Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

‘’PERJUANGAN UMAT ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN NASIONAL’’

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

KETUA KELOMPOK : FEBRIANTI

1. DINI MELIYANA
2. DWI ARIYANI
3. ELEN SAPITRI
4. FAIRUZ ROMADHON
5. DICKY SULANDRA

KELAS : XI IPS 1

GURU PEMBIMBING : SYAIFUL FUAD, S.Pd.I

MAPEL : SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

MAN 1 BANYUASIN
TAHUN PEMBELAJARAN 2023/2024
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa kebangkitan Nasional para pemuda yang belajar ke luar negeri mulai
menggalang persatuan. Dengan rasa nasionalisme tinggi, mereka kembali ke Indonesia
untuk berjuang meraih kemerdekaan. Mereka sadar bahwa perjuangan yang lalu masih
bersifat kedaerahan.

B. Rumusan Masalah
1.1 Bagaimana Sejarah Perjuangan Islam Pada Masa Kebangkitan Nasional?
Jelaskan Secara Singkat!
1.2 Siapa Saja Tokoh-Tokoh Yang Muncul Pada Masa Kebangkitan Nasional?
1.3 Bagaimana Peran Perjuangan Umat Islam Pada Masa Kebangkitan Nasional?

C. Pembahasan
1.1 Sejarah Singkat Perjuangan Islam Pada Masa Kebangkitan Nasional
Perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai dari datangnya Bangsa Barat seperti, Portugis,
Spanyol dan Belanda. Umat Islam juga telah berkontribusi dalam berbagai gerakan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda sejak awal abad ke-20. Beberapa tokoh dan
kelompok Islam aktif dalam gerakan ini, seperti H.O.S Tjokroaminoto, K.H. Samanhudi
dan Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1905, menjadi salah satu organisasi
pertama yang menggalang kesadaran nasional di kalangan masyarakat Indonesia.
Setelah Perang Dunia I, semangat nasionalisme semakin berkembang dan mencuatkan
gerakan-gerakan baru. Bahkan, para ulama membentuk sebuah organisasi perjuangan
untuk membangun kekuatan umat Islam Indonesia melawan penjajahan.
Seperti organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari
pada tahun 1926, dan Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912. Kedua
organisasi ini menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam menggalang
perjuangan umat Islam dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk melawan
penjajahan dan meraih kemerdekaan. Kemudian, di tahun 1920-an, para pemuda dari
berbagai kaum di Indonesia berkumpul untuk menyatakan satu kesatuan berbangsa
Indonesia yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Para pemuda Islam dalam momen
ini diwakilkan oleh Jong Islamieten Bond pun tak ketinggalan dalam Sumpah Pemuda
tersebut.

1.2 Tokoh-Tokoh Yang Muncul Pada Masa Kebangkitan Nasional


1. K.H. Samanhudi
K.H. Samanhudi lahir 8 Oktober 1868 di Surakarta dengan nama Wirjowikoro,
Selain itu, sempat dikenal dengan nama Sudarno Hadi, la baru memakai nama
Samanhudi setelah menunaikan Ibadah haji. Ayah Samanhudi pengusaha kain batik.
Latar belakang pendidikan Samanhudi hanya sampai tingkat sekolah dasar. Walaupun
tidak melanjutkan pendidikan, dia tetap belajar mendalami agama Islam di Surabaya.
Sejak tamat dari sekolah dasar, kegiatan Samanhudi lebih banyak dihabiskan untuk
belajar sambil bekerja. Samanhudi mulai kegiatan di luar belajar dengan berdagang
batik di Surabaya. Setelah terjun dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasa jiwa
dagang makin melekat pada dirinya. Wawasan dalam dunia dagang pun makin luas.
Semasa muda ia pernah menimba ilmu di beberapa pondok pesantren Semasa muda
ia pernah menimba ilmu di beberapa pondok pesantren, seperti Ponpes K.M. Sayuthy
(Ciawigebang), Ponpes K.H. Abdur Rozak (Cipancur), Ponpes Sarajaya dan Ciwaringin
(Cirebon), dan Ponpes K.H. Zainal Mustafa (Tasikmalaya). Samanhudi sangat takzim terhadap
guru-gurunya. Terlebih terhadap K.H. Zainal Musthofa (Pahlawan Nasional), la banyak
bercerita tentang perjuangan gurunya tersebut ketika melawan penjajah Jepang hingga gugur
sebagai syuhada.
Samanhudi sangat takzim terhadap guru-gurunya. Terlebih terhadap K.H. Zainal
Musthofa (Pahlawan Nasional), la banyak bercerita tentang perjuangan gurunya
tersebut ketika melawan penjajah Jepang hingga gugur sebagai syuhada.
Samanhudi mulai melihat ada perlakuan berbeda yang dilakukan pengusaha Hindia
Belanda kepada pedagang pribumi yang beragama Islam dengan pedagang Tionghoa.
Dari pandangan ini, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1911 di
Surakarta. Awalnya organisasi ini bernama 'Rekso Rumekso'. Organisasi ini menjadi
wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta yang bertujuan untuk membela
kepentingan pedagang. Karena belum mengantongi izin dari pemerintah kolonial,
Rekso Rumekso beralih rupa menjadi Sarekat Dagang Islam.

2. H.O.S. Tjokroaminoto
Lahir dengan nama lengkap Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, ia lebih
dikenal dengan nama H.O.S. Tjokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur tanggal 16
Agustus 1882. Sejak kecil H.O.S. Tjokroaminoto mulai mengenyam pendidikan di
sekolah Belanda, kemudian menyelesaikan pendidikan di OSVIA (Opleiding School
Voor Inlandsche Ambtenaren). Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih
di Ngawi. Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap
di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris
Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk
Avondschool, jurusan Teknik Mesin.

Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-
murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia
menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin
besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini
membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar
pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan
yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

3. K.H Ahmad Dahlan


Ahmad Dahlan memiliki nama kecil Muhammad Darwis. Ia adalah anak keempat
dari tujuh bersaudara dan termasuk keturunan dari Mulana Malik Ibrahin yaitu adalah
salah seorang terkemuka di antara para walisongo, yaitu pelopor dari penyebaran
agama Islam di Jawa. Ketika memasuki usia ke 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi
melaksanakan ibadah haji dan tinggal selama lima tahun di Mekkah. Pada lima tahun
periode tersebut, Ahmad Dahlum pun mulai berinteraksi dengan para pemikir
pembaharu dalam agama Islam, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Afghani
hingga Ibnu Taimiyah. Usai pulang dari Mekkah di tahun 1888, ia kemudian
mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan.
Lalu pada tahun 1903, Ahmad Dahlan pun kembali ke Mekkah dan menetap di sana
selama dua tahun. Ketika ia kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya, Ahmad Dahlan
pun memiliki kesempatan untuk berguru kepada Syekh Ahmad Khatib yang juga guru
dari pendiri Nahdlatul Ulama yaitu KH Hasyim Asyari. Kemudian pada tahun 1912,
KH Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi bernama Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita dari pembaruan Islam yang hadir di Nusantara. Ahmad Dahlan
menginginkan ada pembaruan terhadap cara berpikir maupun beramal masyarakat,
namun tetap sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Ia ingin mengajak umat Islam di Indonesia untuk kembali hidup sesuai dengan
tuntunan yang ada dalam Al Quran maupun Hadits. Oleh karena itu, sejak awal
berdiri, Ahmad Dahlan menegaskan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang
memiliki sifat politik, akan tetapi bersifat sosial serta bergerak dalam bidang
pendidikan. Gagasan Ahmad Dahlan mengenai berdirinya Muhammadiyah pun
mendapatkan dukungan yag baik dari keluarga maupun keluarga sekitarnya. Akan
tetapi, dukungan baik tersebut rupanya tidak dapat menghindarkan munculnya fitnah-
fitnah, tuduhan hingga hasutan yang datang pada Ahmad Dahlan.
KH Ahmad Dahlan menutup usia 54 tahun pada tanggal 23 Februari 1923 dan ia
dimakamkan di pemakaman Karangkajen di Yogyakarta.
4. K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari atau yang lebih dikenal dengan nama K.H.
Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama besar bergelar pahlawan nasional dan
merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama)
organisasi Nahdlatul Ulama.
Terbentuknya Nahdlatul Ulama atau NU sebagai wadah Ahlussunnah wal
Jama’ah atau Aswaja bukan semata-mata karena K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama-
ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah
sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah. Di mana saat itu, di
Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam
kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah
oleh Republik Turki Modern dan ditambah berkuasanya Manhaj Salaf di Arab
Saudi yang sama sekali menutup pintu untuk berkembangnya paham Sufi di tanah
Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama masyhur berkumpul
di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya organisasi untuk menjaga
kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.

Setelah melakukan istikharah, para ulama di Arab Saudi mengirimkan sebuah


pesan kepada K.H. Hasyim Asy’ari untuk sowan kepada dua ulama besar di Indonesia
saat itu, apabila dua ulama besar ini merestui, maka akan sesegera mungkin dilakukan
tindak lanjut, dua orang itu adalah Habib Hasyim, Pekalongan dan Syaikhona Kholil,
Bangkalan. Maka K.H. Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi,
Kiai Irfan, dan K.H.R. Asnawi datang sowan ke kediamannya Habib Hasyim di
Pekalongan.[2] Selanjutnya dilanjutkan dengan sowan ke Syaikhona Kholil Bangkalan,
maka K.H. Hasyim dan ulama lainnya mendapatkan wasiat dari Syaikhona Kholil
untuk segera melaksanakan niatnya itu sekaligus beliau merestuinya.

5. K.H. Abdul Wahab Hasbullah


KH Abdul Wahab Chasbullah lahir pada tanggal 31 Maret 1888 di Jombang. Ia
putra dari pasangan KH Hasbullah Said yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren
Tambakberas Jombang, dan Nyai Latifah. KH Wahab menjadi penggerak forum
diskusi antarulama. Baik di ruang lingkup NU, Muhammadiyah, dan organisasi
lainnya. Beliau mengenyam pendidikan di beberapa lembaga. Seperti Pesantren
Langitan Tubah, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang,
hingga berguru pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan dari Madura, dan
Pesantren Tebuireng Jombang di bawah kepengurusan Hadratusy Syaikh KH. M.
Hasyim Asy'ari. Di sisi lain, beliau juga merupakan seorang perantau di Tanah Suci,
untuk memperoleh ilmu dari Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani. Di
sana, ia mendapatkan nilai dengan predikat istimewa.
Kiai Wahab merupakan ulama pendiri Nahdlatul Ulama, yang memiliki sudut
pandang modern. Dakwahnya dimulai dengan membangun media massa atau surat
kabar yang diberi nama harian umum Soeara Nahdlatul Oelama atau Soeara NO dan
Berita Nahdlatul Ulama.
Bersama KH Hasyim Asy'ari, ia menghimpun beberapa tokoh pesantren untuk
mendirikan Nahdlatul Ulama atau Kebangkitan Ulama pada tahun 1926. Beliau juga
memiliki peran dalam pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Ketika masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, beliau bersama Hasyim
Asy'ari asal Jombang dan Kiai Abbas dari Cirebon, merancang Resolusi Jihad sebagai
bentuk dukungan terhadap perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah Hasyim Asy'ari
wafat, Kiai wahab menjadi Rais Am NU, dan meningkatkan dukungan NU kepada
Pemerintah Indonesia, dalam perjuangan melawan
Pemerintah Belanda.
6. K.H Abdul Halim

Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong
Syatori. Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H.
Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah. Selain mengasuh pesantren, ayahnya
juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka. Sebagai anak yang
dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim telah memperoleh
pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar.
Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh
ibu dan kakak-kakaknya. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti
Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka).
Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.
Selesai Menimbaa ilmu di beberapa pesantren di Indonesia, Abdul Halim
memutuskan pergi ke Makkah. Di sana ia berguru kepada ulama-ulama besar, seperti
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama asal Indonesia yang menetap di
Makkah dan menjadi imam besar di Masjidil Haram. Selama di Makkah, Abdul
Halim juga mempelajari beberapa Karya para tokoh pembaru isalm dunia, Seperti
Muhammad Abduh dan Muhamamd Rasyid Rida.
Setelah tiga tahun belajar di Makkah, Abdul Halim kembali ke Indonesia. Tahun
1911 ia mendirikan lembaga pendidikan Majelis Ilmi di Majalengka untuk Mendidik
para santri. Setahun kemudian, setelah lembaga tersebut berkembang, Abdul Halim
mendirikan sebuah Organisasi bernama Hayatul Quyub yang berarti Kehidupan Hati.
Tanggal 16 Mei 1996 organisasi haytul Qulub berubah nama menjadi I’anatul
Muta’alimin. Atas saran dari teman karibnya, H.O.S Tjokroaminoto, bulan
November 1916, Abdul Halim mengubah lagi nama organisasi yang didirikan
menjadi Persyarikatan Oelama (PO).
Tanggal 21 Desember 1917 Persyarikatan Oelama (PO) mendapat pengakuan
badan hukum dari pemerintah Belanda. Setelah mendapat penetapan badan hukum
untuk seluruh Indonesia dari pemerintahan Belanda. Meskipun aktif dibidang
organisasi, Abdul Halim berjuang memperbaiki kondisi umat. Dia terus bergerak di
bidang pendidikan hal itu diwujudkannya dengan mendirikan pondok pesantren Santi
Asmoro tahun 1932.
Saat pendudukan Jepang 1942, Persyarikatan Oelama dibekukan aktivitasnya.
Hal itu tidak menyurutkan langkah Abdul Halim berjuang memperbaiki kondisi
umat. Dia terus bergerak di bidang pendidikan dan pengajian. Beberapa bluan
kemudian pemerintah jepang mengeluarkan izin untuk aktif kembali. Abdul halim
pun berusaha mengatifkan organisasi tersebut dan namanya diubah, menjeadi
Perikatan Oemat Islam (POI) dengan Abdul halim sebagai Ketua.
Setelah perang Kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap Aktif dalam
berorganisasi keagamaan dan Membina Pondok Pesantren Santi Asmoro yang ia
dirikan hingga wafat pada 7 Mei 1962. Atas Jasanya terhadap Negara, pemerintah
menganugerahkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Ini berdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.

1.3 Peran Perjuangan Umat Islam Pada Masa Kebangkitan Nasional


Proses kemerdekaan Indonesia tidaklah mudah diraih. Dalam prosesnya perjuangan
kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai elemen masyarakat, salah satunya
perjuangan umat Islam yang memberikan kontribusi besar bagi terbentuknya Republik
Indonesia yang merdeka. Masuknya bangsa Eropa ke wilayah Nusantara, yang kelak
nantinya menjadi negara Indonesia, dimulai pada awal abad ke-16 langsung mendapat
perlawanan dari kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Misalnya seperti Kerajaan
Banten melawan Belanda, Kesultanan Mataram Islam melawan Belanda, serta
Kesultanan Aceh melawan Belanda.
Kegigihan pihak kerajaan Islam dalam melawan penjajah membuat bangsa Eropa
kesulitan untuk bisa sepenuhnya menguasai wilayah di Nusantara. Meskipun pada
akhirnya, tidak sedikit juga kerajaan Islam di Indonesia yang sempat jatuh ke tangan
Belanda. Terlepas dari itu, semangat perjuangan yang dimiliki umat Islam pada masa itu
masih terus membara.

D. Kesimpulan
Pada masa kebangkitan Nasional para pemuda yang belajar ke luar negeri mulai
menggalang persatuan. Dengan rasa nasionalisme tinggi, mereka kembali ke Indonesia
untuk berjuang meraih kemerdekaan. Ulama atau Sering kali disebut Kiai berperan penting
dalam upaya menumbuhkan kesadaran nasional bangsa Indonesia. Mereka hadir sebagai
katalisator Atau Pemimpin yang menggerakkan massa organisasi yang didirikan berjuang
melawan, bahkan memberontak pemerintah Kolonial Hingga mengorbankan Nyawanya
untuk Bangsa dan Tanah air kita. Oleh sebab itu, kita tidak boleh melupakan jasa-jasa
mereka terhadap bangsa.

Anda mungkin juga menyukai