Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH LITERATUR TAFSIR NUSANTARA

“AL-QUR’ANUL A’DZIM KARYA SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN, H. ZAINAL


ARIFIN ABBAS DAN ABDURRAHMIM HAITAMI”

Oleh :
Kelompok 7
Emi Sasmita (200303061)
Humaira (200303004)
Usnul Kharimah (200303056)

Dosen Pengampu : Syukuran Abu Bakar, LC. , MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS UIN AR-RANIRY
2022 M/ 1444 H
A. BIOGRAFI PARA PENGARANG TAFSIR “AL-QUR’ANUL A’DZIM”
1. Biografi Syekh Abdul Halim Hasan
Nama penuh beliau ialah Haji Abdul Halim Hasan. Putera kepada Haji Hasan ini telah
dilahirkan pada 15 Mei 1901 di Binjai. Haji Hasan, merupakan bangsa Dawlay ,yaitu nenek
moyang daripada suku Manambing di Mandailing. Ia adalah sebuah daerah yang terletak di barat
selatan Utara Sumatera, berdekatan sempadan Barat Sumatera yang kini dikenali sebagai Dewan
Pimpinan Mandailing Natal dengan ibu negerinya Madina. Ayahnya juga merupakan seorang
petani yang alim dan mula menghantar Abdul Halim mempelajari ilmu-ilmu tentang Islam sejak
kecil lagi (Majelis Ulama’ Sumatera Utara 1983).
Abdul Halim meninggal dunia pada hari Sabtu, 15 November tahun 1969, pada usia 68
tahun. Beliau dibawa ke Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai setelah terjatuh ketika dalam
perjalanan ke Masjid Muhammadiyah Binjai. Beliau dipercayai diserang penyakit darah tinggi
yang membawa kepada pendarahan otak dan strok sehingga ditahan selama 24 jam di hospital.
Pengebumiannya dihadiri oleh ribuan umat dan dimakamkan pada 16 November 1969, di tanah
perkuburan Kampung Limau Sundai1.
 Rihlah Ilmiyyah

Abdul Halim Hasan mulai belajar di Sekolah Rakyat (RS), dan belajar pengetahuan
agama dari beberapa ustazd diantaranya, Faqih Saidi Haris, H. Abdullah Umar, Syekh H.
M. Nur Ismail, Syekh H. Samah, Kyai H. Abdul Haris Tamim, Syekh Hasan Ma’sum dan
Syekh Mukhtar al-Tarid sewaktu ia berada di Makkah saat menunaikan Ibadah Haji, dan
tentunya masih banyak lagi guru agamanya yang lain melihat keluasan Ilmunya2.
Disamping itu Abdul Halim Hasantidak merasa puas dan cukup dengan
mempelajari ilmu agama saja, dia juga belajar ilmu politik, pers dan jurnalis kepada
Djamaluddin Adinegoro pada tahun 1930, dan belajar bahasa Inggris dari Mr. Ridwan,
melihat kegiatan Abdul Halim Hasan sejak muda dalam belajar dapat dikatakan, bahwa
untuk ukuran masanya ia telah memiliki kesadaran global, karna dalam suasana seperti
pada masanya belajar dengan giat tanpa melihat apakah itu pelajaran umum atau agama,
sudah menjadi satu hal yang tidak bisa dinegosiasi agar tidak tergilas dalam perang
impormasi, selain perlunya untuk berperang habis-habisan melawan penjajah belanda3.
Abdul Halim Hasan adalah sosok seorang ulama yang tidak sembarangan, ulama
yang bukan hanya sibuk dengan buku-buku di depannya, tapi juga aktif dalam berbagai
kegiatan. Jabatan yang didudukinya tergolongong banyak, ia merupakan aktivis sejati baik
dalam instansi maupun organisasi. Jabatan dan instansi yang di pegangnya sejak masa
penjajahan Belanda, antara lain : pimpinan Ikhwan al-Safa yang merupakan perhimpunan

1
Majelis Ulama Sumatera Utara. (1983). Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara. Sumatera: Institut
Agama Islam Negeri Al Jamiah.
2
IAIN Sumatara Utara, Sejarah dan Ulam-Ulama terkemuka di Sumatra Utara, IAIN press : Medan, 1983, hal. 233
7
3
ibid
ulama intelektual di Medan al-Hilal (organisasi pemuda) Limau Sundai, Mudir Madrasah,
anggota pengurus pembangunan perguruan Taman Siswa Binjai pada tahun 1936,
Penasehat Pengurus Gerakan Rakyat Indonesia tahun 1938, anggota Majelis Sar’I di Binjai
Tahun 1937, penasehat Jamiyatul al-Wasyiliyah Binjai Tahun 1938, pengurus BOMPA
tahun 1943, anggota Majelis Tarjih Muhammdiyah tahun 1943, ketua umum Majelis Islam
Tinggi Tahun 1943 di Binjai, dan orang pertama pengibar bendera merah putih di Binjai.
Abdul Halim Hasan juga pernah menjadi ketua pasukan Hizbullah-Sabilillah-
Mujahidin Komando sektro Barat Utara Fron Medan Area di Binjai dari tanggal 7
Novenber 1945 sampai dengan 21 Juli 1947, ketua Persatuan Perjuangan Langkat-Binjai
dari 15 Januri 1946, sampai dengan 21 juli 1947 di Binjai, ketua makam syuhada sejak 15
Januari 1946 sampai dengan 26 Agustus di Langsa, dan Kepala Jawatan Agama Kabupaten
Langkat-Binjai sejak 1946 sampai menjelang purna bakti.4
Selain itu Abdul Halim Hasan juga pernah bertugas sebagai anggota staf Gubernur
Militer Acah Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Letnal Kolonel Titulir dengan
pengangkatan keputusan Wakil Presiden RI Muhammad Hatta, ia juga pernah jadi anggota
DPRD Aceh di Kutaraja tahun 1947-1950, anggota pimpinan Perbekalan Res. V. DIV. X.
TNI. KSBO di Langsa Aceh Timur, penasehat local yoin komite tahun 1949-1950 di Aceh
saat perundingan pemerintah RI dengan Belanda, anggota pengurus pembangunan Sekolah
Menengah Islam Modern (MIM) di Langsa tahun 1949-1950, ketua Zending Islam
Kabupaten Langkat dan Aceh Timur di Langsa tahun 1948-1950, pimpinan redaksi
majalah bulanan “menara” tahun 1948- 1950 di Langsa, anggota BKS-Ulama Militer
Sumatra Utara di Medan, panitia pembangunan Mesjid Agung Medan, pemrasaran
Kongres Ulama se-Indonesia di Medan dan sebagai 10Ibid. hal. 1xiii 11Ibid,hal. xx
penaehat kesatuan aksi penggayangan penghianatan G3SPKI Kabupaten Langkat dan
Binjai.
Disela-sela kesibukan Abdul Halim Hasan dalam berdakwah secara lisan, dia juga
menyempatkan dirinya untuk menulis, karna Abdul Halim Hasan sadar seberapapun
baiknya seseorang dalam menyampaikan pesan melalui lisan tetap perlu juga
disempurnakan dengan dakwah melalui tulisan agar lebih epesian dan semakin bermamfaat
bagi masyarakat5. Diantara karya-karyanya sebagi berikut :
1. Tafsir al-Quran al-Karim karya tiga serangkai
2. Tafsir al-Ahkam
3. Bingkisan Adab dan Hikmah
4. Sejarah Fiqih
5. Wanita dan Islam

4
Ibid hal. 1xiii
5
9Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Op.cit., hal. 1xi
6. Hikmah Puasa
7. Lailat al-Qadar
8. Cara memandikan Mayat
9. Tarekh Tamaddun Islam
10. Sejarah Kejadian Syara’ Tulis Arab ( terbitan malaysia)
11. Tarekh Abi Hasan al-Asyari
12. Sejarah Literatur Islam dan Poligami dalam Islam
 Guru-guru dan Murid-murid Syekh Abdul Halim Hasan

 Guru Syekh Abdul Halim Hasan


- Faqih Saidi Haris - Ulama Binjai
- Haji Abdullah Umar - Ulama dan Qadi di Binjai
- Haji Muhammad Nur Ismail - Ulama dan Qadi di Binjai
- Syeikh Haji Muhammad Samah - Pemimpin Tariqat atau Sufi di Binjai
- Haji Abdul Karim Amrullah - mengikuti pengajian antara tahun 1917-1950
- Syeikh Mukhtar Attarid – mengikuti pengajian pada tahun 1926 ketika Abdul
Halim berada di Mekah untuk mengerjakan Haji
- Syeikh Hasan Ma’sum (1837-1884) di Medan. Imam Besar Kerajaan Deli pada
ketika itu.
- Jamaluddin Adinegoro – mengikuti pengajian tentang Jurnalistik dan Politik
pada tahun 1930 di Medan
- Muhammad Ridwan – merupakan seorang pesara Lembaga Informasi di Dewan
Pimpinan Langkat, pada tahun 1930. Mengikuti pengajian bahasa Inggeris
daripada beliau (Majelis Ulama’ Sumatera Utara 1983)

