Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT ISLAM IBNU BAJJAH

MAKALAH

“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Islam”

Dosen :

Zaenal Mufti, M.Ag.

Disusun oleh kelompok 7:

Ade Sofie Khoirunnisa (1162020004)

Agung Eka Nugraha (1162020008)

Aji Setiawan (1162020018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Bajjah?
2. Apa saja karya-karya dari Ibnu Bajjah?
3. Bagaimana Pemikiran-pemikiran Ibnu Bajjah?
4. Bagaimana pengaruh Filsafat Al-Farabi terhadap Ilmu dan Sains?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Ibnu Bajjah.
2. Untuk mengetahui karya-karya dari Ibnu Bajjah.
3. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Ibnu Bajjah.
4. Untuk mengetahui pengaruh Filsafat Al-Farabi terhadap Ilmu dan Sains.

BAB II

FILSAFAT ISLAM IBNU BAJJAH

A. Biografi Ibnu Bajjah

Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-Sha’igh Al-Tujibi Al-Andalusi Al-
Samqusti Ibnu Majjah lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Bajjah. Orang-orang Eropa
pada abad pertengahan menjuluki Ibnu Bajjah dengan sebutan “Avempace”. Ibnu
Bajjah dilahirkan di Saragossa pada abad ke-11 M atau abad ke 5 H pada tahun 475
H/1082 M. Ia berasal dari keluarga Al-Tujibi yang bekerja sebagai pedagang emas
(bajjah-emas). Dia menyelesaikan jenjang kuliahnya di kota Saragossa. Oleh karena
itu, ketika pergi ke Granada, dia telah menjadi sarjana Bahasa dan Sastra Arab serta
menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan.

Para ahli sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan luas dan
menguasai berbagai ilmu. Fath Ibnu Khayan punyang sempat menuduh Ibnu Bajjah
sebagai ahli bid’ah dan mengecam pedas karyanya, Qawa’id Al-Iqyan, mengakui
keleluasaan ilmu pengetahuan Ibnu Bajjah dan tidak pernah meragukan
kepandaiannya. Ibnu Bajjjah menguasai sastra, tata bahasa, dan filsafat kuno. Oleh

1
tokoh-tokoh sezamannya, Ibnu Bajjah disejajarkan dengan Al-Syam Al-Rais Ibnu
Sina.

Menurut beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filsuf, melainkan
juga seorang ilmuwan yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti
astronomi, fisika, musik, dan matematika. Menurut Leo Africanus,1 yang dikutip Lenn
E. Goodman, Ibnu Bajjah adalah seorang dokter, musisi, penulis lagu dan puisi
populer dengan “Bakat lirik yang mengagumkan”. Fakta ini dapat diterima karena di
masa itu belum terjadi pemisahan antara buku sains dan filsafat sehingga seseorang
mempelajari salah satunya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam
dunia politik sehingga Gubernur Saragosa Dault Al Murabith, Abu Bakar Ibnu
Ibrahim Al-Sahrawi mengangkatnya menjadi wazir. Akan tetapi, pada saat Saragossa
jatuh ketangan Raja Alfonso I di Aragon, Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke kota Sevilla
Via Valencia. Di kota ini ia bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian, ia pindah ke
Granada dan selanjutnya berangkat ke Afrika Utara, pusat kerajaan Dinasti Murabith
Barbar, setelah itu, Ibnu Bajjah berangkat ke Fez, Maroko. Di kota ini, ia diangkat
menjadi wazir oleh Abu Bakar Yahya Ibnu Yusuf Ibnu Tashfin selama 20 tahun. Di
kota inilah, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada bulan Ramadhan 533 H/1138
M. Menurut satu riwayat, ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter bernama
Abu Al-A’la Ibnu Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.2

B. Karya-Karya Ibnu Bajjah


Ibnu Bajjah adalah seorang yang pintar dan mempunyai kemampuan analisis
yang cemerlang. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Thufail bahwa
Ibnu Bajjah adalah seorang filsuf muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat
analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan
filsafat dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Hal ini disebabkan
oleh ambisi keduniaannnya yang begitu besar dan kematiannya begitu cepat. Berikut
ini sejumlah karya filsafat Ibnu Bajjah yang terkenal.
1. Risalah Tadbir al-Mutawahhid, merupakan kitab yang paling populer dan penting dari
seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisi tentang akhlak, politik, serta usaha-usaha
individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat
dan negara yang disebutnya sebagai insan muwahhid (manusia penyendiri).

1
Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2013) hlm. 198
2
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam. (Bandung: Yrama Widya, 2017) hlm. 81-82

2
Menurutnya, dengan cara begitu, ia dapat berhubungan dengan al-‘aglul-fa’al (full
force mind=kekuatan pikiran). Memang benar bahwa hidup mengasigkan diri pada
hakikatnya lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Bajjah, “Untuk itu,
orang yang hidup menyendiri, dalam beberapa segi kehidupannya, sedapat mungkin
harus mejauhkan diri dari orang lain, tidak mengadakan hubungan dengan orang lain
kecuali dalam keadaan mendesak atau terdapat ilmu pengetahuan, kalau ada”. Sikap
demikian tidak bertentangan dengan apa yang disebutdengan ilmu peradaban dan
tidak bertentangan pula dengan apa yang tampak jelas di dalam ilmu alam. Telah jelas
bahwa manusia berada menurut kodratnya.
2. Risalah Al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama (Tuhan) bagi wujud
manusia, alam, serta beberapa uraian mengenai kedokteran. Buku ini tersimpan di
perpustakaan Bodleian.
3. Risalah Al-Ittisal al-‘Aql bi al-Insan (perhubungan akal dengan manusia), risalah ini
menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal Fa’al.
4. Kitab Al-Nafs, kitab ini enjelaskan tentang jiwa. Kitab ini juga berisi keterangan
mengenai kegemaran Ibnu Bajjah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan
persatuan jiwa manusia dengan Tuhan, sebagai aktivitas manusia yang tertinggi dan
kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia.
Karya lainnya yang dibuat oleh Ibnu Bajjah, baik dala bentuk Bahasa Arab atau
Bahasa Inggris, sekaligus menjadi bukti sebuah pengakuan dari dunia luar atas
karyanya, antara lain sebagai berikut:
1. “Tardiyyah”, sebuah puisi yang tersimpan di The Berlin Library.
2. Karya-karya yang disunting oleh Asine Palacios dengan terjemahan bahasa Spanyol
dan catatan-catatan yang diperlukan: (i) Kitab An-Nabat, Al-Andalus, jilid V, 1940,
(ii) Risalah ittisssal al-‘Aql bi alInsan, al Andalus, jilid VII, 1942; (iii) Risalah Al-
Wada’ Al-Andalus, jilid VIII, 1943; (iv) Tadbir al-Mutawahhid berjudul El Regimen
Del Solitario, 1946.
3. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M. Shaghir Hasan Al-Ma’sumi; (i) Kitab An-
Nafs dengan catatan dan pendahuluan dalam bahasa aArab, Maj Allah al-Majma
‘al-‘ilm al-‘arabi, Damaskus, 1958; (ii) Risalah Ibnu Bajjah on Human End, dengan
terjemahan bahasa Inggris, Jounal of Asiatic society of Pakistan, jilid II, 1957.3
Tentang Ibnu Bajah, ibn ‘Ushaibah pernah menyatakan “Sesungguhnya Ibnu Bajjah
adalah ‘allamah (guru besar) pada zamannya di bidang ilmu hikmah. Ibnu Bajjah
3
Ibid, hlm. 82-84

