatkan, buku, majalah atau brosur dari
Timur Tengah. Jumlah jama’ah haji Indonesia tetap melimpah.
Politik Pendidikan yang dijalankan oleh Pemerintah Belanda
(menomorsatukan putra-putra pejabat dan pembesar, sebaliknya
membatasi pendidikan bagi pribumi, justru menggiring putra pribumi pergi
menuntut ilmu ke pondok/pesantren. Pada masa ini, pesantren-pesantren
di Nusantara dijadikan sebagai tempat pertahanan bagi pribumi dalam
melawan penjajah. Para santrinya selain diberikan pendidikan Islam, juga
dilatih menjadi pejuang-pejuang yang handal.
Federspiel menambahkan, bahwa pada masa-masa kekuasaan Belanda,
kajian hadis belum dibicarakan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Pada masa itu pembicaraan hadis masih merupakan bagian dari disiplin ilmu
Islam lain, semisal fiqh.22
Dapat kita amati bahwa dalam kurun waktu abad XVII sampai XIX,
pendidikan Islam masih diberikan dalam bentuknya yang paling sederhana
dan belum tersistematisasi. Tidak ditemukan data yang cukup representatif
mengenai kurikulum pengajaran ajaran Islam yang diberikan. Pembelajaran
hadis dan ulumul hadis secara mendalam dan formal pun kiranya belum
dilakukan.
D. Tokoh yang berperan dalam perkembangan kajian hadis di Indonesia

1. Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/ 1658 M)


Beliau ialah tokoh Muslim kelahiran Ranir, kota pelabuhan tua di pantai
Gujarat, yang termasuk salah satu dari deretan panjang jaringan ulama abad
XVII. Periode sebelum kedatangan al-Raniri ke Aceh adalah masa dimana
Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyyah (penganut fanatik faham
Wihdat al-Wujud), berjaya bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak bagian

21 Lihat Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah Pendidikan Islam …, hlm. 17-19.
22 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 19.

7
lain di Nusantara, dengan Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin
al-Sumatrani[18] sebagai dua tokoh yang memainkan peranan penting
dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan Muslim Indonesia
pada paruh pertama abad XVII.
Kedatangannya ke Aceh membawanya kepada jabatan Syaikh al-Islam
di Kesultanan Aceh. Dengan posisinya yang kuat di Kesultanan, ia kemudian
dengan keras melancarkan hujatan-hujatannya akan paham Wujudiyyah
yang telah beredar lama di masyarakat.
Tak hanya itu, iapun mulai memerintahkan perburuan orang-orang yang
dianggap sesat serta membakar habis buku-buku yang dianggap
menyesatkan. Tindakan ekstrimnya itu membuatnya hanya dapat bertahan
selama tujuh tahun di Kesultanan. Ia kembali ke Ranir dan menetap disana
hingga akhir hayatnya.23
Dari sepak terjang yang dilakukannya, amat terlihat bahwa al-Raniri
memberikan porsi yang lebih dalam pengkajian tasawuf. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya asumsi dalam dirinya bahwa salah satu masalah dasar
di kalangan kaum Muslim Indonesia adalah aqa’id.
Ia merupakan sosok yang ulama yang produktif, terbukti menurut
berbagai macam sumber, ia menulis tak kurang dari 29 karya, 24 yang
memang kebanyakan membicarakan tentang tasawuf dan kalam. Melalui
karyanya Shirâth al-Mustaqîm, semacam buku pegangan standar pertama
karya Muslim Melayu mengenai syari’at dan fiqh yang mendasar, ia
menunjukkan kepeduliannya dalam kajian fiqh.
Menurut al-Raniri, penerapan syari’at tidak dapat ditingkatkan tanpa
pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi. Karena itu ia menulis
Hidâyat al-Habîb fî al-Targhîb wa al-Tartîb, sekumpulan hadis yang
diterjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar Muslim
Melayu-Indonesia mampu memahaminya dengan benar.25 Dalam karyanya
ini, ia memadukan hadis-hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an untuk
mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadis.26
2. Abdul Ra’uf al-Sinkili (1024 H/ 1615 M)
Dalam konteks pertumbuhan intelektualisme pesantren di daratan
Melayu sekitar abad ke-17, peranan Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dapat
dibilang sangat menonjol. Momentum pembaharuan intelektualisme Islam
Al-Sinkili dilakukan setelah ia pulang ke Aceh sekitar 1584 H/1661 M dari
pengembaraannya di Arabia selama 19 tahun.
Di mana ketika itu, aura pembaharuan di tanah Melayu-Nusantara yang
dirintis Al-Raniri tengah mengalami kemunduran politis sejak ia digeser oleh
Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumatrani dan

23 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 177.


24 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 180.
25 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 186. Lihat juga Muhammad Tasrif, Kajian Hadis
di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 18.
26 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 18.

8
meninggalkan Aceh menuju ke kota kelahirannya, Ranir, pada 1054
H/1644-1645 M. Dalam konteks ini, determinasi pembaruan Al-Sinkili
ditekankan pada upaya rekonsiliasi, memadukan secara simfoni
implementasi antara syariah dan tasawuf.
Dari perantauannya di Timur Tengah, dapat dipastikan bahwa ia telah
masuk secara langsung ke dalam jaringan intelektual ulama di Timur Tengah.
Dari deretan panjang nama guru-gurunya di Haramain, yang “mumpuni”
konsen terhadap hadis adalah antara lain al-Sinnâwî, al-Qusyâsyî dan
al-Kûranî.
Dari al-Qusyâsyî, ia mempelajari “ilmu-ilmu dalam” (‘ilm al-bathin),
seperti tasawuf, kalam, dan lainnya. Sedang dari Ibrahim al-Kûranî, al-Sinkili,
di samping mewarisi intelektualitas keislaman al-Kûranî juga mewarisi
kepribadiannya sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dengan kata
lain, bagi Al-Sinkili, al-Qusyâsyî adalah guru spiritual dan mistisnya,
sementara al-Kûranî lebih menjadi guru intelektualnya.27
Akan halnya al-Raniri, al-Sinkili juga merupakan sosok yang sangat
produktif. Karya-karyanya di berbagai bidang tentu tak dapat diabaikan.
Dalam bidang tafsir, ia menulis Tarjuman al-Mustafîd, karya yang disinyalir
sebagai produk kitab tafsir pertama yang ditulis oleh orang
Melayu-Indonesia.
Dalam bidang fiqh, karya utamanya adalah Mir’at al-Thullâb, karya yang
ditulis atas permintaan Sultanah Safiyyatuddin.28 Mengenai karyanya dalam
ranah mistis, Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi
Wahdat al-Wujud, 29 yang merupakan penolakannya terhadap paham
Wujudiyyah yang kala itu tengah marak berkembang dan diyakini
masyarakat Muslim Nusantara secara luas.
Sementara itu, sejauh yang bisa diketahui dalam bidang hadis, beliau
menulis dua karya. Yang pertama adalah penafsiran mengenai Hadis Arba’in
karya al-Nawawi, yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddîn.
Koleksi kecil hadis yang menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praksis
bagi Muslim ini, jelas ditujukan bagi masyarakat awam, bukan bagi para ahli
yang mendalami ilmu agama. Yang kedua adalah Al-Mawâ’izh Al-Badî’ah,
sebuah koleksi hadis qudsi.
Di dalamnya, ia mengemukakan ajaran-ajaran mengenai Tuhan dan
hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya, surga dan neraka, serta cara-cara yang
layak bagi kaum Muslim untuk mendapatkan ridha Tuhan.30 Al-Sinkili juga
menjadikan Syarh Shahîh Muslim karya al-Nawawi sebagai salah satu
rujukan penting dalam menyusun kitab fikih yang berjudul Mir’at

27 Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 194-196.


28 Bacaan lanjut lihat: Voorhoeve, Bayân Tajallî: Bahan-Bahan untuk Mengadakan Penyelidikan lebih
Mendalam tentang Abdurra’uf Singkel, terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: PDIA, 1980).
29 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 206. Bacaan lanjut: Voorhoeve, Bayân Tajallî,
hlm. 44.
30 Syamsul Huda, “Perkembangan Penulisan Kitab Hadis pada Pusat Kajian Islam di Nusantara pada Abad
XVII, dalam Jurnal Penelitian UNIB, vol. VII, no. 2, Juli 2001, hlm. 112.