 Murid Syekh Abdul Halim Hasan


- Zainal Arifin Abbas, salah seorang daripada murid Abdul Halim dan kemudian
menjadi rakannya di Madrasah Arabiyah, Binjai.
- Amru Daulay, Dekan Fakulti Undang-Undang Universiti Sumatera Utara,
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Mandaling Natal sekarang.
- Haji Ahmad al-Din, guru di Fakulti Shariah, Universiti Islam Sumatera Utara,
Medan.
- Abdul Karim Yusuf, Ketua Koordinasi dan Kawalan Kementerian Hal Ehwal
Agama Sumatera Utara.
- Dzul Helmy, Ketua Komunikasi Binjai.
- Zainal Abidin Nurdin, Ahli Dewan Perwakilan, Jabatan Langkat.
- Bakhtiar Hasan, Pemeriksa Media Agama, Dewan Pimpinan Langkat.
- A. Malik Ahmad, Presiden Kabinet Sosial, Dewan Pimpinan Langkat.
- H. Halimah binti H. M. Nur, guru di Sekolah Tadika Islam, Kuala Lumpur
- M. Ahmad Syah bin H. Abd. Jabbar, Qadi Johor, Malaysia (Majelis Ulama’
Sumatera Utara 1983)
2. Biografi Zainal Arifin Abbas
Zainal Arifin Abbas merupakan anak kepada Haji Muhammad Abbas dan Rajiah binti
Abdullah Lubis. Beliau dilahirkan pada tanggal 15 Mac 1911 di Kampung Lalang, Serbanyaman,
Deli Hilir, Sumatera Timur, yang kini dikenali sebagai Desa Lalang Kecamatan Sunggal
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Mhd. Asaad Zainal Arifin Abbas, 2011).
Zainal Arifin wafat pada 16 September 1979 di usia 68 dan dikebumikan di Jalan Batu
Ginting, Medan Sumatera (al-Hamidy, 2006).
 Rihlah Ilmiyyah
Pada 1919, ketika berusia tujuh tahun, beliau memulakan pelajarannya di Binjai
Methodist Boy School namun untuk setahun sebelum dipindahkan ke Anglo Chinese School
Medan. Pada tahun 1922, ketika beliau berada pada tahun empat di Anglo Chinese School
Medan, bapanya diburu Belanda akibat dari penglibatannya dengan mogok Deli Spoorweg
Mastschappij. Akibatnya bapanya dibuang kerja dan beliau sendiri diberhentikan sekolah. Atas
bantuan datuknya – Lebai Adam – beliau memulai persekolahan di Madrasah alIbtida’iyyah
al-ʿArabiyyah yang dikepalai oleh Kiyai Abdul Karim Yamin dan Abdul Halim Hasan. Setelah
mendapat ijazah Ibtida’iyyah, beliau menjawat jawatan guru di sekolah kelolaan Mahkamah
Shari’ah Binjai pada 16 Jun 1927. Beliau menjadi guru bantu mengajar di Madrasah
Ibtidai’yyah al-ʿArabiyyah6.
Zainal Arifin mula menulis pada tahun 1932 sehingga 1936 di beberapa akhbar dan
majalah berbeza antaranya Sinar Deli Medan, Pedoman Masyarakat (Medan), Dewan Islam
(Medan), Aliran Islam (Bandung) dan Pedoman Islam (Medan). Pada Mac 1936 sehingga Mac
1942, beliau mula menulis sejarah Nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 12 jilid namun tidak dapat
diselesaikan penerbitannya akibat rampasan penguatkuasa Belanda yang mengharamkan
penerbitan dan penyebaran buku agama ketika Agresi I di Binjai. Dari November 1938
sehingga November 1939, Zainal Arifin mengedit Tarich Tasyri’ Islami oleh M. Chuddlory
Bey dan diterbit oleh Toko Buku Mohd. Ali bin Muhammad al-Rawiy, Penang, Malaya dalam
500 mukasurat. Pada awal Mac 1937 sehingga 12 Mac, 1942 ketika permulaan tawana Jepun
ke atas Indonesia, Zainal Arifin bersama Abdul Halim Hasan dan Abdul Rahim Haitami
memulakan kerja-kerja pembukuan Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim sehingga iainya mencapai enam
juzuk setengah daripada al-Qur’ān dan menjangkau sehingga 2,140 mukasurat7.

6
Mhd. Asaad Zainal Arifin Abbas, 2011
7
Ibid
3. Biografi Abdul Rahim Haitama
Abdul Rahim Haitami dilahirkan pada tahun 1910 di Kebun Lada, Binjai. Bapanya Haitami
merupakan seorang cendekiawan Islam Binjai, Beliau meniggal dunia pada 13 July 1948 di Langsa
dan dikebumikan di sana.
 Rihlah Ilmiyyah
Pada tahun 1917, ketika beliau berusia tujuh tahun, beliau memulakan
persekolahannya di Sekolah Rendah Binjai dan belajar sari beberapa orang guru agama
yang terkenal antaranya Fakih Saidi, Haji Abdullah Umar, Sheikh Haji Muhammad Nur
Ismail, Sheikh Haji Muhammad Samah, Kiayai Haji Abdul Karim Tamin, Sheikh Haji
Hasan Maʿsūm. Selain dari matapelajarna agama seperti tafsīr, ḥadīth, sejarah dan fiqh,
Abdul Rahim Haitami juga mempelajari subjek kewartawanan dan politik daripada
Jamaluddin Adinegoro pada tahun 1930 di Medan, dan subjek Bahasa Inggeris daripada
Muhammad Ridwan dalam tahun 1930 di Binjai8
Pada tahun 1922, beliau mula bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah bersama Zainal
Arifin Abbas dan Bustami Ibrahim. Di sini, beliau mempelajari ilmu-ilmu seperti nahū,
balāghah, tafsīr , ḥadīth, taṣawwuf dan tārīkh. Abdul Rahim kemudiannya menjawat
jawatan sebagai guru di Madrasah Ibtida’iyah ketika beliau telah menyambung
pelajarannya di Madrasah alKhairiyyah al-Thanāwiyyah9.

8
Al-Hamidy, 2006
9
Dewan Harian Cabang Angkatan 45, 1945
Tafsir al-Qur’anul a’dzim
A. Pendahuluan
Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim pertama kali ditulis pada tahun 1937. Ia ditulis di Madrasah
‘Arabiyah, yang terletak di halaman Masjid Raya, Binjai, Sumatera Utara, Indonesia (Majelis
Ulama’ Sumatera Utara 1983). Penulisan ini disempurnakan oleh Abdul Halim Hasan, Zainal
Arifin Abbas, dan Abdul Rahim Haitami. Abdul Halim merupakan guru kepada Zainal Arifin
Abbas dan Abdul Rahim Haitami. Beliau telah menyemak draf akhir lembaran tafsir tersebut serta
membuat catatan dan pembetulan10.
Penerbitan pertama dilakukan di Sumatera Utara oleh Toko Buku Islamiyah pada February
1937 (Muhammad Nur Lubis, 2002). Ianya kemudiannya diterbitkan semula di Malaysia (1955)
dan Brunei. Naskhah tafsir ini juga wujud di beberapa perpustakaan university terkemuka dunia
seperti di Universiti Cornell, USA dan Universiti Leiden, Netherlands yang masing-masingnya di
bawah judul ‘Tafsir al-Qur-anul a’dzim’ (Cornell) dan ‘Tafsir Al Quränoeladzim’(Leiden).
Berikut merupakan naskhah terbitan untuk tafsīr tersebut di Indonesia, Malaysia dan Brunei 11.
Di Indonesia, tafsir ini telah dicetak sebanyak lima kali, cetakan pertama dilakukan pada
tahun 1936, cetakan kedua pada 1938, cetakan ketiga pada 1952, cetakan ke-empat pada 1957, dan
cetakan kelima pada 196112.
Tafsir ini terdiri daripada 30 jilid dengan tulisan Jawi. Cetakan pertama bermula dari jilid
yang ketiga puluh namun bermula dengan Surah al-Baqarah dan seterusnya. Cetakan in pertama
kalinya diterbitkan pada 30 Zulqa`edah 1374H bersamaan 20 July 1955. Setiap jilid diterbitkan
pada setiap bulan berturutan pada setiap 30 haribulan. Harga jualan adalah pada RM1 untuk setiap
jilid dan RM16 untuk keseluruhan tiga puluh jilid. Setiap jilid mengandungi 60-65 mukasurat
beserta tafsiran 20-30 ayat al-Qur’ān. Cetakan ini diterbitkan oleh Persama Press, Achen Street,
Pulau Pinang di bawah pembiayaan Sultan Abu Bakar Ri’ayatuddin, Sultan Negeri Pahang Darul
Makmur. Pustaka Antara Kuala Lumpur kemudiannya menerbitkan cetakan kedua pada tahun
1969. Dicetak oleh Salai Press, Petaling Jaya, Selangor, cetakan ini memperlihatkan kualiti
cetakan yang lebih baik dalam tulisan Roman. Pada hari ini, tafsir ini tidak lagi dicetak di ketiga
negara ini. Namun, naskhahnya wujud di beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Negara
Malaysia (PNM), Perpustakaan Zaaba, Universiti Malaya, Perpustakaan Tun Sri Lanang,
Universiti Kebangsaan Malaysia, Institut Agama Islam Negeri di Indonesia (IAIN) dan naskhah-
naskhah peribadi13.

10
Abdul halim hasan 1969
11
Nadzrah, 2014
12
Zainal Arifin Abbas, 1969
13
Ibid
B. Metode dan Sistematika Penulisan
Pada Tafsir al-Quranul a’dzim dari juz I, hingga juz ke VIII, hampir semua kandungan
Tafsir mereka merupakan nuqilan dari kitab-kitab Tafsir Utama berbahasa Arab, kitab-kitab
Agama dan majallah-majallah terbitan Mesir. Nuqilan-nuqilan ini kadang-kadang disebutkan
sumber pengambilannya dan terkadang tidak disebutkan. Nuqilan yang paling banyak bersumber
dari Tafsir al-Manar, karya Syeikh Rasyid Ridha dari hasil kuliah Syeikh Muhammad Abduh dan
Tafsir Al-Jawahir, karya Syeikh Tantawi Jauhari. Dalam menafsirkan ayat, mereka menggunakan
manhaj tahlili atau manhaj tajzie mengikuti urutan Mushaf. Masalah yang memerlukan
pembahasan khusus, mereka bahas secara tersendiri, seperti: sihir, riba, judi, syafa’at dan lain-lain.
Masalah-masalah ini, umumnya yang menyangkut dengan kehidupan orang banyak dan hangat
dibicarakan dalam masyarakat. Bahasa yang digunakan lembut, simpatik dan dapat menggugah
hati pembacanya. Tidak ada caci maki dan umpat serapah dalam Tafsir mereka, semua tutur kata
halus, sopan dan terpuji.
Kitab Tafsir al-Quranul a’dzim dari juz I, hingga juz ke VIII, karya Ulama Tiga Serangkai,
penafsiran ayat dimulai dengan menerangkan arti kata-kata penting (al-mufradat). Dalam hal ini
mereka berpedoman kepada kitab Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an, karya al-Raghib al-Asfahany
(w. 502 H.), Al-Kasysyaf, karya al-Zamakhsyary (w. 538 H.) dan lain-lain. Asbabun nuzul juga
ikut diterangkan, ketika menafsirkan ayat yang ada sebab turunnya. Dalam hal ini mereka
berpedoman kepada Tafsir Al-Tabary, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Baidhawy dan lain-lain. untuk
riwayat mengenai asbabun nuzul ini lebih dari satu, mereka mencoba menggabungkannya dan bila
tidak dapat, mereka mengambil jalan tarjih.
 Pengemukaan Bab Pengenalan
Intipati utama daripada Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim dinyatakan di permulaan tafsir. Bab
pertama, iaitu bab pengenalan dimulakan dengan sejarah bagaimana al-Qur’ān menerangkan
pemahaman sejarah tentang ayat Ilahi dan latar belakangnya kepada pembaca. Topik yang
dibincangkan ialah sejarah dan cara penurunan wahyu, proses pengumpulannya, surah-surah
Makkiyah dan Madaniyah, penulisan al-Qur’ān, ilmu pengetahuan yang imperatif sebagai
prasyarat dalam pentafsiran al-Qur’ān dan lain-lain. Ini dapat membantu pembaca memahami
dengan baik mengenai asal usul wahyu dan ayat-ayat al-Qur’ān juga kesuciannya sepanjang
zaman.
Federspiel dalam tulisannya Popular Indonesian Literature of the Quran berpendapat,
Abdul Halim Hasan telah memanfaatkan sepenuhnya bahagian ini di mana bab pengenalan
yang ekstensif digariskan dengan teliti dan diutarakan ke dalam bahagian-bahagian lain dalam
kajian (Howard M. Federspiel 1994). Pengenalan yang ringkas namun komprehensif ini
berfungsi sebagai persediaan kepada pembaca bagi memahami latar belakang al-Qur’ān
sebelum memahami kandungan dan membuat analisis tentang interpretasinya.
 Menjelaskan Ringkasan Suatu Surah
Federspiel dalam analisisnya mengenai generasi ketiga dalam penulisan tafsir di
Indonesia mencerakinkan beberapa ciri tertentu yang ditemui pada era penulisan tafsir
kepada tiga ulama Indonesia, iaitu Hamka, Shiddieqy, dan Abdul Halim Hasan. Beliau
berpendapat, selain daripada penekanan kepada isi kandungan pengenalan, tafsir-tafsir ini
juga memberi penekanan kepada rumusan surah atau ditulis sebagai ikhtisar (Howard M.
Federspiel 1994). Ikhtisar ini biasanya terletak pada permulaan surah sebelum teks
pembukaan ayat dalam surah tertentu. Ia menggariskan tema, hukum dan isi-isi penting
yang terdapat dalam surah tersebut. Objektif ikhtisar ini adalah untuk mengetengahkan
idea-idea penting daripada surah dan intisari kandungannya kepada pembaca.
 Penggabungan Manhaj Analitik dan Tematik
Sebagai sebuah karya tafsir moden, Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim memperlihatkan
gabungan antara dua manhaj iaitu manhaj analitik dan tematik. Secara umum, tafsiran
dibuat secara analitik dan apabila perbincangan yang khusus tentang sesuatu isi penting
telah disentuh, tema tersebut diangkat dan dibincangkan dengan lebih lanjut menggunakan
pendekatan topikal. Kebiasaannya, manhaj tematik mencakupi hal yang berkaitan dengan
sejarah, syariah, dan permasalahan sosial.
 Meniupkan Ruh Pembaruan dan Modernisme Islam
Sebagai murid yang seterusnya menjadi sahabat Abdul Karim Amrullah, Abdul
Halim Hasan banyak memperjuangkan idea-idea pembaharuan dan pemodenan Islam yang
diusahakan oleh gurunya. Bahkan, karyanya merujuk secara konsisten terhadap tafsir-tafsir
reformis seperti al-Manār, al-Jawāhir, al-Marāghī dan lain-lain. Kaedah beliau dalam
perbincangan isu-isu jelas memperlihatkan kaedah pendekatan modernis dalam menangani
sesuatu permasalahan.
 Sumber Rujukan Penulisan Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim
Sumber-sumber utama tafsir terdiri daripada rujukan tafsir tradisional dan moden
dengan pelbagai pendekatan dan manhaj yang dizahirkan, sama ada perbahasan tentang
bahasa, falsafah, sains dan hukum al-Qur’ān. Berikut adalah antara sumber-sumber yang
dirujuk dalam tafsir ini:
1. Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm al-Shahīr bi Tafsīr al-Manār oleh Muḥammad Rashīd
Riḍā dan Muḥammad ‘Abduh
2. Tafsīr al-Jawāhir oleh Ṭanṭāwī Jawhārī
3. Tafsīr Jamīʿ al-Bayān oleh al-Ṭabarī
4. Tafsīr Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān oleh al-Naysābūrī
5. Tafsīr Ma‘ālim al-Tanzīl oleh al-Baghawī
6. Tafsīr Mafātih al-Ghayb oleh al-Rāzī
7. Tafsīr Lubāb al-Ta’wīl oleh al-Khāzin
8. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm oleh Ibn Kathīr
9. Tafsīr Anwār al-Tanzīl oleh Naṣīr al-Dīn al-Bayḍāwī
10. Tafsīr al-Jalālayn oleh al-Maḥallī dan al-Suyūṭī
11. Tafsīr Tanwīr al-Miqbās oleh Abū Ṭāhir bin Ya‘qūb al-Fayruzābādī al-Shāfi‘ī
12. Tafsīr Irsyād al-‘Aql al-Salīm oleh Abū Su‘ūd Muḥammad al-‘Umarī
13. Tafsīr Fatḥ al-Qadīr oleh al-Shawkānī
14. Tafsīr al-Futūḥāt al-Ilāhiyah oleh Sulaymān al-Jamal
15. Al-Musḥaf al-Mufassir oleh Muḥammad Farīd Wajdī
16. Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl oleh al-Suyūṭī
17. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn oleh al-Ghazalī
18. Sīrah Ibn Hishām
19. Nayl al-Awṭār oleh al-Shawkānī
20. Kitab hadith yang enam (Kutub al-Ḥadīth al-Sittah)
C. Corak Penafsiran
Adapun corak Tafsir mereka, dapat digolongkan sebagai Tafsir bil ra’yi al-mahmud (tafsir
nalari yang dapat diterima), seperti halnya Tafsir al-Manar dan Fi Zhilalil Qur’an, yang
memfokuskan pembahasan pada sosial kemasyarakatan dalam membina umat menuju masyarakat
qur’ani.
Bentuk penafsiran, dari juz I hingga juz VI, secara umum sama. Adapun juz VII & VIII
agak sedikit berbeda dengan juz sebelumnya, dalam cara menjelaskan makna mufradat, di samping
jumlah halamannya yang jauh lebih banyak, disebabkan telah banyak masuk pembahasan-
pembahasan yang tidak ada kaitan langsung dengan tafsir.
Penafsiran suatu surah, dimulai dengan menerangkan pokok-pokok isi kandungan surah
tersebut, seperti ketika menafsirkan surah Al-Baqarah, diterangkannya lebih dahulu pokok
kandungannya dengan meruju’ kepada Tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir14.

D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsīr al-Qur’ānul a’dzim


Salah satu kelebihan dari kitab Tafsir al-Qur’anul a’dzim karya Ulama tiga serangkai ialah
pada penulisannya kitab tafsir ini menggunakan bahasa yang lembut, simpatik dan dapat
menggugah hati pembacanya. Tidak ada caci maki dan umpat serapah dalam Tafsir mereka, semua
tutur kata halus, sopan dan terpuji.
Adapunn kekurangan pada kitab tafsir al-Qur’anul a’dzim karya Ulama tiga serangkai ialah
pada kitab nya hanya memuat 8 juz hal ini dikarenakan faktor usia para ulama pada saat
pembuatan kitab tafsir tersebut, pada metode pun kitab tabsir karya ulama 3 serangkai
menggunakan metode tahlili dimana kekurangan pada metode ini ialah terkesan adanya penafsiran
berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.

14
Abdul Halim Hasan dkk, Tafsir Al-Qur’anul Karim, (Medan: Firma Islamyah, 1955)
E. Contoh Penafsiran Tafsir al-Qur’anul a’dzim
Salah topik yang diangkat dan dibahas pada kitab tafsir al-Qur’anul a’dzim ialah mengenai
haid pada kaum wanita, Kitab Tafsir al-Qur’anul a’dzim ini melakarkan perbincangan yang
substantif tentang haid, yang didasarkan dari kefahaman teks klasik, yang merumuskan maknanya
dari sudut bahasa dan syarak, hikmahnya, perbezaan pandangan pentafsir tentangnya, kaedah
hukum yang berkait dengan haid, ikhtilaf mazhab dan fatwa ulama tentang masalah yang berkait
dengan haid dan nifas, dan perbandingan dengan syariat yahudi dan kristian tentang layanan yang
selayaknya diberikan kepada wanita haid.
Merujuk kepada tafsirnya pada surah 2: 224, penafsir menyatakan: “Kalimat ‘al-mahid’
yang tersebut pada awal ayat ini artinya “pada masa kaum wanita kedatangan bulannya atau
menstruation. Adapun arti “haid” iaitu wanita mengeluarkan darah pada waktu-waktu yang
tertentu dan dengan jalan yang tertentu. Sebab tidak semua darah yang keluar dari anggota
keturunan wanita itu disebutkan haid. Ada nifas, yaitu darah yang keluar sesudah beranak, ada
istihadah, iaitu darah-darah yang keluar di luar waktu haid dan nifas, seperti darah keputihan dan
sebagainya, yang tidak dapat disamakan sifat, warna, waktu dan lainnya dengan haid.
Dengan demikian maka ayat “wa yas-alunaka ‘anil mahid” itu artinya: “dan mereka hendak
bertanya kepada engkau darihal anggota tempat haid atau darihal wanita-wanita yang pada masa
mereka sedang haid.” Maksudnya tentu darihal bergaul dan berhubungan jenis dengan mereka
pada waktu mereka sedang mengeluarkan darah haid.” (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/384).
Pentafsir turut mengutip pandangan dari Imam Ibn Jarir al-Tabari, bagi menguatkan
penjelasannnya: “penjelasan di atas “mahid” dalam ayat ini maksudnya “haid” iaitu darah yang
keluar, sebab orang Arab dalam tatabahasanya selalu berbicara demikian, disebutkan tempat, tetapi
yang di maksudnya isinya, disebutkannya tempat haid keluar, sedang yang dimaksudnya adalah
darah haid yang keluar.” (Al-Tabari, 1323 H, dipetik dari Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/142).
Seterusnya Ibn Jarir menjelaskan: “Adat istiadat mereka pelbagai warna dalam hal itu. Adat
tidak mau tinggal serumah dengan wanita-wanita sedang haid, tidak makan dalam satu hidangan,
tidak minum dalam satu tempat, sedang masyarakat Arab telah biasa demikian, yakni makan satu
talam, minum satu wadah berganti-ganti.
Ayat 222, mendapat pegangan, yang diperintah hanya menjauh wanita sedang haid, jauh
diri dari tempat darah keluar (al-mahid) dan tidak lainnya. Boleh serumah, dekat, semakan,
seminum.” (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/142). Pentafsir turut membawakan riwayat dari Ibn
Jarir, dari Ibn Abu Ja‘far dari ayahnya, yang bertanya kepada Rasulullah (saw) bahawa mereka
jauhi wanita dari tempat keluar, tetapi mendatangi dari belakangnya. Maka Allah larang datangi
wanita waktu haid, juga dari belakang. Yang diizinkan dari tempat haid sahaja. Antara sahabat
yang bertanya ialah Dihyah al-Ansari (rad).
Dalam tafsiran ayat “Katakanlah iaitu penyakit” (2:222), dikupas pandangan ulama tafsir
seperti Ibn Jarir dan al-Suddy tentang hikmah diperintah menghindari wanita ketika haid :
“Menurut Tabari, haid itu penyakit, sebab ia menyakiti, kerana baunya, kotornya dan najisnya.
Aza melengkapi pelbagai makna menyakiti, Imam al-Siddy yang menyebut demikian. Yang lain
menyebut yang kotor adalah darah yang keluar, (dan ini adalah) pendapat Mujahid. (Imam)
Baidawi, (menukil) riwayat jahiliyah, (yang) tidak sekediaman dan setempat makan dengan wanita
haid, seperti pelakuan Yahudi dan Majusi.” (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/359). Penulis turut
membawakan riwayat hadith dari kutub al-tis‘ah tentang hukum syarak berhubung dengan
permasalahan haid: hadith riwayat Ahmad, Muslim, Ashab Sunan, “Perbuatlah oleh kamu akan
segala sesuatu nya selain dari bersetubuh”. “Maksudnya pelarangan-pelarangan yang lain
ditiadakan” (al-Maraghi,II: 156).” Hazam bin Hakim (rad) meriwayatkan dari ayahnya bahawa
Nabi (saw) bersabda: “apa yang halal “untukmu yang diatas kain,” (Abu Daud) maksudnya yang
di atas pusat atau dari pusat ke atas boleh dipergunakan oleh pihak suami (al-Maraghi, 2: 157). Al-
Khatib al-Tibrizi (w. 737), dalam kitabnya Mishkatul Masabih, membawa hadith Usaid b. Hudair,
Abbad b. Bisyir, Aisyah, Maimunah (rad) keenam hadits ini, adalah dasar-dasar yang menyatakan
kepada kita bahwa bagi Nabi (saw) dan demikian pula prinsip Islam, wanita-wanita yang haid itu
adalah sama saja kedudukannya dengan lain-lain wanita, juga sama dengan lelaki hanya mereka
dibebaskan dari sembahyang selama ia haid, tanpa qada’, adapun mengenai peri kehidupan sehari-
hari, tidak ada suatu pelarangan apa pun jua dikenakan atas mereka. Mereka adalah mereka pada
waktu tidak haid, sebagaimana yang ternyata dari peri laku Rasul (saw) terhadap ‘Aisyah (rad) dan
Maimunah (rad) pada waktu keduanya sedang haid. (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/360- 361).
Dalam tafsirnya, turut diungkapkan penemuan-penemuan sains tentang bahaya mendatangi
wanita yang sedang haid :
“Bahaya mendatangi wanita sedang haid, (menurut) ilmu kedokteran moden (1) menyebabkan
terjadinya kesakitan pada anggota keturunan pihak wanita, pada kedua salurannya atau pada kolam
(pangkal) rahim. (2) masuknya sesuatu dari darah haid ke dalam anggota keturunan lelaki, kena
penyakit siplis…oleh sebab itu, seluruh kaum dokter, di seluruh dunia, telah sepakat menyatakan
wajiblah menjauhkan diri dari wanita-wanita yang sedang haid selama mereka kedatangan
bulannya, sesuai benar dengan apa yang telah diturunkan oleh al-Qur’n dalam hal ini. (Ahmad
Mustafa al-Maraghi, II, cet. 2:157, dipetik dari Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/361).
Tafsir ini turut membandingkan syariat yang dibawakan oleh Islam dengan syariat yang
diterimakai dalam amalan Yahudi berhubung dengan wanita haid, seperti kupasannya pada surah
2:222-223, yang menyatakan perbezaan yang jelas antara syariat Islam dengan Yahudi tentang
layanan terhadap wanita haid:
“Segala adat istiadat yang dilakukan orang Yahudi dan lainnya dalam soal tersebut tidak dipakai
dalam Islam. (Islam menolak usul kompromi dengan orang-orang Yahudi dalam hal tersebut).
Orang-orang Yahudi Madinah menjadi marah sangat kepada Nabi (saw) yang telah memberi
beberapa kelapangan dan hak kemerdekaan yang sama dalam tata hidup masyarakat bagi wanita-
wanita yang bulanan. Apa yang telah diberikan Nabi Muhammad s.a.w. itu baik dan praktis sampai
pada masa ini. (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/362). Kitab ini turut mengetengahkan pendapat
kaum tabib zaman moden ini, tentang haid yang terjadi 13 ½ abad di belakang Nabi Muhammad
(saw), seperti dikemukakan oleh Dr Mary Stopp, dalam bukunya Rahsia kehidupan suami isteri
(73), “saudara nanti akan melihat betapa gemilangnya tatatertib syariat Islam, dalam hal yang
sangat penting, yang menyatakan ia rahmat bagi seluruh alam adanya.” (Abdul Halim Hasan et al,
1952, 2/362-4).
Orang Yahudi sangat keras sekali memperlakukan wanita-wanita yang sedang bulanan,
sebagaimana yang tersebut dalam Taurat, kitab Immat, (Lewi) Fasal XV ayat 19-28: Maka jikalau
seorang perempuan ada cemar kainnya, dan cemar kain tubuhnya itulah darah, hendaknya ia
berasing tujuh hari lamanya, maka barang siapa yang menjamah akan dia iaitu najis adanya sampai
masuk matahari.” (Abdul Halim Hasan et al, 1952, 2/362-364).

F. Kesimpulan
Tafsīr al-Qur’ān a’dzim pertama kali ditulis pada tahun 1937. Kitab ini ditulis di Madrasah
‘Arabiyah, yang terletak di halaman Masjid Raya, Binjai, Sumatera Utara, Indonesia (Majelis
Ulama’ Sumatera Utara 1983). Penulisan ini disempurnakan oleh Abdul Halim Hasan, Zainal
Arifin Abbas, dan Abdul Rahim Haitami. Abdul Halim merupakan guru kepada Zainal Arifin
Abbas dan Abdul Rahim Haitami.
Penerbitan pertama dilakukan di Sumatera Utara oleh Toko Buku Islamiyah pada February
1937 (Muhammad Nur Lubis, 2002). Metode yang digunakan pada kitab tafsir ini ialah manhaj
tahlili, dan pada penulisan kitab tafsir ii banyak mengambil rujukan dari Tafsir al-Manar, karya
Syeikh Rasyid Ridha dari hasil kuliah Syeikh Muhammad Abduh dan Tafsir Al-Jawahir, karya
Syeikh Tantawi Jauhari.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Umar Uthman al-Hamidy. (2009). Menelaah Metodologi Tafsir Syekh H. Abdul
Halim Hasan, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. AlFikra: Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol. 8, No.1, January-Juni, 35-57
Abdul Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdul Rahim Haitami, Tafsir al-Qur’anul a’dzim,
(Medan: Firma Islamyah, 1955). Cet. VIII
Majelis Ulama Sumatera Utara. (1983). Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara.
Sumatera: Institut Agama Islam Negeri Al Jamiah.

IAIN Sumatara Utara, Sejarah dan Ulam-Ulama terkemuka di Sumatra Utara, IAIN press : Medan,
1983, hal. 233

Anda mungkin juga menyukai