Anda di halaman 1dari 18

JACQUES DERRIDA : TEORI DEKONSTRUKSI

MAKALAH
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hermeneutika

Dosen Pengampu :
Mohammad Subhan, Lc., M.Ag.
Oleh:
Achmad Moehammad Fikrudh Dhuha
Shibghotullah Al-Mujaddidi

PROGRAM STUDI ILMU ALQU AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG
TAHUN 2020

i
DAFTAR ISI
A. COVER..................................................................................................... i
B. DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan........................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sekilas Biografi Jacques Derrida...................................................... 4
B. Metafisika Kehadiran........................................................................ 5
C. Dekonstruksi...................................................................................... 7
D. Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran.................................... 9
BAB III : KESIMPULAN............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14

ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa” itulah sebuah parodi dan mungkin
terdengar ironi. Seseorang berpikir tak harus mencari kebenaran, melainkan
mendengar Tuhan tertawa atau menertawakan diri. Abad post-modern barat
barangkali belum pas untuk Indonesia saat ini yang seolah-olah masih dalam abad
kegelapan, mungkin bukan juga masa yang cocok untuk rasionalitas yang terlalu
serius memburu kebenaran. Kini kebenaran sudah tidak ada dalam arti tunggal
dan jelas, namun kebenaran ada di mana-mana dan selalu berubah sesuai dengan
seleranya, selera sang penafsir. Itulah setidaknya yang menjadi wacana dalam
post-modernisme seperti apa yang terekam dalam diskursus hermeneutika.
Hermeneutika memahami bahwa realitas adalah teks. Untuk memahami
kebenaran seseorang harus mampu menafsirkan teks terlebih dahulu. Kebenaran
bukanlah sesuatu yang dapat hadir dengan sendirinya, melainkan harus
dihadirkan. Tapi mampukah dengan segenap kemampuannya, manusia menggapai
kebenaran? Entahlah, barangkali kebenaran adalah proses itu sendiri, proses untuk
menggapainya.
Adalah Jecques Derrida, seorang filsuf Prancis yang dikenal telah
mendekonstruksi kebenaran, kebenaran adalah teks. Baginya, semua hal adalah
teks “di luar teks tidak ada apa-apa.” Barangkali, filsafat Derrida bukanlah
filsafat dalam pengertian yang biasa. Derrida memilih menjadikan filsafatnya
sebagai sebuah penafsiran (interpretasi).
Derrida menyuguhkan sebuah pembacaan secara radikal terhadap teks-
teks filsafat dan kemudian mempermainkannya. Ia membuka sebuah undang-
undang untuk menggugat klaim filsafat sebagai satu-satunya penjelas bagi segala-
galanya. Kata “dekonstruksi” merupakan kata yang pertama kali keluar melalui
mulutnya. Dan konon, pembacaannya tidaklah mengenal kata akhir. Ia selalu
memulai pembacaannya dengan pertanyaan dan mengakhirinya dengan
pertanyaan.1

1
Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Prancis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 363.

1
A. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi fokus bahasan dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Sekilas Biografi Jacques Derrida ?
2. Apa Yang Dimaksud Metafisika Kehadiran ?
3. Apa Yang Dimaksud Dekonstruksi ?
4. Baimana Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran ?
B. Tujuan masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, akan timbul suatu
pemecahan masalah. Yakni:
1. Mengetahui Bagaimana Sekilas Biografi Jacques Derrida
2. Mengetahui Metafisika Kehadiran
3. Mengetahui Maksud Dekonstruksi
4. Mengetahui Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
1.

2
2.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Biografi Jacques Derrida
Jacques Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir pada 15 Juli
1930 M. di El-Biar salah satu daerah terpencil di wilayah Aljazair. Pada tahun
1949 ia pindah ke paris untuk melanjutkan studinya. Setelah dua tahun di sana, ia
kembali ke Aljazair untuk memenuhi kewajiban militernya untuk mengajar bahasa
Perancis dan Inggris kepada anak-anak tentara di tanah airnya. Sejak 1952 ia
resmi belajar di Ecole Normal Supreriure (ENS) , sekolah elite yang dikelola oleh
M. Faucault, L. Althusser dan sejumlah filsuf garda depan Prancis. Setelah lulus,
ia belajar di Husserl Archive, salah satu pusat kajian Fenomenologi di Louvain,
Prancis. Dan setelah mendapatkan gelar kesarjanaannya, ia diberi tanggung jawab
untuk mengajar di sana. Pada tahun 1960 ia dipanggil untuk mengajar di
Universitas Sorbonne. Lalu empat tahun berikutnya, ia dipanggil untuk mengajar
di ENS.2
Masa-masa di ENS merupakan masa-masa yang tidak terlalu
menyibukkan sehingga pada tahun 1966 ia sempat untuk mempersiapkan ceramah
legendarisnya di Universitas John Hopkins dengan tajuk ”Structure, Sign and
Play in the Discourse of the Human Sciences”. Sejak itulah jadwal acaranya
bertambah padat; setiap tahun ia secara reguler harus menjadi tamu di beberapa
universitas terkemuka di Amerika. Dan dari situlah karier filsafatnya di mulai.3
Pada tahun 1967 terbit tiga karya besarnya “of Gramatology, Writing and
differences” dan “Speech and Phenomena”. Di sana ia memulai proyek
filsafatnya yang berbasis pada tulisan, sebagai reaksi terhadap logosentrisme yang
mendominasi metafisika Barat waktu itu. Derrida secara terus terang mengakui
bahwa pemikirannya sangat berhutang budi pada M. Heidegger 4, F. Nietzsche,
Adorno, Levinas, S. Freud dan Saussure. Hal ini tampak dalam esai-esai dan cara
2
Muhammad al-Fayadl, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2006), hal. 2.
3
Ibid., hal. 3.
4
Derrida menuturkan,“Segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup
keterbukaan yang diciptakan oleh pemikiran Heidegger,” katanya dalam sebuah wawancara. Lihat
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 364.

3
pembacaannya terhadap teks-teks filsafat. Baginya, Heidegger merupakan orang
pertama yang mempertanyakan ontologi dan memulai diskusinya tentang krisis
metafisika. Hal serupa diwarisi juga oleh Nietzsche yang telah membebaskan
metafisika dari permainan arogansinya. Dan bagi Derrida, Adorno, Levinas dan
Freud merupakan pemberi nuansa baru terhadap diskusi-diskusi kefilsafatan yang
sekaligus telah menumbangkan klaim modernitas dan emansipasi ala Aufklarung.
B. Metafisika Kehadiran
Pada abad ke-20, filsafat Barat berkembang pesat seiring dengan
perkembangan yeng terjadi pada masyarakat. Banyak persoalan yang muncul
seiring dengan perkembangannya, kata-kata memungkinkan untuk menjelaskan
segala hal, kata memiliki kekuatan rasional untuk membenarkan dunia. Anggapan
tersebut oleh Derrida disebut logosentrisme. Logosentrisme merupakan suatu
rasionalisme yang menjelaskan bahwa sesuatu dapat dihadirkan lewat bahasa atau
teks. Dari situ lalu muncul istilah “metafisika kehadiran”.
Baik Logosentrisme maupun metafisika kehadiran mendasarkan diri pada
logika yang dikembangkan oleh Aristoteles. Selama berabad-abad prinsip logika
tersebut telah menjadi tradisi filsafat Barat. Akibatnya, manusia cenderung
berpikir dikotomis. Segala sesuatu harus jelas posisinya sebagai hitam dan putih.
Dan itulah ciri logosentrisme, tegas Derrida.
Pada suatu titik tertentu, muncul suatu kesadaran untuk mempertanyakan
ulang hal-hal yang telah dicapai filsafat Barat. Secara radikal, ia mempertanyakan
gagasan-gagasan mengenai kebenaran, pengetahuan, prosedur, kehadiran dan
segala otoritas yang mendasari filsafat Barat.5 Upaya Derrida tersebut lebih
merupakan sebagai upaya untuk menafsirkan ulang tradisi filsafat Barat, yang
Logosentrisme selalu mendahului kehadiran.
Baginya, kehadiran bukanlah sesuatu yang secara independen
mendahului tulisan atau tuturan kita namun sebaliknya, kahadiran selalu hadir
bersamaan dengan tulisan atau tuturan kita (disampaikan melalui tuturan/ tulisan
atau tanda yang dipakai seseorang). Setiap tuturan, tulisan adalah tanda dan setiap
tanda adalah teks. Setiap teks selalu tidak mungkin berdiri sendiri melainkan