9
al-Thullâb. 31 Karya-karya Al-Sinkili ini pada dasarnya mencerminkan
perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap kaum Muslim yang masih
awam, yakni mengajak mereka menuju pemahaman lebih baik atas
ajaran-ajaran Islam.32
Karya dua ulama di atas cenderung lebih diarahkan pada pembinaan
praktek keagamaan, terutama fiqh dan akhlak, daripada kepada penelitian
keotentikan nilai hadis-hadis yang dipergunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa itu, kajian ilmu mushthalah hadis belum mendapat
perhatian yang besar dari ulama Nusantara.33
Kritik terhadap keotentikan hadis baru muncul dan berkembang pada
paruh terakhir abad XX, setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dan seiring dengan berdirinya sejumlah Perguruan
Tinggi-Perguruan Tinggi Islam di berbagai kota di Tanah Air.
3. Mahfuz al-Tirmasi (w. 1919/ 1920 M)
Beliau merupakan seorang kiai yang dikenal dengan sebutan Kiai
Mahfuz Tremas. “Al-Tirmasi” sendiri, menurut para kiai di berbagai
pesantren, diambil dari kata Tremas, sebuah nama desa di Kabupaten
Pacitan.34 Beliau tercatat sebagai ulama yang menulis kitab Manhaj Dhawi
al-Nazhâr, sebuah syarh kitab nazham yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi,
berjudul Alfiyyât li al-Suyûthi.
Selain mensyarahinya, ia juga memberikan tambahan berupa 20 bait
syair.35 Hal ini dikarenakan menurutnya, kitab yang diakui oleh Suyuthi
berisikan 1000 bait syair, dalam perhitungannya hanya terdapat 980 bait
saja. Langkah beliau ini selanjutnya diikuti oleh para kiai dan ulama di
pesantren-pesantren lain, semisal KH. Hasyim Asy’ari di Jombang.36
4. Muhammad Thahir bin Ali al-Fatani
Ulama asal Patani, Thailand Selatan ini diklaim oleh Shaghir Abdullah,
cucu Ahmad Zayn al-Abidin al-Fatani –seorang ulama fatani terkemuka–
sebagai salah satu ulama Patani awal yang paling terkenal. Akan tetapi,
banyak pihak yang lebih memilih untuk mengingkarinya, sebab banyak fakta
historis yang tidak mendukung akan kebenarannya. 37 Meski begitu, ia
adalah serang pengarang buku ulung yang menulis buku terkenal Tadzkirah
al-Mawdhû’ât. Ini adalah satu-satunya karya abad itu yang membahas
tentang pemalsuan hadis, yang sejauh ini dapat ditemukan.38
E. Intelektual dan Praksis Hadis di Indonesia Pada Masa Awal

31 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 18.


32 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 205.
33 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 19.
34 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 19. Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qub, Islam dan Masa
Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 38.
35 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 19. Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qub, Islam dan Masa
Kini …, hlm. 39-40.
36 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 29, 31, 39, 135.
37 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 257-260.
38 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 259.

10
Lewat pembacaan singkat dua tokoh pertama di atas serta situasi
sosial-keagamaan yang melingkupi mereka, dapat dipahami bahwa para ulama
sepanjang abad XVII memiliki kecenderungan berorientasi pada kajian-kajian
tasawuf dan tarekat ketimbang syari’at.
Hal ini dapat dipahami karena “trend” keilmuan yang tengah berkembang di
kawasan Timur Tengah saat itu adalah tasawuf. Maka tak diragukan lagi,
ulama-ulama Nusantara yang menjadikan Makkah dan Madinah sebagai pusat
aktivitas intelektual pun cenderung mengikuti alur pemikiran gurunya, meski tak
dipungkiri bahwa banyak diantara mereka yang memiliki kompetensi
mengagumkan dalam bidang hadis.
Kecenderungan tersebut lambat laun bergeser, seiring dengan hasrat para
ulama akan kebutuhan pembaharuan dan pemurnian kembali ajaran agama
Islam, akibat merajalelanya paham tasawuf eksesif dan spekulatif pada masa itu.
Belum lagi beragam corak tarekat yang tengah berkembang kala itu, sebut
saja Sammaniyah, Khalwatiyah, Syattariyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan lainnya,
yang menjadikan kajian hadis di Indonesia kala itu menjadi semakin tersisihkan.
Al-Raniri dengan Shirâth al-Mustaqîmnya, Al-Sinkili dengan Mir’at al-Thullâbnya,
merupakan sekelumit usaha dari para ulama abad itu untuk menyeimbangkan
dan mengharmonisasikan antara syari’at dengan tasawuf.
Adapun para ulama sepanjang abad XVIII dan XIX terus menunjukkan
sejumlah besar kecenderungan yang serupa dengan kecenderungan masa
sebelumnya. Sementara tekanan pada telaah hadis berlanjut, rekonsiliasi antara
syariat dan tasawuf secara progresif memperoleh landasan yang kian kuat.
Suatu perkembangan yang mencolok dari abad kedelapan belas adalah bahwa
banyak ulama terkemuka yang menekankan rekonsiliasi diantara keempat
mazhab fiqh.39
Lebih jauh, terdapat pula kecenderungan para ulama untuk lebih
mempurifikasi ajaran agama Islam. Sebagian dari mereka ternyata percaya
bahwa pembaharuan keagamaan tidak boleh dibatasi pada rekonsiliasi syari’at,
tasawuf dan mazhab-mazhab hukum semata, akan tetapi juga harus mencakup
pemurnian praktik-praktik keagamaan.40
Maka, sekalipun sejumlah karya dalam bidang hadis sudah ditemukan sejak
abad ke-17, kajian hadis tidaklah begitu populer pada masa-masa sebelum abad
ke-20. Meski menurut Azyumardi Azra abad XVII dan XVIII merupakan salah satu
masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial-intelektual kaum Muslim,41
pembaruan pada abad ke-17 belum cukup membawa pergeseran perhatian
kaum Muslim yang lebih besar kepada hadis.
Barulah pada abad ke-20, munculnya pembaruan akibat dampak
modernisme dengan slogannya “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah”
menandai munculnya perhatian yang cukup besar pada hadis. Selain itu,
seperti terlihat dalam uraian sebelumnya, kajian hadis masih dilakukan oleh

