Disusun Oleh :
Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan
desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah
dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin
ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari
desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman
makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari
kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok
Monemane. Dsb.
2000 - 2010
Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari
Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis,
beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan
beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan
busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport
McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
KONFLIK PAPUA
Konflik Papua adalah konflik di Provinsi Papua di Indonesia. diawali pada tahun 1961,
muncul keinginan Belanda untuk membentuk negara Papua Barat terlepas dari
Indonesia,[4] Langkah Belanda ini dilawan Presiden Soekarno dengan mendekatkan diri
pada negara komunis terutama Uni Soviet.[5] Sikap Soekarno ini membuat takut
Belanda dan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Sebab jika itu dibiarkan maka
Indonesia sangat mungkin menjadi negara komunis terbesar di Asia Tenggara.[6][7]
Ketakutan itu lalu membuat Belanda mengambil sikap untuk menyerahkan masalah
Papua ke PBB. Dari dan melalui PBB, Belanda mengambil sikap untuk keluar dari
papua dan tidak jadi mengambil, merebut dan menjajah Papua lalu Papua diserahkan
"kembali" ke Indonesia dengan syarat memberi kesempatan pada rakyat Papua untuk
menentukan sikap sendiri atau referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA).
Lewat PERPERA tahun 1969, rakyat Papua memilih "tetap" dalam lingkungan Republik
Indonesia.
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi adat didirikan
pada tahun 1965 untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri dan pemisahan diri
Papua dari Republik Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora dan
berbicara dalam mendukung tujuan OPM adalah dilarang kegiatan di Indonesia, yang
dapat dikenakan biaya dari "Makar" (pengkhianatan)[8]. Sejak awal berdirinya OPM
telah mencoba dialog diplomatik, melakukan upacara bendera (ilegal menurut hukum
Indonesia), dan tindakan militan dilakukan sebagai bagian dari Konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan Bendera Bintang Kejora dan simbol lainnya
Kesatuan Papua yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan
Indonesia dimulai pada bulan Mei 1963 dengan Perjanjian New York.
Para pendukung organisasi menuduh orang-orang Papua tidak memiliki hubungan
etnis, budaya atau geografis dengan Indonesia, bahwa mereka adalah orang-orang
kolonial di bawah Resolusi PBB 1541 dan bahwa mereka berhak ketentuan Resolusi
PBB 1514. Menurut pendukung OPM, pemerintah Indonesia di Papua adalah
pendudukan militer.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa wilayah tersebut memilih untuk dimasukkan
ke dalam Republik Indonesia dengan referendum yang dikenal sebagai Tindakan
Pemilihan Bebas pada tahun 1969. Pernyataan ini ditolak oleh para pendukung
organisasi yang menuduh Tindakan Pemilihan Bebas tidak sukarela dan tidak mewakili
populasi.
Rangkuman Kejadian
Era administrasi sementara PBB (1962-1969)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Otoritas Eksekutif Sementara PBB
15 Agustus 1962: Perjanjian New York oleh Kerajaan Belanda, Republik
Indonesia dan PBB. Wilayah Papua Barat diserahkan oleh Kerajaan Belanda
pada administrasi Otoritas Eksekutif Sementara PBB, diikuti dengan
pertempuran sporadis antara milisi / tentara pro-Indonesia dan pro-Belanda
hingga 1969.
1966 - 1967: pengeboman udara Pegunungan Arfak
Januari - Maret 1967: pengeboman udara wilayah Ayamaru dan Teminabuan
1967: Operasi Tumpas, 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan
Inanuatan.
April 1969: pengeboman udara Danau Wissel (daerah Paniai dan Enarotali);
14.000 selamat melarikan diri ke hutan.
Era Orde Baru
1969 - 1980
Juli -Agustus 1969: Penentuan Pendapat Rakyat menentukan bahwa wilayah
Papua Barat adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Juni 1971: Henk de Mari melaporkan 55 pria dari dua desa di Biak Utara tewas.
Berita diterbitkan harian Belanda De Telegraaf, Oktober 1974.
Tanpa sumber: 500 mayat ditemukan di hutan Kecamatan Lereh, barat daya
Bandara Sentani, Jayapura.
1974: Di Biak Utara, 45 orang tewas.
1975: Di Biak, setidaknya 41 orang dari desa Arwam dan Rumbin tewas.
1977: pengeboman udara Akimuga (tambang Freeport McMoRan Inc.).
1977 - 1978: pengeboman udara Lembah Baliem.
April 1978: Enam mayat yang tidak dapat diidentifikasikan ditemukan di
kecamatan Dosai, Jayapura.
Mei 1978: Lima pemimpin OPM tewas dan 125 penduduk desa ditembak karena
dicurigai simpatisan OPM.
June 1978: 14 mayat korban tembak ditemukan di Barat Bandara Sentani,
Jayapura.
Tanpa sumber: Biak Utara, 12 orang tertembak.
1980 - 1998
1981: 10 tewas, 58 menghilang di daerah Paniai.
Juni - Agustus 1981: Operasi Sapu bersih, populasi Ampas Waris dan desa
Batte-Arso menjadi korban.
September-Desember 1981: 13.000 diduga tewas di dataran tinggi tengah.
Juli 1984: Angkatan Laut, Udara, dan Darat menyerbu Desa Nagasawa / Ormo
Kecil, 200 orang tewas.
Tanpa sumber: Bombardir dari laut di Taronta, Takar, dan desa pesisir Masi-
Masi; yang selamat melarikan diri ke arah Jayapura; pada 1950 dikuasai
Belanda dan masing-masing desa berpopulasi 1500-2000.
24 Juni 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai, Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa.
1986 - 1987: 34 tertembak di Paniai / Wissel Lake District.
8 Januari 1996: Krisis sandera Mapenduma, militan OPM yang dipimpin Kelly
Kwalik menyandera 26 orang di Irian Jaya [5], memicu Operasi pembebasan
sandera Mapenduma (dua sandera tewas) dan Insiden Penembakan Timika
1996 (16 orang tewas).
9 Mei 1996: Krisis sandera Mapenduma, berakhir dengan serbuan Kopassus ke
Desa Geselama, di Mimika.
Era Reformasi
1998 - 2010
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rimun.solowat/latar-belakang-konflik-
papua_55289030f17e61ba628b45c2
2. Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh
Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini
Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua
dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika
Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya
warga sipil Papua ke pemerintahan[3] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun
1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa
teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori
Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM
didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan
modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga
kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[4]
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada
April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge
Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer
pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[5] Perjanjian New York dirancang oleh Robert
Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri
sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of
Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan
wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[6] Kelompok separatis
mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap
tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti
ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan
penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.[7]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional
Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara
Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.[8] Menurut Duta Besar
Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik
juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah di teritori
ini dan jumlah personelnya harus dikurangi sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan
bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan
85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak
menyukai orang Indonesia".[9]
Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free
Choice pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22
Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan
sistem satu orang, satu suara (proses yang dikenal dengan nama referendum atau
plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak
tercantum dalam Perjanjian New York 1962.[10] 1.025 tetua adat Papua dipilih dan
diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian New York. Hasilnya
adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth
Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua
pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik
Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi
dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan
ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang
terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering
menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan
OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman
mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus
kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah
fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.[1]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan
Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang
didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer
Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini
menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di
Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM
kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau
simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal
Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan
di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur
pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga,
perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar
pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian.
Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik,
merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati
lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer. [1]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan
sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp
hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau
Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia
membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[11]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak
oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia
memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[12]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatera Barat.[13]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. [14]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram
obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut
diduga akan dijual di Jayapura.[15]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby
Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang
ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako
Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar
bandara. Semua korban adalah warga sipil.[16]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. [17]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban
adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun.
Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[18]
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi'
OPM adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame,
mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan. [19] Jurnalis lepas
Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan. [19] Tentara
Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar
Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML
Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan
beroperasi di seluruh Papua Barat.[19]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang
diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria.
Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth
Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan
Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM
mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena
sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan
OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakhar, dengan
Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda.
Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia
meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh
oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu
inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan
memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah
anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-
Papua Barat.
Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II
(Jayapura - Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus
Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain.
Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16
Desember 2009.[20]
Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat
Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang
gerakan kemerdekaan Papua Barat.[21]
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
Logo TPNPB
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari
Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan
TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik
Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.
Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal. Goliath Tabuni diangkat menjadi
Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
2. Contoh Makalah
A. LATAR BELAKANG
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah
Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya
merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan
bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi
dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di
Indonesia[1].
Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung
timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis
dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau
Papua. Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan
kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah
kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara
80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran
penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah
1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006[2].
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik
horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan
orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum
diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya
tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora,
dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum diselesaikan ini sangat
mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk
lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua
dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis
membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai Pemerintah.
Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif
tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai
masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah
situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha
Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan
dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua
Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu
diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari
setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan
memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri
dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang
tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam
kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin atau minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk
berpartisipasi secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka
ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang
hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian[3].
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2. Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
3. Bagaimana solusi konflik papua?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
2. Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di Papua.
BAB II
PEMBAHASAN
- Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan
pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah ke-
Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang
Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden
Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada
perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua
juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena
itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah
tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi
konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik
Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi
dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan
di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar
negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan
merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi
penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara
bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM[10].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan
peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi.
Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat
pemerintah untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah
dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusi-
solusi yang ditawarkan bias menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk
mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bias merasakan perdamaian di
tanahnya.
( OPPB )
2008
=====================================================================
==
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan ke Hadirat TuhanYang Maha Esa atas perlindunganNya,
pertolonganNya, pemberkatanNya, sertapemberian hikmat dan talenta kepada Penulis sehingga
dapat menyelesaikantulisan ilmiah ini.
Tulisan ini disusun sebagai pelengkap tulisan-tulisan lain yangberhubungan dengan Sejarah
Papua karena Penulis melihat bahwa banyakditerbitkan buku-buku tentang Sejarah Papua tetapi
masih minim dengan foto-fotosebagai bukti yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, tulisan yang
diberi judul Analisis Penyebab Konflik Papua danSolusinya Secara Hukum Internasional,
Penulis berusaha semaksimal mungkinuntuk melampirkan data-data dokumen pendukung
lainnya seperti gambar, table,piagam, dll.
Melalui tulisan ini, para pembaca dapat mengetahui Akar PokokPermasalahan Papua serta dapat
mengerti tentang Bagaimana Mencari SolusiUntuk Menyelesaikan Konflik Papua yang telah
berlangsung ± ½ abad sehinggaPenduduk Pribumi Papua dapat hidup tenang di atas Tanah
Leluhur mereka sertatidak diperlakukan semena-mena oleh Penduduk Pribumi lainnya dari
Indonesiaseperti Pribumi Jawa, Pribumi Sumatra, Pribumi Sulawesi, Pribumi Maluku, dll.Tuhan
telah memberikan tempat kepada setiap Pribumi di dunia, oleh sebab ituPribumi lain tidak boleh
melanggar Hak-hak Pribumi di tempat lain demiterciptanya Perdamaian dan Ketentraman di atas
muka Bumi ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh Anggota West Papua Interest
Association (WPIA), Papua Indigenous Action (PIA),West Papua Indigenous Security (WPIS),
Association of West Papua IndigenousStudents & Youth (AWPISY), West Papua Woman
Indigenous Association (WPWIA),serta Organisasi Pribumi Papua Barat (OPPB).Selain itu, tak
lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada mantan anggota Nieuw Guinea Raad (NGR),
Presidium DewanPapua (PDP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jaingan Independent untuk
AksiKejora (JIAJORA), Dewan Adat Papua (DAP), WestPapua National Coalition (WPNCL),
West Papua National Authority (WPNA), WestPapua Peoples Front (WPPF), West Papua New
Guinea Congress (WPNGC), ViktoriaGenerasi Papua (VGP), Dewan Masyarakat Adat Koteka
(DEMAK), mantan anggota Papoea Vrijwilleger Korps(PVK), Tentara Pembebsan Nasional
(TPN), mantan anggota OrganisasiPerjuangan Papua Merdeka (OPPM) yang dibentuk tahun
1965 di Manokwari yang kinidisebut OPM, serta ucapan rasa terima kasih yang paling dalam
kepada seluruhahli waris Tanah New Guinea dari Sorong sampai Samarai.
Melalui perjuangan panjang yang melelahkan namun akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan juga,
serta akan dipublikasikan melalui website OPPB pada link:
Tulisan ini akan disusun dalam dua bahasa yaituInggris dan Melayu sehingga seluruh Maklukh
Tuhan dapat membuka mata untukmelihat penderitaan orang Papua dan menolong sesama
sebagai umat ciptaan Tuhanyang sama di mata Tuhan.
Penulis sadari bahwa tentu tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itupenulis sangat
mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan tulisan ini.
9 Oktober 2008
=====================================================================
===
Pulau Papua adalah pulau yang terbentuk dari endapan (Sedimentation) benua
Australia dan pertemuan/tumbukkan antara lempeng Asia (Sunda Shelf) dan lempeng
Australia (Sahul Shelf) serta lempeng Pasifik sehingga mengangkat endapan tersebut
dari dasar laut Pasifik yang paling dalam ke atas permukaan laut menjadi sebuah
ilmu Geologi disebut Convergent. Sehinnga sudah saatnya untuk diberi nama
Convergent Island (Pulau Konvergen) dan bukan pulau New Guinea/IRIAN/Papua karena tidak
ada hubungan dengan proses terbentuknya pulau ini. Sedangkan nama orang-orang (bangsa)
yang mediami pulau ini termasuk rumpun yang berada di Oceania yaitu Rumpun Bangsa
Melanesia (bukan Melayu) maka seharunya nama Bangsa adalah Bangsa Melanesia (bukan
Papua). Pada mulanya Pulau ini terhubung dengan benua Australia di bagian Utara tetapi karena
perubahan suhu Bumi makin panas sehingga mencairnya Es di daerah Kutub Utara dan Selatan,
maka terputuslah menjadi sebuah Pulau baru.
Proses geologi ini diperkirakan terjadi pada 60 (enam puluh) juta tahun yang lalu dan
hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan Kerang Laut, pasir laut dan danau air asin
di daerah Wamena yang tingginya lebih dari 4.884 m di atas permukaan laut serta
Kanguru.[1]
Sumber: http://www.environment.gov.au/coasts/publications/somer/annex1/marine-biota.html
Sementara terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan berawal dari
berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang lalu. Mencairnya es
menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan Papua dengan benua Australia.
