Anda di halaman 1dari 16

ORGANISASI PAPUA MERDEKA DAN KESENJANGAN SOSIAL DI PAPUA

Galby Rifqi Samhudi


Diplomasi Pertahanan – Universitas Pertahanan

Pendahuluan

Dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Jakarta


mengklaim seluruh bekas jajahan wilayah Hindia Belanda termasuk wilayah barat pulau
Irian (Sekarang bernama Papua) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Akan tetapi Belanda masih menganggap wilayah tersebut merupakan salah
satu provinsi Kerajaan Belanda yang berpusat di Amsterdam. Tercatat beberapa kali
pemerintah Indonesia dan Belanda melakukan perundingan untuk menyelesaikan
sengketa Irian Barat ini baik secara bilateral maupun mediasi dari organisasi
internasional.

Demi mendapatkan wilayah Irian Barat, Presiden Sukarno kemudian membentuk


Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan mengumumkan Tri Komando Rakyat,
atau yang lebih dikenal dengan Trikora, sebagai perlawanan terhadap Belanda untuk
menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Pengumuman ini dilakukan
Presiden di Alun-alun Utara Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Selain itu
juga, Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima
operasi militer Trikora. (Rangkasbitung, 2017)

Pada tanggal 1 Mei 1963, Irian Barat menjadi bagian Indonesia. UNTEA (United
Nations Temporary Executive Administration) menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia dengan persyaratan harus diadakan pungutan suara pendapat rakyat pada
tahun 1969. (Danni, 2015) UNTEA merupakan badan yang dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masa tugas periode 1962-1963 dengan kepala pelaksana
Djalal Abdoh. (UN, 2015)

1
Tahun 1969 dilangsungkan Penentuan Pendapat Rakyat Irian Jaya (Pepera). Hasilnya,
rakyat di Irian Barat tetap ingin bergabung dengan Republik Indonesia. Nama Irian
Barat kemudian diganti dengan nama Irian Jaya dan menjadi provinsi ke-26 Republik
Indonesia.

Pada perjalanannya, Organisasi Papua Merdeka (OPM) merasa bahwa referendum


tersebut merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Konstelasi politik luar negeri
pada saat itu membuat Amerika cenderung mendukung pemerintah Indonesia agar
pengaruh komunis Soviet di Asia Pasifik lemah. (Rangkasbitung, 2017) Belum lagi
pembangunan yang lambat, tuduhan pelanggaran HAM atas masyarakat asli Papua
yang dilakukan pemerintah Indonesia, eksploitasi bumi Papua oleh perusahaan asing,
dan isu-isu kemiskinan menjadi pematik makin kuatnya resistensi OPM terhadap
pemerintah Jakarta.

Tensi pemberontakan dan ketidakpuasan OPM terhadap kebijakan pemerintah pusat


menjadi isu klasik di tanah Papua hingga saat ini. Dengan akar konflik yang belum
terselesaikan, aksi-aksi separatis OPM nampak belum akan berhenti dalam waktu
dekat ini. Ditambah dengan lingkungan yang lebih ekstrim dari daerah-daerah lainnya di
Indonesia dan letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan atau kota-kota besar di
Indonesia, pendekatan untuk memecahkan konflik OPM di Papua haruslah ditangani
secara hati-hati.

2
Dinamika Konflik

Pada mulanya, OPM yang didirikan pada 28 Juli 1965 di Manokwari, Papua, adalah
gerakan separatisme yang menginginkan kemerdekaan Papua dari cengkraman
pemerintah Indonesia. Munculnya gerakan ini ditandai dengan penyerangan pada barak
Pasukan Batalyon 751 Brawijaya dimana 3 orang dilaporkan terbunuh oleh suku Arfak
yang menjadi pelaku utama persitiwa ini. Pada awal mula pergerakan ini, OPM dipimpin
oleh sosok karismatik, Johan Akis, yang pada waktu itu sudah berumur 75 tahun.
(Prasetyo, 2017)

Selain pergerakan politik yang terus mendengungkan proklamasi kemerdekaan Papua


Barat, aksi separatis OPM juga diwarnai dengan gerakan militer yang dimotori oleh
Lodewijk Mandatjan-Barends Mandatjan, Awom, Ferry, dan Permias. Gerakan ini
dikenal sebagai Batalyon Papua atau PVK (Papoea Vrijwilligers Korps) yang
anggotanya banyak berasal dari suku Arfak dan Biak yang tinggal di daerah
pegunungan. (Prasetyo, 2017)

Setelah sering membuat keonaran sepanjang tahun-tahun awal berdirinya, OPM


sempat diberantas oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di
bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.

Pada tanggal 1 Juli 1971 di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, Proklamasi OPM
kembali tercetus. Tempat terjadinya peristiwa ini kelak dinamakan Markas Victoria atau
Mavik menurut bahasa Irian Jaya. Pencetus proklamasi ini adalah Seth Jafet
Rumkorem putra asli Biak yang dulunya pernah menjadi pejuang Merah Putih, inisiator
dari Partai Indonesia Merdeka yang didirikan pada Oktober 1949 di Kampus Bosnik,
Biak Timur. (Prasetyo, 2017)

Dengan rekam jejak Seth yang pada awal kemerdekaan Indonesia banyak
berkecimpung pada gerakan integrasi dengan Republik Indonesia, kekecewaannya
pada berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia menjelang Pepera
1969 yang membuatnya masuk hutan bersama aktifis separatis yang lain. (Prasetyo,
2017)

3
Hubungan dekatnya dengan pimpinan OPM, Herman Womsiwor, membuatnya terlibat
dalam berbagai aksi OPM yang salah satunya adalah pembacaan proklamasi Republik
Papua Barat pada 1 Juli 1971. Didampingi beberapa pejabat Republik Papua Barat,
Seth yang saat itu menjabat sebagai Brigadir Jenderal mengangkat dirinya sebagai
Presiden Republik Papua Barat. (Prasetyo, 2017)

Tidak hanya wilayah Papua Barat, OPM pada masa ini membidik seluruh wilayah
Papua Barat dan Papua Nugini melalui “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen” yang
ditandatangani pada 3 Desember 1974. Misi persatuan bangsa Papua dan Samarai ini
merupakan cita-cita besar untuk “100% merdeka di luar Republik Indonesia” yang
disepakati di Kota Serui, Ibukota Kabupaten Yapen-Waropen. (Prasetyo, 2017)

Tanggal 26 April 1984 menjadi hari yang bersejarah bagi pergerakan OPM dimana
salah satu tokoh kemerdekaan Papua bernama Arnold Clemens Ap yang menggunakan
pendekatan budaya tewas tertembak. Kematian Ap yang merupakan budayawan
Universitas Cenderawasih ini untuk sementara waktu dapat menyatukan sejumlah
tokoh OPM yang sempat bersilang pendapat. Kemampuannya dalam memainkan
berbagai alat musik, menari tarian tradisional, melukis, dan membuat guyonan-guyonan
khas Papua memberikan warna lain di gerakan kemerdekaan Papua ini. Dengan cara-
cara sosial, budaya, serta sejarah yang diperkenalkan Ap untuk memperkuat identitas
orang Papua menjadikannya sangat sulit untuk ditangkap dengan tuduhan makar atau
aksi subversif lainnya. (Prasetyo, 2017)

Yang terbaru adalah sosok pejuang kemerdekaan Papua, Benny Wenda, yang
melarikan diri hingga ke Inggris setelah kabur dari penjara Jayapura pada 27 Oktober
2002. Sebelumnya pada 6 Juni 2002 ia dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun
dengan tuduhan atas berbagai macam kasus yang diantaranya adalah pengerahan
masa untuk membakar kantor polisi. (Siadari, 2016)

Dengan dibantu para aktivis OPM, Benny berhasil kabur dan meyeberang ke
perbatasan Papua Nugini hingga dibantu para aktivis LSM Eropa untuk melakukan
perjalanan ke Inggris. Hingga kini, ia masih terus mengkampanyekan kemerdekaan
Papua Barat melalui berbagai forum internasional terutama yang berkaitan dengan

4
HAM. Selain itu juga, dengan usahanya pulalah OPM berhasil menjadi salah satu
observer di Melanesian Sphreadhead Group yang merupakan organisasi bagi negara-
negara di Pasifik. (Siadari, 2016)

5
Teori

Menurut Otomar J. Bartos dan Paul Wehr, salah satu pemicu terjadinya konflik adalah
ketidaksesuaian tujuan (incompatibility goal) dari kubu-kubu yang terlibat dalam
konflik. Kubu-kubu tersebut seringkali bertikai dikarenakan tujuan yang tak bisa ditawar
seperti; sumber daya, peran, dan nilai. (Bartos & Wehr, 2002, p. 29)

Yang dimaksud dengan tujuan sumber daya adalah dimana ketika pihak-pihak yang
bersengketa memperebutkan sumber daya seperti minyak bumi, batu bara, sumber
makanan, energi terbarukan seperti angin, panas bumi, air, dan lain sebagainya.
Dengan keterbatasan sumber daya yang ada dan kebutuhan yang terus meningkat,
kubu yang memperebutkannya sulit untuk mencapai kesepakatan antar mereka agar
pemanfaatannya bisa dibagi dengan mekanisme yang adil dan wajar. Dikarenakan
keyakinan zero sum gain yang berlaku pada peristiwa ini, sumber daya yang ada akan
diperebutkan oleh kubu-kubu yang mengklaimnya dengan tujuan dominasi total.

Tidak menutup kemungkinan selama sumber daya itu masih ada dan patut
diperjuangkan, kubu yang kalah akan terus mencoba untuk mengganggu kepemilikan
sang pemenang. Meski intensitas serta bentuk konflik akan berbeda, pemanfaatan
sumber daya tersebut akan selalu diwarnai dengan gesekan antar kubu yang
berkepentingan. Hal ini berdampak pada maksimalisasi pemanfaatan sumber daya
tersebut yang bisa saja terganggu.

Menurut Weber, ada tiga kategori utama dalam konteks sumber daya yang dapat
memicu konflik; kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan. (Weber, 1947) Dengan bentuk
yang kasat mata dan mudah diukur, kekayaan menjadi salah satu kepentingan yang
diperebutkan banyak pihak. Uang, tanah, modal, barang dagangan, hewan ternak, dan
lain sebagainya merupakan contoh nyata dari wujud kekayaan yang dimiliki seseorang
atau kelompok tertentu. Dari kekayaan inilah sebuah unit di masyarakat mampu
mendapatkan kepentingan lainnya, baik dengan melalui mekanisme jual-beli, barter,
dan bentuk-bentuk kesepakatan lainnya.

Variabel kedua yang masuk dalam sumber daya versi Weber adalah kekuasaan yang
bermakna kemampuan untuk berbuat sesuatu atau membuat seseorang melakukan

6
apa yang diinginkan oleh pemangku kekuasaan tersebut. (KBBI) Dengan sumber daya
yang berbentuk kekuasaan, seseorang akan mampu mendapatkan kepentingannya
meskipun kepentingan tersebut berada di tangan orang lain. Pada konteks kehidupan
sosial, kekuasaan tidak hanya merujuk pada otoritas pemerintah, tapi juga tokoh
masyarakat, pemimpin perusahaan, dan pemuka agama atau adat yang memiliki
kekuasaan dalam bentuk dan relevansinya yang berbeda-beda.

Kategori terakhir adalah kehormatan yang dapat mendatangkan insentif dari orang-
orang yang menghargai kehadiran orang yang dihormati. Hal ini dapat terjadi karena
usaha untuk membangun nama baik yang berjalan dengan baik. Dengan persepsi baik
dari orang-orang di sekitar orang yang dihormati, kemudahan bernegosiasi, akses
informasi strategis, keramahan dalam interaksi, kompromi dalam kesepakatan, dan
kemungkinan besar untuk mendapatkan hasil kesepakatan yang menguntungkan
merupakan contoh yang bisa didapat dari orang yang dihormati.

Incompatible goal selanjutnya adalah peran, yang dengan fungsi yang berbeda-beda
dari anggota masyarakat, sangat penting untuk diperjelas dan diperkuat. Dengan
berbagai kepentingan dan keistimewaan yang dimiliki aktor dominan di masyarakat,
kelompok-kelompok yang berkepentingan dan memiliki kemampuan untuk
mengakumulasi kekuatan akan berkompetisi untuk memainkan peran sentral di
masyarakat.

Negara dengan kemampuan memaksanya terkadang nampak dominan atas sebuah


masyarakat pada wilayah tertentu. Legitimasi sah dan pengakuan internasional menjadi
justifikasi bagi berbagai kebijakan publik yang berorientasi pada pendudukan penuh
terhadap wilayah dan manusia yang tinggal di sana. Belum lagi legalitas untuk
menggunakan senjata menjadi kemampuan yang sulit ditandingi oleh unit selain
negara.

Akan tetapi, dengan ikatan etnis, agama, ataupun latar belakang nasib yang sama,
kelompok penentang pemerintah mampu mengimbangi dominasi pemerintah negara
yang menduduki teritori tersebut. Dengan tujuan politik yang mendasari manuver-
manuver yang menyerang pemerintah, biasanya kelompok semacam ini bergerak

7
dengan pendekatan bottom up dengan menghimpun dukungan dan kekuatan dari
grassroots.

Tujuan lain yang sering kali sulit untuk disesuaikan dengan tujuan kelompok lain adalah
ketidakcocokan nilai. Dengan varian ideologi, moralitas, pekerti, dan nilai-nilai lainnya
yang berkarakteristik unik, sebuah golongan atau kelompok etnis tertentu sangatlah
sulit berkompromi dengan kelompok lain. Bahkan garis nilai merupakan pembatas
semu tapi selalu ada di antara kelompok-kelompok yang secara geografis hidup secara
berdampingan.

Bahkan elemen nilai ini merupakan standar klasifikasi dari unit yang paling kecil seperti
individu dan keluarga hingga unit terbesar seperti negara. Dari pemisahan inilah kubu-
kubu terbentuk dan kompetisi tercipta hingga intensitas bisa tereskalasi menjadi konflik.

Sumber daya yang diperebutkan

Ketidaksesuaian
Perebutan peran
tujuan
Perbedaan nilai

Sebetulnya, potensi konflik tersebut bisa dikelola dengan baik hingga kemungkinan
konflik pun bisa ditekan seminimal mungkin. Kehadiran pemerintah bisa menjadi
penengah dari konflik kepentingan yang terjadi antar kelompok di wilayah tertentu.
Belum lagi kehadiran para tokoh masyarakat yang dianggap menjadi pengawal
peraturan adat di daerah-daerah yang kebudayaan masyarakatnya masih tradisional.
Hal ini dikarenakan oleh karisma yang dimiliki mereka sangatlah dihormati para
penduduk asli. (Bartos & Wehr, 2002, p. 35)

8
Analisis

Jika dilihat dari sisi historis, wilayah Papua memiliki sejarah kolonial yang berbeda
dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang pernah diduduki Belanda. Jika
membandingkan gerakan separatis OPM dengan peristiwa kemerdekaan Timor Timur,
gerakan di Timtim mengklaim bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak bisa
menjadi pembenar dari pendudukan Indonesia di sana. Hal ini lantaran penjajah Timtim
bukanlah Belanda, melainkan Portugis. Hal berbeda terjadi di Papua dimana Kerajaan
Belanda merupakan penjajah di sana.

Tarik ulur perebutan wilayah Papua terus terjadi hingga beberapa tahun setelah
kemerdekaan Indonesia. Situasi mencekam tersebut menjadikan Papua daerah yang
tidak aman selama bertahun-tahun. Kelompok-kelompok yang berkepentingan di Papua
tak jarang memanfaatkan rakyat biasa untuk melancarkan terror dan aksi-aksi
kekerasan lainnya. Dengan sendirinya, masyarakat Papua terbagi menjadi divisi-divisi
berdasarkan kepentingan yang bercirikan kesukuan.

Belum lagi perbedaan warna kulit, rambut, dan bahasa yang sangat bebeda dengan
masyarakat Indonesia dari daerah lain telah membuat garis batas dan pembeda antara
Papua dengan daerah lain sangat jelas. Konflik sosial yang terjadi karena unsur SARA
di Indonesia mempersulit lingkup gerak masyarakat Papua di luar daerah asalnya. Hal
ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang menginginkan Papua merdeka untuk lepas dari
naungan Indonesia.

Permasalahan utama yang terjadi di Papua adalah kesenjangan pembangunan jika


dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Kemiskinan, kesulitan pangan,
dan air bersih menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan primer bagi sebagian
besar penduduk Papua. Belum lagi kebutuhan obat-obatan, vaksinasi, pelayanan klinik
bagi ibu dan anak, serta fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya yang jauh dari kata layak.

Di kota-kota besar di Papua pun, listrik dan bahan bakar masih sulit dan mahal bagi
penduduk kelas menengah kebawah. Belum lagi infrastruktur kota yang tak sebanding
dengan pendapatan daerah dari kekayaan alam yang sangat timpang. Berbagai fasilitas
penghubung Papua, seperti badar udara dan pelabuhan, dengan kota-kota lain di luar

9
Pulau Papua belum mampu memberikan pelayanan yang mendukung pertumbuhan
pembangunan di sana.

Selama ini kebutuhan-kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari masyarakat Papua


banyak bergantung pada cara-cara tradisional dan menurut ajaran nenek moyang
mereka. Bagi penduduk yang tinggal jauh di pedalaman hutan yang tidak pernah
tersentuh manfaat pembangunan, alam menjadi penyedia berbagai kebutuhan mereka.
Tak heran ketika perusahaan-perusahaan asing mulai masuk mengeksploitasi bumi
Papua, berbagai aksi penolakan dilakukan penduduk lokal.

Selain merusak alam Papua, perusahaan-perusahan yang ada juga acuh dengan
keyakinan-keyakinan mistis masyarakat Papua. Para ahli tambang, buruh, dan orang-
orang korporat yang datang dari luar Papua nampak tak paham dengan kepercayaan
dan adat suku-suku lokal. Belum lagi insentif yang tidak sebanding yang diterima
penduduk lokal jika dibandingkan dengan kerusakan alam yang disebabkan oleh proyek
tambang yang tidak bersahabat dengan alam. Semua kerugian tersebut terakumulasi
hingga mendorong para aktifis kemerdekaan yang tergabung di OPM melakukan
aksinya.

Selain kesenjangan pembangunan, rakyat Papua juga menderita akibat kualitas sumber
daya manusianya yang tidak ditopang oleh fasilitas pendidikan yang memadai. Sulitnya
medan yang harus ditempuh ditenggarai sebagai sebab utama tersendatnya distribusi
guru, buku, dan berbagai alat penunjang pendidikan lainnya. Walhasil, putra asli Papua
sulit bersaing dengan anak-anak daerah lainnya yang sudah melaksanakan proses
belajar mengajar dengan fasilitas yang mumpuni.

Dikarenakan permasalahn pendidikan yang sudah menghambat tumbuh kembang anak


di masa sekolah, kualitas intelektual putra Papua juga terhambat ketika memasuki
masa pendidikan tinggi. Ketika mahasiswa-mahasiswa Papua dikirim ke berbagai
universitas-universitas di pelosok negeri, masih banyak yang kesulitan untuk mengikuti
pelajaran. Malahan sebagian dari mereka juga kesulitan untuk bersosialisasi dan
beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Beberapa dari mereka juga sering membuat
keonaran dan menggunakan pendekatan-pendekatan kasar dalam menyelesaikan

10
masalah yang ada diantara mereka. Jadilah proses pendidikan mereka banyak yang
terlunta-lunta hingga gagal di tengah jalan.

Akan tetapi tidak semua putra Papua tidak bisa bersaing dalam bidang pendidikan.
Beberapa siswa asli Papua juga telah berhasil berprestasi dan bahkan telah
mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional.

Di samping permasalahan SDM-nya, Papua juga belum berhasil menyelesaikan


kontroversi-kontroversi pendudukan dan ekploitasi bumi Papua oleh perusahaan-
perusahaan asing. Freeport merupakan contoh nyata dari penindasan kapitalisme akan
kearifan lokal dan keseimbangan alam khususnya di Timika. Pada dasarnya, konflik di
Timika merupakan konflik klasik yang terjadi antara suku-suku yang secara tradisional
mendiami wilayah ini. Perang karena alasan kepercayaan dan adat sudah menjadi akar
permusuhan terutama antara dua suku dominan; Amungme dan Kamoro.

Menurut kepercayaan suku Amungme, tanah merupakan elemen kehidupan yang


sangat sakral karena dari tanahlah kehidupan muncul dan berkembang. Selain itu,
tanah merupakan pondasi dari kehidupan sosial dan juga agama yang harus dijaga
kelestariannya agar keseimbangan eksistensi manusia dan alam selalu terpelihara
serta harmonis. (Mampioper, 2007)

Di sisi lain, Suku Kamoro percaya bahwa air merupakan bagian besar dari hidup
mereka. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aktifitas dan tradisi Suku Kamoro yang lekat
dengan air seperti perahu yang menjadi sarana perang antar suku, tradisi berburu
buaya, seni pembuatan perahu, dan lain sebagainya. Bahkan hal-hal tersebut dapat
melambangkan status sosial bagi seorang anggota Suku Kamoro. (Liputan6, 2001)

Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di wilayah Timika ini
sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat serta kepercayaannya yang telah
mengakar dari generasi ke generasi. Begitu juga bentuk konflik yang ada di antara
suku. Sebab-sebab klasik seperti perebutan tanah, pembalasan dendam atas kematian
seorang anggota suku yang dibunuh oleh suku lain, pencurian babi, pelanggaran batas
wilayah suku, dan hal-hal yang berawal dari individu-individu anggota suku menjadi
latar belakang perang suku di Papua.

11
Dalam penanganannya, peran kepala suku, tokoh masyarakat, pemuka adat, serta
pemuka agama biasanya menjadi penengah jika terjadi konflik. Jalan keluarnya pun
terhitung simpel dengan pendekatan secara adat serta kekeluargaan.

Tensi konflik di Timika semakin tinggi ketika Freeport memulai proses industrinya
dengan merusak lingkungan sekitar. Hal ini bermula pada kesepakatan Freeport
dengan pemerintah pusat untuk menggali dan membuang tanah yang ada di wilayah
Suku Amungme. (Mirajoely, 2017) Aksi ini dikecam oleh Suku Amungme karena
menurut kepercayaan mereka perusakan tanah telah membuat murka arwah para
leluhur dengan ditandai dengan banyaknya korban jiwa dari warga Amungme yang
berjatuhan karena penyakit dan bencana. (TabloidJubi, 2009)

Selain itu, hasil tanah buangan Freeport juga berdampak buruk pada Suku Kamoro
yang kehidupannya bergantung pada hasil perikanan. Menurut temuan WALHI Papua,
perairan yang menjadi akses Suku Kamoro untuk menjual ikan telah mengalami
pendangkalan karena limbah tailing. Dengan sulitnya akses ke pasar, terutama ketika
air surut, banyak hasil tangkapan yang membusuk dan rusak karena para penjual harus
menunggu air kembali pasang untuk melalui jalur air. (Mirajoely, 2017)

Dengan rusaknya lingkungan di tempat tinggal masyarakat lokal, mulailah terjadi


pergeseran populasi yang bergerak pindah demi mencari lokasi yang aman untuk
ditinggali. Akan tetapi, dengan adanya ketetapan wilayah adat, pergeseran populasi ini
memercikkan api konflik ketika sebuah suku melanggar batas wilayah suku lainnya.
Selain untuk mencari tempat tinggal, pelanggaran wilayah juga sering terjadi pada saat
penduduk lokal melakukan perburuan demi mendapatkan makanan untuk keluarganya.
Fenomena inilah yang menjadi titik perubahan variasi konflik di Timika semenjak
masuknya Freeport.

Untuk menanggulangi berbagai masalah di Papua di atas, pemerintah Indonesia sudah


banyak mengupayakan berbagai cara untuk mendorong pertumbuhan serta
pembangunan di sana. Baru-baru ini Presiden Joko Widodo memberlakukan program
BBM satu harga di Papua yang membuat yang tadinya harga BBM di Papua mencapai
Rp. 70-100 ribu per liter menjadi Rp. 6.450 per liter untuk jenis premium. Program yang

12
terhitung efektif sejak 18 Oktober 2016 ini diharapkan mampu membantu masyarakat
Papua yang kurang mampu. (Muliana, 2016)

Program ini adalah salah satu contoh dari beberapa program yang dibuat Presiden
Joko Widodo untuk merangkul masyarakat Papua. Beberapa program lain adalah
pembangunan tol laut yang menghubungkan kota-kota pelabuhan di Papua,
pembangunan Pasar Mamamama di Jayapura, pembangunan Istana Presiden, dan
pembangunan jalan Nduga-Wamena menjadi bukti cara-cara pemerintah Indonesia
memperlakukan Papua secara adil.

Selain program-program tersebut, sebetulnya pemerintah daerah Papua telah diberikan


otonomi khusus sejak 2001 untuk mengatur dan mengelola Papua secara mandiri dan
tidak bergantung dengan pemerintah pusat. Otsus ini merupakan dasar hukum yang
kuat serta jelas bagi berbagai kebijakan daerah Papua mengenai urusan lokalnya.
Dengan adanya landasan hukum ini diharapkan Papua bisa menentukan nasibnya
sendiri dan bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal dari kekayaan potensi bumi
Papua yang harusnya dinikmati oleh masyarakat Papua.

Akan tetapi, otsus ini juga berimplikasi pada kenaikan jumlah korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat pemerintah, baik dari Provinsi Papua ataupun Papua Barat. Contoh
teranyar dari kasus korupsi di Papua adalah ditangkapnya Mikael Kambuaya, kepala
dinas pekerjaan umum Papua, atas tuduhan korupsi yang merugikan negara sebesar
Rp. 42 miliar. MK menjadi tersangka korupsi dari proyek pembangunan jalan Kemiri-
Depapre di Papua. (Fadhil, 2017)

Permasalahan-permasalahan yang bercirikan top-down dan bottom-up yang terjadi di


Papua inilah yang menjadikan motif gerakan OPM. Meski nampak pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hubungan harmonis
antara Papua dan pusat, problematika yang ada di masyarakat nampak belum akan
hilang dalam waktu dekat ini.

13
Kesimpulan

Meski memerdekakan Papua bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan


permasalahan dan konflik yang ada, OPM masih terus mendengungkan pentingnya
Papua merdeka dari Indonesia. Apalagi jika pemerintah Indonesia belum mampu
menghadirkan solusi yang tepat dan melakukan langkah nyata untuk memberikan
kehidupan yang lebih layak kepada masyarakat di sana, OPM akan terus mendapatkan
simpati, baik dari lingkungan masyarakat lokal Papua maupun tingkat regional Pasifik
dan internasional.

Dengan klaim yang diajukan OPM atas pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah
Indonesia kepada aktifis-aktifis kemerdekaan Papua, pemerintah Indonesia nampak
abai akan tuduhan-tuduhan tersebut. Selain itu juga pendekatan yang dipakai
pemerintah Indonesia untuk menghadapi OPM ini adalah dengan tidak menganggap
keberadaan OPM di Papua. Hal ini berdasarkan pertimbangan jika pemerintah
Indonesia mau bernegosiasi dengan mereka, maka secara de facto pemerintah
Indonesia menganggap OPM ada. Jika itu terjadi maka OPM akan lebih leluasa
bernegosiasi dengan negara-negara lain demi misinya menjadi negara yang berdaulat
dan diakui oleh negara lainnya atau organisasi internasional seperti PBB.

Pada dasarnya, cara yang sudah ditempuh oleh Indonesia dengan tidak menanggapi
tuntutan-tuntutan OPM merupakan respon normal dari sebuah negara berdaulat ke
organisasi separatis. Tapi mungkin harus ada pendekatan yang harus diperbaiki ketika
berdiplomasi dengan negara-negara di Pasifik agar mereka tidak mencampuri urusan
domestik Indonesia tanpa membuat mereka menjadi musuh Indonesia. Hal ini penting
dilakukan mengingat Benny Wenda yang tak kenal lelah mempromosikan kemerdekaan
Papua ke negara-negara di dunia dengan dalih kemerdekaan dan kebebasan. Dengan
kata lain, meski Indonesia tidak mengakui secara langsung keberadaan OPM, mau
tidak mau Indonesia harus menghadapi tantangan diplomasi yang dilakukan OPM di
dunia internasional.

14
Daftar Pustaka

Bartos, O. J., & Wehr, P. (2002). Using Conflict Theory. Cambridge: Cambridge
University Press.

Danni. (2015, Mei 1). Sejarah Dunia Hari Ini: Irian Masuk Indonesia. Diakses pada
tanggal April 17, 2017, dari Tempo:
https://m.tempo.co/read/news/2015/05/01/121662546/sejarah-dunia-hari-ini-irian-
masuk-indonesia

Fadhil, H. (2017, Februari 3). KPK Tetapkan Kadis PU Papua Sebagai Tersangka
Korupsi. Diakses pada tanggal April 24, 2017, dari Detik News:
https://news.detik.com/berita/d-3413302/kpk-tetapkan-kadis-pu-papua-sebagai-
tersangka-korupsi

KBBI. (n.d.). Diakses pada tanggal April 17, 2017, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia:
http://kbbi.web.id/kuasa

Liputan6. (2001, Agustus 17). Suku Kamoro, dan Kebudayaan yang Tersisa. Diakses
pada tanggal Maret 5, 2017, dari Liputan 6: http://news.liputan6.com/read/18307/suku-
kamoro-dan-kebudayaan-yang-tersisa

Mampioper, D. A. (2007, November 1). Mengapa Perang Suku Sering Terjadi di


Kabupaten Mimika. Diakses pada tanggal Maret 5, 2017, dari Kabar Indonesia:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20071101111634

Mirajoely. (2017, Februari 23). Keperihatinan Kelompok Masyarakat Sipil Terhadap


Konflik PT. Freeport dan pemerintah Indonesia. Diakses pada tanggal Februari 5, 2017,
dari WALHI: http://www.walhi.or.id/2017/02/24/keperihatinan-kelompok-masyarakat-
sipil-terhadap-konflik-pt-freeport-dan-pemerintah-indonesia/

Muliana, V. A. (2016, Oktober 18). Harga BBM di Papua Dulu Rp.100 Ribu, Kini
Rp.6.450 Per Liter. Diakses pada tanggal April 24, 2017, dari Liputan 6:
http://bisnis.liputan6.com/read/2629005/harga-bbm-di-papua-dulu-rp-100-ribu-kini-rp-
6450-per-liter

15
Prasetyo, A. R. (2017, April 17). Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka). Diakses
pada tanggal April 17, 2017, dari Aris Rofiq Prasetyo, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta: http://blog.umy.ac.id/arisrofiqprasetyo/sejarah-opmorganisasi-papua-
merdeka/

Rangkasbitung, S. S. (2017, April 17). Sejarah Trikora. Diakses pada tanggal April 17,
2017, dari Prodi Sejarah STKIP Setiabudhi Rangkasbitung: http://pensa-sb.info/sejarah-
trikora/

Siadari, E. E. (2016, Mei 25). Wawancara Khusus Benny Wenda: Kami akan Bawa
Papua ke PBB. Diakses pada tanggal April 20, 2017, dari Papua Merdeka News:
https://papuapost.wordpress.com/2016/05/25/wawancara-khusus-benny-wenda-kami-
akan-bawa-papua-ke-pbb/

TabloidJubi. (2009, Februari 11). Di Papua, Perang Suku Telah Terkontaminasi.


Diakses pada tanggal Maret 5, 2017, dari TabloidJubi.com:
http://tabloidjubi.com/arch/2009/02/11/di-papua-perang-suku-telah-terkontaminasi/

UN. (2015, Mei 4). Fonds United Nations Temporary Executive Authority in West Irian
(UNTEA) (1962-1963) - AG-059. Diakses pada tanggal Mei 17, 2017, dari United
Nations Archives: https://search.archives.un.org/united-nations-temporary-executive-
authority-in-west-irian-untea-1962-1963

Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford
University Press.

16

Anda mungkin juga menyukai