Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan umat Islam di Indonesia tidak lepas dari peran tokoh dan berbagai organisasi
keislaman yang secara aktif melakukan kegiatan amal usaha yang meliputi bidang agama,
pendidikan, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Munculnya tokoh dan berbagai organisasi
Islam merupakan pendorong bagi proses transformasi sosial dan budaya yang signifikan
dalam sejarah bangsa Indonesia. Kolonialisme dan kehidupan masyarakat dalam masa
tradisional feodal ditengarai sebagai faktor pendorong yang dominan bagi lahirnya berbagai
organisasi keagamaan yang pada umumnya ingin menggunakan organisasi tersebut sebagai
wadah gerakan sosial keagamaan.
Masyarakat kolonial yang eksploitatif dan penguasa feodal yang opresif dianggap
sebagai biang keladi bagi kemiskinan dan keterbelakangan yang melilit kehidupan
masyarakat pada umumnya. Kemiskinan dan keterbelakangan menimbulkan berbagai
penyakit masyarakat seperti bid’ah, takhayul, khurafat, serta perilaku yang bertentangan
dengan agama Islam. Masalah masyarakat yang kompleks itu menjadi setting bagi munculnya
berbagai gerakan sosial keagamaan di berbagai tempat di Indonesia. Dalam tulisan ini,
diketengahkan kondisi bagi lahirnya beberapa gerakan sosial Islam, kegiatan amal usaha yang
dilakukan, serta peran kaum modernis dalam transformasi sosial yang terjadi di negeri ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penyebaran gerakan Islam di Indonesia?
2. Siapa saja tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia?
3. Bagaimana proses penyebaran gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?
4. Bagaimana pengaruh gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyebaran Gerakan Islam di Indonesia


Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan Islam demi
kemuliaan agama Islam sebagai idealita dan kejayaan umat sebagai realitas dapat diwujudkan
secara konkret dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Kesadaran baru
yang muncul saat itu adalah keyakinan bahwa cita-cita yang besar dan berat itu hanya dapat
direalisasikan dengan organisasi yang efisien dan efektif. Disadari pula gagasan baru itu
hanya akan tersebar luas jika digunakan media yaitu majalah. Gagasan perlunya
pembaharuan memang telah muncul sebelum abad ke-20, yaitu sejalan dengan pulangnya
ulama yang telah menuntut ilmu di Mekah yang bersamaan pula dengan berkembangnya
gerakan Wahabi yang menginginkan pemurnian pelaksanaan ajaran Islam.
Gerakan yang muncul mulai dari upaya perseorangan dengan membuka surau atau
madrasah, penerbitan majalah, serta pembentukan organisasi sosial, ekonomi, keagamaan,
dan bahkan kemudian bergeser ke organisasi politik. Dalam bagian ini akan dikemukakan
organisasi yang muncul di Sumatra Barat yang dipelopori oleh perseorangan atau ulama
kemudian berhasil membuat jaringan dalam memerangi kemaksiatan dan kemungkaran.
Gerakan itu semula bertujuan melawan dominasi Cina dalam perdagangan batik, serta
gerakan yang bergiat dalam masalah sosial kemasyarakatan seperti Al-Irsyad, Persatuan
Islam, serta Muhammadiyah.
Para peneliti sering mengaitkan munculnya kegiatan pendidikan Islam dengan masuknya
Islam ke suatu daerah (Junus, 1985). Junus menyatakan bahwa masuknya Islam ke Sumatra
Barat yang diperkirakan pada tahun 1250 merupakan tonggak pendidikan Islam di
Mingkabau dimulai. Syekh Burhanuddin adalah ulama terkenal yang dipercaya sebagai
pendiri surau atau madrasah di Ulakan, tempat beliau menetap. Surau ini dipercaya sebagai
surau yang pertama kali didirikan di Minangkabau. Sebelumnya, ia belajar ilmu agama di
Kotaraja, Aceh pada Syekh Abdul Rauf bin Ali dari Singkil. Selesai belajar di Kutaraja,
Burhanuddin kembali ke Pariaman di Kampong Sintuk, tempat kelahirannya, baru kemudian
beliau pindah ke Ulakan.
Meskipun data tentang sistem pendidikan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin tidak
diketahui, dikisahkan bahwa sebelum datang ke Minangkabau beliau belajar agama di Aceh
selama 10 tahun. Di Minangkabau terdapat banyak ulama terkenal yang aktif mengajarkan
agama bukan saja di kampung halamannya, tetapi juga ke daerah lain. Pada tahun 1603,
terdapat tiga orang dari Minangkabau yaitu Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk di
Tiro pergi ke Sulawesi, untuk menyiarkan agama Islam. Syekh Burhanuddin mempunyai
murid. Salah satu muridnya yang termasyhur adalah Tuanku Mansiang Nan Tuo di
Paninjauan. Selain itu, datang pula seorang ulama, yaitu Tuanku di Tanah Rao dari Mekah,
yang membawa ilmu mantiq dan Ma’ani, yang menurunkan ilmunya kepada Tuanku nan
Kacik dalam negeri Koto Gedang.
Pada tahun 1803, tiga orang Minang, satu orang dari Sumanik, Tanah Datar, seorang dari
Pandai Sikat, dan seorang dari Piobang, Lima Puluh Koto, pergi berhaji dan tinggal lima
tahun di Mekah. Saat itu, gerakan Wahabi sedang berkembang di Mekah. Kaum Wahabi
melarang orang merokok, makan sirih, berpakaian yang indah-indah, dan menyuruh rajin
melakukan sembahyang. Sepulang ke Minang, mereka menyaksikan praktik kehidupan di
Minang sangat berbeda dengan apa yang dilihatnya di Mekah. Ketiga orang ini membawa
semangat Islam yang diilhami oleh gerakan Wahabi yang puritan. Sementara itu, di di Luhak
Agam para tuanku mengadakan kebulatan tekad untuk menegakkan syara’ sekaligus
memberantas kemaksiatan yang mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Para ulama
tersebut adalah Tuanku nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur,
Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu
Sanang. Di samping delapan tokoh itu, pembaharu Islam di Minangkabau adalah kaum Paderi
yaitu Muhammad Syahab yang membangun benteng di Bonjol sehingga ia dikenal dengan
Imam Bonjol.
Dalam melakukan pembaharuan banyak di antara mereka menggunakan cara kekerasan
sehingga terjadi konflik antara kaum Paderi dan kaum adat, yang diakhiri dengan perang
terbuka. Karena dalam pertempuran itu kaum adat selalu mengalami kekalahan, kemudian
mereka minta bantuan kepada Kompeni. Dengan senang hati Kompeni menyanggupi. Perang
babak baru dimulai setelah Kompeni mendatangkan bala bantuannya untuk memerangi kaum
Paderi. Mulai saat itu, kaum Paderi bukan menghadapi kaum adat, melainkan perang
melawan kaum kafir Belanda.

B. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia


Empat tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam
di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam berbagai
bidang kehidupan.

1. K.H. Ahmad Dahlan


Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad
Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan
pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi
ini kemudian meluas ke daerah lain, termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang nama
kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di
Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang penghulu. Praktis,
sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta menyerap pengetahuan agama
dan bahasa Arab.
Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh dengan
pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam
di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Mula-
mula dengan mengubah arah kiblat yang sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan
dan parit di Kauman. Robert W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan
merupakan sosok pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya
melampaui batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir. Ahmad Dahlan wafat di
Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.

2. Ahmad Surkati
Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad
Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng: “Dengan
apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamis mekah atau komunisme?” Perdebatan
berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi
penghargaan di antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh
dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar
Surkari.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875.
Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian datang ke
Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair, organisasi yang didirikan
warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta
mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal
pendirian madrasah itu kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan
organisasi ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan
kemasyarakatan.
Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di
Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan pembaharuan
yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir sebagaimana dilakukan Muhammad
Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian, Surkati juga seorang pembaharu Islam di
Indonesia. Sukarno bahkan menyebut Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan
Indonesia. Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad
tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.

3. Ahmad Hasan
Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-
menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari Endeh dalam
buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu menghargai pemikiran
Islam Hassan. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga
campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh
hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji
Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.
Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam
lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di Bandung pula
Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting Persis, yang kemudian
bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dia juga mendirikan
pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk membentuk kader, yang kemudian
dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.

