Anda di halaman 1dari 10

MAJELIS ISLAM A’LA INDONESIA

Wulan Nur Hamidah


E94219031
Mahasiswa Pemikiran Politik Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

ABSTRAK

Tujuan saya menulis jurnal ini adalah untuk mengetahui sejarah terbentuknya MIAI,
kegiatan MIAI pada zaman dulu, dan perjuangan apa saja yang dilakukan oleh MIAI. Saya
mengambil referensi jurnal ini melalui artikel-artikel, dan saya rangkai agar kalian bisa
memahami dengan baik semua tentang MIAI. Hasil yang saya dapat adalah (1) Saat
menjajah, Belanda mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah masyarakat yang
mayoritasnya beragama islam, maka Belanda mengirim antek-anteknya untuk mempelajari
islam terlebih dahulu atau hanya sekedar memahami. Kemudian Belanda membuat rencana
yang sistematis untuk melemahkan kekuatan islam. Maka dari itu para pemimpin umat islam
di Indonesia melihat ketidak adilan dan penjajahan tidan cukup hanya dilawan dengan kritik
saja. Banyak ancaman-ancaman yang akan terjadi kedepannya jika dibiarkan terlalu lama,
dan hal ini memerlukan dibuatnya sebuah organisasi agar bisa menjalin persatuan dan
kesatuan yang lebih besar untuk melawan penjajah serta juga dapat mengikat tali
persaudaraan sesama umat islam. (2) Organisasi islam yang dibentuk adalah MIAI atau
Majelis Islam A’la Indonesia yang dibentuk pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya,
organisasi tersebut dipelopori oleh kekuatan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Pemrakasa berdirinya organisasi MIAI adalah K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah, K.H.
Muhammad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, serta W.
Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Organisasi lain juga menghadiri acara membentukan
organisasi MIAI ini. (3) Perjalanan perjuangan MIAI bisa dilihat di dua waktu, yaitu pada
masa Kolonial Belanda dan masa penjajahan oleh Jepang. (4) MIAI mengadakan berbagai
kegiatan dan menyatukan umat islam di Indonesia dalam menghadapi politik Belanda seperti
menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer bagi umat islam.
PENDAHULUAN

Kedatangan Belanda ke Indonesia membawa perubahan besar bagi umat islam, dan
banyak organisasi yang muncul pada kala itu. Pemerintahan kolonial Belanda membuat
kebijakan-kebijakan bagi islam, dan semakin menindas pada akhir masa masa penjajahannya.
Sedangkan Jepang juga membawa perubahan bagi negara Indonesia dibidang sosial, politik,
serta bidang yang lain. Pada awalnya Jepang juga sama seperti Belanda yaitu tidak ingin
memberikan kebebasan terhadap umat islam, Jepang takut akan pemberontakan yang
dinaungi oleh islam. Pada masa pendudukan Jepang yang mengelola administrasi
pemerintahannya adalah ulama islam Indonesia, jadi dimasa ini mereka berperan aktif dalam
hal politik maupun administrasinya. Belanda sangat berbeda dengan Jepang, Belanda lebih
mengedepankan kekuatan politiknya sedangkan Jepang mempersatukan organisasi-organisasi
muslim dalam satu golongan. Yang pada akhirnya umat islam di Indoesia melihat bahwa
menghadapi penjajah butuh sebuah organisasi dan dibentuklah Majelis Islam a’la indonesia
atau MIAI, yaitu organisasi masyarakat islam. Golongan islam yang menjadi anggota dalam
organisasi memiliki sikap noonkoperasi kepada pemerintahan kolonial. MIAI dianggap
sebagai organisasi yang anti barat. MIAI dibentuk pada tanggal 25 September 1937 di
Surabaya, pencetus berdirinya MIAI adalah K.H. Mas Mansyur dari Muhammadiyah, serta
dibantu oleh K.H. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab dari Nahdatul
Ulama. Dalam kegiatannya, MIAI mengadakan beberapa kali kongres dan menghasilkan
beberapa keputusan. Setelah itu Jepang curiga terhadap MIAI karena dianggap sebagai
perjuangan bangsa Indonesia. Pada akhirnya MIAI dibubarkan sebagai mana organisasi lain
yang juga telah dibubarkan karena dianngap telah mengancam keberadaan Jepang, dan MIAI
diganti dengan Masyumi atau Majelis Syuro Musolim Indonesia.
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya MIAI

1. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Pada masa pemerintahan Belanda, bangsa indonesia mengalami masa masa yang
keras terutama kalangan umat islam. Belanda berusaha tetap memepertahankan kebijakan
politik yang ia terapkan, karena menurut belanda itu adalah cara yang tepat untuk memecah
belah persatuan bangsa Indonesia. Belanda mengetahui bahwa negara jajahannya adalah
penduduk dengan tingkat mayoritas islam tinggi, aka untuk menaklukkannya juga perlu
pengetahuan tentang islam. Belanda memandang islam sebagai musuh yang ditakuti karena
menurut belanda, islam mengorganisasikan masyarakatnya dengan sangat ketat, apalagi
melihat hubungan umat islam di Indonesia dengan para Sultan Islam di negara lain. Menurut
Belanda, hukum-hukum islam sudah diatur dengan semua hukum islam secara menyeluruh,
dengan kata lain secara internasiona. Maka dari itu, islam ditakuti. Upaya Belanda untuk
melakuka usaha yang lebih sistematis untuk melumpuhkan kekuatan islam, semakin tampak
dengan ditugaskannya C. Snouck Hurgronje pada tahun 1889 untuk meneliti kehidupan umat
islam di Indonesia.1

Menjelang peralihan kekuasaan, keberadaan Belanda pada dekade ketiga Abad


XX memasuki tahapan yang bersifat menindas karena disibukkan oleh usaha untuk mengatasi
masa-masa yang sulit yang ditimbulkan oleh depresi ekonomi. Pada periode ini, Belanda
benar-benar menguasai Hindia Belanda. Pemimpin-pemimpin politik yang beraliran dan
bereaksi terlalu keras ditangkap dan dipenjarakan. Disisi lain intern islam sendiri terdapat
pertikaian-pertikaian antara islam kelompok tradisional dengan islam kelompok modern.2

2. Lahirnya Organisasi MIAI

Sikap pemerintah kolonia yang berusaha mencerai-beraikan dan menghancurkan


kuatan islam, bahkan berusaha melenyapkan eksistensi islam dengan membantu misi dan
zeding kristen semakin menyadarkan umat islam. Para pemimpin umat islam juga mulai

1
“Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam Pergerakan Nasional Tahun 1937-1942”, diakses dari
https://idtesis.com, pada tanggal 14 Desember 2011
2
Artikel-fib “Islam di Indonesia pada masa Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang”, diakses dari
https://artikel-fib.web.unair.ac.id, pada tanggal 21 Maret 2017
menyadari bahwa perlawanan tradisional tidak akan berarti banyak untuk menghadapi lawan
yang kuat. Maka dimulailah periode perlawanan yang sistematis dan terencana melalui partai
ataupun organisasi yang berasaskan islam. Kemudian atas prakasa dari K.H. Mas Mansyur
dari Muhammadiyah, K.H. M Dahlan dari NU, dan W Wondoamiseno juga dari NU, pada
tanggal 18-21 Sepetember 1937, di Surabaya diadakan pertemuan tujuh organisasi islam,
yaitu: Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Al-
Islam, Perikatan Umat Islam (PUI), Al-Irsyad Cabang Surabaya, Hidayatul Islamiyah
Banyuwangi, dan Al-Khairiyah Surabaya. Pertemuan tersebut mengasilkan sebuah organisasi
baru yaitu Majelis Islam A’la Indonesia atau MIAI.

Pada permulaanya, MIAI dipimpin oleh satu sekretariat yang diketuai oleh W
Wondoamiseno yang dahulu bernama Wondosudirjo. Lalu K.H. Mas Mansyur sebagai
Bendahara, K.H. M Dahlan dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah selaku anggota. Dalam asas
MIAI tersebut yang ditandatangani oleh para pendirinya berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Majlis ini adalah suatu tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan, yang terdiri dari
pada wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan yang berdasarkan agama
Islam di seluruh Indonesia, yang telah sama menyatakan suka dan maksud menjadi anggota
majlis tersebut. Pada tiap-tiap waktu yang bakal ditentukan, maka majlis ini hendak
mengadakan persidangan-persidangan untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang
dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya itu harus
dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpunan-perhimpunan yang
menjadi anggotanya, baik yang datang mengirimkan wakilnya di dalam persidangan majlis
itu maupun yang tidak.”3

Kehadiran MIAI mendapat sambutan baik dari organisasi-organisasi islam,


sehingga pada tahun 1941 menjadi 21 organisasi, termasuk 15 anggota biasa yaitu Sarekat
Islam, Muhammadiyah, PERSIS, Persyarikatan Ulama, Al-Irsyad, Jong Islamieten, Bond, Al-
Islam (Solo), Al-Ittihadiyat al-Islamiyah (Sukabumi), PII, Partai Arab Indonesia, Persatuan
Ulama Seluruh Aceh (Singli), dan lain lain. Namun Pemerintah Kolonial Belanda takut akan
islam dan MIAI pun memiliki sifat moderat dan noonkoperasi terhadap Belanda, maka
dibubarkanlah MIAI.

3. Tujuan Dan Program dibentuknya MIAI

3
Djarnawi Hadikusuma “K.H. Mas Mansyur(10): Pemrakarsa Berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia(MIAI)”,
diakses dari https://ibtimes.id, pada tanggal 11 Mei 2020
Tujuan MIAI sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah untuk
“menggabungkan seluruh organisasi islam untuk bekerja sama, mendamaikan apabila timbul
pertikaian diantara golongan umat islam Indonesia dengan umat islam negara lain,
meyelamatkan agama islam dan umatnya, dan membangun Kongres muslim Indonesia.”
[ibid, hlm 348-349]. Dibalik itu, kata Prawoto Mangkusasmito, ada tujuan politik gerakan
MIAI yang tersembunyi, yakni mempersatukan gerakan islam untuk melawan kolonialisme
Belanda. Sepertinya itulah strategi MIAI agar tidak dibubarkan oleh Belanda.4 Pada tanggal
18-21 September, diadaknnya pertemuan rapat umum di Masjid Ampel saat pembentukan
MIAI, dan berhasil menentukan tujuan MIAI sebagai berikut:

1. Merapatkan hubungan diantara perhimpunan-perhimpunan Islam di Indonesia.

2. Menyatukan suara untuk membela kehormatan islam.

3. Merapatkan hubungan antara kaum muslim Indonesia dengan luar negeri.5

4. MIAI Pada Masa Pemerintahan Jepang

Berbeda dengan pemerintahan Belanda yang cenderung anti terhadap umat Islam,
Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia. Jepang sangat memerlukan
bantuan untuk melawan sekutu. Oleh karena itu, sebuah organisasi Islam MIAI yang cukup
berpengaruh yang telah dibubarkan oleh Belanda dihidupkan kembali dan disatukan kembali
oleh Jepang.6 Tepat pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali, dan
markasnya di Surabaya dipindah ke Jakarta. Dengan begitu Jepang berharap organisasi segera
berjalan dan dapat dimobilitasi untuk keperlun perang. MIAI menjadi menjadi organisasi
yang cukup penting di zama pendudukan Jepang. Adapun tugas MIAI saat itu yakni:

1. Menempatkan umat islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.

2. Mengharmoniskan islam dengan tuntutan perkembangan zaman.

3. Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

4
Muhammad Cheng Ho, “MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah”, diakses dari https://hidayatullah.com, pada
tanggal 2 Februari 2016 pukul 17.42
5
Tatik Mulyani, “Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam pergerakan nasional tahun 1937-1942” Tahun 2016
6
Doni Setyawan, “Majelis Islam A’la Indonesia”, diakses dari https://donisetyawan.com, pada tanggal 11
September 2016
MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan islam. Mereka berencana
membangun Masjid Agung dan mendirikan Universitas. Namun Jepang tidak menyetujuinya,
dan Jepang hanya menyetujui rencana MIAI untuk membentuk baitulmal atau lembaga
pengelola amal.7

B. Kegiatan MIAI

1. Kongres MIAI Pertama, Kedua, dan Ketiga

Pada tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1939, MIAI mengawali aktivitasnya


dengan menyelenggarakan kongres pertamanya di Surabaya dan dihadiri oleh hampir semua
organisasi Islam di Indonesia. Kongres ini membahas artikel majalah bangun yang
dikeluarkan oleh Parindra (Partai Indonesia Raya), artikel tersebut bersis tentang pembelaan
undang-undang yang diajukan pemerintah, dan artikel tersebut memuat kata-kata yang
menghina nabi Muhammad SAW. Hal tersebut membuat marah pada umat muslim di
Indonesia, dan redaksi yang bertanggung jawab atas pembuatan artikel tersebut diberhentikan
dan dikeluarkan. Kongres MIAI menuntut agar pemerintah mengambil tindakan terhadap
penulis yang bersangkutan, tetapi pemerintah beralasan bahwa mereka sudah mengakui
kesalahannya dan meminta maaf, setelah itu pemerintah tidak melakukan apa-apa sesuai
dengan kehendak umat islam.

Pada tanggal 2- 7 Mei 1939, Kongres kedua MIAI diadakan di Solo, dalam kongres
tersebut hal yang dibahas adalah 9 masalah dan 4 usulan baru, dan juga dikemukkan
perbaikan perkawinan di Indonesia agar kebiasaan hidup bersama tanpa nikah dihapuskan.
Perhimpunan yang berada di luar MIAI diharap untuk segera menjadi anggota agar bisa
menjadi pusat tenaga islam yang tangguh.

Kongres ketiga juga berlangsung di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941. Kongres ini
disebut juga sebagai Kongres Muslimin Indonesia. Kongres ketiga ini menuntut kebebasan
Haji Rasul, menyarankan perbaikan pengumpulan zakat fitrah, tidak menyetujui tranfusi
darah bila untuk keperluan yang berlawanan dengan Islam. Hasil penting lainya adalah
dibentuknya komisi dakwah dengan pimpinan Haji Abdoel Rahman Syihab dari Jamiatul
Wasliyah Medan, guna menyebarkan Islam.

7
Nibras Nada Nailufar,”MIAI dan Masyumi,Cara Jepang Galang Dukungan Umat Islam”, diakses dari
https://kompas.com, pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 15.00.
C. Pembubaran MIAI dan Diganti dengan Masyumi

Kegiatan MIAI seperti baitulmal ini tetap merupakan ancaman bagi Jepang sebab
akan mengurangi loyalitas kepada Jepang dan efektivitas pengawasan terhadap ulama. Dari
sikap MIAI yang cenderung bersikap non kooperasi terhadap Belanda pada masa lalu, Jepang
sudah memperhitungkan bahwa organisasi ini mengasosiasikan dirinya kepada kegiatan-
kegiatan menentang pemerintah kolonial. Akhirnya Jepang membubarkan MIAI pada bulan
Oktober 1943 dan digantikan dengan Masyumi.

ANALISIS

Jurnal yang saya tulis ini memberikan gambaran secara singkat dan jelas terkait
dengan MIAI, mulai dari alasan terbentunya MIAI yang pada masa pemerintah Kolonial
Belanda, terbentuknya MIAI, pembubaran MIAI oleh Kolonial Belanda, Penghidupan
kembali MIAI saat pemerintahan Jepang, dan MIAI melaksanakan kongres yang
menghasilkan banyak putusan, dan pada akhirnya MIAI dibubarkan karena dinilai
mengancam keberadaan Jepang di Indonesia. Namun MIAI telah melaksanakan tugasnya
dengan baik seperti dibidang keagamaan, politik, dan administrasi, serta melakukan 3 kali
kongres yang mengasilkan keputusan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan umat islam di
Indonesia. Saya sangat setuju dengan apa yang dilakukan oleh MIAI karena meski dibawah
kekuasaan Jepang maupun Belanda MIAI tetap masih ingin membantu untuk memerdekakan
negara Indonesia
KESIMPULAN

Jadi pada mulanya Belanda memandang islam sebagai musuh yang ditakuti karena
menurut belanda, islam mengorganisasikan masyarakatnya dengan sangat ketat, apalagi
melihat hubungan umat islam di Indonesia dengan para Sultan Islam di negara lain. Menurut
Belanda, hukum-hukum islam sudah diatur dengan semua hukum islam secara menyeluruh,
dengan kata lain secara internasional. Lalu menjelang peralihan kekuasaan, keberadaan
Belanda pada dekade ketiga Abad XX memasuki tahapan yang bersifat menindas karena
disibukkan oleh usaha untuk mengatasi masa-masa yang sulit yang ditimbulkan oleh depresi
ekonomi dan dsitulah umat islam mulai bertindak. Atas prakasa dari K.H. Mas Mansyur dari
Muhammadiyah, K.H. M Dahlan dari NU, dan W Wondoamiseno juga dari NU, pada tanggal
18-21 Sepetember 1937, di Surabaya diadakan pertemuan tujuh organisasi islam, yaitu: Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Al-Islam, Perikatan
Umat Islam (PUI), Al-Irsyad Cabang Surabaya, Hidayatul Islamiyah Banyuwangi, dan Al-
Khairiyah Surabaya. Pertemuan tersebut mengasilkan sebuah organisasi baru yaitu Majelis
Islam A’la Indonesia atau MIAI. MIAI berjalan dngan baik yang pada akhirnya dibubarkan
karena Belanda takut akan pemberontakan yang akan dilakukan oleh umat islam terutama
MIAI.

Pada masa pemerintahan Jepang, MIAI diaktifkan kembali karena menurut Jepang
MIAI bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan perang mereka dan Jepang juga mempersatukan
umat muslim di Indonesia. MIAI pun berperan aktif dalam bidang keagamaan, politk,
administrasi pemerintahan Jepang, dan MIAI pun sudah mengadaka 3 kali kongres dan
menghasilkan keputusan-keputusan yang baik. Namun pada akhirnya Jepang sudah
memperhitungkan bahwa organisasi ini mengasosiasikan dirinya kepada kegiatan-kegiatan
menentang pemerintah kolonial. Akhirnya Jepang membubarkan MIAI

DAFTAR PUSTAKA

“Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam Pergerakan Nasional Tahun 1937-1942”. 2011.
https://idtesis.com/majelis-islam-a%E2%80%99laa-indonesia-miai-dalam-pergerakan-nasional-
tahun-1937-1942/

Fib-artikel. “Islam di Indonesia pada masa Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang”.
2017. http://artikel-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-172012-Bahan%20Kuliah%20Sejarah
%20Perkembangan%20Islam-ISLAM%20DI%20INDONESIA%20PADA%20MASA%20PEMERINTAH
%20%20KOLONIAL%20BELANDA%20DAN%20PENDUDUKAN%20JEPANG%20%20(V).html

Hadikususma, Djarnawi. “K.H. Mas Mansyur(10): Pemrakarsa Berdirinya Majlis Islam A’la
Indonesia(MIAI)”. 2020. https://ibtimes.id/kh-mas-mansur-10-pemrakarsa-berdirinya-majlis-islam-
ala-indonesia/

Setyawan, Doni. “Majelis Islam A’la Indonesia”. 2016. http://www.donisetyawan.com/majelis-islam-


ala-indonesia/

Nailufar, Nibras Nada. ”MIAI dan Masyumi,Cara Jepang Galang Dukungan Umat Islam”. 2020.
https://amp.kompas.com/skola/read/2020/01/13/150000069/miai-dan-masyumi-cara-jepang-
galang-dukungan-umat-islam

Cheng Ho, Muhammad. “MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah”. 2016.


https://m.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2016/02/03/88650/miai-wadah-ukhuwah-
islamiyah-4.html
Mulyani, Tatik. “Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam pergerakan nasional tahun 1937-
1942”.2016.

Anda mungkin juga menyukai