Burung yang belum tergali. Apalagi, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan
muda sehingga proses pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini,
proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan 2,5 km
Akibat dari adanya endapan ini sehingga Pulau Papua banyak mengandung bahan
galian golongan A, B, dan C seperti Emas, Perak, Tembaga, Aluminium, Batu kapur,
Dan juga dengan adanya tumbukkan lempeng ini sehingga mengangkat banyak fosil
Selain itu, pulau Papua memiliki Hutan Tropis yang sangat lebat karena berada pada
jalur Katulistiwa serta memiliki hasil laut yang banyak karena berada di Lautan
kenal akan datang dan memakan hasil bumi mu dan segala hasil jerih payahmu;
Dari hal inilah yang menyebabkan Pribumi Papua menjadi melarat di atas Kekayaan
Alamnya sendiri bagaikan seekor Tikus yang mati di atas lumbung Padi.
Oleh sebab itu, pulau ini menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa dan menjadi
Awal mula kedatangan Bangsa-bangsa Asing untuk merebut pulau ini karena
pernyataan dari seorang Pelaut Spanyol yang bernama Alvaro De Saavedra yang
berlayar ke Mexico dan singgah di pesisir pantai Utara Papua pada tahun 1528
sehingga ia melihat Pasir Kuarsa bercampur Emas di Korido (sekarang: ibu Kota
Supiori) lalu memberi nama Isla Del Oro (Island of Gold) atau Pulau Emas. Dari
sinilah sehingga Inggris, Jerman dan Belanda membagi-bagi pulau ini menjadi tiga
Indonesia yang mengklaim bahwa seluruh bekas Hindia Belanda adalah daerah
Kekuasaannya.[3]
Gambar. 1.4: Peta Pembagian Wilayah oleh Inggris,Belanda, dan Jerman.
Pada abad ke-15 sampai ke-17 dan abad ke-18 awal, Papua dikenal sebagai
daerah yang rawan untuk ditempati karena Penduduknya sangat berbahaya. Oleh
karena itu, Papua adalah merupakan daerah yang belum berpemerintahan sendiri
Pada masa itu, banyak timbul peperangan diantara suku-suku sehingga muncul
seorang Panglima Perang yang hebat, yaitu Mambri dari pulau Biak dibawah
komando Raja Kurabesi. Selain itu, muncul juga Panglima baru dari Pom Ansus di
Pulau Serui.
Kedua Panglima ini pernah diminta bantuannya oleh Sultan Tidore dan Raja Jailolo
untuk membantu mengusir VOC. Sebagai imbalan dari Sultan Tidore kepada Raja
Kurabesi, maka diberikan seorang anak gadisnya dan kemudian mendapat empat
anak raja yang hingga kini diberi nama Raja Ampat di Sorong.
Sedangkan Panglima Perang Pom Ansus diberi tempat untuk tinggal oleh Raja
Jailolo. Buktinya yaitu, banyak terdapat marga-marga yang sama di Jailolo dan Serui
seperti Wowor, dll. Dari hasil kontak inilah, maka timbul penyebaran Agama Islam
Papua dan mendirikan sebuah tugu Fort De Bus di teluk Triton di kaki Gunung
Lumenciri di daerah Kaimana dan menyatakan bahwa atas nama dan untuk Sri
Baginda Raja Nederland, bagian daerah New Guinea dengan daerah pedalamannya
dimulai pada garis meridian 1410 Timur Greenwich di pantai Selatan terus ke arah
Barat, Barat Daya dan Utara sampai ke Semenanjung Goebe Hoop di pantai Utara,
kecuali daerah Mansari, Karondefer, Ambarpura dan Amberoon yang dimiliki oleh
Sultan Tidore, dinyatakan milik Belanda. Dengan ketegasan ini, maka orang-orang
Eropa lainnya tidak boleh menempati dan menguasai daerah ini. 4 Kemudian daerah
ini diberi nama Nederlands Nieuw Guinea karena penduduknya mirip dengan
Nederland Indiẽ karena penduduknya mirip dengan penduduk di India yang kulit
penduduk Papua sangat berbahaya bagi mereka. Kemudian dengan Politik 3G (Gold
Glory and Gospel = Emas dan Firman Tuhan) maka dibentuklah sebuah Yayasan
Hevorm de Kerk melalui Gereja lalu mengutus dua orang Misionaris Ottow dan
Geisler untuk pergi memberitakan Firman Tuhan ke Papua dan mereka berdua tiba di
rasa ketakutan maka mereka berkata Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah
Ini.[5] Dengan adanya Firman Tuhan inilah sehingga menyebabkan orang Papua
menjadi lemah dan memiliki Kasih yang tinggi sehingga dapat menerima Bangsa
diberi nama Resident Nederland Niuew Guinea (Provinsi Nederland New Guinea)
Nederland Niuew Guinea mulai didirikan dengan Ibu Kota Provinsi beradadi
kepada Belanda pada tanggal 24 April 1944 di Hollandia (Sekarang Jayapura) serta
(tahanan Digul) sebagai Direkturnya. Klaim Indonesia bahwa Daerah Papua adalah
milik Indonesia yang mulanya diberi nama Nederland Indies yang berkedudukan di
Batavia (Sekarang Jakarta) setelah Perang Dunia II adalah sesuatu yang tidak ada
dasarnya. [6]
Gambar. 1.6: Gedung Resident Nederland Niuew Guinea (sekrang Kantor Gubernur Papua Barat)
Sumber : Hasil Scaner oleh Bapak Sorbu, Melkianus Nauw dan Niko Nauw
Gambar. 1.7: Makam Gubernur Resident NNG Hier Rust (1873 -1922) di Manokwari (foto kiri) Dan Tulisan di atas
Makam Hier Rust (foto kanan)
Sumber : Hasil Scan oleh John Anari
Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/e/ef/West-Papua1961-6.JPG
Pada awal Pemerintahan Belanda di Papua semenjak tahun 1898 hingga sebelum
kedatangan Jepang pada 19 April 1942 di teluk Humbolt kota Hollandia, tak seorang
penduduk Pribumi Papua membentuk suatu gerakkan perlawanan anti Belanda serta
tak seorang pun dibunuh sehingga terjalin kehidupan yang harmonis antara orang-orang
Belanda dan Penduduk Pribumi Papua. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
Bangsa Papua tidak pernah merasa dijajah oleh Belanda seperti di daerah Indonesia
lainnya. Namun pada jaman penjajahan Jepang, banyak rakyat Pribumi Papua yang
disiksa, dipotong tangannya serta dibunuh. Akibat kekejaman ini, maka banyak
rakyat Papua yang membantu tentara Sekutu Amerika ketika mendarat di Teluk
Humbolt pada tanggal 22 April 1944 untuk mengusir Jepang, dibawah Komando
Jenderal Douglas McArthur. Pemerintah Belanda yang ikut serta dalam Tentara
Sekutu langsung membentuk suatu Pemerintahan dengan status Residen yang
bertanggung jawab langsung kepada Mahkota Kerajaan Belanda. Oleh karena itu,
pada saat sidang Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
menetapkan wilayah Indonesia terdiri dari 18 (delapan belas) Provinsi mulai dari
Kemerdekaan Indonesia) dan pada saat Pidato Soekarno di depan Panitia Persiapan
disebut Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatra, Borneo, dan
Celebes), Pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Maluku. Tetapi untuk keamanan Indonesia
dari arah Pasifik, maka kita perlu menguasai Papua”. [7] Hal ini juga sesuai dengan
Sumpah Pemuda yang diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda
mulai dinyatakan oleh Bangsa Indonesia setelah menyadari bahwa mereka adalah
orang-orang yang berasal dari keturunan India, yang mana nama Indonesia mulai
menggantikan nama Nederland Indie menjadi Indonesia yang berasal dari kata Indo:
Bawah Tanah yang diberi nama IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands).
Ia diangkat oleh Belanda menjadi Direktur Sekolah Pemerintahan tersebut serta
Tawanan Digul yang dipindahkan ke Australia akibat Perang Dunia II namun ditarik
Nieuw Guinea.[8]
Beberapa muridnya yaitu Silas Papare kemudian dibuang ke Serui dan di sana ia
bergabung dengan Dr. Sam Ratulangi (buangan Belanda dari Sulawesi Utara,
lainnya seperti Marthen Indey, Frans Kaisiepo, dan Rumkorem menjadi pengikut
setia Soegoro. Sedangkan Murid lainnya seperti Herman Wajoi, Nicholas Jouwe,
Johan Ariks, Markus Kaisiepo, Nikolas Tanggahma, dll. Mereka ini Adalah Tokoh
Masyarakat yang kemudian menjadi Anti Soegoro karena telah mengetahui niat
Akibatnya Soegoro ditahan kembali ke Didul tetapi berkat seorang penjaga, maka
beliau diloloskan oleh Petugas Lembaga hingga ia melarikan diri ke Port Morestby
Sumber : http://www.uk.geocities.com/papua_doc
Gambar. 1.11: Foto Anggota Nieuw Guinea Raad
Sumber : http://www.uk.geocities.com/papua_doc
Makasar – Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1946, Perjanjian Linggar Jati bulan
Maret 1947, hingga pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23
Agustus – 2 November 1949. Yang mana pada pasal 2 ayat f menyatakan “ Tentang
semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak akan timbul diselesaikan dengan
jalan patut dan rukun, maka Status Quo Residen Nieuw Guinea tetap berlaku seraya
Status Quo Nieuw Guinea disebabkan karena Belanda sebagai anggota PBB yang
(Non Self Government Territory), oleh sebab itu Belanda mempersiapkan Parlement
Daftar Komisi Pasifik Selatan (South Pacific Commition) melalui Perjanjian yang
ditanda tangani pada tanggal 6 Februari 1947 di Canbera oleh Australia, Perancis,
Inggris, Nederland, New Zealand dan Amerika Serikat.[10] Maksud perjanjian ini
dengan perbandingan suara 67 dan 0. Isi Resolusi itu ialah supaya utusan-utusan dari
untuk turut bekerja di berbagai bagian dan dewan-dewan PBB yang tertentu. Ini
berarti bahwa biarpun Negara-negara yang belum berdaulat belum juga menjadi
anggota PBB sudah bisa turut bekerja dalam berbagai bagian dari PBB. Melalui cara
Negara Uni Soviet, Guinea, Spanyol dan Portugal tidak turut pemungutan suara.
Menurut Wakil Niuew Guinea Raad, Nicolas Jouwe mengatakan bahwa “Indonesia
tidak menghargai hak kami untuk menentukan nasib sendiri”. Deklarasi PBB
oleh Indonesia sebagai sesuatu yang tidak relevan atau tidak dapat diterapkan untuk
Indonesia. Hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri diputuskan oleh
Gambar. 1.12: Foto Papoea Vrijwilleger Korps – Batalyon Kasuari di Arfai I. Manokwari
Sumber: http://www.oppb.webs.com/gallery.htm
Namun kenyataan ini tidak diterima baik oleh Indonesia, maka sebagai tandingnya Indonesia
membuka Partai Komunis pada tahun 1946 namun berhasil dibubarkan oleh TNI AD. Tetapi
akhirnya kembali berjaya lagi karena didukung oleh Presiden Soekarno sehingga hampir
sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa beralih ke Komunis mengikuti paham NASAKOM
(Nasionalis Agama dan Komunis). Padahal Soekarno telah melanggar Politik Luar Negeri
Indonesia yang Bebas Aktif atau tidak memihak kepada salah satu Blok yaitu Blok Barat
(Sekutu) maupun Blok Timur (Komunis).
Reaksi Presiden Sukarno berhubung dengan pidato tahunan Ratu Juliana didepan Parlemen
Belanda.
Saya menghargai Ratu Juliana terhadapmasalah Irian Barat. Saya tahu yang dimaksud oleh
Ratu Juliana ialah apa yangdinamakan politik "self-determination". Saya juga mengetahui apa
yangdapat diakibatkan oleh politik "self-determination" semacam itu yangberada di bawah
pengawasan asing. Penggunaan politik semacam itu bukanlahmerupakan hal yang baru bagi
kami. Dijaman Van Mook politik yang dinamakanpolitik "self-determination" semacam itu
menghasilkan pembentukansuatu "Sumatera Timur Merdeka", suatu "Sumatera
SelatanMerdeka", suatu Pasundan Merdeka", (Jawa Barat), suatu "JawaTimur Merdeka", suatu
"Madura Merdeka", suatu "KalimantanTimur Merdeka", suatu "Indonesia Timur Merdeka", dan
lain-lainyang dinamakan daerah-daerah otonomi. Dengan demikian Van Mook
sebenarnyamembalkanisasi Indonesia.Akan tetapi pada tahun 1950 bangsa Indonesiayang
bersatu telah mengakhiri hidup dari apa yang dinamakan "Negara-negaraMerdeka" itu dan
memulihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya tolak apa yangdinamakan politik "self-
determination" Pemerintah Belanda ini.Politik semacam ini hanya menimbulkan kekacauan
dimasa depan. SebaiknyaPemerintah Belanda segera melaksanakan penyerahan administrasi
atas Irian Baratkepada Republik Indonesia,secara yang saya singgung dalam pidato saya pada
tanggal 17 Agustus yang laludi Jakarta dan dalam pidato saya di Konperensi Beograd. Itulah
jalan yang lebih baik. Cara ini dijamin normalisasi hubungan antara Republik Indonesia dan
Belanda.[8]
Gambar. 1.13 : Peta PBB tahun 1946 tentang Pembagian Daerah Tak Berpemerintahan Sendiri Sesuai Artikel XI
Piagam PBB
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/UN_Non-Self-Governing_Territories.png
Asia Tenggara.
karena posisi Indonesia di Asia Tenggara sangat strategis untuk pelayaran dan
mengirim Surat Rahasia ke Mr. Bundi Assisten Pribadi President John. F. Kennedy
menghapus Hak Pribumi Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri agar Soekarno
Belanda dan Indonesia pada tanggal 20 Maret 1962 untuk penyelesaian masalah
Nederland New Guinea, muncul tekanan kepada President John. F. Kennedy dari
Army (Angkatan Darat Amerika), the Navy (Angkatan Laut Amerika), the Air Force
(Angkatan Udara Amerika), the Joint Staff (Staff Gabungan), and NSA pada tanggal
7 Maret 1962. Kemudian mereka telah menunjuk Diplomat Amerika yang berhasil
PBB tetapi Indonesia menolak karena mereka tidak ada dasar yang jelas untuk
mengklaim wilayah Papua. Dan bahkan di muka Sidang Umum PBB pun, Indonesia
Piagam 73 PBB tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang Papua yang
berbeda kulit, rambut, dan ras dari warga Negara Indonesia lainnya. Akhirnya,
bayaran dari Soekarno lalu menekan Belanda melalui surat Rahasia tanggal 2 April
1962.
Berikut adalah surat rahasia President John. F. Kennedy yang mendesak Perdana
Nieuw Guinea ke Indonesia dan Indonesia akan mejamin hak untuk Penentuan Nasib
Sendiri bagi rakyat Penduduk Asli Papua sesuai dengan usulan Menteri Luar Negeri
Gambar. 1.14 : John. F. Kennedy (Kiri) dan Mr. Ellsworth Bunker (Kanan)
Saya telah mengikuti dengan seksamamasalah yang dihadapi pemerintah Tuan selama beberapa
minggua terakhir, dalamupaya mencari penyelesaian yang baik guna mengakhiri pertikaian
dengan Indonesia mengenai pelepasan wilayah Nieuw Guinea.Saya merasa prihatin dengan
penghentian PEMBICARAAN-PEMBICARAAN RAHASIA antara wakil-wakil anda dan
Indonesia.Namun demikian saya tetap percaya akan adanya kemungkinan penyelesaian
secaradamai antara kedua belah pihak bersedia melanjutkan kembali perundingan-
perundingantersebut atas dasar saling perycaya.
Namun demikian, kita sedang menghadapi bahaya dimana peningkatan kekukatan militer bakal
memicu timbulnya perang terbuka di wilayah tersebut.
Konflik semacam itu akan menimbulkan dampak permusuhan yang bakal mempengaruhi proses
penyelesaian masalah tersebut pada semua tingkatan.
Akan terjadi perang terbuka, dimana baik Belanda maupun pihak Barat bakal kalah dalam arti
sesungguhnya. Apapun akibat dari pertentangan militerini tapi yang jelas posisi dunia bebas di
kawasan Asiaakan hancur berat. Hanya Komunis sajalah yang akan memetik manfaat dari
konfliksemacam itu. Jika Pasukan Indonesiatelah bertekad untuk memerangi Belanda, maka
semua unsure moderat baik di dalamtubuh Angkatan Perang maupun di dalam negeri, akan
menjadi rapuh dan sasaranempuk bagi intervensi komunis. Jika Indonesia takluk kepada komunis
dalamkeadaan seperti ini, maka seluruh posisi non-komunis di Vietnam, Thailand, danMalaya
akan terancam bahaya, padahal kawasan tersebutlah yang saat ini justrumenjadi pusat perhatian
Amerika Serikat.
Kami memahami posisi Belanda yang ingin mundur dari wilayah tersebut serta kerelaanya jika
akhirnya wilayah tersebut harus beralih kepada penguasaan Indonesia.Namun demikian,
pemerintah Belanda telah bertekat mengupayakan kepemimpinan Papua sebagai jaminan atas
HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI bangsa Papua, dan StatusPolotiknya dimasa akan datang.
Pihak lain Indonesia telah menyampaikan pada kami tentang keinginanannya untuk mengambil
alih secaral angsung pemerintahan atas wilayah itu, sekaligus memberikan kesempatan
kepadaRakyat Papua untuk Menentukan sendiri Nasib Masa Depannya. Jelaslah bahwa posisi
kedua pandangan ini tidaklah jauh berbeda bagi suatu penyelesaian. TuanEllsworh Bunker, yang
dalam masalah ini telah bertindak sebagai perantara PERUNDINGANA-PERUNDINGAN
RAHASIA Belanda-Indonesia, telah menyiapkan suaturumusan yang akan mengatur pengalihan
Administrasi Pemerintahan wilayah tersebut kepada PBB. PBB kemudian akan mengalihkan
Pemerintahan kepada Indonesia setelah kurun waktu tertentu. Pengaturan-pengatruan tersebut
akan mencakup ketentuan-ketentuan dimana RAKYAT PAPUA, SETELAH JANGKA WAKTU
TERTENTU, AKANDIBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENTUKAN NASIBNYA
SENDIRI. PBB akan dilibatkan dalam tahap penyiapan maupun tahap pelaksanaan PENETUAN
NASIB SENDIRI.
Pemerintah kami sangat tertarik akan hal ini dan meyakinkan anda bahwaAmerika Serikat
bersedia memberikan bantuan seperlunya kepada PBB saat rakyat Papuamelaksanakan
Penentuan Nasibya Sendiri. Dalam keadaan seperti ini, serta didorong-didorong oleh tanggung
jawab kami terhadap Dunia Bebas (non komunis),saya mendesak dengan sangat AGAR
PEMERINTAH BELANDA MENERIMA RUMUSAN yang digagaskanoleh Tuan Bunker.
Kami pun tentu akan menekan pemerinatah Indonesia sekuatnya, agarmenyetujui pengadaan
perundingan ? perundingan lanjutan berdasarkan rumusantersebut diatas.
Saya menyampaikan ini dengan tulus dan penuh kepercayaan, dan berharapbahwa itulah yang
tepat dalam menjaga jalinan hubungan antara kedua Negara kitasebagai sahabat dan sekutu.
Yang mendorong saya adalah keyakinan saya bahwademi kepentingan saat ini, maka kita jangan
sampai kehilangankesempatan-kesemptan baik bagi perundingan-perundingan damai bagi
penyelesaianmasalah yang menyakitkan ini.
Hormat saya,
di Den Haag
Dengan adanya penekanan ini maka Belanda terpaksa menanda tangani Perjanjian
lagi ke Indonesia, tetapi harus diberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Self
Determination) kepada rakyat penduduk Asli Papua (West Papua Indigenous Peoples) bahwa
apakah mereka ingin menyerahkan Administrasi Negara Papua
untuk dipimpin oleh Indonesia selama kurun waktu tertentu atau administrasi Negara
itu diurus oleh Bangsa Papua sendiri?. Namun proses pelaksanaan Penentuan Nasib
Sendiri tersebut diubah dari aturan internasional menjadi aturan Indonesia karena
alasan Kondisi Geografis serta keadaan Ekonomi dan Sosial Penduduk Papua masih
rendah jadi tidak dimungkinkan untuk pelaksanaan Self Determination itu sesuai
judul Restoration of Irian Jaya Into Republic Indonesia (Pengembalian Irian Jaya
Pada masa Pemerintahan UNTEA, pernah dilakukan uji coba jajak pendapat di
Merauke sesuai dengan Praktek Internasional sesuai Perjanjian New York tetapi
hasilnya semua rakyat Penduduk Asli Papua yang berada memilih untuk Menolak
Indonesia. Maka, dibuat lagi suatu perjanjian rahasia oleh Amerika, Indonesia dan
Belanda di Roma (Ibu Kota Negara Italia) pada 30 September 1962. Yang mana,
Referendum atau yang dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
direncanakan pada tahun 1969, dibatalkan saja atau bila perlu dihapuskan.
Indonesia menduduki wilayah Papua Barat hanya selama 25 tahun saja, terhitung mulai
tanggal 1 Mei 1963.
Pelaksanaan PEPERA dilakukan sesuai dengan Praktek Parlemen Indonesia, yaitu
melalui Sistem Musyawarah.
Hasil PEPERA diterima di muka umum sidang PBB tanpa da ada perdebatan.
Amerika berkewajiban untuk menanam Saham untuk mengeksplorasi kekayaan alam di
Papua Barat demi kemajuan daerah tersebut..
Amerika memberikan bantuan sebesar US $. 30 juta melalui jaminan kepada
ADB (Asian Development Bank) untuk pembangunan Papua selama 25
tahun.
Sedangkan Operasi Tumpas selama masa jabatan Jenderal Kartidjo dan Bintoro
pada tahun 1964 – 1968 sebelum Proses Penentuan Nasib Sendiri (PEPERA
1969) tidak pernah dilaporkan juga di muka umum Sidang PBB. Operasi ini
adalah Operasi yang paling banyak menimbulkan korban Rakyat Papua karena
pada waktu itu telah terjadi Gerakan Perlawanan Rakyat Papua mulai dari
Jayapura tahun 1963 dibawah pimpinan Aser Demotokay hingga yang paling
parah di Kebar tanggal 26 Juli 1965 dibawah Pimpinan Yohanes Jambuani dan
Benyamin Anari serta di Arfai 28 Juli 1965 yang dibawah pimpinan Permenas
Fery Awom. Operasi Tumpas dilakukan agar bisa menumpas semua gerakan
ditunjuk langsung oleh Militer Indonesia kemudian para anggota DMP itu
dengan keluarganya atau orang lain. Dalam penampungan itu, mereka setiap hari
adalah ucapan Ali Murtopo kepada para anggota DMP yaitu Jakarta sama sekali
tidak tertarik dengan orang Papua tetapi Jakarta hanya tertarik dengan Wilayah
Irian Barat. Jika inginkan Kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah
agar diberikan tempat di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati
Sumber: http://swaramuslim.com/images/uploads/tokoh_sejarah/Ali_Moertopo1.jpg
Roma yang ditanda tangani pada tanggal 30 September 1962 ? yang menyatakan
bahwa Proses Jajak Pendapat atau Act of Self Determination atau PEPERA
di muka Sidang Umum PBB tanpa ada perdebatan serta Indonesia mengurusi
Administrasi Negara Papua hanya berlaku selama 25 tahun, terhitung mulai tanggal
adalah merupakan salah satu Proses yang memalukan PBB sendiri sebagai
Organisasi Pembela Keadilan dan HAM di dunia serta Indonesia dan Amerika
karena telah ikut melanggar Hak-hak Sipil dan Politik maupun Hak-hak Penduduk
Sipil dan Polik serta Deklarasi PBB tentang Hak-hak Penduduk Pribumi. Selain
itu, mereka juga telah melanggar Perjanjian New York Pasal 18 yang ditanda tangani
di Gedung PBB tanggal 15 Agustus 1962 karena membatasi 1026 orang peserta
Referendum 1969 yang terdiri dari Penduduk Pribumi dan Non Pribumi serta tidak
Sumber: DEPEN RI
Oleh karena itu, tidaklah salah jika DR. John Salford menuliskan dalam sebuah
buku yang berjudul United Nation and Indonesia Takeover West Papua by Act of No
Choice In 1969 (Indonesia dan PBB Merampas Papua Barat melaui Jajak Pendapat
yang Tidak Bebas). Resolusi 2504 Majelis Umum PBB juga tidak mengesahkan
Hasil PEPERA 1969 tetapi Resolusi tersebut hanya berisi tentang Perjanjian Antara
Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Mengenai Guinea Baru Barat (Agreement
Between the Republik of Indonesia and the Kingdom of Nederland Concerning West
New Guinea) dan hanya mencatat (Take Note) Laporan Utusan PBB tentang Hasil
PEPERA 1969 seperti pada cuplikan teks Resolusi 2504 di bawah ini.
Gambar. 1.17: United Nations Resolution 2504
Sumber: http://www.un.org
Dengan adanya bukti Resolusi 2504 ini, maka jelaslah bahwa alasan yang
Indonersia (DEPLU RI) adalah sesuatu yang sangat tidak logis. Yang mana ia
mengatakan bahwa Papua berbeda dengan Timor Leste dimana Papua tidak pernah
ada dalam Daftar Daerah Dekolonisasi seperti Timor Lester (Lihat Lampiran Daftar
Trust & Non Self Government Territory 1945 - 1999). Serta beliau mengatakan
bahwa bahasa Take Note of the Report of Secretary General merupakan bahasa yang
Kekuasaan NKRI. Beliau mengomentari tuan Aktifis Papua Ottis Simopiaref yang
bagian dari NKRI tetapi Resolusi itu hanya berisi tentang Pencatatan Laporan utusan
Jika memang Papua Barat adalah bagian dari NKRI, maka seharunya disahkan
melalui Undang-Undang untuk menjadi Provinsi ke-26 dalam NKRI. Hal yang sama
terjadi kini untuk pendirian Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi ke-33 NKRI.
Gambar. 1.18: Tahanan Pribumi Papua oleh TNI AD di Tahanan Militer Ifar Gunung sebelum
PEPERA 1969
Sumber: Center for Peace and Conflict Study – The University of Sydney
Oleh sebab itu, setelah selesai Jajak Pendapat tahun 1969 maupun setelah
berintegrasi pada 1 Mei 1963, Indonesia menjadikan Provinsi Papua sebagai Provinsi
ke-26 Republik Indonesia tidak melalui suatu Undang-Undang tetapi hanya melalui
PENPRES No. 1 tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura
(Lihat lampiran PENPRES No.1 Tahun 1963) dan INPRES No. 1 Tahun 2003 untuk
1963 dan KEPRES No. 2 (Rahasia) telah memberikan Otonomi Khusus Papua
dengan mata uang sendiri Irian Barat Rupiah (IB. Rp) untuk menggantikan mata
uang Niuew Guinea Gulden tetapi kemudian dicabut oleh Orde Baru melalui
Ketetapan MPRS No.21 Tahun 1966 Pasal 6, yang berbunyi Kedudukan Khusus
Produk President (PENPRES No. 1 Tahun 1963 dan INPRES No.1 Tahun 2003)
yang tidak memiliki kekuatan hukum ini tidak pernah diusulkan untuk menjadi
memang Papua adalah wilayah Nederlands Indie seperti yang dikampanyekan saat
ini oleh Departemen Luar Negeri Indonesia, maka seharusnya wilayah ini disahkan
oleh NKRI melalui Undang-Undang untuk menjadi Provinsi ke-26 (Provinsi Papua)
Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini terbukti
dengan adanya banyak pelanggaran HAM yang tidak ada tindakkan hukum kepada
Tower dekat Pelabuhan sehingga 150 orang Hilang, Kasus Pembantaian Mapenduma
1996 dengan membayar tentara bayaran dari Inggris serta pemakaian Helikopter
Palang Merah Internasional (ICRC), Kasus Pemboman Wamena Tahun 1977 melalui
Operasi Kikis, Kasus Pembantaian 1965-1968 Base Camp dekat Markas Kompi 751
Arfai oleh TNI melalui Operasi Tumpas, Kasus Operasi Militer di Jayapura sehingga
sekitar 5000 orang melintas batas ke Papua New Guinea, Kasus Penyerangan Polsek
Abe yang dimanipulasi untuk memadamkan gerakkan Mahasiswa yang tiap hari
Ilegal Logging, Ilegal Pertambangan seperti PT. Freeport yang telah menanda
tangani Kontrak Pertama pada tahun 1967 sebelum diadakannya Jajak Pendapat
Ras Bangsa Papua), Perburuan Liar oleh Militer & Polisi Indonesia, Pendudukan
Kursi Legislatif di Pusat dan Daerah oleh Non Papua, Perampasan Hak atas Tanah
dan Swasta oleh Non Papua, Intimidasi Para Aktivis LSM dan Aktifis Papua
Pendidikan Nasional Indonesia, dll. Semuanya itu menjadi hal yang biasa dan wajar
saja di atas Tanah Papua yang dijajah ini. Akibatnya, jumlah penduduk Pribumi
Papua yang mana pada tahun 1963 berjumlah 1.000.000 (700.000 terdaftar bayar
(Gabungan Pribumi dan Non Pribumi) pada tahun 1969 hingga sensus penduduk
tahun 2000 masih tetap berjumlah 1.000.000 (Satu Juta).23 Sedangkan penduduk
pendatang yang mana tahun 1963 masih 0 tetapi pada sensus penduduk tahun 2000
berjumlah 1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu). Hal ini merupakan bukti bahwa
telah terjadi Genosida (Pembasmian Suku Bangsa Papua) terhadap rakyat Pribumi
Papua.