3
memiliki keistimewaan di bidang dan sastra arab, penghafal Al-Qur’an, sangan
menguasai ilmu kedokteran, musik dan Antropologi. Dia sangat cerdas dan sangat
memahami pemikiran Aristoteles.” Tidak banyak karangan Ibnu bajjah yang sampai
dan dapat diakses oleh para pemikir muslim sesudahnya. Mayoritas sisa karangan
yang ada berasal dari muridnya, Abu Bakar Hasan Ali Ibn Abdul Azis yang dijuluki
Ibnu al-Imam. Ibnu al-Imam lah yang mengumpulkan seluruh buku Ibnu Bajjah
dalam satu buah rangkuman tebal yang menjadi sumber perujukan pemikiran Ibnu
Bajah. Sebagian karangan Ibnu Bajjah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
Ibrani. Tetapi tetap saja, manuskrip karangan Ibnu Bajjah jarang benar-benar
lengkap.4
C. Filsafat dan Pemikiran Ibnu Bajjah
1. Filsafat Metafisika
Pandangan Ibnu Bajjah soal metafisika, banyak kalangan yang menilai tidak jauh
berbeda dengan pemikiran Al-Farabi. Hal ini dimungkinkan karena dalam disiplin
logika, Ibnu bajjah juga mengadopsi pemikiran dari Al-Farabi. Perbedaannya,
Ibnu bajjah mengistilahkan seluruh yang ada dengan al-ma’dudat, sedangkan Al-
Farabi memakai istilah al-maujudat. Ibnu bajjah memakai istilah al-ma’dudat
(yang terbilang) karena seluruh yang ada terdiri dari berbagai bilangan. Al-
Ma’dudan menurut Ibnu Bajjah terpilih dalam dua bagian: (a) sesuatu yang ril dan
konkrit dan dapat diberi atribut dan disifati, dan (b) sesuatu yang abstrak dan
maknawi yang hanya berurusan dengan pemahaman akal. Al-Ma’dudat jenis
pertama berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu, sementara yang kedua
tidak berurusan dengan dimensi ruang dan waktu. Selain membagi al-Ma’dudat
kepada dua jenis di atas, Ibnu Bajjah juga terkadang membagi al-Ma’dudat
menjadi (a) Yang bergerak dan (b) yang tidak bergerak.
Khusus dalam pembagian al-Ma’dudat menjadi yang bergerak dan yang tidak
bergerak, Ibnu Bajjah mau tidak mau, kembali membuat klasifikasi atas jenis
gerakan menjadi (a). Gerakan yang terbatas, terjadi antara dua ujung batas yang
berkaitan dengan waktu, yang mengenal awal dan akhir, dan (b) gerakan mutlak
yang terjadi tanpa pengaruh batas waktu dan karenanya berlangsung abadi.
Gerakan yang kedua merupakan kunci utama dari gerakan yang pertama. Tanpa
adanya gerakan yang kedua, dipastikan tidak akan ada gerakan pertama. Pemilik
gerak mutlak adalah zat paling mulia yang menjadi sumber bagi semua pelaku
4
Hasan Basri dan Zaenal Mufti, Filsafat Islam (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2012) hlm. 110

4
gerakan-gerakan terbatas. Bagi Ibnu Bajjah, pemilik gerakkan inilah yang pantas
disebut sebagai “penggerak” yang tidak digerakkan (tentu istilah ini diambil dari
khazanah pemikiran Aristoteles). Konsepsi ke-Tuhanan Ibnu Bajjah berhubungan
dengan pemilik gerakkan mutlak.
Tuhan dalam pemikiran Ibnu Bajjah adalah merupakan “Sumber” dari segala
sumber pengetahuan manusia. Pelimpahan wujud mutlak disertai dengan
penganugerahan kasih sayang dan ukuran mutlak disertai dengan penganugerahan
kasih sayang dan ukuran (kapasitas) kepada manusia, dengan anugrah yang dua
inilah, manusia dapat melihat ragam perbedaan antar-manusia. Anugerah kasih
sayang dan kapasitas ada yang terberi begitu saja sejak lahir, ada juga yang mesti
digapai lewat usaha manusia.5
2. Filsafat Epistemologi
Manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa’al atas
bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuasaan insaniah, bila ia telah bersih dari
kerendahan dan keburukan masyarakat. Masyarakat bisa melumpuhkan daya
kemampuan berfikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai
kesempurnaan. Pengetahuan yang didapatkan lewat akal akan membangun
kepribadian seseorang.
Akal mendapatkan objek-objek pengetahuan yang disebut hal-hal yang dapat
diserap dari unsur-unsur imajinatif dan memberikan sejumlah objek pengetahuan
lain kepada unsur imajinatif. Hal yang paling mencengangkan pada unsur
imajinatif adalah keterhubungan dengan wahyu dan ramalan.
Ibnu Bajjah juga menandaskan bahwa Tuhan memanifestasikan pengetahuan
dan perbuatan kepada makhluk-makhluk-Nya. Metode yang diajukan Ibnu Bajjah
adalah perpaduan perasaan dan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta, a
mempergunakan metode rasional-empiris, tetapi mengenai kebenaran dna
keberadaan Tuhan, ia mempergunakan filsafat. Kebenaran itu sendiri dapat
diperoleh manusia apabila manusia menyendiri (uzlah).
Menurut Ibnu Bajjah, akal memiliki dua fungsi, yaitu memberikan imajinasi objek
yang akan dicptakan kepada unsur imajinasi dan memiliki objek yang dibuat di
luar roh dengan menggerakkan organ-organ tubuh.
Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Ghazali mengenai filsafat, akan tetapi
banyak mengomentari filsafat Aritoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi corak baru
5
Ibid, hlm. 114-115