4. K.H. Hasyim Asy’ari


Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim
Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi Islam terbesar
di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926
guna mempertahankan paham bermazhab dan membendung paham pembaharuan.
Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang jadi
pakar ilmu hadits pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi
Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci.
Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan
keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum
pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam
buku Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier
manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.

C. Proses Penyebaran Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia


Gerakan pembaharuan Islam secara sederhana adalah upaya baik secara individu
maupun kelompok pada kurun waktu atau situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan
dalam praktek-praktek keagamaan Islam dengan pemahaman dan pengalaman yang baru. Ide-
ide pembaharuan di Indonesia terjadi pada abad ke 20 yang dibawa oleh para tokoh yang
semula belajar di mekkah. Tokoh- tokoh tersebut antara lain ialah: Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), K.H. Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama) Ahmad Surkati (Al-Irshad),
Zamzam (Persis).
Yang melatar belakangi ide pembaharuan di Indonesia adalah adanya ide-ide
pembaharuan di luar Indonesia. Gerakan pembaharuan Islam tidaklah memiliki bentuk dan
pola yang sama tetapi memiliki karakter dan orientasi yang sangat beragam. Gerakan
pembaharuan Islam pada abad ke 20 tersebut bukan muncul secara mendadak tetapi tidak
terlepas dari pembaharuan-pembaharuan yang terdahulu. Seperti pada abad ke 17 dan 18.
Dikatakan pada abad 17 dan 18 adalah dasar dari pembaharuan yang terjadi di abad ke 20.
Menurut beberapa studi keislaman memandang bahwa gerakan pembaharuan Islam
pada abad ke 17 cenderung menekankan pada pemikiran mistisisme yang dikembangkan oleh
seorang sufi tertentu pada periode tertentu. Mistisisme sendiri adalah suatu paham yang
memberikan ajaran yang serba mistis atau ajaran yang bersifatnya rahasia atau tersembunyi,
gelap atau terselubung dalam kekelaman.
Menurut Azyumari Azra, tahapan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia jika dilihat
dari lingkungan situasi perkembangannya dapat di bagi menjadi 2 periode besar yaitu periode
pertama perempatan kedua abad ke 17 sampai akhir abad ke 18. Pada periode ini, Islam
sudah mempunyai landasan atau dasar yang kuat di seluruh nusantara. Meskipun secara
pemikiran dan pemahaman keislamannya berkembang bersama dengan mistisme. Kedua,
periode abad ke 19 sampai sekarang.
Ide- ide pembaharuan Islam di Indonesia masuk melalui beberapa jalur yaitu yang
pertama jalur haji dan mukim. Para tokoh- tokoh pada saat itu ketika menunaikan haji mereka
juga bermukim sementara untuk memperdalam pengetahuan dan ilmu agama. Dan ketika
kembali ke tanah air pengetahuan tentang ilmu keagamaan atau ilmu lainnya meningkat. Ide-
ide yang mereka dapatkan tak jarang mempengaruhi orientasi dakwah di Indonesia. Yang
kedua adalah melalui jalur publikasi.
Pada waktu itu para muslim di Indonesia sangat tertarik untuk menerjemahkan
majalah-majalah atau jurnal-jurnal terbitan Mesir maupun Beirut ke dalam bahasa Indonesia.
Bukan tanpa alasan mereka menerjemahkannya. Karena di jurnal-jurnal atau majalah-majalah
tersebut berisikan ide-ide pembaharuan Islam. Yang ketiga ialah peran para mahasiswa yang
menimba ilmu di timur-tengah. Pada awalnya para pemimpin gerakan pembaharuan di
Indonesia sebagian besar alumni Mekkah.
Secara umum alasan berkembangnya pembaharuan Islam di Indonesia adalah respons
terhadap kemunduran Islam sebagai agama di Indonesia. Karena pada praktek-prakteknya
yang menyimpang, keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invasi politik, kultural, dan
intelektual dari dunia barat. Dengan berkembangnya gerakan pembaharuan di Indonesia,
secara umum pada awal abad ke 20 M tersebut, corak gerakan keagamaan dapat di petakan
sebagai berikut:
Tradisionalisme konservatisme, yaitu para golongan orang-orang yang ingin
melestarikan tradisi-tradisi lokal. Dan menolak adanya kecenderungan westernisasi
budaya yang mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalannya dapat
melestarikan tradisi yang bersifat lokal. para pendukung kelompok ini kebanyakan atau rata-
rata dari kalangan ulam, tarekat, dan penduduk desa yang masih kental dengan takhayul.
Reformis modernisasi, para golongan yang menegaskan bahwa relevansi Islam untuk
semua lapangan baik privat maupun publik. Karena Islam di pandang memiliki karakter yang
fleksibilitas yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Radikal puritan, yaitu para golongan yang lebih percaya terhadap penafsiran
ketimbangan ide-ide pembaharuan barat, karena penafsiran dianggap lebih murni Islami.
Meskipun mereka sepakat bahwa Islam fleksibilitas di tengah arus zaman, tetapi mereka
enggan menggunakan kecenderungan kaum modernisasi. Kelompok ini juga mengkritik
pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.