Gambar. 1.20: Penembakkan Yustinus Murib oleh Militer Indonesia pada 5 November 2003
(Kiri) Dan Seorang Warga Papua pendukung Bupati David Hubi di Wamena yang ditembak
Polisi Indonesia.
Sumber: Center for Peace and Conflict Study – The University of Sydney
B. Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang Masalah di atas, maka Penulis dapat MerumuskanMasalah yaitu sebagai
berikut:
1. Mengapa Konflik Papua yangberkepanjangan ini tidak pernah terselesaikan secara adil
dan benar sesuaidengan Hukum Internasional yang berlaku?
2. Apakah Klaim Indonesia atas Kerjaan Majapahit, Sultan Tidore,dan Bekas Hindia
Belanda merupakan wilayah Kekuasaan Indonesia? Jika demikian, dimanawilayah
penduduk Pribumi Papua? Apakah di Bulan?
3. Apakah Proses Penentuan NasibSendiri Tahun 1969 Sudah Sesuai Dengan Aturan
Hukum Internsional tentangProsedur Jajak Pendapat?
4. Mengapa Harus Ada Operasi Tumpas Dari Tahun 1964 ? 1968Sebelum Diadakan
Penentuan Nasib Sendiri Tahun 1969?
5. Apakah Rakyat Pribumi Papua tidakmemiliki hak yang sama seperti penduduk Pribumi
di daerah lainnya di permukaanbumi ini?
6. Apakah Papua Tidak Pernah Ada DiDalam Daftar Dekolonisasi Seperti Yang Dikatakan
Oleh Departemen Luar Negeri Indonesiadalam Bukunya yang berjudul ?Kajian Hukum
Papua Dalam NKRI ??.
7. Masalah Papua adalah masalahInternasional karena terlibatnya beberapa Negara seperti
Indonesia, Belanda,Amerika, Rusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena telah
melanggar HakPribumi Papua Melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Proses
PenentuanNasib Sendiri Tahun 1969.
8. Bagaimana mencari solusi untukmenyelesaikan konflik Papua yang telah berlangsung
selama ± ½ abad ini?
C. Tujuan Penelitian
Untuk menambah wawasan tentang Latar Belakang Sejarah Papua dan akarpermasalahan konflik
yang terjadi selama ini serta menjadi sebuah usulan solusiuntuk penyelesaian Konflik Papua.
E. Kajian Pustaka
Masyarakat Pribumi adalah sekelompok masyarakat yang hidup di suatutempat sebelum adanya
kedatangan bangsa-bangsa luar.
Mereka memiliki hak atas tanah dankekayaan alamnya sebagai peninggalan dari Nenek Moyang
mereka.
Diperkirakan ada sekitar 300 (TigaRatus) Juta Penduduk Pribumi (IndigenousPeoples) yang
menempati wilayah permukaan bumi ini, seperti PendudukPribumi Aborigin dari Australia,
Penduduk Pribumi Indian dari Amerika, dll.
Tuhan telah menciptakan manusia danmemberi tempat kepada mereka masing-masing namun
bagi mereka yang memilikibanyak kekayaan alam akan menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa
seperti tertulisdalam kita Ulangan di atas.
Menurut dua orang Pendeta Spanyol (Fransisco Victoria dan Bartholomeo)yang berlayar
bersama-sama dengan para Penakluk Dunia (Conquistadores), mereka menyatakan bahwa
Penduduk Asli Amerikamemiliki Hak yang sama seperti kami bangsa Spanyol karena pada
waktu itu,mereka (bangsa Eropa) manganggap bahwa orang-orang di luar mereka adalahorang-
orang yang tidak beradab (Uncivilized)untuk dijadikan sebagai objek jajahan. Dan hingga saat
ini pun, banyak orangkulit putih menganggap bahwa orang kulith hitam adalah orang-orang yang
tidakberadab juga.
Apa yang dikatakan oleh merekaberdua terus menggema dalam sejarah dunia sehingga pada
tahun 1948, MasyarakatInternasional telah menyepakati disusunnya Deklarasi Universal Hak
AsasiManusia secara Umum pada tanggal 10 Desember 1948 untuk penghapusan Penjajahandi
muka bumi.
Namun pada kenyataannya, ternyatamasih ada beberapa daerah yang masih merasa terjajah
walaupun setelahterbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (UnitedNations) dan Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak AsasiManusia (United Nations Universal
Declaration on Human Rights).
Mereka yang merasa terjajah iniumumnya adalah Masyarakat Pribumi karena tenaga mereka
dipakai sebagai pekerjapaksa demi kepentingan negaranya. Oleh sebab itu, UN of ILO (United
Nations of International LabourOrganization) atau Organisasi Buruh Internasional Perserikatan
BangsaBangsa (PBB) berusaha mengkondisifikasikan hak-hak Penduduk Asli (Indigenous
Peoples), khususnya yangberhubungan dengan ketenaga kerjaan. Instrument yang pertama kali
disusun olehUN of ILO tentang subyek ini adalah Indigenousand Tribal Population Convention
No. 107 Tahun 1957. Konvensi ini memuathak-hak Indigenous Peoples (IP) atasTanah mereka,
Kondisi Kerja, Kesehatan, dan Pendidikan Masyarakat Pribumi.Hingga kini tercatat lebih dari 27
Negara yang meratifikasikan Konvensi ini. Kemudiandilengkapi lagi dengan Convention No.