5
filsafat Islam di Barat terutama mengenai teori ma’rifat dalam efitologi. Dalam hal
ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Ghazali.
Menurut Al-Ghazali, ilham merupakan sumber pengetahuan yang paling penting
dan paling dipercaya. Setelah datang Ibnu Bajjah, maka ia menolak teori tersebut
dan menetapkan bahwa seseorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan
meleburkan diri pada akal fa’al, jika setelah ia telah dapat terlepaskan dari
keburukan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan
pikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat
memenangkan segi fikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya, seperti yang
terdapat dalam risalah Tadbir al-Mutawahhid.6
3. Filsafat Jiwa
Menurut Pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa. Jiwa tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia.
Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat, yaitu alat-alat jasmaniah dan alat-alat
rohaniah. Alat-alat jasmaniyah ada yang buatan dan ada pula yang alamiah,
seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu daripada alat buatan
yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau
roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.
Pancaindra merupakan lima unsur dari suatu indra tunggal, yaitu akal sehat,
dan akal sebagai realisasi penuh tubuh secara keseluruhan. Sehingga itu, disebut
sebagai jiwa (roh). Unsur ini juga menyuplai materi untuk unsur imajinasi yang
terorganisasi, sebab itu unsur ini didahului oleh sensasi yang menyuplai materi
kepadanya. Oleh karenanya lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap seagai dua
jenis persepsi jiwa. Namun, perbedaan keduanya sangat jelas sepanjang sensasi
bersifat khusus dan imajinasi bersifat umum. Unsur imajinatif berpuncak pada
unsur penalaran yang melewatinya. Orang-orang bisa mengungkapkan dirinya
kepada orang lain dan sekaligus mencapai serta membagi pengetahuan.
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan menjadi dua bagian, antara lain:
a. Bentuk-bentuk tubuh sirkular yang hanya memiliki hubungan sirkular dengan
materi sehingga bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan materi dan
menjadi sempurna.

6
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rinneka Cipta, 2010) hlm. 76-78

6
b. Kejelasan materi yang bereksistensi dalam indra-indra jiwa akal sehat, indra
khayati, ingatan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk
kejiwaan dan kejelasan materi.
Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan akal aktif oleh Ibnu Bajjah
dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-bentuk yang
berkaitan dengan akal sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus.
Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan umum hanya memiliki
satu hubungan yang menerima, sedangkan bentuk kejiwaan khusus dengan yang
berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa. Misalnya, seorang
manusia ingat akan bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan mata
bentuk ini, selain memiliki hubungan khusus seperti yang tersebut di atas, juga
hubungan dengan wujud umum yang terasa sebab banyak orang melihat Taj
Mahal.
4. Politik
Dari pengertian mutawahhid, banyak orang mengira bawa Ibnu Bajjah
menginginkan supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Namun,
sebenarnya maksud Ibnu Bajjah adalah sekalipun mutawahhid, seseorang harus
senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Namun, hendaklah seseorang itu
mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret ke
dalam arus perbuatan rendah masyarakat. Dengan kata lain, ia harus berpusat pada
dirinya dan merasa bahwa dirinya adalah panutan orang lain, serta sebagai
penyususn perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam dalam
masyarakat itu.
Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di negara utama.
Dalam bentuk-bentuk negara daerah yang rusak, semua tindakan dilakukan secara
terpaksa dan impulsif (bertindak tanpa berfikir terlebih dahulu) karena
penduduknya tidak bertindak secara rasional dan sukarela, tetapi didorong.
Misalnya, pencaharian kebutuhan hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam
kehidupan rezim yang tidak sempurna ini, di mana aspirasi intelektual dirintangi,
maka tindakan seseorang ang terkecil, menarik diri dari pergaulan manusia, di
dalam negara semacam ini untuk politik.
5. Filsafat Etika
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian. Bagian pertama,
ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan

7
dengannya, baik dekat maupun jauh. Bagian kedua, ialah perbuatan yang timbul
dari pemikiran yang lurus serta kemauan yang bersih dan tinggi, bagian ini
disebutnya perbuatan manusia.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam
perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yag tertimpa batu kemudian ia
luka-luka. Lalu Ibnu Bajjah mengilustrasikan batu itu. Apabila ia melempar batu
tersebut karena telah melukainya, maka itu adalah perbuatan yang didorong oleh
naluri kehewanannya yang mendiktenya untuk memusnahkan setiap perkara yang
mengganggunya.
Apabila ia melemparkan batu itu agaar tidak mengganggu orang lain, bukan
karena kepentingan dirinya atau marahnya akibat pelemparan tersebut, maka
perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan bisa dinilai dalam
lapangan akhlak. Menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah
pengaruh pikiran dan keadilan saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa
disebut orang langit.
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia
tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya.
Dalam keadaan demikian, hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya.
Pada dasarnya, kekurangan ini timbul disebabkan ketundukan manusia kepada
naluri.
Ibnu bajjah membagi pertumbuhan-pertumbuhan manusia kepada dua bagian.
Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain
yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan
yang timbul dari pemikiran yang harus dan kemauan yang bersih dan tinggi, dan
bagian ini disebutnya :”perbuatan-perbuatan manusia”.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan
perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam
perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan baru
kemudian luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparkannya
karena telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh
naluri hewani yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap
perkara yang mengganggunya.

8
Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan
karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada sangkut pautnya dengan
pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan pekerjaan
terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu
Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-
mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa
dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit dan berhak dibicarakan oleh
Ibnu Bajjah.
Setiap orang yang berhak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia
tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya.
Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada
ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang yang menjadi manusia dengan tidak
ada kekurangannya karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukkannya
kepada naluri.7
D. Pengaruh Filsafat Ibnu Bajjah terhadap Ilmu dan Sains
Pandangan Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh ide-ide Al-Farabi. Al-Farabi dan Ibnu Bajjah
meletakkan ilmu untuk mengatasi segala-galanya. Mereka hampir sependapat bahwa
akal dan wahyu merupakan satu hakikat yang padu. Upaya untuk memisahkan duanya
hanya akan melahirkan sebuah masyarakat dan negara yang pincang. Oleh karena itu,
akal dan wahyu harus menjadi dasar dan asas pembinaan sebuah negara serta
masyarakat yang bahagia.
Ibnu Bajjah sangat menguasai logika. Menurutnya, sesuatu yang dianggap ada itu
benar-benar ada atau tidak ada bergantung pada yang diyakini ada atau hanyalah suatu
kemungkinan. Justru, apa yang diyakini itulah sebenarnya satu kebenaran dan sesuatu
kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak benar.
Kenyataannya, banyak perkara di dunia yang tidak dapat diuraikan menggunakan
logika. Jad, Ibnu Bajjah mempelajari ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahami
hal-hal yang berkaitan dengan metafisika, seperti ilmu sains dan fisika. Ibnu Bajjah
juga terkenal dengan ungkapan yang menyebut manusia sebagai “makhluk sosial”.
Pendapat itu dilontarkan jauh masyarakat madani dalam tulisannya pada abad ke-11
M. Kehebatannya dalam berbagai ilmu telah membuat banyak kalangan benci dan iri
kepadanya.
1. Astronomi
7
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), hlm. 78-79

