Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS KONFLIK PAPUA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Resolusi Konflik


Dosen Pengampuh:
Aristophan Firdaus M.S.I

Kelompok 13

1. Frisa Andini 1830301029


2. Gustyn Ningrum 1820301030

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Papua adalah salah satu pulau yang terletak paling ujung timur
Indonesia. Dalam pulau tersebut terdapat provinsi Papua dan Papua Barat.
Wilayah ini memiliki budaya yang sangat beragam dan sumber daya alam
(SDA) yang sangat melimpah. Papua yang terletak di wilayah paling timur
dari kesatuan Republik Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19
Nopember 1969 melalui resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi
pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum internasional.
Selanjutnya, Papua menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia pada
tahun yang sama melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Daerah
Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian
Barat.1
Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik
horizontal antar warga sipil. konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah
Indonesia dan orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini
hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas
diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya
pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua.
Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi
diantara orang asli Papua orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang
asli Papua dan Pemerintah RI. Di satu pihak, orang Papua dicurigai sebagai
anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis
membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai
Pemerintah Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain
1
Yan Pieter Rumbiak, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme Di Daerah Krisis Integrasi,
Jakarta, Papua International Education, 2005, h.36

2
ini, dialog konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang
Papua.
Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak
dicarikan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan
terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat proses
pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua.
Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen,
Katolik, klam, Hindu dan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye
perdamaian. Kampanye ini dilakukan dengan dengan moto: Papua Tanah
Damai (PTD). Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama
menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan
Tanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang
hidup di Tanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat
terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua,
kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk
melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang
asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung. kampung. belum
terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka
sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin atau minimal terlibat
dalam berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhumya.
Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara
aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin
memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang
yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian
B. Rumusan Masalah
1. Kapan Sejarah Konflik di Papua?
2. Apa Penyebab Konflik di Papua dan Dampak dari konflik Papua?
3. Bagaimana Upaya Penyelesaian Konflik di Papua?

3
PEMBAHASAN

A. Sejarah Konflik Papua


Leopald Wiese dan Howard Belker2 menjelaskan bahwa konflik atau
pertikaian adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha
untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang
disertai anacaman atau kekerasan.
1. 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
2. 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di
Ayamaru, Teminabuan dan In anuatan.
3. Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia.
Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah
bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa. Jun 1971: Bapak Henk de
Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa
untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak Mei 1978:
Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai
mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke
dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai
simpatisan OPM dicurigai.
4. pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau
Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwan Doa dan Kugapa dibantai oleh
pasukan 24/6/1985, 10 orang. desa, taman makanan, dan ternak desa
Epomani, Obano Sub-distrik: 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten
desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan
hidup-stok Monemane. Dsb.

2
Sahidin.. Kala Demokrasi Melahirkan Anarki. Jogjakarta: Penerbit Logung Pustaka.
2004. hlm. 137-138

4
5. Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada
sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-
luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
6. Pada tanggal Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan
bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
7. Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura
menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar
500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah
dan bom bensin. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
8. Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi
penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM
menyangkal Tanggung Jawab.

B. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua.


Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi
sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran
yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan
pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
1) Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar
fakta-fakta masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan padahal semua
konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil
keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka
dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan
tegas di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi
penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai
komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.
karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.Sebagai
contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi
telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi

5
keluarga Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein,
kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber
protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal. hilangnya sagu
sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga
memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh:
kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi
seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
2) Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi
dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak
selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran
dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada
orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk
sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya
untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang
Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang
Papua sebagai OPM.
Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor
pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor
industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam
(SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari
luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan
Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong.
Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang
3) Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal
Secara singkat. pengembangan SDM justru tidak berpijak pada
pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi
orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan
mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa
melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai
ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua

6
khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan
tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap
menopang tuntutan Papua Merdeka
4) Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara
lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan
penyiksaan dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat
masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai keperluan,
seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur
maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-
haknya atas SDA mereka düintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik Papua memiliki satu hal unik. yang membedakannya
dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya
nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama
puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat
Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika
didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta
tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia
bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai
bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan
gerakan anti Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan
represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme
ini, namun justru memperkuatnya.
5) Dampak dari konflik Papua
Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin
mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak
pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI Tanda-tanda
Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini

7
ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan
wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap
untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok
separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini
tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta
karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila
hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak
dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya
distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki
kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga
raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme
mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi
konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai
menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam
dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama
baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi
atau bahkan pengusiran.
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua
belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing
perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda
lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi
adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari
luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus
berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari
terjadinya penyerangan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di
daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan
bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.

C. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua

8
Hasil eksplorasi kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Dialog dan trust Building
Dialog sering digunakan sebagai sinonim untuk negosiasi yang lebih
formal antara dua pihak atau lebih dalam konflik di mana tujuannya adalah
untuk mencapai kesepakatan yang dinegosiasikan; lebih lanjut, ini biasanya
digunakan untuk merujuk pada proses yang lebih informal (back-channel
diplomacy) di antara pihak-pihak yang berseberangan, yang mengarah ke
negosiasi tersebut; dan istilah ini digunakan secara luas untuk
menggambarkan proses pembangunan perdamaian yang lebih luas, inisiatif
akar rumput, dan pendekatan kebijakan dari bawah ke atas yang bertujuan
menghindari eskalasi konflik atau krisis, tetapi yang jarang memiliki ambisi
eksplisit untuk mencapai fase negosiasi konkret. Kata trust memiliki
banyak padanan kata, antara lain believe in, depend on, commit, expect,
confidence, expectation, faith dan sebagainya.3 Trust dibangun dengan
tujuan untuk dapat mengenal satu sama lain secara lebih baik. Untuk itu
membangun trust merupakan proses yang panjang, terutama bila ingin
mendapatkan hasil kerja atau hubungan yang berkualitas tinggi.4 Trust
building di Papua pernah dilakukan dengan cara dialog di tingkat nasional
(Dialog Tim 100 pada Februari 1999), bahkan di tingkat lokal, masyarakat
Papua mengenal cara berdialog yang disebut para-para. Kalau dikaitkan
dengan hasil dialog, maka dialog nasional tahun 1999 ternyata tidak
mampu mengatasi konflik di Papua, karena pemerintah memiliki
pandangan yang berbeda dari masyarakat Papua mengenai makna dialog.
b) Rekonsiliasi dalam Membangun Konsensus
Rekonsiliasi adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam upaya
menyelesaikan konflik secara damai, yang bersumber dari inspirasi agama.
Martin Luther King mengatakan bahwa rekonsiliasi adalah sifat dasar

3
Collins Pocket Thesaurus, The Ultimate Wordfinder (2000). Glassgow: Harper Collins,
hlm. 583
4
David W. Jamieson (2006). “Buildingtrust”,
http://www.odnetwork.org/publications/seasongs/2006-vol12-no 1/artickle_jamieson.html, hlm 1
Diakses pada 20 juni 2019

9
individu yang secara transenden menghendaki dihentikannya konflik. Hal
ini merupakan upaya kreatif sebagai "bentuk keinginan untuk melakukan
penebusan dosa dan merupakan perwujudan kehendak Tuhan melalui hati
manusia".5 Selanjutnya, rekonsiliasi akan tercipta jika masing-masing
pihak yang berkonflik mampu berpikir jauh ke depan dan menempatkan
kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok. Hal tersebut dapat
dicapai melalui empat prinsip rekonsiliasi sebagai berikut: (1) kesetiaan
terhadap Tuhan adalah abadi; (2) setiap manusia adalah bemilai dan berhak
untuk berbagi dalam kehidupan bersama; (3) cinta adalah lebih kuat dari
kebencian; dan (4) meminta maaf akan menghasilkan lebih banyak manfaat
daripada melanjutkan permusuhan.6 Pendekatan penyelesaian konflik
melalui rekonsiliasi merupakan bagian dari upaya transformasi konflik
yang bertujuan untuk membangun perdamaian dengan mengubah konflik
kekerasan menjadi non-kekerasan. Selain itu, rekonsiliasi juga meliputi
upaya menciptakan kesetaraan, meningkatkan pembangunan, membantu
secara ekonomi, menegakkan hukum dan menjalankan sistem hukum dan
sistem politik secara persuasif.
c) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan
oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk perlawanan
masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang
dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996.
Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua,
terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM).
d) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1
Mei 1963. maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua
5
Stephen Ryan (1995). "Transforming Violent lntercornmunal Conflict", dalam Kumar
Rupesinghe, et.al., Conflict Transformation. London: McMilan, hlm. 232.
6
Ibid,

10
petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah
meng-Indonesiakan orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh
lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan.
Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk
Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan
itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya. miskin,
tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam
upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut
berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa
hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
e) Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-
jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang
sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa
para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah
satu pihak.
f) Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani
ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar
kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak
efektif.
g) Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah
terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit
secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima
dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
h) Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan
eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
i) Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga
asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar
Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih
lanjut.

11
j) Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-
kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
k) Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar
orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan
publik.
l) Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat
Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga
Papua. Kesembilan. Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama
ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua
demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik. yaitu:
Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau
parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak
yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara
terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau
kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada
para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak
ketiga yang disetujui, serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat
bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan
keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik Jika dilihat
dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh
oleh para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama,
Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan
sendirinya. Kedua. Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau
dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga.
Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian
fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat
publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak
melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.

12
PENUTUP

KESIMPULAN
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelesaian konflik
sangatlah besar peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam
penyelesaian konflik tersebut.
Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat
besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat jangan sampai terjadi berbagai kebijakan yang dapat
mengakibatkan terjadinya konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang
ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan
sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan sacara baik tanpa
menggunakan kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik vertikal
yang dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas
pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada
daerah dalam kurun waktu lama dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola
konflik yang represif dan kontra produktif, yaitu dengan cara mengirim pasukan
militer dan merekayasa para tokoh atau elit masyarakat untuk berdamai secara
seremonial.

13
DAFTAR PUSTKA

Rumbiak Yan Pieter. 2005. Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua,


Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme
Di Daerah Krisis Integrasi. Jakarta: Papua International Education.
Sahidin. 2004. Kala Demokrasi Melahirkan Anarki. Penerbit Logung Pustaka.
Jogjakarta.
Sugandi, Yulia. . 2008. “Analisa Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai
Papua.” FES, Jakarta.
Collins Pocket Thesaurus. 2000. The Ultimate Wordfinder. Glassgow: Harper
Collins.
David W. Jamieson (2006). “Buildingtrust”, http : // www. odnetwork.
org/publications/seasongs/2006-vol12-no 1/artickle_jamieson.html, Diakses pada
20 juni 2019
Stephen Ryan . 1995. "Transforming Violent lntercornmunal Conflict", dalam
Kumar Rupesinghe, et.al., Conflict Transformation. London: McMilan
Sumule, Agus. 2003. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai