Anda di halaman 1dari 8

1.

KH Ahmad Dahlan Melampaui Abduh


Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868
dengan menyandang nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH
Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta,
sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis, sejak kecil,
dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan
agama dan bahasa Arab.

”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah


Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan KH
Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan menjadi anggota Muhammadiyah dan
pernah menyatakan keinginan “dikubur dengan membawa nama
Muhammadiyah atas kain kafan.”

Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia,


didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya,
“menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada
penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan,
dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman,
Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar
Jawa.

1
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan risistensi, baik dari keluarga maupun dari kalangan
masnyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan, dan hasutan datang
bertubi-tubi kepadanya. Ia hendak dituduh hendak mendirikan agama baru
menyalahi agama islam.Karena dituduh sydah meniru-niru bangsa Belanda
yang agama mereka mayoritas Kristen, dan bahkan bermacam-macam
tuduhan lainnya. Namun ia berteguh hatu untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaruan islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai
berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak
itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung
halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-
mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak
memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis
asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok pembaharu Islam
yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui batas puncak
pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.

Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan


dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.

2
2. KH Ahmad Surkati
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah,
Sudan, pada 1875. Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan
Mekah, Surkati kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari
permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab
di Jakarta, untuk mengajar.

Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah


Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal
pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan
Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak
dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan.

Setelah tiga tahu berdiri, Perkumpulan Al-Irsyad mulai


membuka sekolah dan cabang di Kota-kota di sekitar Jawa. Setiap cabang
ditandai dengan pendirian Madrasah. Cabang pertama berada di Tegal pada
tahun 1917, di mana Madrasahnya dipimpin oleh anak didik angkatan
pertama Ahmad Surkati, yaitu Abdullah bin Salim al-attas. Ini diikuti oleh
cabang-cabang di Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan Kota-kota
lain.

Al-Irsyad pada hari-hari pertama kelahirannya dikenal sebagai


kelompok reformasi Islam di Nusantara, bersama dengan Muhammadiyah
dan PERSIS ( Persatuan Islam ). Tiga tokoh utama organisasi ini yaitu
Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, Ahmad Hassan, dan mereka sering disebut
“Trio Pembaru Islam”.

Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi


perdebatan antara Ahmad Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat
Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan apa Indonesia ini bisa

3
merdeka. Dengan Islamismekah atau Komunisme?” Perdebatan berlangsung
alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi
penghargaan di antara mereka.

“Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh


dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat
dimerdekakan,” ujar Surkari.

Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang


Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang
benar-benar gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan
reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid
Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di
Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya
kemerdekaan Indonesia.

Hassan memperkenalkan Sukarti kepada Soekarno ketika dia


berada di pengasingan di Ende, Nusa Tenggara Timur melalu surat-surat
dan Buku-buku milik Ahmad Sukarti. Setelah Soekarno dibebaskan, ia
sering mengunjungi Ahmad Sukarti juga Guru Spritual Jong Islamieten
Bond ( JIB ), tempat para aktivitas seperti Muhammad Natsir, Kasman
Singodimdjo dan lainnya sering belajar darinya.

Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu,


perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.

4
3. KH.Ahmad Hasan
Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887
dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni
beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun
Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah
seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.

Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik


dan melakukan surat-menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana
tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam buku di Bawah Bendera
Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran Islam
Hassan.

Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang


agama dalam lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda
progresif. Di Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir,
kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan
majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis,
di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian
dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.

Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh


aktivis keagamaan yang dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad
Yunus, keduanya pedagang. Dalam Persatuan Islam: Pembaharuan Islam
Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel menulis bahwa Persis adalah
organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi dalam percaturan politik
saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat Islam saat itu

5
yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan
khurafat.

Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-


pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nash
(teks) Alquran maupun hadits. Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir,
fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq menjadikannya sebagai rujukan
para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga ulama yang produktif
menulis.

Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia


71 tahun.

4. KH. Hasyim Asy'ari


Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa
Timur, Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya
kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dia
mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926 guna
mempertahankan faham bermadzhab dan membendung faham
pembaharuan.

“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-


berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan...
Padahal agama kita hanya satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres
Nahdlatul Ulama di Banjarmasin, Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim
Asy’ari sadar perlunya menghapus pertentangan antara kalangan tradisi
maupun pembaharu.

Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas,


ulama Indonesia yang jadi pakar ilmu hadis pertama, di Mekah. Ilmu hadits
inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak

6
didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren
inilah Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan
Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam
kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda
dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim
Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.

Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia


mengeluarkan banyak fatwa yang menolak kebijakan pemerintah kolonial.
Yang paling spektakuler adalah fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat
Islam Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan
menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.

Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya,


Nahdlatul Ulama larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke
khitah 1926.

7
DAFTAR PUSTAKA

 http://halaisu.blogspot.com/2012/09/makalah-tokoh-tokoh-pembaharuan-
islam.html?m=1. Di akses pada tanggal 24 Maret 2020.

 https://historia.id/agama/articles/empat-tokoh-islam-di-indonesia-6jnw6.
Di akses pada tanggal 23 Maret 2020.

“SELESAI”

Anda mungkin juga menyukai