5
Majalah Basis, edisi November-Desember 2005, hal. 40.

4
berkelit kelindan dengan teks-teks lain. Dengan demikian setiap teks memiliki
maknanya sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan tegas
Derrida menolak adanya makna transenden dari teks, tidak ada makna yang
terlepas dari teks. Untuk menjelaskan suatu kata, seseorang selalu membutuhkan
kata-kata yang lain dan yang ada hanya kata-kata. Dengan kata lain, tidak ada
konsep yang berada di luar dan melampaui kata-kata.6
Logosentrisme yang hendak dibedah Derrida melalui pembacaannya
trhadap teks-teks merupakan sebuah sistem yang menjadi sentral dari narasi
metafisik post-modernisme. Untuk membedah Logosentrisme, kita harus melacak
kembali sejarah metafisika Barat secara umum. Dalam hal ini Derrida sudah tentu
berhutang budi pada Heidegger yang telah melakukan kritik terhadap metafisika
Barat, yang secara sistematis mempersoalkan sejarah ontologi.
Upaya Heidegger dalam menyibak logosentrisme memang patut
dikagumi. Ia tidak hanya berhasil mempersoalkan logika Cartesian yang terlalu
memusatkan pada cogito, melainkan juga mampu mempertemukan kembali
filsafat Barat dengan ontologi. Selain itu, Heidegger juga mampu memposisikan
kembali matefisika yang selama ini telah dimandulkan oleh dominasi rasio. Dan
menurut Derrida, proyek “destruksi” yang dimulai Heidegger dengan
mempersoalkan status ontos dalam metafisika Barat belum sepenuhnya berhasil.
Heidegger sendiri ternyata masih dibayang-bayangi oleh logosentrisme yang
hendak dikritiknya. 7
C. Dekonstruksi
Dari pembacaannya terhadap Heidegger, Derrida kemudian melangkah
labih jauh, yaitu dengan menggugat ontologi itu sendiri. Tanda-tanda berakhirnya
metafisika sudah nampak semenjak konsep destruksi yang digagas Heidegger
diambil alih Derrida dengan konsep baru yang lebih radikal: Dekonstruksi.
Dekonstruksi merupakan fase yang sama sekali berbeda dengan destruksinya
Heidegger. Jika destruksi digagas untuk mengkritik bangunan epistemologi dan
masih menyisakan puing-puing untuk dibangun kembali, maka dekonstruksi
adalah sebaliknya. Dekonstruksi tidak berhenti hanya sampai pada mengkritik,
6
Ibid., hal. 18.
7
Muhammad al-Fayadl, Derrida, hal. 19

5
namun merombak dan mencari kontradiksi-kontradiksi dalam suatu bangunan dan
kemudian membiarkannya centang-perenang dan tidak memungkinkan untuk
dibangunnya kembali.
Dekonstruksi memang kata yang sulit untuk didefinisikan, dan Derrida
sendiri menolak untuk mendefinisikannya. Namun menurut Derrida, dekonstruksi
bukanlah sebuah motode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah
prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi ini berhubungan dengan
bahasa. Dekonstruksi adalah semua yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi
filsafat atau filologi untuk menghantam logosentrisme.
Pendekatan dekonstruktif lebih menyoroti isi teks agar ia dapat
menyingkapkan makna yang seharusnya literal namun telah termanifestasi ke
dalam berbagai metafora maupun perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi
bukan untuk menjembatani dua jurang yang ada itu antara kata dan makna,
melainkan hanya untuk menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya
ada dan tidak dapat dielakkan lagi.8
Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya
dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan
aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian
dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya
pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa
yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek,
atau bahkan modernitas.
Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari destruksi Heidegger. Kata
dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan
terkait kata analisis yang secara etimologis berarti “untuk menunda” sinonim
dengan kata men-dekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi
Derrida, yaitu:
1. Dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus menerus, dan ini
terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan.

8
Kaelan, Pembahasan Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), hal. 242.

6
2. Dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk
bahasa dan teks.
3. Dekonstruksi bukan suatu operasi, alat, atau teknik yang digunakan dalam
suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpret.9
D. Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi
pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut.
Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur.
Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau
unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter
dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa
ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem
perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara
penanda/ petanda, ujaran/tulisan, langue/ parole.
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama
dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan,
transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin,
intelligible/sensible, idealisme/materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih
superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio
dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan
sebagainya.
Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari
tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan. Derrida,
seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar
kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat
Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan
sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri

9
E. Sumaryono, Herrmeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 13

7
pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-
hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal
Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida,
pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua
telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan
mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi
makna.10
Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari
pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis sebagai
sekadar representasi dari ujaran, hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari
simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah
kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan
menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau
kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang
berupa suara/bentuk.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian
menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat
penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut
Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika
kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang
bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara
bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan
dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa
strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah
ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga
menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.11

E. Dari Metafisika Kehadiran ke Hermeneutika


10
Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hal. 250.
11
Ibid., hal. 251.

8
Derrida menyadari bahwa konsep-konsep yang menjembatani filsafat
dalam narasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkelit kelindan dengan konsep
yang lain, dengan teks yang lain. Narasi muncul dari teks dan teks secara langsung
berurusan dengan bahasa. Ia kemudian mencermati bagaimana teks-teks
menuturkan wacana dan menciptakan klaim-klaimnya berdasarkan struktur atau
tata pikiran yang dibangun di dalamnya. Derrida kemudian mencari strategi
pembentukan makna di balik teks-teks tersebut, yang antara lain dengan mencari
sistem-sistem perlawanan yang tersembunyi atau didiamkan oleh pengarang.
Derrida memegang asumsi bahwa sesungguhnya filsafat adalah tulisan.
Dalam pemikirannya, filsafat selama ini selalu berambisi untuk
melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan. Ia ingin menghadirkan bahwa
tulisan adalah penyingkap realitas, tuturan mampu menyingkap kebenaran. Dan
karena itulah peranan logika dimainkan.  Namun sayangnya, upaya tersebut selalu
gagal. Kecurigaan Derrida selalu menyiratkan bahwasanya filsafat pada dasarnya
ingin menjaring segala persoalan ke dalam metafisis universal (adanya suatu
rumusan universal yang mampu menuntaskan segala-galanya). Atau Derrida
menyebutnya dengan Logosentrisme.
Derrida menyadarkan kita bahwa sekarang sudah bukan lagi saatnya kita
harus berbicara atas nama filsafat sebagai suatu sistem yanb tunggal atau satu-
satunya yang paling benar. Lalu ia menawarkan untuk berpikir “tanpa konsep
tentang kehadiran.” Semua itu dalam rangka merombak semua sistem filsafat
yang telah didominasi oleh logosentrisme. Barangkali, itulah semangat
dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna,
penafsiran atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial,
kultur dan berbagai sistem aturan yang lainnya. Dari sudut pandang ini,
dekonstruksi dapat dipandang sebagai “hermeneutika radikal”. Ia menyajikan
tafsir tetapi tidak pernah berpretensi menjadikan tafsir sebagai satu-satunya
penjelas terhadap semua hal.
Tafsir sebuah dekonstruksi berasal dari kepekaan adanya perbedaan yang
mungkin hadir, entah kapan, dari suatu benda, suatu pengalaman ataupun ingatan.
Perbedaan tersebut barangkali terselip, tersembunyi di balik lipatan-lipatan waktu

9
dan karenanya tak tertangkap oleh indera. Oleh karena itu, sebuah penafsiran
dekonstruksi  tidak memiliki titik jangkau yang dapat diramalkan oleh rasio
maupun indera.
Walau demikian, dekonstruksi bukanlah sebuah ajakan untuk bersikap
nihilistik terhadap makna dan kebenaran. Dekonstruksi melampaui nihilisme naif
yang tidak mempercayai adanya kebenaran yang dapat dipegang. Demikian pula,
dekonstruksi juga melampaui dogmatisme tradisional yang mempercayai hanya
ada satu kebenaran sejati. Namun dekonstruksi lebih merupakan sebuah
rangsangan untuk tidak melihat kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya
kebenaran. Ada banyak kebenaran, bahkan terlalu banyak dan kita boleh memilih
berbagai kebenaran sejauh yang kita butuhkan.
Menurut Derrida, dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan dari
pada sebuah metode yang memiliki sebuah rancangan jelas dan sistematis. Proses
ini akan terus berlanjut karena penundaan dalam dekonstruksi tidak mengarah
menuju satu telos tertentu, melainkan menyebar ke banyak arah. Pemahaman
penafsir selalu dibentuk oleh sejarah dan sebuah penafsiran merupakan efek dari
dialektika dengan sejarah. Dalam dekonstruksi, makna atau sejarah dilampaui.
Makna bukanlah suatu institusi yang stabil dari teks. Dekonstruksi senantiasa
mengajak penafsir untuk melampaui institusi yang membentuk dirinya dan
pengalaman eksistensialnya dengan teks.12
Dalam hermeneutika radikal, ketidakmungkinan untuk mencapai makna
ditebus dengan meninggalkan pijakan dan terjun dalam ambiguitas, perubahan
terus-menerus. Dekonstruksi meradikalkan permainan makna sehingga menuntut
sang penafsir untuk selalu memperbaiki tafsirannya setiap saat dan memulai
tafsirannya dengan semangat baru, sudut pandang baru, strategi baru dan semua
hal dengan serba baru.
Derrida mengakui bahwa dekonstruksi akan tampak mencemaskan bagi
sang pemburu makna. Impian akan proses yang mengatasi perubahan dan
kontingensi absolut ini terus menghantui proses penulisan. Nyatanya, tak ada
penafsiran yang terbebas dari nostalgia akan kehadiran yang hilang. Sebuah
12
Jean Grodin, Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer, terj. Add Qodir Sholeh,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), hal 253.

10
proses penafsiran akan terus diliputi hasrat akan kembalinya kehadiran. Namun,
kita harus membiarkan impian itu tetap hadir karena dengan demikian proses
penulisa itu terjadi. Pasti, selalu saja ada yang kurang dan kekurangan itu harus
ditebus dengan penafsiran dan penafsiran yang baru.
Terminal akhir dari dekonstruksi adalah sans avoir –tidak memiliki. Pada
moment ini kebenaran didevaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi
berada di pangkuan pengarang, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-
penafsiran yang lain yang beda. Tak ada lagi otoritas pengarang transendental
yang memiliki kuasa mutlak atas teks. Teks tidak lagi dibentuk oleh
pengarangnya, melainkan memiliki otonominya sendiri. Otonominya bergerak
seiring dengan dinamika penafsir dan pembaca. Tak ada lagi kerja kepengarangan,
yang ada hanylah pengarang yang mati dan bunuh diri, atau bermetamorfosis
menjadi penafsir (homo reader).13

13
Muhammad al-Fayadl, Derrida, hal. 167.

11
BAB III
KESIMPULAN
1. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-
kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan
keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi
bukanlah sebuah motode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau
sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Inti dari dekonstruksi ini
berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah semua yang ditolaknya.
Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam
logosentrisme.
2. Différance adalah istilah yang diusulkan oleh Derrida pada tahun 1968
dalam hubungannya dengan penelitiannya tentang teori Saussurean dan
teori bahasa strukturalis. Derrida menginginkan untuk memisahkan
perbedaan menurut akal sehat yang bisa dikonsepkan dengan perbedaan
yang tidak dikembalikan kepada tatanan yang sama dan menerima
identitas melalui suatu konsep. Perbedaan itu bukan suatu identitas dan
juga bukan merupakan perbedaan dari dua identitas yang berbeda.
Perbedaan perbedaan yang di-tunda (defer) karena dalam bahasa Prancis,
kata kerja yang sama (diffèrer) bisa berarti membedakan (to differ) atau
menangguhkan. Konsep différance ini muncul ketika Derrida mencoba
menemukan bagaimana bahasa mempunyai arti, Ia tidak puas dengan
jawaban yang diberikan oleh kaum modernis yang sering keliru karena
meletakkan “arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai
untuk menggambarkan realitas yang sebenarnya.
3. Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha
membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian
besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan
Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang
hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi

12
yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang
disembunyikan.
4. Dalam pernainannya yang frontal tersebut, dekonstruksi harus berangkat
dari bahasa dan mempermainkan bahasa itu sendiri. Derrida tidak pernah
dengan serius menentukan posisinya dengan keluar dari bahasa dan
membuat bahasa baru. Derrida selalu berfilsafat dari dalam. Ia mengoyak-
koyak relasi-relasi kuasa dalam bahasa. Ia mengakui bahwa filsafatnya
adalah pinggiran. Ia membaca terks dari marjin yang bukan merupakan
logika formal dari dari teks itu sendiri. Namun dari pinggiran tersebut,
lambat laun ia bergerak menuju pusat dan mendekonstruksinya.
5. Setidaknya dekonstruksi merupakan pembelaan terhadap the other
(makna yang lain, yang tertindas). Semangatnya untuk menjunjung tinggi
martabat perbedaan makna perlu kita hargai. Sekali lagi, keberadaan
makna akan menjadi lebih bermakna hanya dengan adanya makna-makna
lain yang mengitarinya. Dengan kata lain, sebuah dekonstruksi adalah
gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. Hidup yang selalu menuntut
kita, dengan rendah hati untuk mengakui kebenaran sebagai
ke(tak)mungkinan. Kita hanya bisa berharap mampu menemukan sesuatu
yang berharga dalam perjalanan ini tanpa pernah tahu apakah kita benar-
benar memperoleh apa yang kita inginkan. Hidup ini merupakan sebuah
perjalanan panjang. Dan Derrida mengajarkan pada kita bahwa hidup
adalah petualangan tanpa akhir dan menuju kebenaran.
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
refrensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya dan
umumnya kepada para pembaca yang budiman.

13
14
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayadl, Muhammad. Derrid, Yogyakart. LkiS, 2006.
Bagus, Lorens. Kamus Filasat, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakart. Gramedia, 2014.
Budi Hardiman, F. Seni Memahami (Hermeneutik dari Schleirmacher sampai
Derrida), Yogyakarta. Kanisius, 2015.
Grodin, Jean. Sejarah Hermeneutika: Dari Plato Sampai Gadamer. terj. Add
Qodir Sholeh, Yogyakart. Ar-Ruzz, 2007.
Kaelan, Pembahasan Filsafat Bahasa, Yogyakart. Paradigma, 2013.
Santoso, Listiyono, dkk. Epistemologi Kiri, Yogyakarta. Ar-Ruzz Media, 2015.
Sumaryono, E. Herrmeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta. Kanisius,
1999.

15

Anda mungkin juga menyukai