169 yang lebih menegaskan bahwa carahidup IP harus dipertahankan. Selain itu juga
menegaskan bahwa IP danlembaga-lembaga mereka harus dilibatkan dalam segala keputusan
dan perencanaan pembangunan yang akan mempengaruhi hidup mereka. Hingga kini sudah lebih
dari10 negara yang meratifikasikan konvensi ini. Oleh karena itu, UN of ILOmembentuk dua
bidang konsentrasi untuk membantu IP yaitu IndiscoProgramme (Untuk membantu peningkatan
ekonomi IP) dan Political and Human Rights (Untuk membantu penyelesaianmasalah-masalah
Politik dan Hak Asasi Manusia). Instrument hukum internasionallain yang sedikit menyinggung
tentang hak-hak IP adalah Convention on Biodiversity Tahun 1992. Konvensi ini
lebihmenekankan pemanfaatan pengetahuan, inovasi, dan teknik-teknik tradisionaluntuk
melestarikan keanekaragaman biologis. Penjabaran selanjutnya dariDeklarasi Umum tentang
Hak Asasi Manusia untuk melindungi hak-hak masyarakatPribumi yaitu dikeluarkannya
InternationalConvention on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentangHak-hak
Sipil dan Politik) tahun1966. [14]Konvensiini cukup signifikan dalam konteks perlindungan
terhadap hak-hak Masyarakat Pribumi.
Kemajuan yang lebih dasyat lagi yaitu setelah dibentuk Working Group on Indigenous
Population (WGIP)dibawah Komisi HAM PBB (United NationOrganization High Commissioner
for Human Rights) sehingga melahirkan United Nations Permanent Forum on IndigenousIssues
(UN of PFII) yang disahkan pada tanggal 28 Juli 2000 oleh DewanEkonomi dan Sosial PBB
(United Nation ofEconomic and Social Council) dengan Resolusi No. 22/2000. Amanat
ForumPermanent ini adalah untuk membahas isu-isu yang berhubungan denganPembangunan,
Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Kesehatandan Hak Asasi Manusia
Pribumi. Sidang Pribumi di forum Permanent PBB (UN ofPFII) pertama diadakan pada bulan
Mei Tahun 2003 di Markas Besar PBB. Sidangini akan diadakan setiap tahun setiap bulan Mei
langsung di Markas Besar PBB, New York ? AmerikaSerikat.
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Pribumi berhasil dengan suara terbanyak144 Negara
mendukung, 4 menolak, dan 11 abstain. Ke-4 negara yang menolakadalah Negara bekas koloni
Inggris yaitu Amerika,Australia, Selandia Baru danCanada.Negara-negara yang abstain adalah
Azerbajian, Bangladesh, Bhutan, Burundi,Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Rusia, Samoa,
dan Ukraina. Sedangkan 43 NegaraAnggota PBB lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara
tersebut.
Komisi HAMPBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU
PBBpada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas keduarancangan
Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untukmemublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapatmempelajarinya secara mendalam dan khalayak
dapat menyatakan pandangannyasecara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan
agar Komite III PBBmembahas rancangan naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun
1955.Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenanitu
baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember1966, dengan
resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hakSipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentangHak-hak Sipil dan Politik dan
Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya. Kovenan Internasionaf tentang Hak-hak
Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional
*Oleh:Turius w
Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau
paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah
Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik multi
dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah konflik
multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya dengan adil.
Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran HAM
yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40 persen
penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya manusia
yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti, praktek-praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek manajemen negara
atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua — episode pertarungan
Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh dalam hal ini –,
pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga pencurian sumber-
sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah merupakan beberapa aspek
konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat jika hendak mencermati masalah
Papua secara tuntas.
Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua,
dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak
pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan
politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya
perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun
1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat,
Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima decade
terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang
muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi mereka di
Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu maka dapatlah
dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta politik global yang
harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah perubahan yang
kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.
Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat negosiasi-
negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan tampak dengan jelas.
Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai agen-agen imperialis seperti
AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi kekuatan imperialis (konspirasi
modal asing) dalam mengintervensi masalah politik Papua yang menghendaki
Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan
menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua.
Latar belakang deal-politik mengenai status politik Papua yang demikian, jelas
sekali menjadi latar sejarah yang dominan dalam masalah Papua.
Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic internasional
ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua. Sebagai contoh,
tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua, berdasarkan intervensi AS,
berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka dengan dipaksakannya pelaksanaan
proposal Bunker — proposal ini dirancang oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat
senior AS di PBB — yang mengatur mengenai aksi politik penyelesaian masalah
Tanah Papua.
Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya
menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962. Proposal
Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor 1752 dalam
Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada tanggal 24
September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah ketetapan
mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua yang dalam
beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.
Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena
kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam
penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi
ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang
dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia
Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30 September 1962, tepat
seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.
Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib sendiri
agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua selama 25
Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of Free Choice
digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS
berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi
eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank
Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar
AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui Bank
Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka
penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.
Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh atau inti
dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai
Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat menjadi dasar
sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil dibawah
pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang mengenai
pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya berawal
dari dan bermula dari sini.
Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia
Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang
anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi
ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan
Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia
yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian
mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes
Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang
ditelitinya pada tahun 1960.
Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang
dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa
orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah
kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan
Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan kepada
pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi yang
memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua — sebagai
daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru — menjadi
pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh Indoneia
sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.
Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang investasi
modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran Freeport McMoran
Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan bernafsu untuk
melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali juga banyak
yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai sekarang masih
bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk memperoleh
dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan pijakkan kekuasaannya atas
wilayah ini.
Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport
melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya
(kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh
pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak Freeport
itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada saat itu aksi bebas
memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘penentuan
pendapat rakyat’ (pepera) belum dilakukan dan wilayah Papua secara de jure
belum berada dalam kekuasaan NKRI.
Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan Indonesia
mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah
diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang memberatkan dalam
rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu kehadiran Freeport dan
kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia dikemudian hari melahirkan
dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang
pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi
Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu adalah dikeluarkannya UU No.1
Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun
1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan) . Kedua paket kebijakan
ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi
nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio
Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya.
Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah
perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa dibenarkan
pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh Indonesia dalam
rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS, untuk memasukkan
Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat ini menimbulkan konflik
tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan tergadainya hak-hak politik
mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan yang diperbudak
modal asing.
Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal
Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada
tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis mengemukakan
pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu adalah merupakan
wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak merubah metode eksploitasi
ekonominya.
Pada tahun 1960-an dalam metode eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah
pembangunanisme atau developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan
1980-an akhir kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah
pendekatan yang disebut liberalisme pasar.
Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi
induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara dunia
ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien
bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme global.
Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum
imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk merontokkan
mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi memberi
keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi negara-negara
induk kapitalis.
Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan
melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai ketidakadilan,
praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi,
pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai pelanggaran hak asazi
manusia yang sangat identik dengan kekuasaan fasis-militeristik orde baru.
Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak reformasi
itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk
menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan dengan
paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang telah
melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua,
ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi oleh
rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua secara rutin
tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai eksploitasi sumber
daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat bagian dengan jumlah
tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang menyakitkan.
Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat. Tidak
ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan baru untuk
tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses eksploitasi
ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan eksis.
Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan
paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi Khusus bagi rakyat
Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia dapat selesaikan
masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus Papua yang merupakan
paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia, bagi para pemilik modal asing,
memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi mereka
serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman modal dan eksploitasinya di
Papua.
Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam paket
Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada
pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru, sentralisasi
ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek korupsi yang menggila,
dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan aman memutus budaya
korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara langsung dengan
Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket Otsus, pemodal asing
bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa harus melalui Jakarta,
jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini. Bukan tidak mungkin, jika Otsus
dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan
menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang.
Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan
beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka
tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas
keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong
pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.