Anda di halaman 1dari 17

Makalah Literatur Tafsir Nusantara

Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz karya KH. Bisri Mustafa

Oleh :

Kelompok 8

Nurul Izzah Hutapea 200303002

Raihanil Hanifa 200303045

Warahmatul Annisa 200303072

Dosen Pengampu : Syukran Abu Bakar, LC. , MA

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Ar-Raniry Banda Aceh


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pada kita berupa
keimanan dan keislaman, kemudian salam dan sejahtera atas junjungan kita
Nabi Muhammad saw. dan keluarganya serta para sahabatnya.
Ucapan terima kasih kami hantarkan kepada bapak Syukran untuk
tugas dan wawasan baru yang diberikan lewat mata kuliah ini. Pemakalah
menyadari banyak kekeliruan dalam makalah ini, maka saran dan masukan
dari pembaca akan membantu untuk menyempurnakannya.

Banda Aceh, 28 September 2022

Kelompok 8

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................


DAFTAR ISI ....................................................................................................
A. PENDAHULUAN ....................................................................................
a. Biografi KH. Bisri Mustofa ..................................................................
Rihlah Ilmiyyah ........................................................................................
Setting Sosial ............................................................................................
Guru-guru dan Murid-murid ................................................................... 6
Karangan-karangan ................................................................................. 7
b. Tafsir Al-Ibriz ..................................................................................... 8
c. Karakteristik Kitab Tafsir al-Ibriz ....................................................... 9
Bentuk Penyajian Tafsir.......................................................................... 9
Sistematika Tafsir ................................................................................. 10
Bahasa dan Gaya Bahasa ...................................................................... 10
d. Contoh-contoh Penafsiran Kitab Tafsir al-Ibriz ................................ 10
e. Kelebihan Kitab Tafsir al-Ibriz ......................................................... 14
f. Kekurangan Kitab Tafsir al-Ibriz ...................................................... 15
C. PENUTUP ............................................................................................ 15
CUPLIKAN KITAB TAFSIR...................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17

3
A. PENDAHULUAN
Salah satu kajian keislaman zaman dahulu yang ada di nusantara adalah
penulisan tafsir al-Qur‟an. Penulis tafsir al-Qur‟an itu dianggap sebagai
warisan intelektual Islam di Nusantara. Para ulama di Indonesia sudah sejak
lama menulis Kitab Tafsir, baik dalam bahasa Melayu, Indonesia, bahasa
Arab dan bahasa daerah. Tafsir Al-Ibriz adalah karya KH. Bisri Mustafa
yang cukup terkenal di Jawa, khususnya di lingkungan pesantren. Tafsir ini
sengaja menggunakan bahasa Jawa dalam penyusunannya karena K.H Bisri
Musthafa menginginkan agar ilmu yang beliau peroleh dapat bermanfaat.
Telah sampai karya ini kepada kita (masa sekarang).

B. PEMBAHASAN

a. Biografi KH. Bisri Mustofa


Bisri Mustofa lahir pada 1915 M atau bertepatan tahun 1334 H di
kampung Sawahan Gg. Palem Rembang, Jawa Tengah. Rembang adalah
sebuah kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang merupakan daerah pesisir
pantai utara, yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian
sebagai petani dan nelayan. Ayahnya bernama Zaenal Mustofa dan ibunya
bernama Khotijah. Zaenal Mustofa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya
yang sebelum haji bernama Djaja Ratiban. Sedangkan Khotijah adalah anak
dari pasangan dari pasangan E. Zajjadi dan Aminah. Khotijah mempunyai
darah keturunan orang Makassar dari ayahnya. Sebelum menikah dengan
Zaenal Mustofa, Khotijah pernah menikah dengan Dakilah1 dan Dalimin. 2

Mashadi adalah nama asli Bisri Mustofa yang kemudian ditahun


1932 setelah beliau menunaikan ibadah haji diganti menjadi Bisri Mustofa.
Mashadi adalah anak pertama dari empat bersaudara yaitu Mashadi,
Salamah (Aminah), Misbah dan Ma‟sum. Selain itu Mashadi juga
mempunyai saudara tiri yaitu Zuhdi, Maskanah, Achmad dan Tasmin.

Pada 17 Rajab 1354 H/ Juni 1935 M Bisri Mustofa menikahi


Ma‟rufah binti Kyai Cholil. Dari pernikah ini dikaruniai delapan anak,
yaitu: Cholil (1941), Mustofa (1943), Adieb (1950), Faridah (1952),
Najichah (1955), Labib (1956), Nihayah dan Atikah (1964). Pada sekitar

1
Pasangan Dakilah dan Khotijah dikaruniai dua orang anak yaitu Zuhdi dan Maskanah.
2
Ketika menikah dengan Dalimin, pasangan Dalimin dan Khotijah dikaruniai dua orang
anak yaitu Achmad dan Tasmin.

4
1967, Bisri kemudian menikah lagi dengan wanita asal Tegal bernama Umi
Atiyah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai seorang putra bernama
Maimun.3 Bisri Mustofa wafat pada hari Rabu tanggal 17 Februari 1977 (27
Safar 1397 H.), menjelang Asar di Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi
Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi dan gangguan
paru-paru.

Rihlah Ilmiyyah
Mbah Bisri dibimbing oleh kedua orang tuanya mengenai dasar-
dasar pendidikan Islam. Setelah ayahnya wafat Mbah Bisri mengembara
untuk mencari ilmu dari pesantren satu ke pesantren lain. Sebelum
mengenal pesantren, pasca sepeninggal ayahnya tanggung jawab keluarga
Mbah Bisri berganti kepada kakak tirinya yaitu Zuhdi. Pada saat itu di
Rembang terdapat beberapa sekolah, Eropese School, Hollands Inlands
School, Sekolah Ongko 2. Mulanya H. Zuhdi mendaftarkan Mbah Bisri di
HIS, namun akhirnya diurungkan karna HIS adalah sekolah milik Belanda.
Mbah Bisri akhirnya menempuh sekolahnya di Sekolah Ongko 2 kurang
lebih selama 3 tahun. Pada tahun 1925, Mbah Bisri melaksanakan
tabarukan4 di pesantren Kajen, pimpinan KH. Chasbulloh. Pada tahun 1926,
Bisri lulus sekolah di Ongko Loro dan melanjutkan mengaji di Pesantren
KH Cholil di Kasingan. Pada tahun 1930 M, Bisri diajarkan oleh Suja‟i
kitab Alfiyyah ibn Malik kitab yang berisikan 1000 Nadzam yang
menjelaskan ilmu Nahwu dan Sorof yang dikarang oleh Ibnu Malik, Bisri
menempuh 2 tahun pembelajaran untuk menguasainya. Setelah menikah di
tahun 1935, Bisri pergi ke Mekkah melanjutkan perjalanan intelektualnya,
selama di Mekkah Bisri tinggal dirumah Syaikh Chamid Said. Pada tahun
1937 beliau diminta pulang oleh KH. Cholil ke Remabng. Pada tahun 1939
KH. Cholil wafat dan Bisri mengantikannya menjadi pengurus pesantren
KH. Cholil.

3
Muhammad Khoirul Anwar, Program Studi Ilmu al Qur'an dan Tafsir (2010), hlm. 25.
4
Suatu kegiatan yang dilakukan setiap Ramadhan untuk mengaji kitab, tabarukan
dapat diartikan mencari barokah

5
Setting Sosial
Dalam perjalanannya, Mbah Bisri memiliki berbagai capaian di
bidang politik, dakwah dan perdagangan. Mbah Bisri dikenal oleh banyak
lapisan masyarakat. Mbah Bisri hidup pada era penjajahan, tepatnya tahun
1941, saat itu Jepang mengumumkan perang melawan sekutu. Pada Maret
1942 Jepang mendarat di Jawa. KH. Bisri hidup dalam tiga zaman, yaitu
zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno dan masa Orde Baru.
Pada zaman penjajahan, Mbah Bisri duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama
dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam
A‟la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Mbah Bisri diangkat menjadi
ketua Masyumi Cabang Rembang, sedang ketua Masyumi pusat waktu itu
adalah KH. Hasyim Asy‟ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Masa-
masa menjelang kemerdekaan, KH. Bisri mendapat tugas dari PETA
(Pembela Tanah Air). KH. Bisri Mustafa juga pernah menjabat sebagai
kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang.5

KH. Bisri Mustafa selain dikenal sebagai ulama, politikus, orator


ulung KH Bisri Mustofa juga dikenal sebagai pengarang yang produktif.
Pemikiran Beliau juga dituangkan pada karya-karyanya. Segala ide dan
pemikiran besarnya Beliau tuangkan pada karangannya berbentuk tulisan,
yang akhirnya menjadi sebuah karya, buku-uku, kitab-kitab, terjemah-
terjemahan. KH Bisri memulai menulis dan mengarang dimulai sejak beliau
menjalani tahanan rumah karena kasus di KUA selama kurang lebih satu
tahun.Sejak saat itulah, KH Bisri memulai aktif menulis, karena tidak boleh
menerima tamu apalagi pergi bertamu.Pada zaman pemerintahan Soekarno,
KH. Bisri duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu
Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam
pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno
dan memimpin do‟a waktu pelantikan.12 Sedangkan pada masa Orde Baru,
KH. Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971
dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama.

Guru-guru dan Murid-murid


 Guru6

 KH. Cholil Kasingan


 KH. Chasbullah

5
M Ibrahim, “BAB III Biografi KH Bisri Mustafa dan profil Tafsir Al-Ibriz”
http://repo.uinsatu.ac.id/19819/8/BAB III.pdf diakses pada 28 September 2022
6
Laduni.ID Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman
www.laduni.id/post/read/715/biografi-kh-bisri-mustofa, diakses pada 28 September 2022

6
 Suja‟i
 Kiai Kamil
 Syeikh Hamdan al-Maghribi
 Syeikh Alwi al-Maliki
 Sayyid Amin
 Syeikh Hasan Massyat dan Sayyid Alwi
 KH. Abdullah Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy'arie)
 KH. Bakir (Yogyakarta).

 Murid

 KH. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah)


 KH. Muhammad Anshari (Surabaya)
 KH. Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal)
 KH. Basrul Khafi
 KH. Jauhar
 Drs. Umar Faruq SH
 Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta)
 Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan)
 KH. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor)

Karangan-karangan

Karangan-karangan beliau yang berhasil ditemukan dan didata


berjumlah 176, diantaranya :

 Tafsir Al-Ibriz 30 juz


 Al-Iktsar/ilmu tafsir
 Terjemah kitab Bulugh al-Maram
 Terjemah Hadis Arba‟in an-Nawawi
 Buku Islam dan Salat
 Buku Islam dan Tauhid
 Akidah Ahlu as-Sunnah Wal Jama‟ah
 Al-Baiquniyah/ ilmu hadis
 Terjemahan Syarah Alfiyah Ibnu Malik
 Terjemahan Syarah al-Jurumiyah
 Terjemahan Syarah „Imriti
 Terjemahan Sullamu al-Mua‟awanah
 Safinah ash-Shalah
 Terjemah Kitab Faraidu al-Bahiyah
 Muniyatul az-Zaman
 Atoifu al-Irsyad
 Al-Nabras
 Manasik Haji
 Kasykul
 Al-Mjahaddah wa ar-Riyadhah

7
 Risalah al-Ijtihadi wa at-Taqlid
 Al-Khabibah
 Al-Qawa‟idu al-Fiqhiyah
 Al-Aqidah al-Awam

b. Tafsir Al-Ibriz
Tafsir Al – Ibriz karya KH. Bisri Mustafa memiliki judul lengkap Al-
Ibriz li Ma‟rifat Tafsir Al-Qur‟an Al-Aziz. Tafsir ini cukup dikenal di
kalangan para muslim jawa, khususnya di lingkungan pesantren. Tujuan
KH. Bisri Mushthafa menulis Tafsir Al-Ibriz ini agar umat Islam dari
berbagai latar belakang bahasa yang berbeda, bisa lebih untuk memahami
pesan maupun makna yang terkandung di dalam al-Qur‟an. KH. Bisri
Mushthafa juga ingin turut serta untuk menyebarkan pesan dan makna
dalam al-Qur‟an dengan menghadirkan Tafsir al-Qur‟an berbahasa jawa.
Dalam penulisan tafsirnya KH. Bisri menamai tafsirnya dengan Al-Ibriz,
tidak ditemukan alasan KH. Bisri menamainya dengan Al-Ibriz. Menurut
kamus bahasa arab terkemuka, Al-Munjid kata Al-Ibriz berasal dari bahasa
Yunani yang berarti Emas Murni. KH. Bisri Musthafa berharap kitab ini
menjadi seperti emas murni yang tidak lekang oleh waktu. Sejak kitab Al-
Ibriz ditulis sampai sekarang masih akrab dengan masyarakat jawa hingga
saat ini, juga mudah dijumpai di toko sehingga kalangan santri banyak
memilikinya. Sebelum tafsir ini disebarluaskan kepada khalayak ramai,
terlebih dahulu di-taftisy (dikoreksi secara mendalam) oleh beberapa ulama
terkenal, seperti al-„Allamah al-Hafidz KH. Arwani Amin, al-Mukarram
KH. Abu „Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH. Hisyam, dan al-Adib al-
Hafidz KH. Sya‟ roni Ahmadi yang merupakan ulama asal Kudus, Jawa
Tengah. Kemudian di cetak di Penerbit Salim Nahban dan dicetak juga di
Menara Kudus, Kudus. Tidak ada data yang akurat yang menyebutkan
kapan awal Tafsir Al-Ibriz ini ditulis, tetapi tafsir ini diselesaikan pada
tanggal 29 Rajab 1379 atau pada tanggal 28 Januari 1960. Menurut
keterangan istri beliau, Ny. Ma‟rufah, Tafsir Al-Ibriz selesai bertepatan
setelah kelahiran putri yang terakhir yang bernama Atikah 1964, pada tahun

8
ini pula, Tafsir Al-Ibriz untuk pertama kalinya dan dicetak oleh penerbit
Menara Kudus.

c. Karakteristik Kitab Tafsir al-Ibriz

Bentuk Penyajian Tafsir


Tafsir al-Ibriz ditulis dalam bentuk yang sederhana. Ayat-ayat Al-
Qur‟an dimaknai ayat per ayat dengan makna gandul (makna yang ditulis
dibawah kata perkata ayat). Hal ini sangat membantu para pembaca yang
awam dalam bahasa Arab untuk mengetahui arti perkata dari setiap ayat,
dibandingkan penyajian tafsir lainnya yang menerjemahkan keseluruhan
dari suatu ayat yang akan menyulitkan jika diminta untuk menguraikan kata
per kata.

Setelah ayat diterjemahkan dengan makna gandul,disebelah luarnya


yang dibatasi dengan garis disajikan tafsiran ayatnya. Terkadang penafsir
mengulas ayat per-ayat atau menggabungkan dari beberapa ayat, tergantung
apakah adanya munasabah antar ayat tersebut.

Bila ayat yang ditafsirkan cukup mudah untuk dipahami, penafsir


tidak memberikan keterangan tambahan apa pun, nyaris seperti terjemahan
biasa. Berbeda jika ayat yang ditafsirkan memerlukan penjelasan lebih
lanjut. Pada umumnya, Panjang tafsir paralel dengan panjang ayat, dalam
artian, penafsir sebisa mungkin menghindari keterangan panjang jika
ayatnya pendek. Kesan tersebut bisa dilihat dari cara penafsir saat “menge-
pas-kan” berapa ayat dan berapa panjang tafsir dalam satu lembar.

Pada ayat-ayat tertentu, penafsir memberikan catatan tambahan,


selain tafsirnya, dengan kata faedah atau tambih. Kata faedah
mengidentifikasi suatu dorongan atau hal positif yang perlu dilakukan,
sedangkan kata tanbih berupa peringatan atau hal-hal yang seharusnya tidak
disalahpahami. Tanbih juga terkadang berisi keterangan bahwa ayat tersebut
telah dimansukh dengan ayat yang lainnya. Terkait dengan asbabun nuzul,
penafsir memberikan keterangan secukupnya.

9
Sistematika Tafsir
Sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan mushaf, dimulai dari
surah al Fatihah sampai surat an Nas. Tafsir al-Ibriz ini ditulis dan
dipublikasikan per juz, sehinggah terdapat 30 jilid, untuk setiap jilid terdiri
dari satu juz.7

Bahasa dan Gaya Bahasa


Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab
pegon). Penulisan ini tentu saja melalui pertimbangan matang. Pertama,
Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang digunakan oleh penafsir, meskipun
beliau memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia atau Arab.
Kedua, tafsir al-Ibriz ini tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan
komunitas pesantren yang akrab dengan tulisan arab dan bahasa jawa, hal
ini adalah bagian dari upaya penafsir untuk membumikan al-Qur‟an yang
berbahasa langit (Arab dan Mekkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar
mudah dipahami masyarakat Jawa.

Gaya bahasa tafsir al-Ibriz sangat sederhana dan mudah dipahami.


Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko halus dan struktur
sederhana. Tutur bahasanya populer, meski harus diakui, jika dibaca oleh
generasi sekarang kadang memiliki kesulitan karena adanya pembaruan
dalam bahasa yang lebih biasa dipakai saat ini.

d. Contoh-contoh Penafsiran Kitab Tafsir al-Ibriz


Berikut beberapa contoh penafsiran yang ada dalam tafsir al-Ibriz:

1. Penafsiran ayat dengan ayat


                 

                    

                 

Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.


Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
7
Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa” Volume
XVIII, No.01, (Januari-Juni 2011), h. 34

10
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu)
supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja
yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya.

Bisri Musthafa menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip ayat 11


surat An Nisa.

                 

                 

                    

                  

     

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Bisri Musthafa mengatakan dalam tafsirnya; Paro sohabat nyuwun


fatwa marang kanjeng Nabi ing bab perkorone wong-wong wadon lan
warisane. Kanjeng rasul kedawuhan ngendiko: Allah ta‟ala paring dawuh.
La ayat kang woco, yo iku ayat (‫ )يوصيكم هللا في أوآلدكم‬ugo paring dawuh
perkorone yatimah-yatimah (yatim wadon) kang ora siro paring bagian
warisane, lan siro kabeh podo ora demen nikah, mergo ora ayu nanging ora

11
kawin, siro nyegah mergo siro kuatir warisane. Fatwa sangkeng Allah ta‟ala
koyo mengkono iku ora pareng. Ojo lakuni semono ugo bocah-bocah kang
iseh cilik-cilik. Allah merintahake supoyo siro kabeh podo ngadil marang
bocah-bocah yatim, opo siro lakuni, iku Allah ta‟ala pirso.8

Artinya; Para sahabat meminta fatwa kepada Nabi mengenai


masalah Wanita dan persoalan warisan. Nabi bersabda dan membaca ayat
)‫ )يوصيكم هللا في أوآلدكم‬juga mengatakan perkara-perkara yatim dan yatimah
(yatim perempuan) yang tidak kamu beri warisan, dan jika kalian tidak suka
menikah, karena tidak cantik maka tidak kawin, kalian mencegah karena
kalian khawatir warisannya. Firman Allah ta‟ala itu merupakan larangan.
Jangan kalian lakukan hal tersebut kepada anak-anak yang masih kecil.
Allah memerintahkan kepada kalian berlaku adil kepada anak-anak yatim,
apa yang kalian lakukan Allah mengetahui.

2. Penafsiran dengan hadis Nabi

               

              

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S An Nisa:59)

Bisri Musthafa menulis dalam tafsirannya: Ta‟at marang ulil amri


iku wajib, nanging kanti syarat, perintah mau ora atentangan karo agomo.
Sebab kanjeng Nabi dawoh (‫ )الطعة لمخلوق في معصية الخلق‬ora ono toat marang
makhluk iku keno ing dalem maksiat marang khalik. Bali marang al-Qur‟an
lan hadis, iku ora ateges kito ora diparangake nganggo qiyas lan ijmak,
otowo dawoh-dawohe mujtahid, alaran ijmak qiyas utowo dawuh-dawuhe
mujtahid iku kabeh nganggo dasar al-Qur‟an lan hadis.9

Artinya: taat atau patuh kepada pemimpin (ulil amri) itu wajib
dengan dua syarat, pertama, perintah tersebut tidak bertentangan dengan
agama. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi saw (‫)الطعة لمخلوق في معصية الخلق‬

8
Ridhoul Wahidi, Op.cit, h.81
9
Ibid, h.83

12
tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah swt. Kedua,
Kembali kepada Al-Qur‟an dan hadis. Tidak berarti tidak diperbolehkan
memakai ijma‟, qiyas, dan qaul mujtahid sebab kesemuanya bersumber dari
al-Qur‟an dan hadis.

3. Penafsiran dengan qaul sahabat

                

       

Artinya: Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.


Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu". (Q.S. Al-Isra : 110)

Bisri Musthafa mengatakan: miturut sohabat Ibnu Abbas iku


tafsirane iku moco al-Qur‟an. Kolo iku Nabi Muhammad ora pareng banter-
banter moco al-Quran mondo krungu wong-wong kafir, banjur dadi sebab
wong-wong kafir podo misuhi al-Qur‟an lan Allah ta‟ala. Artinya: menurut
sahabat Ibnu Abbas salat itu penafsirannya adalah membaca al-Qur‟an. Pada
saat itu nabi Muhammad dilarang mengeraskan bacaan al-Qur‟an agar tidak
terdengar oleh orang kafir yang nantinya menyebabkan orang-orang kafir
menjelek-jelekkan al-Qur‟an dan Allah ta‟ala.

Disini Bisri Musthafa mengambil pendapat Ibnu Abbas ketika


menafsirkan kata bishalatika pada ayat ini maksudnya adalah membaca al-
Qur‟an.

4. Mengutip pendapat ulama


Bisri Musthafa juga mengambil pendapat ulama dalam menafsirkan
ayat al-Qur‟an, contohnya tentang hukum membaca basmalah pada awal
surah at Taubah, penafsirannya yaitu: Dene hukume moco bismillah ono ing
kawitane surat baro‟ah iku sulayan, miturut Ibnu Hajar hukume haram,
miturut Jamal Ramli hukume makruh. Artinya: Hukum membaca bismillah
pada awal surat Bara‟ah itu ada beberapa pendapat, menurut Ibnu Hajar
hukumnya haram sedangkan menurut Jamal Ramli hukumnya makruh.
Dalam hal ini, Bisri Musthafa tidak memberikan komentar apakah beliau
lebih condong pada pendapat Ibnu Hajar atau pendapat Jamal Ramli.

5. Mencantumkan unsur lokalitas budaya Jawa,

13
‫ال ِم َن ا إْلِ ِّن فَ َزادُ وهُ إم َر َه قً ا‬
ٍ ‫س ي ع وذُ و َن بِرِج‬
َ
ِ
ُ َ ِ ‫َوأَنَّهُ َك ا َن رِ َج ا ٌل م َن إاْلِ نإ‬
Artinya: Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan
manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin,
tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.

KH. Bisri Mustofa menafsirkan ayat ini dengan menambahkan


kisah, yaitu:

Wong-wong Arab zaman biyen yen nuju lelungan, banjur arep labuh
manggon ana ingsiji panggonan kan dianggep singgit (wingit) dhewekw
nuli muni “a‟uzu bisayyidi hazal makani min sufaha‟I qoumin” nanging
bareng Islam tumeka nuli diganti ta‟awudz kelawan Allah Ta‟ala, A‟uzu
billahi minassyaithonirrojim. Mangkene, iki ora beda karo wong Jawa
zaman biyen nganthi zaman iki isih ana kekerine, anggone padha memule
utawa sesaji marang dayang-dayang kang dianggep bahureka desa utawa
kampong.

KH. Bisri Mustofa menceritakan tentang orang-orang Arab zaman


dahulu, Ketika pergi ke suatu tempat, kemudian ingin berhenti pada tempat
yang dianggap angker atau keramat, mereka mencari perlindungan dengan
membaca doa “a‟uzu bisayyidil hazal makani min sufaha‟I qoumin” yang
artinya “aku berlindung kepada tuan yang tinggal di tempat ini”. Kemudian
setelah agama Islam turun, diganti dengan ta‟awudz kepada Allah “A‟uzu
billahi minasysyaithonirrojim”. Hal ini tidak berbeda dengan masyarakat
Jawa, yang mana masyarakat Jawa Ketika berada di suatu tempat pada
umumnya menyiapkan memule atau sesajen agar mereka terlindungi dari
dayang-dayang yang dapat merusak suatu desa atau kampung.10

e. Kelebihan Kitab Tafsir al-Ibriz


1. Sistematika penulisannya yaitu dengan menggunakan makna gandul
(makna perkata dibawah ayat) sehingga memudahkan untuk
mengetahui arti perkata dari ayat yang dimaksudkan.
2. Menghindari penjelasan panjang atau bertele-tele pada ayat-ayat
yang memang mudah untuk dipahami.
3. Mencantumkan penjelasan tambahan selain tafsirnya dengan kata
faedah atau tanbih.
4. Ditulis per juz, sehingga lebih terjangkau untuk dibeli dan mudah
dibawa oleh para santri khususnya.
5. Ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon)
sehingga memudahkan masyarakat dan para santri yang notabenenya

10
A. Hidayaturrohmah, Unsur-unsur Budaya Jawa Dalam Kitab Al-Ibriz, Jurnal
Hermeneutik,Volume 14, No.2 (2020), h. 294.

14
menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian dan saat pembelajaran
di Pesantren.
6. Dalam mengemukakan perbedaan pendapat, beliau tidak
menguatkan ataupun memihak pada salah satu pendapat, sehingga
memberikan kebebasan kepada para pembaca untuk memilih.
7. Menyebutkan lokalitas budaya Jawa.

f. Kekurangan Kitab Tafsir al-Ibriz


1. Pada pengambilan riwayat, beliau tidak mencantumkan sanad yang
lengkap sehingga tidak diketahui kualitas riwayat tersebut.
2. Terdapat kisah Israiliyat yang tidak disertai komentar dan penjelasan
apakah kisah tersebut dapat diterima atau tertolak.
3. Tafsir ini terkesan eksklusif, karena hanya bisa dipahami oleh orang-
orang yang familiar dengan bahasa Jawa. Sehingga tidak semua
orang mampu mengakses tulisan dan bahasa dengan karakter
tersebut.

C. PENUTUP
Kesimpulan

Tafsir Al-Ibriz di tulis oleh KH. Musthafa Bisri yang lahir di


kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama
asli Mashadi. Wafat di Semarang tanggal 16 Februari 1977 karena serangan
jantung, tekanan darah tinggi, berusia 62 tahun. Tafsir Al-Ibriz merupakan
kitab tafsir yang lengkap hingga 30 juz, menggunakan metode ijmâli.
Menggabungkan dua penafsiran, yakni tafsir bi Al-Ma‟tsur dan bi Al-Ra‟yi.
Tafsir ini menggunakan corak fiqhi.

Kelebihannya adalah menerjemahkan secara harfiah dengan tulisan


gantung di bawah tulisan ayat. Tidak menguatkan/memihak terhadap salah
satu pendapat. Kekurangan, Hadis dalam tafsirnya tidak disertai sanad yang
lengkap. Terdapat israiliyat. Dalam pengutipan terkadang tidak di sertai
yang jelas penyebutan siapa ulama yang dikutif. Sukar di pahami orang luar
Jawa.

15
CUPLIKAN KITAB TAFSIR

16
DAFTAR PUSTAKA

Hidayaturrohmah, A, Unsur-unsur Budaya Jawa Dalam Kitab Al-Ibriz,


Jurnal Hermeneutik, 2020.

Ibrahim, M, “BAB III Biografi KH Bisri Mustafa dan profil Tafsir Al-Ibriz”
http://repo.uinsatu.ac.id/19819/8/BAB III.pdf

Khoirul Anwar, Muhammad, Program Studi Ilmu al Qur'an dan Tafsir,


2010.

Laduni.ID Layanan Dokumentasi Ulama dan Keislaman


www.laduni.id/post/read/715/biografi-kh-bisri-mustofa

Rokhmad, Abu, Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal


“Analisa” Volume XVIII, No.01, Januari-Juni 2011.

17

Anda mungkin juga menyukai