Anda di halaman 1dari 73

KONFLIK PAPUA

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah studi masyarakat indonesia)


Yang diampu oleh Dosen Indah Meitasari M.si

Disusun Oleh :

Siska Veni Regina (160109500)


Rahmah Oktaviana (1601095007)
Yessy Azlia (1601095008)
Zhidni Ayuki Putri (1601095011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019
1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua.
Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang antara
masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari
adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat Papua,
pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua
konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan
sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan
yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan
terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah mengurangi
bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan
sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber
protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi
masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai
contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska,
sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan
proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan
peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih
orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi
pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua
dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor
swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam
(SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik
Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di
Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang.
c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal
Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal.
Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali
dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui aparat militer
melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai
hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut,
menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror, penyiksaan,
dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-
hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi,
pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha
mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di
Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat
Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci
adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di
Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia
bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak
menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah
meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini,
namun justru memperkuatnya.
2. Sejarah Konflik Papua
1960 - 2000

 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak


 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan
Inanuatan.
 Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan
melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-
diperkosa.
 Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa
untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak

 Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan
desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah
dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin
ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
 pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari
desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman
makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari
kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok
Monemane. Dsb.

2000 - 2010

 Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari
Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
 Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis,
beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
 Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan
beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan
busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
 Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport
McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.

3. Dampak dari konflik Papua


Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus
memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua
akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang
siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap
untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan
masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat
umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari
terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah
separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi,
sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga
raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal
dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai
menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir masuknya
pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan
menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran.
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat,
terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin
menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian
dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar
agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari
terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan
melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran
agama.
4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan
istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk
perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang dimulai sejak awal
pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan
sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai
Daerah Operasi Militer (DOM).
b) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama
yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda
adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah
seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa
Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu
membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik
kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada
beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik,
sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk
memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat
akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak
efektif.
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan
agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah
dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap
agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak
lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah
administratif lebih lanjut.
6. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang
memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti
kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling
percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara
jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua demi
terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi, umumnya
dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada
semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang
terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau
mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang
disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk
wasit penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak
dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan
timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau dengan
penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik
melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan
pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses
negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
5. Bentuk konflik di Papua
1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat adanya kesenjangan
social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah paham atau
penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau
penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta
pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.

6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua


Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua
dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya
berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar
warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama
otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman.
Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi
pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua
merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat, kelaparan
dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat pendidikan di wilayah
Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab
konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak
internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan
menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan
pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi
kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak
mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah
lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting
dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar
masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar
memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan menilai kebijakan
yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait lainnya
untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara intensif dan
berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan
pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara
seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar,
bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat
tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-angan dari
kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.

KONFLIK PAPUA
Konflik Papua adalah konflik di Provinsi Papua di Indonesia. diawali pada tahun 1961,
muncul keinginan Belanda untuk membentuk negara Papua Barat terlepas dari
Indonesia,[4] Langkah Belanda ini dilawan Presiden Soekarno dengan mendekatkan diri
pada negara komunis terutama Uni Soviet.[5] Sikap Soekarno ini membuat takut
Belanda dan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Sebab jika itu dibiarkan maka
Indonesia sangat mungkin menjadi negara komunis terbesar di Asia Tenggara.[6][7]
Ketakutan itu lalu membuat Belanda mengambil sikap untuk menyerahkan masalah
Papua ke PBB. Dari dan melalui PBB, Belanda mengambil sikap untuk keluar dari
papua dan tidak jadi mengambil, merebut dan menjajah Papua lalu Papua diserahkan
"kembali" ke Indonesia dengan syarat memberi kesempatan pada rakyat Papua untuk
menentukan sikap sendiri atau referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA).
Lewat PERPERA tahun 1969, rakyat Papua memilih "tetap" dalam lingkungan Republik
Indonesia.
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi adat didirikan
pada tahun 1965 untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri dan pemisahan diri
Papua dari Republik Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora dan
berbicara dalam mendukung tujuan OPM adalah dilarang kegiatan di Indonesia, yang
dapat dikenakan biaya dari "Makar" (pengkhianatan)[8]. Sejak awal berdirinya OPM
telah mencoba dialog diplomatik, melakukan upacara bendera (ilegal menurut hukum
Indonesia), dan tindakan militan dilakukan sebagai bagian dari Konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan Bendera Bintang Kejora dan simbol lainnya
Kesatuan Papua yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan
Indonesia dimulai pada bulan Mei 1963 dengan Perjanjian New York.
Para pendukung organisasi menuduh orang-orang Papua tidak memiliki hubungan
etnis, budaya atau geografis dengan Indonesia, bahwa mereka adalah orang-orang
kolonial di bawah Resolusi PBB 1541 dan bahwa mereka berhak ketentuan Resolusi
PBB 1514. Menurut pendukung OPM, pemerintah Indonesia di Papua adalah
pendudukan militer.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa wilayah tersebut memilih untuk dimasukkan
ke dalam Republik Indonesia dengan referendum yang dikenal sebagai Tindakan
Pemilihan Bebas pada tahun 1969. Pernyataan ini ditolak oleh para pendukung
organisasi yang menuduh Tindakan Pemilihan Bebas tidak sukarela dan tidak mewakili
populasi.
Rangkuman Kejadian
Era administrasi sementara PBB (1962-1969)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Otoritas Eksekutif Sementara PBB
 15 Agustus 1962: Perjanjian New York oleh Kerajaan Belanda, Republik
Indonesia dan PBB. Wilayah Papua Barat diserahkan oleh Kerajaan Belanda
pada administrasi Otoritas Eksekutif Sementara PBB, diikuti dengan
pertempuran sporadis antara milisi / tentara pro-Indonesia dan pro-Belanda
hingga 1969.
 1966 - 1967: pengeboman udara Pegunungan Arfak
 Januari - Maret 1967: pengeboman udara wilayah Ayamaru dan Teminabuan
 1967: Operasi Tumpas, 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan
Inanuatan.
 April 1969: pengeboman udara Danau Wissel (daerah Paniai dan Enarotali);
14.000 selamat melarikan diri ke hutan.
Era Orde Baru
1969 - 1980
 Juli -Agustus 1969: Penentuan Pendapat Rakyat menentukan bahwa wilayah
Papua Barat adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
 Juni 1971: Henk de Mari melaporkan 55 pria dari dua desa di Biak Utara tewas.
Berita diterbitkan harian Belanda De Telegraaf, Oktober 1974.
 Tanpa sumber: 500 mayat ditemukan di hutan Kecamatan Lereh, barat daya
Bandara Sentani, Jayapura.
 1974: Di Biak Utara, 45 orang tewas.
 1975: Di Biak, setidaknya 41 orang dari desa Arwam dan Rumbin tewas.
 1977: pengeboman udara Akimuga (tambang Freeport McMoRan Inc.).
 1977 - 1978: pengeboman udara Lembah Baliem.
 April 1978: Enam mayat yang tidak dapat diidentifikasikan ditemukan di
kecamatan Dosai, Jayapura.
 Mei 1978: Lima pemimpin OPM tewas dan 125 penduduk desa ditembak karena
dicurigai simpatisan OPM.
 June 1978: 14 mayat korban tembak ditemukan di Barat Bandara Sentani,
Jayapura.
 Tanpa sumber: Biak Utara, 12 orang tertembak.
1980 - 1998
 1981: 10 tewas, 58 menghilang di daerah Paniai.
 Juni - Agustus 1981: Operasi Sapu bersih, populasi Ampas Waris dan desa
Batte-Arso menjadi korban.
 September-Desember 1981: 13.000 diduga tewas di dataran tinggi tengah.
 Juli 1984: Angkatan Laut, Udara, dan Darat menyerbu Desa Nagasawa / Ormo
Kecil, 200 orang tewas.
 Tanpa sumber: Bombardir dari laut di Taronta, Takar, dan desa pesisir Masi-
Masi; yang selamat melarikan diri ke arah Jayapura; pada 1950 dikuasai
Belanda dan masing-masing desa berpopulasi 1500-2000.
 24 Juni 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai, Danau Wissel, termasuk
115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa.
 1986 - 1987: 34 tertembak di Paniai / Wissel Lake District.
 8 Januari 1996: Krisis sandera Mapenduma, militan OPM yang dipimpin Kelly
Kwalik menyandera 26 orang di Irian Jaya [5], memicu Operasi pembebasan
sandera Mapenduma (dua sandera tewas) dan Insiden Penembakan Timika
1996 (16 orang tewas).
 9 Mei 1996: Krisis sandera Mapenduma, berakhir dengan serbuan Kopassus ke
Desa Geselama, di Mimika.
Era Reformasi
1998 - 2010

Warga berdemonstrasi di Den Haag, 2009.


 6 Oktober 2000: polisi merazia upacara pengibaran bendera di Wamena, massa
mengumpul dan dua warga non-Papua tewas dalam sebab tidak jelas. Massa
memulai kerusuhan ke lingkungan migran dari daerah lain di Indonesia,
membakar dan menjarah toko-toko. 7 warga Papua tertembak dan 24 warga
non-Papua tewas.[9]
 11 November 2001: ketua Presidium Dewan Papua, Theys Eluay, ditemukan
tewas di mobilnya di luar Jayapura setelah hilang diculik.[10]
 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang sekelompok profesor Amerika. 3
tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menduga OPM yang bertanggung
jawab.[11]
 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, 42
orang ditangkap.
 15 Oktober 2004: pemberontak menewaskan enam warga sipil dalam serangan
di Puncak Jaya.[12]
 16 Maret 2006: Tiga polisi dan seorang pilot tewas dan 24 orang lainnya cedera
dalam bentrokan dengan warga papua dan mahasiswa yang telah menuntut
penutupan tambang Grasberg Freeport di Provinsi Papua.[13]
 Pada tanggal 9 Agustus 2008: Di Wamena, satu orang, Opinus Tabuni (kerabat
Buchtar Tabuni), tewas tertembak peluru kepolisian Indonesia yang dipicu
pengibaran bendera Bintang Kejora oleh aktivis di sebuah demostrasi besar
yang diorganisir oleh DAP (Dewan Adat Papua) dalam Hari Internasional
Masyarakat Adat Dunia.[14]
 4 Desember 2008: 4 warga Papua terluka oleh tembakan dari polisi dalam
demonstrasi menuntut kemerdekaan Papua.[15]
 29 Januari 2009: Sedikitnya 5 orang Papua terluka karena tembakan oleh polisi
saat demonstrasi.[15]
 14 Maret 2009: Satu personel TNI tewas dalam serangan terhadap pos tentara di
Tingginambut. OPM diduga bertanggungjawab.[16]
 Pada tanggal 8 April 2009: Beberapa bom meledak di sebuah jembatan dan
sebuah kilang di pulau Biak. Satu orang tewas.[15]
 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan
menciderai beberapa orang.[17] Sementara itu 500 militan menyerang pos polisi
dengan busur dan panah dan bom bensin. Satu orang tewas tertembak polisi. [18]
 11-12 April 2009: Pertempuran antara tentara dan militan Papua menewaskan
11 orang termasuk 6 anggota tentara. Pada saat yang sama, sebuah bom
dijinakkan di kantor polisi di Biak.[15]
 Pada tanggal 15 April 2009: Sebuah serangan terhadap sebuah konvoi polisi di
Tingginambut menewaskan satu orang dan melukai enam. OPM diduga
bertanggungjawab.[15]
 11 Juli 2009: Seorang karyawan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc warga
Indonesia tewas ditembak dalam serangan di luar perusahaan tambang itu di
Papua.[19]
 Juli 2009: insiden pengibaran bendera Papua Barat oleh OPM di desa Jugum,
kemudian lebih dari 30 rumah dibakar dalam sebuah operasi TNI.[20]
 12 Agustus 2009: Sebuah konvoi 16 bis karyawan Freeport-McMoRan Copper
disergap. Dua orang tewas dan 5 luka-luka.[21]
 Pada tanggal 16 Desember 2009: pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Kelly Kwalik tewas ditembak oleh kepolisian Indonesia saat operasi penyerbuan
di Timika.[22]
2010-an
 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi karyawan perusahaan
tambang PT Freeport McMoran. 9 orang terluka, OPM menyangkal bertanggung
Jawab.[23]
 1 Maret 2010: Asosiasi Papua Barat Australia di Sydney mengatakan bahwa
situasi di Papua Barat memburuk. Sejak Juli tahun lalu telah terjadi 14 insiden
penembakan di sekitar tambang Grasberg, tambang emas dan tembaga milik
Freeport, dan serangan ini telah menewaskan sedikitnya 3 dan melukai 13
orang.[24]
 23 Maret 2010: Pemberontak menyerang sebuah konvoi tentara Indonesia.
melukai beberapa tentara.[25]
 Mei 2010: OPM diduga menewaskan 3 pekerja di sebuah lokasi konstruksi,
memicu sebuah operasi militer oleh TNI yang menyerbu sebuah desa, 2 tewas
dan seorang wanita diperkosa sementara rumah di 3 desa dibakar oleh militer. [26]
 17 Mei 2010: TNI menyerang markas militan OPM, menewaskan satu tersangka
militan.[26].
 21 Mei 2010: Militan menyerang anggota TNI di dekat Yambi, 75 km dari Mulia.
Tidak ada korban.[26]
 15 Juni 2010: Seorang perwira polisi Indonesia tewas tertembak saat patroli, 8
senjata api dicuri oleh pemberontak.[27]
 Juli 2010: 12 rumah dan dua gereja rusak dan seorang wanita diperkosa saat
operasi TNI untuk menangkap Goliath Tabuni.[28]
 23 Juni 2011: Seorang perwira polisi dari Jayapura ditembak oleh anggota yang
diduga dari OPM.[29]
 6 Juli 2011:. Tiga tentara ditembak saat bentrokan dengan penyerang tak dikenal
di Desa Kalome, Tingginambut.[30]
 20 Juli 2011: Seorang perwira TNI tewas dalam penyergapan terhadap pasukan
keamanan di distrik Puncak Jaya di Papua oleh pemberontak.[30]
 31 Juli 2011:. Pemberontak menyerang sebuah mobil di Papua dengan senjata,
kapak dan pisau menewaskan seorang tentara dan tiga warga sipil dan melukai
tujuh orang, OPM menyangkal bertanggung jawab.[31][32]
 1 Agustus 2011: Polri menyatakan bahwa anggota OPM menewaskan empat
warga sipil di dekat Tanjakan Gunung Merah, Paniai.[33]
 2 Agustus 2011: Seorang personel TNI yang menjaga sebuah pos militer di
Tingginambut tewas tertembak. Di kota Mulia dua penembakan terhadap target
polisi dan militer melukai seorang tentara.[34]
 3 Agustus 2011: Pemberontak menembak sebuah helikopter militer saat
mengevakuasi tubuh seorang prajurit yang diduga juga dibunuh oleh mereka. [34]
 22 Oktober 2011: Al Jazeera menerbitkan rekaman dari sebuah pertemuan
kemerdekaan yang diserang oleh pasukan keamanan Indonesia. Setidaknya
lima orang tewas.[35][36]
 2 Desember 2011: Seorang perwira kepolisian Jayapura ditemukan tewas di
samping sungai pada hari Kamis setelah ia diduga dibunuh oleh kelompok orang
yang bersenjata panah dan belati. OPM diduga bertanggung jawab.[37]
 5 Desember 2011:. Dua perwira kepolisian tewas di Puncak Jaya selama
tembak-menembak dengan tersangka anggota OPM.[38]
 12 Desember 2011: kepolisian menyergap markas grup lokal OPM. Polisi
menyita senjata api, amunisi, pisau, perlengkapan perang, dokumen, bendera
Bintang Kejora dan menewaskan 14 militan.[39]
 Juni 2012, Koordinator Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni
meninggal di rumah sakit setelah mengalami luka tembak dalam operasi
penangkapan oleh kepolisian Jayapura.[40]
 22 Februari 2013, sebuah helikopter TNI rusak akibat tembakan dari darat ketika
mencoba untuk mengevakuasi mayat personel yang tewas melawan OPM
sebelumnya. Setidaknya 3 anggota kru terluka. 8 personel TNI tewas dalam
tembak-menembak sebelumnya.[41]
1.Latar Belakang
LATAR BELAKANG KONFLIK PAPUA Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia
Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda
menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama
dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan
untuk menjadikan Papuanegara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan
mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akandibicarakan kembali dalam
jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua
Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73ePiagam PBB. Karena Indonesia
mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak.
Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat
program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain
adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada
1957. Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat
dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan
gubernurpertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6Maret 1959, harianNew York
Times melaporkan penemuan emas olehpemerintah Belanda di dekatlaut Arafura. Pada
tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun
tidakmenyebut kandungan emas ataupun tembaga.
BenderaPapua’Barat,sekarangdigunakansebagaibenderaOrganisasiPapuaMerdeka
Karenausaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter
gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai kehutanan, dan
pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai
1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan
rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik.
Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan
Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat
pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya,
Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan
Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional
untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai
Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua
dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur
Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18
November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember
1961. Pada 19Desember1961,Soekarnomenanggapi’pembentukan DewanPapuaini
denganmenyatakanTrikora di Yogyakarta, yang isinya adalah: Gagalkan pembentukan
negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di
seluruh Irian Barat Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan tanah air bangsa.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rimun.solowat/latar-belakang-konflik-
papua_55289030f17e61ba628b45c2

2. Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh
Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini
Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua
dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika
Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya
warga sipil Papua ke pemerintahan[3] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun
1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa
teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori
Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM
didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan
modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga
kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri! [sic]"[4]
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada
April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge
Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer
pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[5] Perjanjian New York dirancang oleh Robert
Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri
sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of
Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan
wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[6] Kelompok separatis
mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap
tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan tindakan seperti
ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan
penjara selama 7 sampai 20 tahun di Indonesia.[7]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional
Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara
Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.[8] Menurut Duta Besar
Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik
juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah di teritori
ini dan jumlah personelnya harus dikurangi sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan
bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan
85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak
menyukai orang Indonesia".[9]
Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free
Choice pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22
Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan
sistem satu orang, satu suara (proses yang dikenal dengan nama referendum atau
plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak
tercantum dalam Perjanjian New York 1962.[10] 1.025 tetua adat Papua dipilih dan
diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian New York. Hasilnya
adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Protes "Bebaskan Papua Barat" di Melbourne, Australia, Agustus 2012
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth
Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua
pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik
Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi
dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan
ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang
terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering
menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta bantuan dalam
rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan
OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan ancaman
mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar, memutus
kabel telepon dan listrik, membakar sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah
fasilitas perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.[1]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan
Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi
internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan internasional untuk
kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional seperti PBB, Gerakan
Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang
didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer
Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini
menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di
Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM
kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah anggota atau
simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal
Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan
di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur
pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga,
perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka membakar
pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian.
Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik,
merusak sistem sanitasi, dan membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati
lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer. [1]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan
sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp
hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau
Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia
membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[11]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak
oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga
sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia
memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di Papua.[12]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatera Barat.[13]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. [14]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram
obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut
diduga akan dijual di Jayapura.[15]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby
Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang
ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako
Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar
bandara. Semua korban adalah warga sipil.[16]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. [17]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban
adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun.
Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada.[18]
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima Tertinggi'
OPM adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto Ondawame,
mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan. [19] Jurnalis lepas
Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah kemerdekaan. [19] Tentara
Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap utama, 'Markas Besar
Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil, dan dipimpin oleh ML
Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini jauh lebih besar dan
beroperasi di seluruh Papua Barat.[19]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA), yang
diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi Victoria.
Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan Seth
Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden Pemerintahan
Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai Ketua Senat. OPM
mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena
sebagai struktural terorganisasi. Selama ini, Pemerintah Senegal mengakui keberadaan
OPM dan memungkinkan OPM untuk membuka Kedutaan di Dakhar, dengan
Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke Belanda.
Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame (waktu itu ia
meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam untuk dibunuh
oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari Jacob Prai. Itu
inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia menunjuk dan
memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari mereka adalah
anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan Skotiau, Vanimo-
Papua Barat.
Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk wilayah II
(Jayapura - Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten Fakfak), Tadeus
Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke dan lain-lain.
Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh pada 16
Desember 2009.[20]
Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh Jenderal Goliat
Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan menyamar tentang
gerakan kemerdekaan Papua Barat.[21]
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat

Logo TPNPB
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), adalah sayap militer dari
Organisasi Papua Merdeka (OPM). TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan
TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik
Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.
Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal. Goliath Tabuni diangkat menjadi
Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

2. Contoh Makalah

Makalah Tentang Konflik Sosial Papua


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah
Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya
merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan
bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 KM persegi
dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di
Indonesia[1].

Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung
timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis
dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau
Papua. Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan
kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah
kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara
80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran
penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah
1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006[2].
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik
horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan
orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum
diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya
tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora,
dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik yang belum diselesaikan ini sangat
mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk
lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak, orang Papua
dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis
membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai Pemerintah.
Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog konstruktif
tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai
masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah
situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha
Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan
dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).
Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua
Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu
diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua.
Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari
setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua, kenyataan
memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri
dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua, baik yang
tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam
kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin atau minimal terlibat dalam berbagai upaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk
berpartisipasi secara aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di Papua. Mereka
ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang
hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian[3].

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah konflik sosial Papua?
2. Apakah penyebab konflik sosial di Papua?
3. Bagaimana solusi konflik papua?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana dinamika masyarakat Papua.
2. Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial di Papua.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENYEBAB KONFLIK SOSIAL PAPUA


Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi
sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama:
Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik
papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia
dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke
Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan
status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya hasil
penentuan tersebut oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua
berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan
oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih
nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem
ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah harga mati dan
gagasan memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang di kemudian di
identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan
menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan.
Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat
pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya
hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang
berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di
jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua di karenahkan adanya
ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan
daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran
yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang
menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data
menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah
sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya
tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli dan pendatang atas
penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan
otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas
terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk
demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan
dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde
baru, orang Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur[4].

B. SEJARAH KONFLIK PAPUA


Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau
Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah
satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah
Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka
selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja
Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai
keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan
kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak
merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua
Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional
untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia
beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di
Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah
akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.
Sebagai kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan
ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya,
Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo
Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan
emas ataupun tembaga.
Bendera Papua’Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua
Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat,
dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai
kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun
1950 sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih
perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15
distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita.
Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai
menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia,
Britania Raya, Perancis, Belanda dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi
menolak.
Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah
komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu
kebangsaan (”Hai Tanahkoe Papua”), dan nama Papua. Pada tanggal 31
Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto
kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan
lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno
menanggapi’pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di
Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air bangsa[5].

C. SOLUSI KONFLIK PAPUA


Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang
terjadi dalam 18 bulan terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota
di wilayah Papua[6]. Menurut Ben Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya
pembebasan Irian barat, pemerintah belum mengutamakan nation building. Selama ini
pemerintah hanya mengembangkan state building yang hanya sebatas teritorial, bukan
membangun manusianya[7]. Maka dari itu, pengembangan state building erat kaitannya
dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi
salah satu alasan utama konflik di Papua. Untuk itu, saya ingin menganalogikan konflik
Papua dengan peristiwa Quiet Revolution di Kanada (1960-1966).
1. Belajar dari Quebec
Quiet Revolution dikenal sebagai periode yang konfliktual sejarah Kanada, dimana
periode ini menandai kebangkitan separatisme Quebec. Namun, salah satu hal menarik
yang bisa dipelajari dari kasus ini adalah, bahwa melalui hubungan yang konfliktual
antara pemerintah federal dengan pemerintah Quebec dan berhasilnya konstruksi
nasionalisme Quebecois tersebutlah, konsep koeksistensi masyarakat keturunan
Inggris dan masyarakat keturunan Perancis mendapatkan tempatnya di Kanada.
Untuk menanggulangi konflik ketidakpuasan politik yang terjadi di Quebec, PM
Kanada kala itu, Pierre Trudeuau memberlakukan Official Languages Act yang secara
resmi membuat Kanada menjadi negara dwibahasa. Diberlakukannya Official Language
Act menunjukkan bahwa pemerintah Kanada tidak lagi mendiskriminasikan,
mengabaikan, atau menutup mata terhadap keluhan warga Quebecois. Kondisi
ekonomi pun semakin membaik karena perdagangan mulai berjalan seimbang dan adil.
Kita dapat memahami dari contoh kasus ini, bahwa di dalam sebuah negara
demokratis yang menolak penggunaan kekuatan militer sebagai jalan cepat
penyelesaian konflik separatisme, negosiasi dan debat konstitusi merupakan jalan yang
paling legal dan akomodatif. Dalam konteks separatisme di Quebec, pemerintah federal
memberikan ruang seluas-luasnya bagi warga Quebec untuk berdebat dan
mempertahankan argumen-argumen mereka sebagai bagian dari upaya mereka
menentukan arah masa depan negara.

2. Pendekatan Keamanan vs Kesejahteraan


Pemerintah Kanada percaya bahwa kebebasan berwacana tidak perlu dibatasi, dan
bahwa tindakan inkonstitusional seperti separatisme seharusnya dikelola dan dibatasi
oleh jaring konstitusi, melalui upaya-upaya negosiasi. Akan tetapi, pendekatan
kekerasan dan stigma terhadap orang Papua yang diangggap bodoh dan separatis,
yang dipraktekkan pemerintah kita, justru membuat warga merasa tak diterima.
Pendekatan militeristiklah yang membuat orang Papua berpikir untuk merdeka,
setidaknya itu ungkapan Ketua Sinode Kingmi Benny Giay[8].
Penulis menganggap masalah yang timbul di Papua adalah akibat inkonsistensi
pemerintah dalam pelaksanaan otonomi khusus. Kebijakan yang ada tidaklah mampu
mengakomodasi kepentingan warga Papua, bahkan cenderung diskriminatif terhadap
mereka. Pemerintah federal Kanada, yang secara kasar dapat kita sebut representasi
warga keturunan Inggris, telah berhasil menjalankan kewajibannya untuk menjamin
kesetaraan bagi warga keturunan Perancis, sedangkan, pemerintah kita cenderung
mengutamakan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan.
Fakta berbicara bahwa pemerintah pusat mengalokasikan sebesar 15 persen dari
dana nasional untuk dana alokasi Papua. Ini pun belum termasuk dana tambahan yang
jumlahnya ditetapkan DPR atas usulan dari Gubernur. Ditambah dengan dana Otsus
yang setiap lima tahun mencapai 30 triliun, harusnya pembangunan Papua sudah
sangat terjamin. Dengan dana sebesar itu, kalau memang masih ada konflik berarti ada
salah urus kebijakan di Papua, dan hal itu wajib diselidiki KPK, maupun pihak-pihak
terkait.
Pijakan pembangunan yang terlalu berpihak kepada pendatang dan secara
otomatis menyingkirkan eksistensi orang asli, harus dihilangkan. Semua kalangan
harus mendapat akses ekonomi yang equal. Selain itu, kehadiran aparat memang
penting, akan tetapi harus didampingi oleh orang-orang yang paham metode-metode
penyelesaian konflik. Pembangunan yang dikawal dengan aparat yang represif
berpotensi menimbulkan benih bertumbuhnya nasionalisme Papua. Dan kondisi seperti
ini harus direduksir dari hulu.
Tidak ada salahnya kita belajar dari bagaimana pemerintah Kanada berhasil
meredam separatisme di wilayah mereka. Walau memang, hasilnya belum mampu
menekan secara total kelompok separatisme di Quebec, namun para pendukung
gerakan ini semakin berkurang junlahnya di setiap pemilu. Oleh karena itu, manajemen
konflik pemerintah kanada dalam menyelesaikan konflik ini seringkali dipandang dunia
sebagai sebuah model demokrasi konsesional yang paling berhasil dalam kasus
pengelolaan konflik interkultural dalam sebuah negara.
Terakhir, kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog.
Dialog tidak akan mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada
kesejahteraan. Dialog hanya menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil
keuntungan dari kekacauan, kekerasan, ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang
anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan kekerasan dan ketidakadilan sebagai
sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya mengatasnamakan bangsa
dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan mengatasnamakan
suku atau agama[9]. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP) berpendapat
bahwa solusi konflik papua yaitu :
- Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde
Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan
keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi,
pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah
mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan
Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa
konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU
Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan
kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14
kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan
Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini
memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat
pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan
Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres
ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011
tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
(UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan
kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang
Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik
Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun
personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah
mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan
dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah
kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum
berhasil menyelesaikan konflik Papua?

- Solusi Komprehensif
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui
kebijakan-kebijakan di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang
komprehensif. Konflik Papua lebih sering diidentikkan dengan masalah ekonomi.
Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan sendirinya ketika orang Papua
menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih memperhatikan bidang ketahanan
pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung masalah ke-
Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang
Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden
Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada
perbedaan penafsiran atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua
juga merupakan satu-satunya daerah yang bergabung dengan Indonesia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, konflik Papua mempunyai
dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan internasional. Oleh karena
itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Kompleksitas dan
multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah
tidak boleh memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi
konflik Papua. Hal ini karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik
Papua melalui berbagai kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain.
Apabila konflik Papua mau diselesaikan secara permanen, pemerintah harus
merangkul semua pemangku kepentingan agar secara bersama-sama mencari solusi
yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif yang dapat memungkinkan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Secara
khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung dalam
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi
dengan kelompok OPM.
OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan perlawanan
di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar
negeri. Ketiga kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang
komprehensif. Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan
merumuskan pandangan kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi
penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara
bersama, serta diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM[10].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan
peristiwa yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi.
Namun bukan berarti komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat
pemerintah untuk bersikap apatis terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah
dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap konflik social papua, yang mana solusi-
solusi yang ditawarkan bias menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk
mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bias merasakan perdamaian di
tanahnya.

[1] Wikipedia, Papua, http://www.wikipedia.com/papua, diakses pada tanggal 23 Oktober


2014.
[2] Wikipedia, Papua..., diakses pada tanggal 23 Oktober 2014.
[3] Ai Roudotul Munawaroh, dkk, Konflik Papua,
http://www.slideshare.net/aiirmc/makalah-konflik-papua, diakses pada tanggal 23
Oktober 2014.
[4] Riset LIPI, Empat Akar Masalah Konflik Papua,
http://www.pdii.lipi.go.id/read/2011/11/17/riset-lipi-empat-akar-masalah-konflik-
papua.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
[5] Rimun Solowat, Latar Belakang Konflik Papua,
http://sejarah.kompasiana.com/2013/07/07/latar-belakang-konflik-papua-574905.html,
diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
[6] K. Yudha Wirakusuma, BIN Dalami “Permainan” Asing Dalam Konflik Papua,
http://news.okezone.com/read/2012/07/02/337/657082/bin-dalami-permainan-asing-
dalam-konflik-papua, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
[7] Jerry Indrawan, Solusi Konflik Papua : Belajar Dari Kanada,
http://politik.kompasiana.com/2012/10/31/solusi-konflik-papua-belajar-dari-kanada-
505672.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
[8] Jerry Indrawan, Solusi Konflik Papua : Belajar Dari Kanada, ...., diakses pada tanggal
24 Oktober 2014.
[9] Jerry Indrawan, Solusi Konflik Papua : Belajar Dari Kanada,
https://www.academia.edu-/5379986/Solusi_Konflik_Papua_Belajar_dari_Kanada,
[10] Dr. Neles Kebadabi Tebay, Mencari Solusi Untuk Konflik Papua, http://www.jdp-
dialog.org-/kolom/perspektif-jdp/728-mencari-solusi-untuk-konflik-papua, diakses pada
tanggal 24 Oktober 2014.

2. Latar Belakang Politik


Konflik di Papua Dilatarbelakangi Politik
Published: September 14, 2011, 12:00 am
Author: Hendrikus Wermasubun
Topics: BERITA
Konflik di Papua Dilatarbelakangi Politik
Manokwari- Advokat Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, mengatakan, jalan
menuju berlangsungnya dialog Papua-Indonesia menjadi makin terang dalam beberapa
waktu terakhir ini, ekskalasi kekerasan yang terus terjadi di beberapa daerah di Tanah
Papua, seperti di Jayapura, Biak, Nabire maupun Manokwari serta kawasan
pegunungan Tengah, tidak akan menyurutkan niat orang asli Papua yang sudah
dicetuskan dalam Deklarasi Papua Tanah Damai dalam Konperensi Perdamaian di
tanah Papua [KPP] yang diselenggarakan oleh Jaringan Damaia Papua [Papua Peace
Network] pada 5-6 Juli 2011 lalu di Auditorium Universitas Cenderawasih [UNCEN]
Abepura-Jayapura.
“Dari catatan pendalaman masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu
hingga dewasa ini, saya sebagai salah satu pekerja HAM di Tanah Papua sudah dapat
memahami ciri khas dan latarbelakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik
kekerasan di tanah Papua, bahkan sebenarnya kami sudah mengetahui siapa-siapa
sebenarnya yang merancang dan memiliki kepentingan politik dari adanya berbagai
konflik tersebut. Kami juga sudah mengetahui sebab-sebab dari terjadinya konflik
tersebut yang bisa mengantarkan kita kepada pemahaman tentang motif fi balik
kejadian-kejadian aneh tersebut, dan bahkan bisa menarik satu catatan tentang siapa
yang berada di balik setiap kejadian kekerasan yang berbau kriminal terebut,” ujarnya.
Hal ini lebih diperkuat lagi dengan catatan kritis bahwa institusi kepolisian yang ada di
Tanah Papua [Polda Papua] beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua
seringkali dan berulangkali tidak mampu mengungkapkan siapa dalang atau otak dibalik
semua kasus-kasus kekerasan bersenjata tersebut?? Di tambah lagi terkesan polisi kita
di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk
penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Bahkan ada kecenderungan setiap kasus yang terjadi seperti tanpa bekas sama sekali
dari petunjuk tentang sebab dan pelakunya siapa? Ini mengindikasikan bahwa pelaku-
pelaku kejahatan tersebut adalah oknum-oknum dari satua-satuan tugas khusus yang
terlatih secara masif dan mereka profesional dan suadh dilatih untuk bisa membunuh
atau dibunuh dan tidak boleh meninggalkan jejak sama sekali untuk menyulitkan
kepolisian ketika akan melakukan investigasi kriminal. Tujuan pihak ini adalah membuat
suatu tindakan kriminal yang menyebabkan rakyat Papua menjadi takut dan tidak bisa
berkereasi termasuk bebas berekspresi ataupun berpendapat secara bebas.
Selain itu, tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah
serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena ada TPN/OPM,
padahal secara jelas kita tidak pernah mendengar adanya pernyataan sikap resmi dari
TPN/OPM tentang siapakah yang bertanggung-jawab sebenarnya di balik kejadian-
kejadian tersebut. Ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan lubhur
orang asli Papua untuk ber-dialog dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat ini.
Hubungan sebab-akibat diantara para pemangku kepentingan di Tanah Papua sejak
dahulu hingga dewasa ini dengan berbagai strategi dan aksi yang terjadi dalam konteks
penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan serta kemasyarakatan di Tanah
Papua baik di wilayah Propinsi Papua ataupun Papua Barat sudah diketahui sangat
membawa pengaruh dalam pola hubungan diantara para pemnangku kepentingan
tersebut. Hal ini menjadi sesuatu yang ke depan harus dibahas dan dibicarakan secara
terbuka diantara para pemangku kepentingan tersebut, termasuk orang asli Papua,
agar dapat dicari solusi penanganannya secara damai, sehingga cita-cita Papua Tanah
Damai dapat segera terwujud.(cr-30/don/l03)

John Anari, S. Komp

ORGANISASI PRIBUMI PAPUA BARAT

( OPPB )

WEST PAPUA NEW GUINEA

2008

=====================================================================
==

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan ke Hadirat TuhanYang Maha Esa atas perlindunganNya,
pertolonganNya, pemberkatanNya, sertapemberian hikmat dan talenta kepada Penulis sehingga
dapat menyelesaikantulisan ilmiah ini.
Tulisan ini disusun sebagai pelengkap tulisan-tulisan lain yangberhubungan dengan Sejarah
Papua karena Penulis melihat bahwa banyakditerbitkan buku-buku tentang Sejarah Papua tetapi
masih minim dengan foto-fotosebagai bukti yang dapat dipercaya. Oleh karena itu, tulisan yang
diberi judul Analisis Penyebab Konflik Papua danSolusinya Secara Hukum Internasional,
Penulis berusaha semaksimal mungkinuntuk melampirkan data-data dokumen pendukung
lainnya seperti gambar, table,piagam, dll.

Melalui tulisan ini, para pembaca dapat mengetahui Akar PokokPermasalahan Papua serta dapat
mengerti tentang Bagaimana Mencari SolusiUntuk Menyelesaikan Konflik Papua yang telah
berlangsung ± ½ abad sehinggaPenduduk Pribumi Papua dapat hidup tenang di atas Tanah
Leluhur mereka sertatidak diperlakukan semena-mena oleh Penduduk Pribumi lainnya dari
Indonesiaseperti Pribumi Jawa, Pribumi Sumatra, Pribumi Sulawesi, Pribumi Maluku, dll.Tuhan
telah memberikan tempat kepada setiap Pribumi di dunia, oleh sebab ituPribumi lain tidak boleh
melanggar Hak-hak Pribumi di tempat lain demiterciptanya Perdamaian dan Ketentraman di atas
muka Bumi ini.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh Anggota West Papua Interest
Association (WPIA), Papua Indigenous Action (PIA),West Papua Indigenous Security (WPIS),
Association of West Papua IndigenousStudents & Youth (AWPISY), West Papua Woman
Indigenous Association (WPWIA),serta Organisasi Pribumi Papua Barat (OPPB).Selain itu, tak
lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada mantan anggota Nieuw Guinea Raad (NGR),
Presidium DewanPapua (PDP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jaingan Independent untuk
AksiKejora (JIAJORA), Dewan Adat Papua (DAP), WestPapua National Coalition (WPNCL),
West Papua National Authority (WPNA), WestPapua Peoples Front (WPPF), West Papua New
Guinea Congress (WPNGC), ViktoriaGenerasi Papua (VGP), Dewan Masyarakat Adat Koteka
(DEMAK), mantan anggota Papoea Vrijwilleger Korps(PVK), Tentara Pembebsan Nasional
(TPN), mantan anggota OrganisasiPerjuangan Papua Merdeka (OPPM) yang dibentuk tahun
1965 di Manokwari yang kinidisebut OPM, serta ucapan rasa terima kasih yang paling dalam
kepada seluruhahli waris Tanah New Guinea dari Sorong sampai Samarai.

Melalui perjuangan panjang yang melelahkan namun akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan juga,
serta akan dipublikasikan melalui website OPPB pada link:

http://www.oppb.co.nr atau http://www.oppb.webs.com

Tulisan ini akan disusun dalam dua bahasa yaituInggris dan Melayu sehingga seluruh Maklukh
Tuhan dapat membuka mata untukmelihat penderitaan orang Papua dan menolong sesama
sebagai umat ciptaan Tuhanyang sama di mata Tuhan.
Penulis sadari bahwa tentu tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itupenulis sangat
mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan tulisan ini.

Oleh sebab itu, dapat dikirim melalui email west.papua@hotmail.com atau


west_papua@yahoo.com.

West Papua New Guinea,

9 Oktober 2008

John Anari, S.Komp

=====================================================================
===

A. Latar Belakang Masalah

Pulau Papua adalah pulau yang terbentuk dari endapan (Sedimentation) benua

Australia dan pertemuan/tumbukkan antara lempeng Asia (Sunda Shelf) dan lempeng

Australia (Sahul Shelf) serta lempeng Pasifik sehingga mengangkat endapan tersebut

dari dasar laut Pasifik yang paling dalam ke atas permukaan laut menjadi sebuah

daratan baru di bagian Utara Australia. Proses pertemuan/tumbukkan lempeng dalam

ilmu Geologi disebut Convergent. Sehinnga sudah saatnya untuk diberi nama

Convergent Island (Pulau Konvergen) dan bukan pulau New Guinea/IRIAN/Papua karena tidak
ada hubungan dengan proses terbentuknya pulau ini. Sedangkan nama orang-orang (bangsa)
yang mediami pulau ini termasuk rumpun yang berada di Oceania yaitu Rumpun Bangsa
Melanesia (bukan Melayu) maka seharunya nama Bangsa adalah Bangsa Melanesia (bukan
Papua). Pada mulanya Pulau ini terhubung dengan benua Australia di bagian Utara tetapi karena
perubahan suhu Bumi makin panas sehingga mencairnya Es di daerah Kutub Utara dan Selatan,
maka terputuslah menjadi sebuah Pulau baru.

Proses geologi ini diperkirakan terjadi pada 60 (enam puluh) juta tahun yang lalu dan

hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan Kerang Laut, pasir laut dan danau air asin

di daerah Wamena yang tingginya lebih dari 4.884 m di atas permukaan laut serta

terdapatnya kesamaan hewan-hewan yang berada di Australia dan Papua seperti

Kanguru.[1]

Gambar. 1.1: Peta Geologi Papua ketika terhubung dengan Australia

Sumber: http://www.environment.gov.au/coasts/publications/somer/annex1/marine-biota.html
Sementara terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan berawal dari

berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang lalu. Mencairnya es

menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan Papua dengan benua Australia.

Masih banyak rahasia bebatuan Pegunungan Tengah dan Pegunungan di Kepala

Burung yang belum tergali. Apalagi, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan

muda sehingga proses pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini,

proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan 2,5 km

per juta tahun.

Gambar. 1.2: PetaGeologi Papua

Sumber: DinasPertambangan dan Energi Prop. Papua - http://www.papua.go.id


Gambar. 1.3: Pertemuan Lempeng Asia, Pasifik dan Australia

Sumber: Museum Nasional Jerman

Akibat dari adanya endapan ini sehingga Pulau Papua banyak mengandung bahan

galian golongan A, B, dan C seperti Emas, Perak, Tembaga, Aluminium, Batu kapur,

Gamping, Uranium, dll.

Dan juga dengan adanya tumbukkan lempeng ini sehingga mengangkat banyak fosil

makluk hidup yang berupa Minyak, Gas Bumi dan Batubara.

Selain itu, pulau Papua memiliki Hutan Tropis yang sangat lebat karena berada pada

jalur Katulistiwa serta memiliki hasil laut yang banyak karena berada di Lautan

Pasifik yang sangat luas.


Dalam Kitab Ulangan 28:33 menyatakan bahwa Suatu Bangsa yang tidak kau

kenal akan datang dan memakan hasil bumi mu dan segala hasil jerih payahmu;

engkau akan selalu ditindas dan diinjak. [2]

Dari hal inilah yang menyebabkan Pribumi Papua menjadi melarat di atas Kekayaan

Alamnya sendiri bagaikan seekor Tikus yang mati di atas lumbung Padi.

Oleh sebab itu, pulau ini menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa dan menjadi

daerah konflik yang berkepanjangan sehingga banyak menimbulkan korban

Penduduk Asli (Indigenous Peoples) dan Pelanggaran-pelanggaran terhadap Hakhak

Dasar Masyarakat Asli Papua.

Awal mula kedatangan Bangsa-bangsa Asing untuk merebut pulau ini karena

pernyataan dari seorang Pelaut Spanyol yang bernama Alvaro De Saavedra yang

berlayar ke Mexico dan singgah di pesisir pantai Utara Papua pada tahun 1528

sehingga ia melihat Pasir Kuarsa bercampur Emas di Korido (sekarang: ibu Kota

Supiori) lalu memberi nama Isla Del Oro (Island of Gold) atau Pulau Emas. Dari

sinilah sehingga Inggris, Jerman dan Belanda membagi-bagi pulau ini menjadi tiga

bagian. Sehingga menjadi acuan untuk perebutan Bangsa-bangsa, termasuk

Indonesia yang mengklaim bahwa seluruh bekas Hindia Belanda adalah daerah

Kekuasaannya.[3]
Gambar. 1.4: Peta Pembagian Wilayah oleh Inggris,Belanda, dan Jerman.

Sumber: Hasil Capture Google Eart, oleh John Anari

Pada abad ke-15 sampai ke-17 dan abad ke-18 awal, Papua dikenal sebagai

daerah yang rawan untuk ditempati karena Penduduknya sangat berbahaya. Oleh

karena itu, Papua adalah merupakan daerah yang belum berpemerintahan sendiri

(Non Self Government Territory).

Pada masa itu, banyak timbul peperangan diantara suku-suku sehingga muncul

seorang Panglima Perang yang hebat, yaitu Mambri dari pulau Biak dibawah

komando Raja Kurabesi. Selain itu, muncul juga Panglima baru dari Pom Ansus di

Pulau Serui.

Kedua Panglima ini pernah diminta bantuannya oleh Sultan Tidore dan Raja Jailolo
untuk membantu mengusir VOC. Sebagai imbalan dari Sultan Tidore kepada Raja

Kurabesi, maka diberikan seorang anak gadisnya dan kemudian mendapat empat

anak raja yang hingga kini diberi nama Raja Ampat di Sorong.

Sedangkan Panglima Perang Pom Ansus diberi tempat untuk tinggal oleh Raja

Jailolo. Buktinya yaitu, banyak terdapat marga-marga yang sama di Jailolo dan Serui

seperti Wowor, dll. Dari hasil kontak inilah, maka timbul penyebaran Agama Islam

dari Ternate ke Raja Ampat, Teluk Bintuni, dan Fak-fak.

Kemudian pada tanggal 24 Agustus tahun 1828 Belanda mencoba datang ke

Papua dan mendirikan sebuah tugu Fort De Bus di teluk Triton di kaki Gunung

Lumenciri di daerah Kaimana dan menyatakan bahwa atas nama dan untuk Sri

Baginda Raja Nederland, bagian daerah New Guinea dengan daerah pedalamannya

dimulai pada garis meridian 1410 Timur Greenwich di pantai Selatan terus ke arah

Barat, Barat Daya dan Utara sampai ke Semenanjung Goebe Hoop di pantai Utara,

kecuali daerah Mansari, Karondefer, Ambarpura dan Amberoon yang dimiliki oleh

Sultan Tidore, dinyatakan milik Belanda. Dengan ketegasan ini, maka orang-orang

Eropa lainnya tidak boleh menempati dan menguasai daerah ini. 4 Kemudian daerah

ini diberi nama Nederlands Nieuw Guinea karena penduduknya mirip dengan

penduduk Guinea di Afrika Barat, sedangkan penduduk Indonesia diberi nama

Nederland Indiẽ karena penduduknya mirip dengan penduduk di India yang kulit

hitam berambut lurus.


Gambar. 1.5: Benteng FORT DU BUS di teluk Triton, Kabupaten Kaimana.

Sumber: HasilCapture Camera Digital oleh Herry Ramandey

Setelah mendirikan Tugu tersebut kemudian Belanda meninggalkannya karena

penduduk Papua sangat berbahaya bagi mereka. Kemudian dengan Politik 3G (Gold

Glory and Gospel = Emas dan Firman Tuhan) maka dibentuklah sebuah Yayasan

Hevorm de Kerk melalui Gereja lalu mengutus dua orang Misionaris Ottow dan

Geisler untuk pergi memberitakan Firman Tuhan ke Papua dan mereka berdua tiba di

Pulau Mansinam di Kabupaten Manokwari pada tanggal 5 Februari 1855, dengan

rasa ketakutan maka mereka berkata Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah

Ini.[5] Dengan adanya Firman Tuhan inilah sehingga menyebabkan orang Papua

menjadi lemah dan memiliki Kasih yang tinggi sehingga dapat menerima Bangsa

Asing untuk membangun Negerinya.


Kemudian pada tahun 1898 Belanda mengesahkan Pengeluaran Anggaran sebanyak

f. 115.000,- oleh Parlemen Belanda untuk mendirikan Pemerintahan yang kemudian

diberi nama Resident Nederland Niuew Guinea (Provinsi Nederland New Guinea)

dengan pusat Pemerintahan di Manokwari. Maka pada tahun 1901, Pemerintahan

Nederland Niuew Guinea mulai didirikan dengan Ibu Kota Provinsi beradadi

Manokwari dengan mengangkat Hier Rust sebagai Gubernur Nederland New

Guinea. Namun kemudian dipindahkan ke Hollandia setelah Penyerahan oleh Sekutu

kepada Belanda pada tanggal 24 April 1944 di Hollandia (Sekarang Jayapura) serta

membentuk pertahanan di bagian Selatan Papua yaitu di Merauke serta membuka

Sekolah Camat (Bestuur School) dengan mengangkat Soegoro Admoprasodjo

(tahanan Digul) sebagai Direkturnya. Klaim Indonesia bahwa Daerah Papua adalah

milik Indonesia yang mulanya diberi nama Nederland Indies yang berkedudukan di

Batavia (Sekarang Jakarta) setelah Perang Dunia II adalah sesuatu yang tidak ada

dasarnya. [6]
Gambar. 1.6: Gedung Resident Nederland Niuew Guinea (sekrang Kantor Gubernur Papua Barat)

Sumber : Hasil Scaner oleh Bapak Sorbu, Melkianus Nauw dan Niko Nauw

Gambar. 1.7: Makam Gubernur Resident NNG Hier Rust (1873 -1922) di Manokwari (foto kiri) Dan Tulisan di atas
Makam Hier Rust (foto kanan)
Sumber : Hasil Scan oleh John Anari

Gambar. 1.8: Lambang Negara Papua Barat(1961 – 1962)

Sumber : http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/e/ef/West-Papua1961-6.JPG

Pada awal Pemerintahan Belanda di Papua semenjak tahun 1898 hingga sebelum

kedatangan Jepang pada 19 April 1942 di teluk Humbolt kota Hollandia, tak seorang

penduduk Pribumi Papua membentuk suatu gerakkan perlawanan anti Belanda serta

tak seorang pun dibunuh sehingga terjalin kehidupan yang harmonis antara orang-orang

Belanda dan Penduduk Pribumi Papua. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa

Bangsa Papua tidak pernah merasa dijajah oleh Belanda seperti di daerah Indonesia

lainnya. Namun pada jaman penjajahan Jepang, banyak rakyat Pribumi Papua yang

disiksa, dipotong tangannya serta dibunuh. Akibat kekejaman ini, maka banyak

rakyat Papua yang membantu tentara Sekutu Amerika ketika mendarat di Teluk

Humbolt pada tanggal 22 April 1944 untuk mengusir Jepang, dibawah Komando

Jenderal Douglas McArthur. Pemerintah Belanda yang ikut serta dalam Tentara
Sekutu langsung membentuk suatu Pemerintahan dengan status Residen yang

bertanggung jawab langsung kepada Mahkota Kerajaan Belanda. Oleh karena itu,

pada saat sidang Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

menetapkan wilayah Indonesia terdiri dari 18 (delapan belas) Provinsi mulai dari

Sumatra hingga ke Maluku. Selanjutnya BPUPKI yang dibentuk Jepang dengan

nama Djokuritsu Jumbi Kosakai diubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) dan pada saat Pidato Soekarno di depan Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 15 Agustus 1945 mengatakan bahwa “Yang

disebut Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatra, Borneo, dan

Celebes), Pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)

dan Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Maluku. Tetapi untuk keamanan Indonesia

dari arah Pasifik, maka kita perlu menguasai Papua”. [7] Hal ini juga sesuai dengan

Sumpah Pemuda yang diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda

mulai dinyatakan oleh Bangsa Indonesia setelah menyadari bahwa mereka adalah

orang-orang yang berasal dari keturunan India, yang mana nama Indonesia mulai

diperkenalkan oleh seorang warga Negara Inggris yang bernama Logo. Ia

menggantikan nama Nederland Indie menjadi Indonesia yang berasal dari kata Indo:

India dan Nesos: Kepulauan.

Berita tentang Kemerdekaan Indonesia dimanfaatkan oleh Soegoro Atmoprasodjo

yang bekas Pemuka Taman Siswa untuk memprovokasi murid-muridnya di Sekolah

Pemerintahan (Bestuur School) di Hollandia untuk membentuk suatu Gerakkan

Bawah Tanah yang diberi nama IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands).
Ia diangkat oleh Belanda menjadi Direktur Sekolah Pemerintahan tersebut serta

merangkap sebagai Penasehat di bidang Pengajaran. Beliau adalah salah seorang

Tawanan Digul yang dipindahkan ke Australia akibat Perang Dunia II namun ditarik

kembali untuk membantu menjalankan roda Administration Pemerintahan Nederland

Nieuw Guinea.[8]

Beberapa muridnya yaitu Silas Papare kemudian dibuang ke Serui dan di sana ia

bergabung dengan Dr. Sam Ratulangi (buangan Belanda dari Sulawesi Utara,

Manado) membentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Sedangkan murid

lainnya seperti Marthen Indey, Frans Kaisiepo, dan Rumkorem menjadi pengikut

setia Soegoro. Sedangkan Murid lainnya seperti Herman Wajoi, Nicholas Jouwe,

Johan Ariks, Markus Kaisiepo, Nikolas Tanggahma, dll. Mereka ini Adalah Tokoh

Masyarakat yang kemudian menjadi Anti Soegoro karena telah mengetahui niat

Soegoro untuk memasukkan Papua ke dalam Republik Indonesia.

Akibatnya Soegoro ditahan kembali ke Didul tetapi berkat seorang penjaga, maka

beliau diloloskan oleh Petugas Lembaga hingga ia melarikan diri ke Port Morestby

dan kemudian dikembalikan ke Indonesia.


Gambar. 1.9: Sugoro Atmoprasodjo

Sumber : Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat

Gambar. 1.10: Gedung New Guinea Raad

(Sekarang Gedung DewanPerwakilan Rakyat Papua)

Sumber : http://www.uk.geocities.com/papua_doc
Gambar. 1.11: Foto Anggota Nieuw Guinea Raad

Sumber : http://www.uk.geocities.com/papua_doc

Konflik perebutan Papua dari Belanda terus berlanjut di Konferensi Malino di

Makasar – Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1946, Perjanjian Linggar Jati bulan

Maret 1947, hingga pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23

Agustus – 2 November 1949. Yang mana pada pasal 2 ayat f menyatakan “ Tentang

Residen Nederlands Nieuw Guinea tercapai persetujuan sebagai berikut: Mengingat

kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan azas supaya

semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak akan timbul diselesaikan dengan

jalan patut dan rukun, maka Status Quo Residen Nieuw Guinea tetap berlaku seraya

ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan

kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) masalah kedudukan Kenegaraan Irian

Barat diselesaikan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland.”[9]

Status Quo Nieuw Guinea disebabkan karena Belanda sebagai anggota PBB yang

telah menanda-tangani Piagam PBB Pasal 73 tanggal 26 Juni 1945 merasa

berkewajiban untuk mempersiapkan Papua menjadi sebuah Negara. Hal ini


disebabkan karena Papua adalah suatu daerah yang belum Berpemerintahan Sendiri

(Non Self Government Territory), oleh sebab itu Belanda mempersiapkan Parlement

Papua (Niuew Guinea Raad), Sekolah Pemerintahan (Bestuur School), Kepolisian

Papua, PVK (Papoea Vrijwilleger Korps), serta memasukkan Nieuw Guinea ke

Daftar Komisi Pasifik Selatan (South Pacific Commition) melalui Perjanjian yang

ditanda tangani pada tanggal 6 Februari 1947 di Canbera oleh Australia, Perancis,

Inggris, Nederland, New Zealand dan Amerika Serikat.[10] Maksud perjanjian ini

adalah untuk memperkuat kerja sama internasional supaya dimajukan kemakmuran

ekonomis dan social dari bangsa-bangsa di dalam daerah-daerah yang belum

berpemerintahan sendiri di Samudera Pasifik.[11] Kemudian pada tanggal 5 November

1960, Dewan Dekolonisasi menerima Resolusi yang dimajukan oleh 21 Negara

dengan perbandingan suara 67 dan 0. Isi Resolusi itu ialah supaya utusan-utusan dari

bangsa-bangsa yang belum berdaulat (Belum Berpemerintahan Sendiri) diundang

untuk turut bekerja di berbagai bagian dan dewan-dewan PBB yang tertentu. Ini

berarti bahwa biarpun Negara-negara yang belum berdaulat belum juga menjadi

anggota PBB sudah bisa turut bekerja dalam berbagai bagian dari PBB. Melalui cara

ini, maka diharapkan supaya kemajuan di Negara-negara tersebut bisa dipercepat.

Negara Uni Soviet, Guinea, Spanyol dan Portugal tidak turut pemungutan suara.

Menurut Wakil Niuew Guinea Raad, Nicolas Jouwe mengatakan bahwa “Indonesia

tidak menghargai hak kami untuk menentukan nasib sendiri”. Deklarasi PBB

mengenai Hak Asasi Manusia dan Piagam Pemberian Kemerdekaan Negara-negara


dan orang-orang jajahan, yang mulai berlaku tanggal 14 Desember 1960, dianggap

oleh Indonesia sebagai sesuatu yang tidak relevan atau tidak dapat diterapkan untuk

orang-orang Papua. Indonesia mengatakan bahwa orang Papua adalah orang

Indonesia. Hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri diputuskan oleh

Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945”.[12]

Gambar. 1.12: Foto Papoea Vrijwilleger Korps – Batalyon Kasuari di Arfai I. Manokwari

Sumber: http://www.oppb.webs.com/gallery.htm

Namun kenyataan ini tidak diterima baik oleh Indonesia, maka sebagai tandingnya Indonesia
membuka Partai Komunis pada tahun 1946 namun berhasil dibubarkan oleh TNI AD. Tetapi
akhirnya kembali berjaya lagi karena didukung oleh Presiden Soekarno sehingga hampir
sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa beralih ke Komunis mengikuti paham NASAKOM
(Nasionalis Agama dan Komunis). Padahal Soekarno telah melanggar Politik Luar Negeri
Indonesia yang Bebas Aktif atau tidak memihak kepada salah satu Blok yaitu Blok Barat
(Sekutu) maupun Blok Timur (Komunis).

Berikut adalah Statement Presiden Republik Indonesia Kepada PersJepang di Tokyo, 20


September 1961 :

Reaksi Presiden Sukarno berhubung dengan pidato tahunan Ratu Juliana didepan Parlemen
Belanda.

Saya menghargai Ratu Juliana terhadapmasalah Irian Barat. Saya tahu yang dimaksud oleh
Ratu Juliana ialah apa yangdinamakan politik "self-determination". Saya juga mengetahui apa
yangdapat diakibatkan oleh politik "self-determination" semacam itu yangberada di bawah
pengawasan asing. Penggunaan politik semacam itu bukanlahmerupakan hal yang baru bagi
kami. Dijaman Van Mook politik yang dinamakanpolitik "self-determination" semacam itu
menghasilkan pembentukansuatu "Sumatera Timur Merdeka", suatu "Sumatera
SelatanMerdeka", suatu Pasundan Merdeka", (Jawa Barat), suatu "JawaTimur Merdeka", suatu
"Madura Merdeka", suatu "KalimantanTimur Merdeka", suatu "Indonesia Timur Merdeka", dan
lain-lainyang dinamakan daerah-daerah otonomi. Dengan demikian Van Mook
sebenarnyamembalkanisasi Indonesia.Akan tetapi pada tahun 1950 bangsa Indonesiayang
bersatu telah mengakhiri hidup dari apa yang dinamakan "Negara-negaraMerdeka" itu dan
memulihkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya tolak apa yangdinamakan politik "self-
determination" Pemerintah Belanda ini.Politik semacam ini hanya menimbulkan kekacauan
dimasa depan. SebaiknyaPemerintah Belanda segera melaksanakan penyerahan administrasi
atas Irian Baratkepada Republik Indonesia,secara yang saya singgung dalam pidato saya pada
tanggal 17 Agustus yang laludi Jakarta dan dalam pidato saya di Konperensi Beograd. Itulah
jalan yang lebih baik. Cara ini dijamin normalisasi hubungan antara Republik Indonesia dan
Belanda.[8]
Gambar. 1.13 : Peta PBB tahun 1946 tentang Pembagian Daerah Tak Berpemerintahan Sendiri Sesuai Artikel XI
Piagam PBB

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/UN_Non-Self-Governing_Territories.png

Dengan adanya pemasukkan Nederland Nieuw Guinea ke dalam daftar Non-

Self Gevernment Territory pada tahun 1946 sehingga mengakibatkan

President Soekarno beralih Paham menjadi NASAKOM. Terlebih lagi sekitar

tahun 1950-1960, dimana Soekarno memutuskan hubungan dengan Kerajaan

Belanda serta memblokir semua asset Belanda di Indonesia. Kemudian

mencari jalan Konfrontasi dengan Belanda, maka Jenderal A. H. Nasution

diutus Soekarno untuk membeli Persenjataan Amerika dan Australia tetapi

tidak berhasil, maka ia mencoba ke Komunis Rusia sehingga berhasil

membeli Persenjataan dengan Pembayaran Jangka Panjang. Akhirnya

Indonesia mengatakan bahwa Angkatan Udara Indonesia lebih lengkap di

Asia Tenggara.

Akhirnya membuat Amerika dan Negara Sekutunya termasuk menjadi ketakutan

karena posisi Indonesia di Asia Tenggara sangat strategis untuk pelayaran dan

perdagangan, maka Roberth Jhonson dari Staff Dewan Keamanan Amerika

mengirim Surat Rahasia ke Mr. Bundi Assisten Pribadi President John. F. Kennedy

pada tanggal 18 Desember 1961 (ketika Indonesia mengadakan Kampanye Militer)


untuk segera mendesak Belanda menyerahkan Administrasi Papua ke Indonesia serta

menghapus Hak Pribumi Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri agar Soekarno

bisa mengurangi Komunisnya di Indonesia. Dua minggu sebelum negosiasi antara

Belanda dan Indonesia pada tanggal 20 Maret 1962 untuk penyelesaian masalah

Nederland New Guinea, muncul tekanan kepada President John. F. Kennedy dari

CIA (Central Inteligence of America), the Departments of State (Departement Luar

Negeri Amerika), Defence (Departement Keamanan dan Pertahanan Amerika), the

Army (Angkatan Darat Amerika), the Navy (Angkatan Laut Amerika), the Air Force

(Angkatan Udara Amerika), the Joint Staff (Staff Gabungan), and NSA pada tanggal

7 Maret 1962. Kemudian mereka telah menunjuk Diplomat Amerika yang berhasil

membungkan Komunis di internasional, yaitu Tuan Elsworth Bunker untuk menjadi

penengah (Mediator) antara Belanda dan Indonesia.[14]

Belanda sebelumnya telah mengundang Indonesia ke Mahkama Internasional

PBB tetapi Indonesia menolak karena mereka tidak ada dasar yang jelas untuk

mengklaim wilayah Papua. Dan bahkan di muka Sidang Umum PBB pun, Indonesia

tidak mendapat banyak dukungan dari Negara-negara karena akan melanggar

Piagam 73 PBB tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang Papua yang

berbeda kulit, rambut, dan ras dari warga Negara Indonesia lainnya. Akhirnya,

Soekarno mengambil jalan singkat yaitu membentuk NASAKOM dan Perang

terbuka di Papua dengan peralatan militer Rusia. Kemudian President John. F.

Kennedy menyuruh saudaranya Roberth Kennedy ke Jakarta untuk menerima

bayaran dari Soekarno lalu menekan Belanda melalui surat Rahasia tanggal 2 April
1962.

Berikut adalah surat rahasia President John. F. Kennedy yang mendesak Perdana

Menteri Dequai di Belanda untuk segera menyerahkan Administrasi Nederlands

Nieuw Guinea ke Indonesia dan Indonesia akan mejamin hak untuk Penentuan Nasib

Sendiri bagi rakyat Penduduk Asli Papua sesuai dengan usulan Menteri Luar Negeri

Belanda DR. Joseph Lunch.[15]

Gambar. 1.14 : John. F. Kennedy (Kiri) dan Mr. Ellsworth Bunker (Kanan)

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/ Ellsworth_Bunker.htm


Lampiran:

Teks suratRahasia dari Presiden Kennedy

Tt 2 April 1962, yang menekan pemerinatah

Belanda agar, menerima Rencana Bunker

BIDANG URUSAN LUAR


NEGERI RAHASIA

AMERIKA SERIKAT 2 April 1962

Tuan Perdana Perdana Menteri Yth,

Saya telah mengikuti dengan seksamamasalah yang dihadapi pemerintah Tuan selama beberapa
minggua terakhir, dalamupaya mencari penyelesaian yang baik guna mengakhiri pertikaian
dengan Indonesia mengenai pelepasan wilayah Nieuw Guinea.Saya merasa prihatin dengan
penghentian PEMBICARAAN-PEMBICARAAN RAHASIA antara wakil-wakil anda dan
Indonesia.Namun demikian saya tetap percaya akan adanya kemungkinan penyelesaian
secaradamai antara kedua belah pihak bersedia melanjutkan kembali perundingan-
perundingantersebut atas dasar saling perycaya.

Pemerintah Nederland telah mengambil langkah penyelesaian yang baik,dengan pertama-tama


membawa masalah tersebut ke PBB, dan setelah gagal,dilanjutkan kemudian dengan
PERUNDINGAN-PERUNDINGAN RAHASIA dengan pihak Indonesia.Saya menghargai
pelaksanaan tanggung jawab yang berat oleh pihak pemerintah Belanda dalam melindungi
warganya di Nieuw Guinea,serta mengerti akan perlunya Nederland meningkatkan pertahanan
atas wilaya tersebut.

Namun demikian, kita sedang menghadapi bahaya dimana peningkatan kekukatan militer bakal
memicu timbulnya perang terbuka di wilayah tersebut.

Konflik semacam itu akan menimbulkan dampak permusuhan yang bakal mempengaruhi proses
penyelesaian masalah tersebut pada semua tingkatan.

Akan terjadi perang terbuka, dimana baik Belanda maupun pihak Barat bakal kalah dalam arti
sesungguhnya. Apapun akibat dari pertentangan militerini tapi yang jelas posisi dunia bebas di
kawasan Asiaakan hancur berat. Hanya Komunis sajalah yang akan memetik manfaat dari
konfliksemacam itu. Jika Pasukan Indonesiatelah bertekad untuk memerangi Belanda, maka
semua unsure moderat baik di dalamtubuh Angkatan Perang maupun di dalam negeri, akan
menjadi rapuh dan sasaranempuk bagi intervensi komunis. Jika Indonesia takluk kepada komunis
dalamkeadaan seperti ini, maka seluruh posisi non-komunis di Vietnam, Thailand, danMalaya
akan terancam bahaya, padahal kawasan tersebutlah yang saat ini justrumenjadi pusat perhatian
Amerika Serikat.

Kami memahami posisi Belanda yang ingin mundur dari wilayah tersebut serta kerelaanya jika
akhirnya wilayah tersebut harus beralih kepada penguasaan Indonesia.Namun demikian,
pemerintah Belanda telah bertekat mengupayakan kepemimpinan Papua sebagai jaminan atas
HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI bangsa Papua, dan StatusPolotiknya dimasa akan datang.

Pihak lain Indonesia telah menyampaikan pada kami tentang keinginanannya untuk mengambil
alih secaral angsung pemerintahan atas wilayah itu, sekaligus memberikan kesempatan
kepadaRakyat Papua untuk Menentukan sendiri Nasib Masa Depannya. Jelaslah bahwa posisi
kedua pandangan ini tidaklah jauh berbeda bagi suatu penyelesaian. TuanEllsworh Bunker, yang
dalam masalah ini telah bertindak sebagai perantara PERUNDINGANA-PERUNDINGAN
RAHASIA Belanda-Indonesia, telah menyiapkan suaturumusan yang akan mengatur pengalihan
Administrasi Pemerintahan wilayah tersebut kepada PBB. PBB kemudian akan mengalihkan
Pemerintahan kepada Indonesia setelah kurun waktu tertentu. Pengaturan-pengatruan tersebut
akan mencakup ketentuan-ketentuan dimana RAKYAT PAPUA, SETELAH JANGKA WAKTU
TERTENTU, AKANDIBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENTUKAN NASIBNYA
SENDIRI. PBB akan dilibatkan dalam tahap penyiapan maupun tahap pelaksanaan PENETUAN
NASIB SENDIRI.

Pemerintah kami sangat tertarik akan hal ini dan meyakinkan anda bahwaAmerika Serikat
bersedia memberikan bantuan seperlunya kepada PBB saat rakyat Papuamelaksanakan
Penentuan Nasibya Sendiri. Dalam keadaan seperti ini, serta didorong-didorong oleh tanggung
jawab kami terhadap Dunia Bebas (non komunis),saya mendesak dengan sangat AGAR
PEMERINTAH BELANDA MENERIMA RUMUSAN yang digagaskanoleh Tuan Bunker.

Kami pun tentu akan menekan pemerinatah Indonesia sekuatnya, agarmenyetujui pengadaan
perundingan ? perundingan lanjutan berdasarkan rumusantersebut diatas.

Saya menyampaikan ini dengan tulus dan penuh kepercayaan, dan berharapbahwa itulah yang
tepat dalam menjaga jalinan hubungan antara kedua Negara kitasebagai sahabat dan sekutu.
Yang mendorong saya adalah keyakinan saya bahwademi kepentingan saat ini, maka kita jangan
sampai kehilangankesempatan-kesemptan baik bagi perundingan-perundingan damai bagi
penyelesaianmasalah yang menyakitkan ini.
Hormat saya,

/tt/ John F. Kenedy

Yang Mulia, Dr. J. E. de Quay

Perdana Menteri Nederland

di Den Haag

Dengan adanya penekanan ini maka Belanda terpaksa menanda tangani Perjanjian

New York tanggal 15 Agustus 1962 untuk menyerahkan Administrasi Nederlands

Nieuw Guinea kepada Pemerintahan Sementara PBB UNTEA (United Nation

Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962. Kemudian diserahkan

lagi ke Indonesia, tetapi harus diberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Self

Determination) kepada rakyat penduduk Asli Papua (West Papua Indigenous Peoples) bahwa
apakah mereka ingin menyerahkan Administrasi Negara Papua

untuk dipimpin oleh Indonesia selama kurun waktu tertentu atau administrasi Negara

itu diurus oleh Bangsa Papua sendiri?. Namun proses pelaksanaan Penentuan Nasib

Sendiri tersebut diubah dari aturan internasional menjadi aturan Indonesia karena

alasan Kondisi Geografis serta keadaan Ekonomi dan Sosial Penduduk Papua masih

rendah jadi tidak dimungkinkan untuk pelaksanaan Self Determination itu sesuai

dengan aturan Internasional. Seperti yang saat ini dikampanyekan di dunia


internasional melalui Permanent Mission Indonesia dalam Laporannya yang diberi

judul Restoration of Irian Jaya Into Republic Indonesia (Pengembalian Irian Jaya

Kedalam Republik Indonesia) mengatakan bahwa Proses Self Determination itu

dilaksanakan berdasarkan Perjanjian yang diratifikasi tanggal 1 September 1962.[16]

Sedangkan laporan Fernando Ortisan (utusan PBB untuk mengamati

Referendum/PEPERA di Papua tahun 1969) mengatakan bahwa Indonesia tidak

melaksanakan Proses Penentuan Nasib Sendiri (PEPERA/Referendum) sesuai aturan

internasional karena Masalah Politik serta Kondisi Geografis yang tidak

memungkinkan untuk Referendum melalui Praktek Internasional.[17] Dan ini

merupakan suatu kegagalan PBB dalam menjalankan tugasnya sebagai organisasi

internasionak yang melndungi Hak Asasi Manusia.

Pada masa Pemerintahan UNTEA, pernah dilakukan uji coba jajak pendapat di

Merauke sesuai dengan Praktek Internasional sesuai Perjanjian New York tetapi

hasilnya semua rakyat Penduduk Asli Papua yang berada memilih untuk Menolak

Indonesia. Maka, dibuat lagi suatu perjanjian rahasia oleh Amerika, Indonesia dan

Belanda di Roma (Ibu Kota Negara Italia) pada 30 September 1962. Yang mana,

isinya sebagai berikut:

 Referendum atau yang dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang
direncanakan pada tahun 1969, dibatalkan saja atau bila perlu dihapuskan.
 Indonesia menduduki wilayah Papua Barat hanya selama 25 tahun saja, terhitung mulai
tanggal 1 Mei 1963.
 Pelaksanaan PEPERA dilakukan sesuai dengan Praktek Parlemen Indonesia, yaitu
melalui Sistem Musyawarah.
 Hasil PEPERA diterima di muka umum sidang PBB tanpa da ada perdebatan.
 Amerika berkewajiban untuk menanam Saham untuk mengeksplorasi kekayaan alam di
Papua Barat demi kemajuan daerah tersebut..
 Amerika memberikan bantuan sebesar US $. 30 juta melalui jaminan kepada
ADB (Asian Development Bank) untuk pembangunan Papua selama 25

tahun.

 Amerika memberikan bantuan dana melalui Bank Dunia (Word Bank)

kepada Indonesia untuk mengirimkan Transmigrasi ke daerah Papua untuk

Assimilasi mulai tahun 1977.[18]

Sedangkan Operasi Tumpas selama masa jabatan Jenderal Kartidjo dan Bintoro

pada tahun 1964 – 1968 sebelum Proses Penentuan Nasib Sendiri (PEPERA

1969) tidak pernah dilaporkan juga di muka umum Sidang PBB. Operasi ini

adalah Operasi yang paling banyak menimbulkan korban Rakyat Papua karena

pada waktu itu telah terjadi Gerakan Perlawanan Rakyat Papua mulai dari

Jayapura tahun 1963 dibawah pimpinan Aser Demotokay hingga yang paling

parah di Kebar tanggal 26 Juli 1965 dibawah Pimpinan Yohanes Jambuani dan

Benyamin Anari serta di Arfai 28 Juli 1965 yang dibawah pimpinan Permenas

Fery Awom. Operasi Tumpas dilakukan agar bisa menumpas semua gerakan

masyarakat Pribumi Papua yang mentang Indonesia sebelum diadakannya

Referendum (PEPERA) pada tahun 1969. Setelah itu, dibentuk Dewan

Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (DMP) yang mana anggotanya

ditunjuk langsung oleh Militer Indonesia kemudian para anggota DMP itu

ditampung di suatu penampungan khusus dan tidak dijinkan berkomunikasi

dengan keluarganya atau orang lain. Dalam penampungan itu, mereka setiap hari

diberi nasehat, terror, intimidasi, pembunuhan dan rayuan oleh Komandan


Inteligen KOSTRAD BRIGJEN, Ali Murtopo (Komandan OPSUS). Berikut

adalah ucapan Ali Murtopo kepada para anggota DMP yaitu Jakarta sama sekali

tidak tertarik dengan orang Papua tetapi Jakarta hanya tertarik dengan Wilayah

Irian Barat. Jika inginkan Kemerdekaan, maka sebaiknya minta kepada Allah

agar diberikan tempat di salah sebuah Pulau di Samudera Pasifik, atau menyurati

orang-orang Amerika untuk mencarikan tempat di bulan.[19]

Gambar. 1.15: Komandan OPSUS, Mr. Ali Murtopo

Sumber: http://swaramuslim.com/images/uploads/tokoh_sejarah/Ali_Moertopo1.jpg

Apakah Perjanjian yang dilaporkan oleh Perwakilan Indonesia di PBB

(Permanent Mission of Indonesia in United Nations) bukan merupakan Perjanjian

Roma yang ditanda tangani pada tanggal 30 September 1962 ? yang menyatakan

bahwa Proses Jajak Pendapat atau Act of Self Determination atau PEPERA

(Penentuan Pendapat Rakyat) dilaksanakan sesuai dengan Sistem Musyawarah yaitu


sesuai dengan Praktek Parlemen Indonesia dan laporan hasil akhir PEPERA diterima

di muka Sidang Umum PBB tanpa ada perdebatan serta Indonesia mengurusi

Administrasi Negara Papua hanya berlaku selama 25 tahun, terhitung mulai tanggal

1 Mei 1963. [20]

Proses Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang dilaksanakan di Papua

adalah merupakan salah satu Proses yang memalukan PBB sendiri sebagai

Organisasi Pembela Keadilan dan HAM di dunia serta Indonesia dan Amerika

karena telah ikut melanggar Hak-hak Sipil dan Politik maupun Hak-hak Penduduk

Pribumi Papua sebagaimana tertuang di dalam Kovenan Internasional tentang Hakhak

Sipil dan Polik serta Deklarasi PBB tentang Hak-hak Penduduk Pribumi. Selain

itu, mereka juga telah melanggar Perjanjian New York Pasal 18 yang ditanda tangani

di Gedung PBB tanggal 15 Agustus 1962 karena membatasi 1026 orang peserta

Referendum 1969 yang terdiri dari Penduduk Pribumi dan Non Pribumi serta tidak

dilaksanakan sesuai Praktek Internasional.


Gambar. 1.16: Situasi Penentuan Nasib Sendiri di Fakfak (Kiri) dan Lencana PEPERA (Kanan)

Sumber: DEPEN RI

Oleh karena itu, tidaklah salah jika DR. John Salford menuliskan dalam sebuah

buku yang berjudul United Nation and Indonesia Takeover West Papua by Act of No

Choice In 1969 (Indonesia dan PBB Merampas Papua Barat melaui Jajak Pendapat

yang Tidak Bebas). Resolusi 2504 Majelis Umum PBB juga tidak mengesahkan

Hasil PEPERA 1969 tetapi Resolusi tersebut hanya berisi tentang Perjanjian Antara

Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Mengenai Guinea Baru Barat (Agreement

Between the Republik of Indonesia and the Kingdom of Nederland Concerning West

New Guinea) dan hanya mencatat (Take Note) Laporan Utusan PBB tentang Hasil

PEPERA 1969 seperti pada cuplikan teks Resolusi 2504 di bawah ini.
Gambar. 1.17: United Nations Resolution 2504

Sumber: http://www.un.org

Dengan adanya bukti Resolusi 2504 ini, maka jelaslah bahwa alasan yang

dikemukakan oleh Mangasih Sihombing dari Departemen Luar Negeri Republik

Indonersia (DEPLU RI) adalah sesuatu yang sangat tidak logis. Yang mana ia

mengatakan bahwa Papua berbeda dengan Timor Leste dimana Papua tidak pernah

ada dalam Daftar Daerah Dekolonisasi seperti Timor Lester (Lihat Lampiran Daftar

Trust & Non Self Government Territory 1945 - 1999). Serta beliau mengatakan

bahwa bahasa Take Note of the Report of Secretary General merupakan bahasa yang

menunjukkan pengertian Pengesahan Papua adalah Sah/Resmi berada dibawah

Kekuasaan NKRI. Beliau mengomentari tuan Aktifis Papua Ottis Simopiaref yang

mengatakan di Antena Nederland bahwa Resolusi 2054 Tidak Mensahkan Papua

bagian dari NKRI tetapi Resolusi itu hanya berisi tentang Pencatatan Laporan utusan

SEKJEN PBB Fernando Ortisan. [21]

Jika memang Papua Barat adalah bagian dari NKRI, maka seharunya disahkan

melalui Undang-Undang untuk menjadi Provinsi ke-26 dalam NKRI. Hal yang sama

terjadi kini untuk pendirian Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi ke-33 NKRI.
Gambar. 1.18: Tahanan Pribumi Papua oleh TNI AD di Tahanan Militer Ifar Gunung sebelum
PEPERA 1969

Sumber: Center for Peace and Conflict Study – The University of Sydney

Oleh sebab itu, setelah selesai Jajak Pendapat tahun 1969 maupun setelah

berintegrasi pada 1 Mei 1963, Indonesia menjadikan Provinsi Papua sebagai Provinsi

ke-26 Republik Indonesia tidak melalui suatu Undang-Undang tetapi hanya melalui

PENPRES No. 1 tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura

(Lihat lampiran PENPRES No.1 Tahun 1963) dan INPRES No. 1 Tahun 2003 untuk

Provinsi Papua Barat yang berkedudukan di Manokwari. PENPRES No.1 Tahun

1963 dan KEPRES No. 2 (Rahasia) telah memberikan Otonomi Khusus Papua

dengan mata uang sendiri Irian Barat Rupiah (IB. Rp) untuk menggantikan mata

uang Niuew Guinea Gulden tetapi kemudian dicabut oleh Orde Baru melalui

Ketetapan MPRS No.21 Tahun 1966 Pasal 6, yang berbunyi Kedudukan Khusus

Irian Barat ditiadakan selanjutnya disamakan dengan Otonomi Daerah Lainnya di

Indonesia.[22] Kemudian diganti dengan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima


Tahun) tetapi gagal juga ketika Orde Baru ditumbangkan oleh mahasiswa pada

zaman Reformasi kemudian dikembalikan lagi ke Otonomi Khusus melalui UU No.

21 Tahun 2001 oleh Megawati Soekarno Putri.

Gambar. 1.13: MataUang Irian Barat Rupiah (IB. Rp)

Sumber: Bank Indonesia (1963-1966)

Produk President (PENPRES No. 1 Tahun 1963 dan INPRES No.1 Tahun 2003)

yang tidak memiliki kekuatan hukum ini tidak pernah diusulkan untuk menjadi

Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jika

memang Papua adalah wilayah Nederlands Indie seperti yang dikampanyekan saat

ini oleh Departemen Luar Negeri Indonesia, maka seharusnya wilayah ini disahkan

oleh NKRI melalui Undang-Undang untuk menjadi Provinsi ke-26 (Provinsi Papua)

dan Provinsi ke-33 (Provinsi Papua Barat).


Akibatnya tidak ada kepastian hukum yang menjamin Hak Hidup penduduk Pribumi

Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini terbukti

dengan adanya banyak pelanggaran HAM yang tidak ada tindakkan hukum kepada

para pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua seperti Pembantaian Biak 1998 di

Tower dekat Pelabuhan sehingga 150 orang Hilang, Kasus Pembantaian Mapenduma

1996 dengan membayar tentara bayaran dari Inggris serta pemakaian Helikopter

Palang Merah Internasional (ICRC), Kasus Pemboman Wamena Tahun 1977 melalui

Operasi Kikis, Kasus Pembantaian 1965-1968 Base Camp dekat Markas Kompi 751

Arfai oleh TNI melalui Operasi Tumpas, Kasus Operasi Militer di Jayapura sehingga

sekitar 5000 orang melintas batas ke Papua New Guinea, Kasus Penyerangan Polsek

Abe yang dimanipulasi untuk memadamkan gerakkan Mahasiswa yang tiap hari

berdemonstrasi menuntut Referendum ulang, Kasus Pelanggaran HAM di Wasior,

Ilegal Logging, Ilegal Pertambangan seperti PT. Freeport yang telah menanda

tangani Kontrak Pertama pada tahun 1967 sebelum diadakannya Jajak Pendapat

(Referendum) tahun 1969 serta perpanjangan kontrak ke-2 sebelum berakhirnya

kontrak pertama, Genocide (Pembunuhan Bangsa Papua), Etnocide (Penghilangan

Ras Bangsa Papua), Perburuan Liar oleh Militer & Polisi Indonesia, Pendudukan

Kursi Legislatif di Pusat dan Daerah oleh Non Papua, Perampasan Hak atas Tanah

untuk kepentingan Pemerintah, Penguasaan Posisi Jabatan Penting di Pemerintahan

dan Swasta oleh Non Papua, Intimidasi Para Aktivis LSM dan Aktifis Papua

Merdeka, Manipulasi Sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI di dalam Kurikulum

Pendidikan Nasional Indonesia, dll. Semuanya itu menjadi hal yang biasa dan wajar

saja di atas Tanah Papua yang dijajah ini. Akibatnya, jumlah penduduk Pribumi
Papua yang mana pada tahun 1963 berjumlah 1.000.000 (700.000 terdaftar bayar

pajak + 300.000 Tidak membayar pajak) dan merosot/berkurang menjadi 800.000

(Gabungan Pribumi dan Non Pribumi) pada tahun 1969 hingga sensus penduduk

tahun 2000 masih tetap berjumlah 1.000.000 (Satu Juta).23 Sedangkan penduduk

pendatang yang mana tahun 1963 masih 0 tetapi pada sensus penduduk tahun 2000

berjumlah 1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu). Hal ini merupakan bukti bahwa

telah terjadi Genosida (Pembasmian Suku Bangsa Papua) terhadap rakyat Pribumi

Papua.

Gambar. 1.20: Penembakkan Yustinus Murib oleh Militer Indonesia pada 5 November 2003
(Kiri) Dan Seorang Warga Papua pendukung Bupati David Hubi di Wamena yang ditembak
Polisi Indonesia.

Sumber: Center for Peace and Conflict Study – The University of Sydney
B. Rumusan Masalah

Dari Latar Belakang Masalah di atas, maka Penulis dapat MerumuskanMasalah yaitu sebagai
berikut:

1. Mengapa Konflik Papua yangberkepanjangan ini tidak pernah terselesaikan secara adil
dan benar sesuaidengan Hukum Internasional yang berlaku?
2. Apakah Klaim Indonesia atas Kerjaan Majapahit, Sultan Tidore,dan Bekas Hindia
Belanda merupakan wilayah Kekuasaan Indonesia? Jika demikian, dimanawilayah
penduduk Pribumi Papua? Apakah di Bulan?
3. Apakah Proses Penentuan NasibSendiri Tahun 1969 Sudah Sesuai Dengan Aturan
Hukum Internsional tentangProsedur Jajak Pendapat?
4. Mengapa Harus Ada Operasi Tumpas Dari Tahun 1964 ? 1968Sebelum Diadakan
Penentuan Nasib Sendiri Tahun 1969?
5. Apakah Rakyat Pribumi Papua tidakmemiliki hak yang sama seperti penduduk Pribumi
di daerah lainnya di permukaanbumi ini?
6. Apakah Papua Tidak Pernah Ada DiDalam Daftar Dekolonisasi Seperti Yang Dikatakan
Oleh Departemen Luar Negeri Indonesiadalam Bukunya yang berjudul ?Kajian Hukum
Papua Dalam NKRI ??.
7. Masalah Papua adalah masalahInternasional karena terlibatnya beberapa Negara seperti
Indonesia, Belanda,Amerika, Rusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena telah
melanggar HakPribumi Papua Melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Proses
PenentuanNasib Sendiri Tahun 1969.
8. Bagaimana mencari solusi untukmenyelesaikan konflik Papua yang telah berlangsung
selama ± ½ abad ini?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini terdiri dari dua, yaitu:

1. Tujuah Khusus : Untuk mengumpulkan data-data daninformasi tentang


Papua,menganalisanya, serta menyusunya sebagai sebuah LaporanPengkajianIlmiah
untuk penyelesaian Konflik Papua secara damai pada SidangPribumidi Forum Permanent
PBB.
2. Tujuan Umum : Untuk dipublikasikan ke seluruhDunia tentang Sejarah Papua agar
generasi baru tidak termanipulasi sejarah lagiserta dapat mengetahui penyebab konflik di
Papua.
D. Manfaat Penelitian

Untuk menambah wawasan tentang Latar Belakang Sejarah Papua dan akarpermasalahan konflik
yang terjadi selama ini serta menjadi sebuah usulan solusiuntuk penyelesaian Konflik Papua.

E. Kajian Pustaka

1. Sejarah Perkembangan LahirnyaDeklarasi PBB Tentang Hak-hak Pribumi

Masyarakat Pribumi adalah sekelompok masyarakat yang hidup di suatutempat sebelum adanya
kedatangan bangsa-bangsa luar.

Mereka memiliki hak atas tanah dankekayaan alamnya sebagai peninggalan dari Nenek Moyang
mereka.

Diperkirakan ada sekitar 300 (TigaRatus) Juta Penduduk Pribumi (IndigenousPeoples) yang
menempati wilayah permukaan bumi ini, seperti PendudukPribumi Aborigin dari Australia,
Penduduk Pribumi Indian dari Amerika, dll.

Tuhan telah menciptakan manusia danmemberi tempat kepada mereka masing-masing namun
bagi mereka yang memilikibanyak kekayaan alam akan menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa
seperti tertulisdalam kita Ulangan di atas.

Menurut dua orang Pendeta Spanyol (Fransisco Victoria dan Bartholomeo)yang berlayar
bersama-sama dengan para Penakluk Dunia (Conquistadores), mereka menyatakan bahwa
Penduduk Asli Amerikamemiliki Hak yang sama seperti kami bangsa Spanyol karena pada
waktu itu,mereka (bangsa Eropa) manganggap bahwa orang-orang di luar mereka adalahorang-
orang yang tidak beradab (Uncivilized)untuk dijadikan sebagai objek jajahan. Dan hingga saat
ini pun, banyak orangkulit putih menganggap bahwa orang kulith hitam adalah orang-orang yang
tidakberadab juga.
Apa yang dikatakan oleh merekaberdua terus menggema dalam sejarah dunia sehingga pada
tahun 1948, MasyarakatInternasional telah menyepakati disusunnya Deklarasi Universal Hak
AsasiManusia secara Umum pada tanggal 10 Desember 1948 untuk penghapusan Penjajahandi
muka bumi.

Namun pada kenyataannya, ternyatamasih ada beberapa daerah yang masih merasa terjajah
walaupun setelahterbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (UnitedNations) dan Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak AsasiManusia (United Nations Universal
Declaration on Human Rights).

Mereka yang merasa terjajah iniumumnya adalah Masyarakat Pribumi karena tenaga mereka
dipakai sebagai pekerjapaksa demi kepentingan negaranya. Oleh sebab itu, UN of ILO (United
Nations of International LabourOrganization) atau Organisasi Buruh Internasional Perserikatan
BangsaBangsa (PBB) berusaha mengkondisifikasikan hak-hak Penduduk Asli (Indigenous
Peoples), khususnya yangberhubungan dengan ketenaga kerjaan. Instrument yang pertama kali
disusun olehUN of ILO tentang subyek ini adalah Indigenousand Tribal Population Convention
No. 107 Tahun 1957. Konvensi ini memuathak-hak Indigenous Peoples (IP) atasTanah mereka,
Kondisi Kerja, Kesehatan, dan Pendidikan Masyarakat Pribumi.Hingga kini tercatat lebih dari 27
Negara yang meratifikasikan Konvensi ini. Kemudiandilengkapi lagi dengan Convention No.
169 yang lebih menegaskan bahwa carahidup IP harus dipertahankan. Selain itu juga
menegaskan bahwa IP danlembaga-lembaga mereka harus dilibatkan dalam segala keputusan
dan perencanaan pembangunan yang akan mempengaruhi hidup mereka. Hingga kini sudah lebih
dari10 negara yang meratifikasikan konvensi ini. Oleh karena itu, UN of ILOmembentuk dua
bidang konsentrasi untuk membantu IP yaitu IndiscoProgramme (Untuk membantu peningkatan
ekonomi IP) dan Political and Human Rights (Untuk membantu penyelesaianmasalah-masalah
Politik dan Hak Asasi Manusia). Instrument hukum internasionallain yang sedikit menyinggung
tentang hak-hak IP adalah Convention on Biodiversity Tahun 1992. Konvensi ini
lebihmenekankan pemanfaatan pengetahuan, inovasi, dan teknik-teknik tradisionaluntuk
melestarikan keanekaragaman biologis. Penjabaran selanjutnya dariDeklarasi Umum tentang
Hak Asasi Manusia untuk melindungi hak-hak masyarakatPribumi yaitu dikeluarkannya
InternationalConvention on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentangHak-hak
Sipil dan Politik) tahun1966. [14]Konvensiini cukup signifikan dalam konteks perlindungan
terhadap hak-hak Masyarakat Pribumi.

Kemudian dengan Resolusi PresidentMajelis Umum PBB (General AssemblyResolution) no.


49/214 tanggal 23 Desember 1994 memutuskan untuk perayaanHari Internasional Masyarakat
Pribumi setiap tanggal 9 Agustus dan tahun 1994adalah sebagai Tahun Internasional Pribumi.

Kemajuan yang lebih dasyat lagi yaitu setelah dibentuk Working Group on Indigenous
Population (WGIP)dibawah Komisi HAM PBB (United NationOrganization High Commissioner
for Human Rights) sehingga melahirkan United Nations Permanent Forum on IndigenousIssues
(UN of PFII) yang disahkan pada tanggal 28 Juli 2000 oleh DewanEkonomi dan Sosial PBB
(United Nation ofEconomic and Social Council) dengan Resolusi No. 22/2000. Amanat
ForumPermanent ini adalah untuk membahas isu-isu yang berhubungan denganPembangunan,
Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Lingkungan Hidup, Kesehatandan Hak Asasi Manusia
Pribumi. Sidang Pribumi di forum Permanent PBB (UN ofPFII) pertama diadakan pada bulan
Mei Tahun 2003 di Markas Besar PBB. Sidangini akan diadakan setiap tahun setiap bulan Mei
langsung di Markas Besar PBB, New York ? AmerikaSerikat.

Instrument yang komprehensif tentang perlindungan hak-hak IP dimuatdalam United Nations


Draft Declaration onThe Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak-hak
MasyarakatPribumi) yang berhasil disusun padatahun 1994 oleh Sub-Commission onProtection
of Discrimination and Promotion of Minority (Sub KomisiPencegahan Diskriminasi dan Promosi
Kaum Minoritas). Sub Komisi ini berada dibawah UN of OHCHR (United Nations
ofOrganization High Commissioner for Human Rights) atau Organisasi KomisiTinggi HAM
PBB yang berkedudukan di Genewa, Swiss. Draft Deklarasi ini telahberhasil disahkan pada
tanggal 23 September 2007 pada Sidang Umum PBB ke-61 diMarkas Besar PBB, New York?
Amerika Serikat dengan Keputusan Majelis Umum PBB No. A/Res/61/295 yangterdiri dari 46
Pasal.

Deklarasi PBB tentang Hak-hak Pribumi berhasil dengan suara terbanyak144 Negara
mendukung, 4 menolak, dan 11 abstain. Ke-4 negara yang menolakadalah Negara bekas koloni
Inggris yaitu Amerika,Australia, Selandia Baru danCanada.Negara-negara yang abstain adalah
Azerbajian, Bangladesh, Bhutan, Burundi,Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Rusia, Samoa,
dan Ukraina. Sedangkan 43 NegaraAnggota PBB lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara
tersebut.

2. Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan


Politik.

Padatanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB)memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (DeklarasiUniversal Hak
Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuatpokok-pokok hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagaiacuan umum hasil pencapaian
untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnyapengakuan dan penghormatan hak-hak dan
kebebasan dasar secara universal danefektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB
sendiri maupun dikalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.
Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar
yangdinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikatsecara
hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBBmeminta Komisi Hak
Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkanrancangan DUHAM untuk
menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangantindakan pelaksanaannya.
Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Padatahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah
resolusi yang menyatakan bahwapengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar
di satu pihak danhak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait
dansaling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun1951, MU
PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentanghak asasi
manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenanmengenai hak ekonomi,
sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwakedua Kovenan tersebut
harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, danharus memuat Pasal yang akan
menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.

Komisi HAMPBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU
PBBpada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas keduarancangan
Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untukmemublikasikannya seluas
mungkin agar pemerintah negara-negara dapatmempelajarinya secara mendalam dan khalayak
dapat menyatakan pandangannyasecara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan
agar Komite III PBBmembahas rancangan naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun
1955.Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenanitu
baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember1966, dengan
resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hakSipil dan Politik
bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentangHak-hak Sipil dan Politik dan
Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya. Kovenan Internasionaf tentang Hak-hak
Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional

Kepentingan Amerika, Indonesia, Belanda dan PBB Kronis Pelanggaran


HAM di Papua
Share on :

*Oleh:Turius w
Papua masih merupakan wilayah rawan konflik yang belum dapat didamaikan atau
paling tidak belum ditemukan jalan terbaik penyelesaian masalahnya. Masalah
Papua bukan sekedar masalah politik melulu tetapi sudah merupakan konflik multi
dimensional yang merasuk segala aspek kehidupan social rakyat. Sebuah konflik
multi dimensional yang harus diurai dan dicari jalan penyelesaiannya dengan adil.