9
Ibnu Bajjah turut berperan dalam mengembangkan ilmu astronomi Islam. Seorang
ilmuwan Yahudi dari Andalusia, Moses Maimonides, menyatakan bahwa Ibnu
Bajjah telah mencetuskan sebuah model planet. “Saya pernah mendengar bahwa
Ibnu Bajjah telah menemukan sebuah sistem yang tak menyebut terjadinya
epicycles. Saya belum pernah mendengar itu dari muridnya”, ungkap
Maimonides.
Selain itu, Ibnu Bajjah pun telah mengkritisi pendapat Aristoteles tentang
meteorologi. Ia bahkan telah mengungkapkan sendiri teorinya tentang Galaksi
Bima Sakti. Ibnu Bajjah menegaskan bahwa Galaksi Bima Sakti merupakan
sebuah fenomena luar angkasa yang terjadi di atas bulan dan wilayah sub-bulan.
Pendapat Ibnu Bajjah tersebut dicatat dalam Ensiklopedia Filsafat Stanford
sebagai berikut. “Bima Sakti adalah cahaya bintang-bintang yang sangat banyak
yang nyaris berdekatan satu dengan yang lainnya. Cahaya kumpulan bintang itu
membentuk sebuah “Khayal Muttasil” (gambar yang berkelanjutan)”. Menurut
Ibnu Bajjah, “Khayal muttasil” itu sebagai hasil dari pembiasan (refraksi). Guna
mendukung penjelasannya itu, Ibnu Bajjah pun melakukan pengamatan terhadap
hubungan dua planet, yakni Yupiter dan Mars pada 500 H/1106 M.
2. Fisika
Dalam bidang fisika Islam, Ibnu Bajjah mengungkapkan hukum gerakan. Prinsip-
prinsip yang dikemukakannya menjadi dasar bagi pengembangan ilmu mekanik
modern. Pemikirannya dalam bidang fisika banyak memengaruhi fisikawan Barat
abad pertengahan, seperti Galileo Galilei. Tak heran, jika hukum kecepatan yang
dikemukakannya sangat mirip dengan yang dipaparkan Galilei.
Ibnu Bajjah adalah fisikawan pertama yang mengatakan selalu ada gaya reaksi
untuk setiap gaya yang memengaruhi. Ibnu Bajjah pun sangat memengaruhi
pemikiran “Thomas Aquinas mengenai analisis gerakan. Inilah salah satu bukti
betapa peradaban barat banyak dipengaruhi oleh yang dikembangkan ilmuwan
Muslim.
3. Psikologi
Ibnu Bajjah sangat berjasa dalam mengembangkan psikologi Islam. Pemikirannya
tentang studi psikologi didasarkan pada ilmu fisika. Dalam risalah yang ditulisnya
berjudul Recognitiom of the Active Intelligence, Ibnu Bajjah mengemukakan
bahwa intelligensi aktif adalah kemampuan yang paling penting bagi manusia. Dia
uga menulis banyak hal tentang sensasi dan imajinasi.

10
“Pengetahuan tak dapat diperoleh dengan pikiran sehat saja, tetapi juga dengan
inteligensi aktif yang mengatur inteligensi alami.” Ungkap Ibnu Bajjah. Ia juga
mengupas tentang jiwa. Bahkan, secara khusus, Ibnu Bajjah menulis kitab
berjudul Al-Nafs. Dia juga membahas tentang kebebasan. Menurutnya, seseorang
dikatakan bebas ketika dapat bertindak dan berfikir secara rasional.8
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-Sha’igh Al-Tujibi Al-Andalusi Al-
Samqusti Ibnu Majjah lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Bajjah. Orang-orang
Eropa pada abad pertengahan menjuluki Ibnu Bajjah dengan sebutan
“Avempace”. Ibnu Bajjah dilahirkan di Saragossa pada abad ke-11 M atau abad
ke 5 H pada tahun 475 H/1082 M. Ia berasal dari keluarga Al-Tujibi yang bekerja
sebagai pedagang emas (bajjah-emas). Menurut beberapa literatur, Ibnu Bajjah
bukan hanya seorang filsuf, melainkan juga seorang ilmuwan yang menguasai
beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musik,
dan matematika.
2. Karya-karya dari Ibnu Bajjah diantaranya yaitu Risalah Tadbir al-Mutawahhid,
Risalah Al-Wada’, Risalah Al-Ittisal al-‘Aql bi al-Insan, Kitab Al-Nafs, dan lain-
lain.
3. Pemikiran Ibnu bajjah meliputi pada filsafat metafisika, filsafat rpistemologi,
filsafat jiwa, politik dan filsafat etika.
4. Pengaruh filsafat Ibnu Bajjah terhadap ilmu dan sains yaitu pada bidang astronomi,
fisika dan psikologi.

DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia


Sulaiman, Asep. 2017. Mengenal Filsafat Islam. Bandung: Yrama Widya
Hasan Basri & Zaenal Mufti,2012. Filsafat Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri

Sudarsono. 2010. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rinneka Cipta

8
Ibid, hlm. 90-92

11
12

Anda mungkin juga menyukai