39 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 163.


40 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 163.
41 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah …, hlm. 16.

11
pribadi-pribadi, dan belum menjadi bahan kajian di lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bersifat formal.42
F. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahawa sejarah perkembangan
kajian hadits di Indonesian berawal pada akhir abad ke-XVI atau awal abad
ke-sampai XVII yang dipelopori oleh ulama-ulama Indonesia terkenal yaitu
Nuruddin Ar-Raniry, Al-Singkili, Mahfuz al-Tirmasi dan Muhammad Thahir bin Ali
al-Fatani. Hal ini tidak lepas dari reformasi Islam di Indonesia sehingga banyak
para ulama belajar di dua tempat madinah dan makkah. Dan bahkan jaringan
ulama antara timur tengah dan Indonesia terbentuk dan semakin kuat sampai
saat ini.
Pada kurun abad XVII sampai XIX, kajian Hadis masih amat jauh tertinggal
jika dibandingkan dengan disiplin ilmu keIslaman lainnya. Hadis pada abad ini
hanya merupakan bagian dari pembahasan bidang keIslaman lainnya. Tak heran
jika karya-karya di bidang inipun masih amat jarang dijumpai. Sejauh pembacaan
penulis, hanya terdapat sekurang-kurangnya lima karya ulama Nusantara terkait
bidang hadis, dan itupun hampir keseluruhannya berasal dari Tanah Aceh. Dan
karya-karya inipun terbengkalai selama hampir satu setengah abad, hingga akhir
abad XIX sampai awal abad XX, yakni pada masa pembaharuan Islam dilakukan
secara besar-besaran oleh para ulama Nusantara.
Ketertinggalan ini antara lain dikarenakan kecenderungan para ulama
terhadap kajian-kajian tasawuf dan syari’at lebih dominan ketimbang kajian
hadis. Pengajaran hadis pun belum tersistematisasi dan terformalisasi dengan
baik.
G. Referensi

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan. 1994.
Azra, Azyumardi. 2004. The Origins of Islamic Reformism In Southeast Asia.
Australia:Allen & Unwin.
Huda, Syamsul. “Perkembangan Penulisan Kitab Hadis pada Pusat Kajian Islam di
Nusantara pada Abad XVII, dalam Jurnal Penelitian UNIB, vol. VII, no. 2,
Juli 2001.
Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara pada Masa Awal
sampai sebelum Kemerdekaan”, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
sampai Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007.
Muhammad, Nurdinah. 2012. Karakteristik Jaringan Ulama Indonesia Menurut
Pemikiran Azyumardi Azra. Jurnal Substantia, 14 (1), 76.

42 Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia …, hlm. 20.

12
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.
Razyad, Aminuddin dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: DEPAG RI. 1986.
Su’aidi, H. (2013). JARINGAN ULAMA HADITS INDONESIA. JURNAL PENELITIAN,
5(2). doi:10.28918/jupe.v5i2.240. diakses 1 Maret 2018.
Tasrif, Muhammad. Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan Pemikiran. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press. 2007.
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning, Pesanten dan Tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia: Studi Tokoh Dan
Organisasi Masyarakat Islam, dalam Jurnal Al-Bayan vol. 4 tahun 2006.
Ya’qub, Ali Mustafa. Islam dan Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001.

13

Anda mungkin juga menyukai