Jika mulai bicara soal Papua pastilah terpampang disana masalah pelanggaran HAM
yang kronis, kemiskinan structural yang melilit kehidupan hampir 40 persen
penduduk (peringkat pertama di Indonesia), pengembangan sumber daya manusia
yang stagnan, operasi dan represi militer yang tiada henti, praktek-praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang korup disertai malpraktek manajemen negara
atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan bagi Papua — episode pertarungan
Ostsus Papua versus Propinsi IJB dapat menjadi contoh dalam hal ini –,
pembalakkan liar, perusakan lingkungan yang parah hingga pencurian sumber-
sumber daya ekonomi rakyat yang tiada henti adalah merupakan beberapa aspek
konflik multi dimensional Papua yang dapat dilihat jika hendak mencermati masalah
Papua secara tuntas.

Konflik Papua juga bukan melulu konflik politik domestik Indonesia. Tanah Papua,
dengan sumber daya alam yang melimpah, sudah mengundang begitu banyak
pihak yang memiliki kepentingan eksploitasi ekonomi sejak awal permasalahan
politik Papua muncul dalam forum-forum internasional ketika menguatnya
perebutan hegemoni atas Tanah Papua oleh Indonesia dan Belanda pada tahun
1960-an. Bolehlah dikatakan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat,
Belanda, Inggris dan Australia adalah pihak-pihak luar yang dalam lima decade
terakhir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung atas berbagai soal yang
muncul di Papua karena kepentingan eksplotasi sumber-sumber ekonomi mereka di
Tanah Papua. Karena sumber daya alam yang melimpah itu maka dapatlah
dikatakan Papua sejak awal telah menjadi masalah dalam peta politik global yang
harus diamati secara lugas jika hendak melakukan sebuah perubahan yang
kualitatif dan berarti dalam permasalahan Papua.
Konkalikong imperialis global dengan pemerintah Indonesia pada saat negosiasi-
negosiasi politik internasional soal Tanah Papua dibicarakan tampak dengan jelas.
Sandiwara politik mengenai Papua yang disutradarai agen-agen imperialis seperti
AS jelas menjadi sebuah kebijakan politik resmi kekuatan imperialis (konspirasi
modal asing) dalam mengintervensi masalah politik Papua yang menghendaki
Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan
menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua.
Latar belakang deal-politik mengenai status politik Papua yang demikian, jelas
sekali menjadi latar sejarah yang dominan dalam masalah Papua.
Untuk mengelabui masyarakat global, berbagai kebijakan diplomatic internasional
ditetapkan untuk dijalankan dalam penyelesaian masalah Papua. Sebagai contoh,
tarik ulur antara Indonesia dan Belanda soal Papua, berdasarkan intervensi AS,
berhasil diminimalisir menjadi bentrok terbuka dengan dipaksakannya pelaksanaan
proposal Bunker — proposal ini dirancang oleh Elsworth Bunker, seorang diplomat
senior AS di PBB — yang mengatur mengenai aksi politik penyelesaian masalah
Tanah Papua.
Berdasarkan tekanan yang kuat dari AS, Belanda dan Indonesia akhirnya
menyepakati usulan Bunker dan ditandatangani pada tanggal 31 Juli 1962. Proposal
Bunker inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya resolusi PBB Nomor 1752 dalam
Sidang Umum PBB mengenai Perjanjian New York yang ditetapkan pada tanggal 24
September 1962. Bagian terpenting dari New York Agreement adalah ketetapan
mengenai aksi bebas memilih (Act of Free Choice) bagi rakyat Papua yang dalam
beberapa hal dilakukan secara manipulatif saat itu di Papua.
Perjanjian New York itu tidak dipraktekkan secara benar di Papua oleh karena
kepentingan ekonomi politik yang lebih dominan dari imperialis global dalam
penyelesaian masalah Papua. Untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi
ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang
dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia
Roma (the Secret Rome Agreement) pada tanggal 30 September 1962, tepat
seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York.
Isi perjanjian rahasia roma adalah; Pertama, pelaksanaan penentuan nasib sendiri
agar ditunda atau dibatalkan; Kedua, Indonesia memerintah Papua selama 25
Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; Ketiga, metode Act of Free Choice
digunakan dengan metode Indonesia, yakni musyawarah; Keempat, AS
berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi
eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; Kelima, AS menjamin Bank
Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar
AS untuk jangka waktu 25 tahun; Keenam, AS menjamin Indonesia melalui Bank
Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka
penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.
Pasal empat perjanjian rahasia Roma, seperti tertulis diatas, menjadi giroh atau inti
dari semua soal yang melatar belakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai
Papua. Semangat ekspansionis modal imperialis yang demikian kuat menjadi dasar
sengketa politik Papua yang kemudian menjadi semakin stabil dibawah
pemerintahan orde baru Soeharto yang pro AS. Sebuah cerita panjang mengenai
pencurian sumber daya alam Papua yang tanpa henti itu, rupa-rupanya berawal
dari dan bermula dari sini.
Papua Sebagai Jaminan Liberalisasi Ekonomi Imperialis Di Indonesia
Bulan Nopember 1965, sebulan setelah kudeta berdarah terhadap Soekarno yang
anti Barat, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi
ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan
Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia
yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian
mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes
Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang
ditelitinya pada tahun 1960.
Soeharto, presiden RI kedua, berpaling pada ekonom-ekonom Indonesia yang
dididik AS. Mafia Berkeley, demikian sebutan kelompok ekonom ini, pada masa
orde baru akan menjadi kelompok sentral yang mengarahkan kemana arah
kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan, mereka menjadi kaki tangan IMF dan
Bank Dunia dan berdasarkan nasihat-nasihat ekonomi yang mereka berikan kepada
pemerintahan orde baru dimulailah sebuah fase liberalisasi ekonomi yang
memudahkan investasi modal asing masuk ke Indonesia dan Papua — sebagai
daerah yang masih bermasalah pada awal pemerintahan orde baru — menjadi
pertaruhan ekonomi dan harga yang harus dibayar bagi imperialis oleh Indoneia
sebagai bargaining position untuk tetap memiliki Tanah Papua.
Barangkali banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa pintu gerbang investasi
modal Asing di Indonesia terbuka lebar oleh karena kehadiran Freeport McMoran
Gold & Copper yang sejak awal 1960-an sudah berminat dan bernafsu untuk
melakukan penambangan tembaga dan emas di Papua. Barangkali juga banyak
yang hendak melupakan kenyataan bahwa Papua, yang sampai sekarang masih
bermasalah itu, adalah harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk memperoleh
dukungan AS dan imperialis global dan memantapkan pijakkan kekuasaannya atas
wilayah ini.
Untuk membuka kemungkinan dilakukannya investasi ekonomi, Freeport
melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia yang melahirkan kontrak karya
(kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh
pihak asing di Indonesia. Kontrak karya yang dibuat Indonesia dan pihak Freeport
itu ditetapkan pada bulan April 1967. Seperti kita ketahui, pada saat itu aksi bebas
memilih (act of free choice) atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘penentuan
pendapat rakyat’ (pepera) belum dilakukan dan wilayah Papua secara de jure
belum berada dalam kekuasaan NKRI.
Desakan liberalisasi ekonomi yang kuat dari modal asing mengharuskan Indonesia
mengeluarkan paket-paket kebijakan ekonomi yang aman, murah dan mudah
diakses oleh modal asing tanpa banyak urusan birokrasi yang memberatkan dalam
rangka eksploitasi ekonomi mereka. Oleh karena itu kehadiran Freeport dan
kontrak karya yang sudah dibuatnya dengan Indonesia dikemudian hari melahirkan
dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang
pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi
Indonesia. Kedua paket kebijakan ekonomi itu adalah dikeluarkannya UU No.1
Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun
1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan) . Kedua paket kebijakan
ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi
nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio
Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya.
Tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa Papua menjadi tolok ukur sebuah
perubahan kebijakan ekonomi secara signifikan di Indonesia dan bisa dibenarkan
pula bahwa Papua dikorbankan dan digadaikan kepada asing oleh Indonesia dalam
rangka membeli dukungan politik internasional, terutama AS, untuk memasukkan
Papua ke Indonesia. Sebuah sikap politik yang hingga saat ini menimbulkan konflik
tiada henti antara rakyat Papua yang sadar akan tergadainya hak-hak politik
mereka dengan pemerintah Indonesia yang tamak, serakah dan yang diperbudak
modal asing.
Otonomi Khusus Papua Merupakan Paket Ekonomi Politik Neo-Liberal
Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 1995 dan semakin menguat pada
tahun 1997 juga menerpa Indonesia. Beberapa analisis strukturalis mengemukakan
pendapat mereka bahwa krisis ekonomi yang terjadi saat itu adalah merupakan
wujud dari dinamika internal kapitalisme yang hendak merubah metode eksploitasi
ekonominya.
Pada tahun 1960-an dalam metode eksploitasi kapitalisme global dikenal istilah
pembangunanisme atau developmentalism, pada decade 1970-an sampai dengan
1980-an akhir kapitalisme menerapkan metode eksploitasi ekonomi melalui sebuah
pendekatan yang disebut liberalisme pasar.
Rupa-rupanya liberalisme pasar tidak lagi menghasilkan fulus yang aman bagi
induk kapitalis karena berbagai praktek birokrasi yang korup dinegara-negara dunia
ketiga, kondisi yang demikian melahirkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisien
bagi ekspansi modal maupun penarikan untung oleh kapitalisme global.
Dengan demikian dibuatlah krisis ekonomi yang dilancarkan sendiri oleh kaum
imperialis di beberapa negara, termasuk di Indonesia saat itu, untuk merontokkan
mesin-mesin kekuasaan yang korup dan yang sudah tidak lagi memberi
keuntungan secara ekonomis dan politik bagi eksploitasi ekonomi negara-negara
induk kapitalis.
Krisis ekonomi global menyebabkan gerakan reformasi muncul kepermukaan dan
melahirkan sentimen perlawanan rakyat yang meluas atas berbagai ketidakadilan,
praktek korupsi yang merajalela, sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi,
pengebirian hak-hak demokrasi rakyat dan berbagai pelanggaran hak asazi
manusia yang sangat identik dengan kekuasaan fasis-militeristik orde baru.
Dalam konteks Papua, dua sisi musti dilihat. Pertama, munculnya gerak reformasi
itu memberikan ruang demokrasi yang lapang bagi rakyat Papua untuk
menyuarakan hak-hak politiknya yang lebih dari empat decade ditiadakan dengan
paksa dibawah tekanan militeristik pemerintahan yang berkuasa yang telah
melahirkan begitu banyak pelanggaran HAM yang mengerikan. Kedua,
ketidakadilan ekonomi yang terjadi selama ini rupanya tidak termaafkan lagi oleh
rakyat Papua, betapa tidak, puluhan trilyun rupiah disumbang Papua secara rutin
tiap tahun kedalam kocek pemerintahan pusat dari berbagai eksploitasi sumber
daya alam yang terjadi, sementara Papua hanya mendapat bagian dengan jumlah
tidak lebih dari satu persen, sebuah paradoks yang menyakitkan.
Dua hal diatas menyebabkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka menguat. Tidak
ada pilihan lain, pemerintah Indonesia rupanya harus mengambil jalan baru untuk
tetap menjaga Papua berada dalam kekuasaan NKRI agar proses eksploitasi
ekonomi yang telah berlangsung selama ini tetap berjalan dengan eksis.
Mirip politik etis jaman Hindia Belanda, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan
paket politik, yang dapat disebut politik etis, yaitu Otonomi Khusus bagi rakyat
Papua. Disatu sisi, Otsus dipandang pemerintah Indonesia dapat selesaikan
masalah Papua secara tuntas, tetapi disisi yang lain, Otsus Papua yang merupakan
paket politik neo-liberal titipan IMF dan Bank Dunia, bagi para pemilik modal asing,
memberikan dampak positif dan jaminan bagi kelangsungan eksploitasi mereka
serta bahkan semakin memudahkan cengkeraman modal dan eksploitasinya di
Papua.
Dalam konteks ini, desentralisasi politik yang diberikan kepada Papua dalam paket
Otsus adalah merupakan taktik imperialisme global yang disodori kepada
pemerintah Indonesia untuk dijalankan di Papua. Bukan cerita baru, sentralisasi
ekonomi selama ini dijalankan oleh Jakarta dengan praktek korupsi yang menggila,
dianggap merugikan bagi investasi modal asing. Jalan aman memutus budaya
korup Jakarta dan memuluskan hubungan modal asing secara langsung dengan
Papua adalah melalui pemberian Otsus, karena dalam paket Otsus, pemodal asing
bisa langsung berurusan dengan pemerintah Papua, tanpa harus melalui Jakarta,
jika menginginkan investasi ekonomi diwilayah ini. Bukan tidak mungkin, jika Otsus
dijalankan dengan tepat berdasarkan keinginan imperialis global, maka Papua akan
menjadi primadona eksploitasi modal asing pada masa-masa yang akan datang.
Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, AS, Inggris, Australia dan
beberapa negara Barat lainnya selalu mengemukakan dengan jelas bahwa mereka
tetap mendukung Papua berada dalam NKRI, karena sudah terbaca dengan jelas
keuntungan ekonomis yang akan mereka peroleh jika mereka mampu mendorong
pemerintah Indonesia menjalankan agenda Otsus dengan benar di Papua.

Anda mungkin juga menyukai