D. Pengaruh Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia


Gema pembaruan yang dilakukan oleh Jamaludin Al Afgani an syekh Muhammad
Abdul Wahhab sampai juga ke Indonesia, terutama terhadap tokoh-tokoh seperti Haji
Muhammad Miskin (Kabupaten Agam, Sumatera Barat), Haji Abdur Rahman (Kabupaten
Lima Puluh Kota, Sumatera Barat), dan Haji Salman Faris (Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat). Mereka dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Pioabang dan Haji
sumaniik. Sepulang dari tanah suci, mereka terilhami oleh paham syekh Muhammad Abdul
Wahhab. Mereka pulang dari tanah suci pada tahun 1803 M dan sebagai pengaruh pemikiran
para pembaru timur tengah tersebut adalah timbulnya gerakan Paderi. Gerakan tersebut ingin
membersihkan ajaran Islam yang telah bercampur-baur dengan perbuatan-perbuatan yang
bukan Islam. Hal ini menimbulkan pertentangan antara golongan adat dan golongan Paderi.
Pada tahun 1903 M murid-murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy,
seorang ulama besar bangsa Indonesia di makkah yang mendapat kedudukan mulia di
kalangan masyarakat dan pemerintahan Arab, kembali dari tanah suci. Murid-murid dari
Syekh Ahmad inilah yang menjadi pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau dan akhirnya
berkembang ke seluruh Indonesia. Mereka antara lain sebagai berikut: Syekh Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Syekh Daud Rasyidi, Syekh Jamil Jambik dan Kyai
Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan Islam modern di Indonesia pada awal
abad ke-20, baik yang bersifat keagamaan, politik maupun ekonomi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa gerakan pembaruan yang menyebabkan lahirnya organisasi keagamaan
pada mulanya bersifat keagamaan, tetapi seiring dengan kondisi masyarakat pada saat itu
kemudian menjelma menjadi kegiatan politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia dan hal
tersebut dirasakan mendapat pengaruh yang signifikan dari pemikir-pemikir para pembaru
Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan Islam merupakan satu fenomena
yang mencerminkan jiwa zamannya. Lingkungan kultural dan sosial mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu dan membangun jaringan, merumuskan masalah, mencari jalan keluar,
dan melakukan tindakan reformasi sosial dan kultural. Faktor eksternal yang merupakan
faktor penentu bagi munculnya proses transformasi dapat berlangsung secara lebih cepat
daripada faktor internal. Peran media massa sangat menunjang
keberhasilan sosialisasi gagasan baru baik dalam skala nasional maupun internasional.
Gerakan reformasi Islam telah berhasil menunjukkan keberhasilannya secara fisik.
Lembaga pendidikan, fasilitas pelayanan sosial, seperti rumah sakit, gedung perkantoran, dan
sarana-prasarana fisik lainnya, sudah berhasil diwujudkan. Efektivitas dari gerakan reformasi
yang sudah berlangsung hampir satu abad masih memendam pertanyaan besar yaitu seberapa
jauh gerakan ini berhasil menjawab tantangan jaman. Negara Indonesia yang mengalami
krisis kepemimpinan saat ini belum mampu menghadirkan tokoh yang bisa memberikan
keteladanan.

B. Saran
Sekian Makalah dari kami, bahwasanya kami meyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, mak dari Itu kami mohon kritik dan saran yang membangun dari
Bapak/Ibu Guru agar kami dapt menyusun makalah lebihbaik lagi untuk kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai