Anda di halaman 1dari 39

SEJARAH PAPUA

Sejarah Papua Tidak Terlepas Dari Masa Lalu


Indonesia
Sejarah Papua tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua adalah sebuah pulau
yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur
Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan
pulau terbesar ke-dua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua
merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea,
Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua.
Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea
(Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara
sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis
perbatasan.

Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi
penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan
hutan hujan tropis yang sulit ditembus, karena terdiri dari lembah-lembah yang curam
dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju.
Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur
yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan.

Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua
berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu
dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada
di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk
melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh.

Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat
sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang
artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia
Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk
Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua.

Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, dimana tercatat bahwa
selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di
wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan
persembahan kepada kerajaan China. Didalam persembahan itu terdapat beberapa ekor
burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan
hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.

Dalam catatan yang tertulis didalam kitab Negara Kertagama, Papua juga termasuk
kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain tertulis dalam kitab yang
merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit
tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di
dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365.

Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, namun hal itu
menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan
kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada dibawah kontrol kekuasaan kerajaan
Majapahit.

Selama berabad-abad dalam paruh pertama millennium kedua, telah terjalin hubungan
yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dimana hubungan
tersebut bukan hanya sekedar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara
penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.

Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan
menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang
terserak didalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup
intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keaneka-ragaman bahasa yang
mereka miliki. Pada tahun 1963, dimana dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang
ada, 500.000 diantara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak
difahami antara satu dengan yang lainnya.

Beragamnya bahasa diantara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan karena


terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya selama berabad-abad yang disebabkan oleh kepadatan hutan dan juga jurang
yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka, oleh karena itu sekarang
ini ada sebanyak 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara
asli. Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 atau kurang pemakainya. Beberapa
golongan kecil tentang ini sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua
pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.

Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi
bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa didalam
melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi
pasar.
Sejarah Papua Dalam NKRI Sudah Benar
Jumat, 21 Agustus 2009 | 06:20 WIB

JAYAPURA, KOMPAS.com--Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar sehingga tidak perlu
dipertanyakan dan diutak-atik lagi.

Hal tersebut diungkapkan Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee di Jayapura, Kamis
menanggapi sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke
dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) pada 1969 silam.

Ramses menegaskan, ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk
memelihara konflik di Tanah Papua.

"Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah
warga tertentu yang kebanyakan generasi muda," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung
dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

"Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda
Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar
bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda
Papua yang hadir pada saat itu," ujar Ramses.

Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal


kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, Ramses tidak menyalahkan mereka karena
minimnya pemahaman atas hal tersebut.
Menurutnya, hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan
kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat
menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United
Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal
tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.

Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan "New York
Agreement" untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan
jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari
delapan kabupaten pada masa itu.

Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah
Indonesia.

Dasar dasar perjuangan papua

DASAR DASAR PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Oleh: Ottis Simopiaref


Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?

Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara
sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:

1. hak
2. budaya
3. latarbelakang sejarah
4. realitas sekarang

ad 1. Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal
Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan
Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di
dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely
determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural
development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana
mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan
ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the
meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State -
Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep
Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup
beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several
nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external
right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan
negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri
untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara Indonesia. External right to self-
determination, or rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to
build its own state or decide whether or not it will join another state, partly or wholly
(Roethof 1951:46) - Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan
nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara
sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau
seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk
berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia
Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination
yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki
daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis
atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang
ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal
Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah
semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal.
Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.

ad 2. Budaya
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras
Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat
memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat
dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru)
dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari
Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak,
Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan
rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf
Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria
(bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan
berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari
bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di
atas.
ad 3. Latarbelakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda,
kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik
sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai
berikut:
Pertama: Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua
Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan
di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini
masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai
contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan
Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam tingkat
pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal dengan
kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam
menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan
sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan
Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika
itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu,
lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar
penjajahan asing.
Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya
penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350
tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember
1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-
1962).
Keempat: Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«.
Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru
menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I,
pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den
Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa
Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status
Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II
pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Keenam: Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan
Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua«
sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini
ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada
tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan
pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh
seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah
perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan
dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional
(international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di
dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan
perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan
sejarah.
Kedelapan: Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang
hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB
tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan
hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis
Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional.
Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera
merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah.
Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut
pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan: Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah
menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans
Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di
Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan
dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks
(alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara
tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in
Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus
Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa
(alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth
Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan
(alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.),
Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas
Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan
cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda
memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.

ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya
kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke
waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan
bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang
adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme
Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang
brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat
mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk
tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal
sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas,
sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis.
Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan
empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan
John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka
politik. Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam
sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional,
Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.)
merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun
1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea
sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.

Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember
1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat).
Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama
pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai
dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal secara
misterius di penjara Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama
tahun 1996. Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13
Maret). Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai.
Nabire dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi
awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah
satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma
bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil menjalani
proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup daerah
luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998
terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu,
Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga
beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar
menghentikan kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat
telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa ini. Di samping sukses yang telah
dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan
Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka
telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang
diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah,
pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan.
Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah
mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia
yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih
disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan
menang suatu ketika!).

Masa depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di
dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free
Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib
sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah
Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada
Karkara oleh Ottis Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk
memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh
pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of
Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa
rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB
untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri.
PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini
merupakan motivasi di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut
pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di
masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu
berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang
sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana
dunia telah menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat
Papua Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun
semakin menyadari hal ini.

Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah
meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik
pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam yang
sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang
kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik
pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa Barat.
Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku jika mengunjungi
negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel. Berbagai media di dunia pada 4
Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama kali oleh Amerika
Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine Albright. "Amerika Serikat
menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika
Latin selama perang dingin", kata Albright. AS ketika itu mendukung para diktator
bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana terjadi pembantaian
terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah
hitam yang ditulisnya dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian
hari. Satu per satu para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal
Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang
diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan diadili atas terbunuhnya
beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk
mendokumentasikan identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat.
Dokumentasi tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin
ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap
beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan
Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris
menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat,
yang mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser
Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh Israel.
Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika Utara mampir di
Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front Polisario dan Maroko. Front
Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang menduduki
Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia
Utara, Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka dan
memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah yang menduduki
negeri mereka. Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap
berjuang untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat
membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini merupakan
manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari
Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak
untuk merdeka di luar Indonesia.

Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang
meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau
dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang
sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat.
Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga
yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk
menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan
dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya
dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai
selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin Luther
King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat, "Lemparkan kami
ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah
anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat Papua Barat mempunyai sebuah mimpi
yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita akan menang suatu
ketika«.

Tulisan di atas dipetik dari diktat berjudul Karkara karangan Ottis Simopiaref. Ottis
Simopiaref lahir tahun 1953 di Biak, Papua Barat dan sedang berdomisi di Belanda sejak
14 Maret 1984 setelah bersama tiga temannya lari dan meminta suaka politik di Kedutaan
Besar Belanda di Jakarta tanggal 28 Februari 1984.
Indonesia manipulasi sejarah papua\

Temuan Prof Drooglever: Pepera 1969, Satu ”Manipulasi Sejarah”


By Dr. Phill Erari
Nov 22, 2005, 03:40

JAKARTA—Penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 suatu “manipulasi sejarah”.


Demikian kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den
Haag, 15 November 2005, dengan membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de
Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht”
(tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas
penentuan nasib sendiri).

Karya ilmiah setebal 700 halaman dengan 14 bab itu dimulai tahun 1999 atas perintah
Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh parlemen Belanda. Penugasan
kepada sang profesor sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama
yang dimotori oleh Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.

Gerakan politik tadi mendapat angin segar setelah Gus Dur berkunjung ke Belanda pada
Februari 2000. Gus Dur sebagai Presiden, dengan wawasan politik yang luas dan
demokratis, telah mengubah paradigma Jakarta yang cenderung tertutup terhadap aspirasi
rakyat Papua. Nama Papua dikembalikan kepada rakyat, bahkan mengizinkan pengibaran
bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya dan identitas orang Papua, bukan
sebagai bendera nasional.
Sikap Gus Dur tadi tentu tidak disambut baik oleh hardliners di Jakarta, di antaranya
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang merasa Gus Dur telah mengkhianati
perjuangan Bung Karno, yang telah memberi nama Irian kepada tanah dan bangsa yang
tinggal di bekas koloni Belanda, Nederlands Nieuw Guinea.

Dua Konteks
Dua konteks yang mendorong penelitian itu dilakukan adalah, pertama karena Kongres II
Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua
merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan
oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia
yang lebih demokratis.

Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada
Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu
adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan sebetulnya dalam Perjanjian New
York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi
the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz
Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice
atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar
sesuai dengan azas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses
itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di
Papua, dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada
keberatan yang serius dari masyarakat internasional. Drooglever menyusun bukunya
berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber,
para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-
bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tidak dipakai.

Bagi Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini,
sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti
Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik
tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act
free choice bagi kepentingan Indonesia.

Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang
berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun.
Kebenaran itu kini tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena
janji untuk berdaulat sebagai negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi
kemanusiaan.

Anti “Amber”
Droogelever memaparkan antara 1962-1969 terjadi suatu proses penyimpangan dari
ketentuan New York Agreement, dimana rakyat Papua dijamin berdasarkan praktik
internasional untuk memilih sesuai hati nurani, apakah merdeka atau bergabung dengan
Indonesia.

Buku Pepera terdiri dari 14 pasal, secara historis menuturkan bagaimana orang Papua
yang baru bersentuhan dengan dunia modern di abad 16 oleh bangsa Spanyol. Antara
abad 16 hingga akhir Perang Dunia II Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia
Belanda, tak punya niat untuk memperhatikan Papua, karena secara ekonomis wilayah itu
tak punya arti.

Kendati demikian, tak boleh disangkal peranan para misionaris barat yang memulai
gerakan penginjilannya di Papua di tahun 1855. Era baru bagi Papua, dimulai oleh
semangat pekabaran injil, dan inilah proses dimana Tanah Papua dikuasai oleh para
penginjil asal Jerman, Belanda dan penginjil serta guru jemaat asal Maluku dan Kei.

Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih
rendah oleh orang Ambon dan Kei. Sebaliknya, orang Papua bersikap mencurigai orang
Ambon dan Kei sebagai “amber” (sebutan untuk pendatang) sebagai mereka yang
merampok, dengan mengingat perang hongi yang penuh darah dan perbudakan.

Sentimen anti “amber” berkembang sejak awal abad 20 dan dari waktu ke waktu belum
sempat mengalami proses pertobatan dan rekonsiliasi. Drooglever menggarisbawahi
sentimen anti “amber” itu tetap hidup subur, kendati perjumpaan orang Papua dengan
para pendatang itu semakin besar, pasca-Perang Dunia ke II.

Papua, Semangat Berdaulat Dirontokkan Bung Karno


Kontrol Belanda terhadap wilayah Papua, barulah terasa efektif setelah PD II (1950-
1961). Papua dibebaskan oleh tentara AS dari kekuasaan Jepang, dan untuk seterusnya
kepada Belanda diserahkan untuk diurus.

Dalam kurun waktu 11 tahun itu, dan ini terutama setelah Commisioner Van Eckhout
membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua dianggap sah menjadi
koloni Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan merupakan
fokus dalam kurun waktu tadi, dan Belanda yakin Papua harus dipisahkan dari Indonesia
yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Rakyat Papua tidak tinggal diam. Suatu gerakan Messianis yang lahir di awal abad 20
terus menampakkan perlawanan terhadap Belanda dan Jepang. Gerakan ini ternyata
bukan saja suatu fenomena agama adat, tetapi juga merupakan resistensi budaya dan
politik untuk mempertahankan identitas orang Papua.

Pada tahun 1961, Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang


menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang, dan lagu “Hai Tanahku Papua”
sebagai nyanyian kebangsaan, bersamaan dengan Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea
Raad) yang sudah efektif sejak 1960.

Semangat yang sempat lahir dan harapan untuk berdaulat sebagai satu bangsa, tiba-tiba
dirontokkan oleh Bung Karno melalui pidato Trikora 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Tujuan Trikora ialah membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda”.

Drooglever menggambarkan interaksi tingkat elite antara PM Luns dari Belanda dan
Presiden AS, John F Kennedy asal Partai Demokrat, dimana Luns pada awalnya meminta
PBB agar proses internasionalisasi Papua tidak melibatkan pihak Indonesia.

Nampaknya Bung Karno tidak tinggal diam. Ia melirik dukungan militer Uni Sovyet.
Ancaman Indonesia untuk memperoleh dukungan Rusia, telah membuyarkan harapan
Belanda mendapat dukungan politik dan militer dari sekutunya.

Setelah Bung Karno mendeklarasikan invasi militer ke Papua dan rencana aneksasi
secara menyeluruh rakyat dan militer, Belanda terpaksa tunduk atas desakan AS untuk
menyerah, karena AS akan sangat sulit terlibat dalam suatu konfrontasi militer, jika
terjadi perang baru di kawasan itu. Pada 2 Januari 1962 Belanda bersedia melibatkan
Indonesia dalam perundingan tentang masa depan Nieuw Guinea, Papua.

Bunker’s Plan
Konfrontasi militer yang hampir pecah dan menyulut perang terbuka Belanda-Indonesia,
akhirnya diatasi oleh proposal Bunker, Duta Besar AS di PBB. Inti rencana Bunker ialah
Papua akan dialihkan dari Pemerintah Belanda ke Indonesia, di bawah pengawasan PBB.

Perdebatan di parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa setelah transisi tersebut,


rakyat Papua masih akan menentukan hak untuk berdiri sendiri. Drooglever menyebutkan
tentang drama memperebutkan dan mempertahankan Papua, oleh Belanda dan Indonesia,
akhirnya berakhir pada Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini
mengatur bahwa Papua akan segera dialihkan oleh Belanda kepada PBB, dan di akhir
1969 akan dilakukan an act of free choice.

Kelemahan besar Belanda adalah, proses administrasi dalam masa transisi itu hanya
dikelola Indonesia, dan tidak akan ada lagi jaminan bahwa act of free choice bakal
berlangsung di bawah standar internasional. Belanda masih bisa mengatakan telah
melakukan yang terbaik bagi Papua, tetapi masyarakat Belanda mencurigai Perjanjian 15
Agustus 1962 di New York itu adalah awal dari kegagalan Belanda memenuhi janjinya
kepada rakyat Papua untuk dapat menentukan nasibnya sendiri secara adil dan benar.

Drooglever dalam studinya melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua. Ia


mencatat bahwa rakyat Papua sejak awal menyangsikan peralihan Papua kepada PBB
(UNTEA) dan rencana act of free choice tidak membawa harapan bagi orang Papua.
Mereka saksikan kekuatan PBB secara militer sangat lemah, apalagi penempatan pasukan
perdamaian PBB asal Pakistan hanya bertahan setahun.

Sementara itu pengiriman pasukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara dari
Jakarta begitu banyak, dimana sulit dibayangkan Indonesia akan melepaskan Papua
menjadi negara yang berdaulat. Kehadiran personel UNTEA sengaja dibatasi atas
desakan Indonesia, sementara itu Ortiz Sans diberi ruang gerak yang sempit, bahkan
jumlah stafnya diperkecil.

Ketika Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan
yang tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagai
pengantara UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk
melakukan suatu act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu
proses yang direkayasa oleh Jakarta.
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan
maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat
semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para
pengamat mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice adalah
tindakan yang memalukan.
Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera
untuk kepentingan Indonesia.

Dalam wawancara Drooglever dengan Radio Nederland, Drooglever mengatakan dirinya


sadar bahwa hasil penyelidikan tentang act of free choice dan kebenaran yang ia
temukan, akan membuat semacam iritasi di pihak RI, bahkan tidak ia maksudkan bahwa
studinya akan menjadi alasan untuk terancamnya NKRI. Kendati begitu, buku ini telah
menyingkap sebuah noktah hitam dalam sejarah Kerajaan Belanda, terhadap rakyat yang
pernah dijajah, di Nederlands Nieuw Guinea, tapi berakhir dengan peristiwa yang
memalukan.
_________________
Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologia GKI Abepura dan anggota eksekutif
Partnership for Governance Reform Indonesia.
© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Tags: papua
Prev: KONGGRES AMERIKA KECEWA MILITER INDONESIA DI PAPUA
Next: SRUAN AKSI MIMIKA
reply share

Kedatangan bangsa Eropa


Posted by papua on 6 August 2009 | 2 Comments

Tags: eropa, sejarah papua, sejarah, papua, indonesia, spanyol, panama, new guinea,
belanda, digul

Selama abad 16, para pelaut Spanyol melihat jalur yang lebih baik ke kepulauan Spice
dengan melalui Papua. Pada 1529, Alvaro de Saavedra, seorang berkebangsaan spanyol,
merupakan orang Eropa pertama yang datang menginjakkan kakinya di Papua.
Selanjutnya para pelaut spanyol lainnya, Ynigo Ortiz de Retez, menetap cukup lama
sehingga cukup untuk mengklaim bahwa Papua adalah masuk wilayah kekuasaan
Spanyol dan menamakan pulau tersebut sebagai Nueva Gvince (New Guinea) setelah
melihat fakta bahwa penduduk asli berkulit gelap seperti orang-orang afrika. Misi mereka
kesini adalah untuk mencari emas namun mereka tidak menemukan apa-apa.

Kemudian mereka menuju Panama dan tidak pernah kembali lagi, tetapi nama yang
diberikan untuk pulau yang mereka temukan tetap digunakan, dan hingga beberapa waktu
lamanya bagian barat pulau tersebut mereka sebut dengan West New Guinea atau
Netherlands New Guinea dimana sekarang ini sebagian dari pulau tersebut merupakan
wilayah dari Negara Papua New Guinea. Segera setelah serbuan singkat bangsa spanyol,
karena perdagangan rempah-rempah, bangsa portugis kembali membuat kolonisasi
Timor, tetapi bukan pulau besar, yang mereka sebut sebagai Ilha Papoia.

Di awal abad 17, pelaut Belanda membuat percobaan sementara untuk menduduki pulau
tetapi dipukul mundur oleh penduduk pribumi. Basis Eropa pertama adalah Inggris yang
didirikan dengan benteng di bagian barat pulau pada tahun 1793 tetapi kemudian
ditinggalkan setelah dua tahun, sebagai penghuni tetap harus membinasakan oleh
penyebaran penyakit dan juga gangguan dari colonial lainnya.

Agar dapat tetap melakukan perdagangan dengan bagian sebelah barat pulau dan tetap
penyelesaian disini, Belanda membuat sebuah rencana dengan sultan Tidore di Maluku
Utara yang mengklaim kedaulatan diluar bagian sebelah utara wilayah mereka. Melalui
undang-undang pemerintah belanda pada 1814 dan 1848, perjanjian ini diperluas untuk
mencakup seluruh bagian barat pulau, sedangkan bagian lain telah diklaim sebagai milik
Inggris dan Jerman dimana selanjutnya oleh inggris sendiri.

Belanda telah eksis dan memperkuat basis di jawa dan bagian-bagian lain dari Indonesia,
dengan membangun kekuatan di West New Guinea melalui otoritas sultan tidore.
Memasuki akhir abad 19, Belanda bertujuan untuk memisahkan West New Guinea dari
Kekuasaan Sultan Tidore dan melakukan kontrol langsung terhadap Papua.

Pada 1905, belanda mengambil alih klaim sultan atas wilayah barat West New Guinea
melalui konpensasi pembayaran, dan membuat keseimbangan posisi yang sama dengan
bagian sebelah utara. Upaya ini menimbulkan kontroversi di kalangan internal
pemerintah belanda saat bertemu dengan kekuatan perlawanan.

Meskipun demikian pada 1909, pemerintah Hindia Belanda dengan sultan


menandatangani bahwa di wilayah bagian timur kepulauan Indonesia, termasuk Tidore,
sebuah perjanjian yang memberikan belanda untuk mengambil kontrol langsung mereka
dalam hal ini wilayah pemerintahan sendiri sewaktu-waktu.

Menurut beberapa analisa, jauh sebelum itu, sesunggunya telah ada pengakuan
internasional yang efektif bahwa West New Guinea merupakan bagian dan paket dari
Hindia-Belanda Timur (Netherlands East Indies).

Pada beberapa waktu yang singkat, selama perang Napoleon pada awal abad 19, Belanda
menghasilkan East Indies untuk memperkuat tentara Inggris. Ketika perang berakhir,
Inggris mengembalikan koloni yang mereka dapat dari Belanda sesuai dengan London
Agreement (1814-1824). Khususnya disebutkan didalam perjanjian dimana bagian
sebelah timur pulau dari Netherlands East Indies, termasuk Netherlands New Guinea.

Karena itu dibuat perjanjian perbatasan antara British New Guinea dan Netherlands New
Guinea. Perbatasan ini menegaskan kembali konfirmasi surat parlemen Inggris pada juli
1886, terutama mengenai “Correspondence respecting New Guinea” yang memberikan
perhatian khusus pada perbatasan.

Sebagai koloni Belanda sejak awal abad 19 hingga menjelang pertengahan abad 20,
Papua belum pernah dieksploitasi dan sebagian besar wilayahnya hanya dijadikan sebagai
pusat dimana belanda dapat mengkontrol jalur laut dari perdagangan rempah-rempah.

Papua juga merupakan tempat pembuangan atau pengasingan para pembangkang dari
Indonesia yang tidak sepaham dengan otoritas Belanda. Sebagai tempat pembuangan
untuk perorangan yang menentang Belanda, Papua memiliki peran didalam perjuangan
Indonesia untuk merebut kemerdekaan diawal abad 20.

Di akhit tahun 1920, sebanyak 823 orang Indonesia bersama-sama dengan anak dan
istrinya, 473 orang, dikucilkan dan mencoba tinggal di Tanah Merah, sekitar 500
kilometer ke arah hulu Sungai Digul di Papua. Mereka adalah orang-orang yang dituduh
terlibat membangkitkan semangat anti-kolonial di berbagai bagian di Indonesia.
Tanah Merah tidak dibersihkan dari infeksi nyamuk di tengah hutan, dimana untuk
mencapai daerah tersebut diperlukan waktu tiga hari dengan menggunakan motor-boat
dari muara sungai di pantai utara. Ini merupakan tempat mengerikan yang saat itu
menjadi tempat tinggal sementara bagi para pemimpin bangsa Indonesia seperti Sutan
Syahrir dan Mohammad Hatta. Selama mereka ditempatkan di Tanah Merah, Hatta,
sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia, menulis buku “Alam Fikiran Yunani”
(The World of Greek Thoughts), yang merupakan risalah mengenai perdamaian dan
demokrasi.

Pengasingan para pejuang Indonesia di Digul dan menghabiskan waktu di Digul atau
sebagai ex-Digul, merupakan lambang penghargaan diantara lingkaran pejuang di
Indonesia. Karena itu, Digul memperkuat rasa kekeluargaan diantara orang Papua dengan
orang-orang dari berbagai propinsi di Indonesia.

Comments

 orang eropa emang seenaknya aja dalam bertindak. bisa gak ya mereka diajukan
ke pengadilan internasional atas kejahatan-kejahatan mereka di masa lalu dan
masa kini?

Posted by tunggul, 27/09/2009 11:04am (3 months ago)

 orang eropa emang seenaknya aja dalam bertindak. bisa gak ya mereka diajukan
ke pengadilan internasional atas kejahatan-kejahatan mereka di masa lalu dan
masa kini?

Posted by tunggul, 27/09/2009 11:04am (3 months ago)

RSS feed for comments on this page | RSS feed for all comments

Sejarah papua 2
Artikel ini adalah tentang Provinsi Papua. Untuk penggunaan lain dari kata ini, lihat
Papua (disambiguasi).

Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau
Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya
merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Burung endemik Tanah Papua

Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering
disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para
nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini
Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah
penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969
hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat
meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara
resmi hingga tahun 2002.

Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua
Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia;
bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi
Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang
menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah
gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.[rujukan?]

NKRI versus Papua

NKRI VERSUS PAPUA MERDEKA


Tuesday, 11 August 2009 11:21
Oleh: Petrus Pit Supardi
Fenomena perjuangan kemerdekaan Papua tidak dapat dimungkiri.
Sejak diintegrasikan ke pangkuan NKRI melalui Pepera 1969, Papua tidak pernah
luput dari
pergolakan politik untuk memisahkan diri dari NKRI. Ada banyak aksi dilakukan
untuk menarik
perhatian Pemerintah Indonesia dan internasional. Pertanyaan mendasar adalah
mengapa
Papua mau memisahkan diri dari NKRI?
Kesenjangan sosial
Hampir selama 32 tahun dalam era Orde Baru, Papua tetap menjadi pulau yang
dilupakan.
Papua dengan sumber daya alam yang melimpah hanya menjadi dapur bagi
daerah lain di
Republik ini. Segala kekayaan di perut bumi Papua, berupa minyak, emas,
tembaga, dan
lainnya serta keragaman hayati di permukaan bumi Papua, dikeruk dan
dimanfaatkan untuk
kepentingan kaum elite yang tinggal di pusat. Apa yang orang Papua dapatkan dari
hasil
kekayaan alamnya? Orang Papua mengalami bahwa di satu sisi sumber daya alam
habis dan
serentak pula mobilisasi kaum imigran ke Pulau Papua kian tidak terbendung.
Akibatnya, bukan
hanya sumber daya alam yang habis, tetapi nilai-nilai budaya dan warisan leluhur
pun ikut
terkikis. Di sini muncul dilema, apa yang harus dilakukan agar orang Papua tetap
eksis di atas
tanahnya?
Untuk menebus dan mengembalikan citra orang Papua, maka berbagai upaya
telah dan
sedang dilakukan. Upaya yang sedang tenar dan menjadi wacana publik ialah
dialog
Papua-Jakarta.
LIPI menerbitkan hasil penelitian tentang Papua, Papua Roadmap, yang
menampilkan
sebagian wajah Papua. Demikian halnya buku Dialog Jakarta-Papua karya Neles
Tebay yang
memaparkan langkah-langkah dialog bagi Papua.
Persoalannya, belum adanya kemauan pemerintah untuk membuka ruang dialog
dengan orang
Papua. Alasannya beragam, di antaranya intensitas konflik di Papua terbilang
rendah.
Pertanyaannya, apakah harus ada pertumpahan darah lebih dulu baru dilakukan
dialog di
Papua?

Sejarah Papua
Tak dapat disangkal, orang Papua memiliki sejarahnya sendiri sebelum
diintegrasikan ke
pangkuan NKRI. Orang Papua memiliki pengalaman, mereka pernah menjadi
bangsa merdeka
lengkap dengan atribut kebangsaan, bendera bintang kejora, lagu kebangsaan
”Hai Tanahku
Papua”, dan lambang negara Burung Mambruk. Simbol kenegaraan ini pernah ada
dan
dikumandangkan di atas tanah Papua.
Identitas orang Papua ini diatur dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua.
Namun, ketika nilai dan warisan masa lalu ini hendak diangkat dan ditetapkan
sebagai simbol
kultural orang Papua, Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No 77/2007 yang
mengatur
1/2
NKRI VERSUS PAPUA MERDEKA
Tuesday, 11 August 2009 11:21
lambang daerah dan tidak mengizinkan bendera bintang kejora dipakai sebagai
simbol kultural
orang Papua. Fakta ini menunjukkan, Pemerintah Indonesia belum memiliki niat
dan komitmen
menyelesaikan sejarah orang Papua secara tuntas.
Ingatan akan penderitaan (memoria passionis) mengantar orang Papua kembali ke
masa lalu,
masa mereka mengalami kemerdekaan. Di sinilah benih-benih pergerakan
kemerdekaan
kembali bergema. Penderitaan membangkitkan semangat untuk berjuang merebut
kemerdekaan.

Peningkatan kesejahteraan
Filosofi yang dibangun oleh Indonesia dan para pejuang pembebasan Papua Barat
adalah
prinsip harga mati. Bagi Indonesia, NKRI harga mati. Demikian halnya Papua
Merdeka adalah
harga mati bagi pejuang pembebasan Papua. Setiap pihak bersikukuh dan
mengklaim pihaknya
di posisi paling benar. Dalam situasi ini perlu dicarikan alternatif, jalan tengah, guna
meredam
sekaligus mempertemukan pihak-pihak yang mengklaim sebagai yang paling
berhak atas
Papua.
Pembenahan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua
merupakan alternatif
penting dalam membangun Papua yang adil dan jujur. Juga peningkatan mutu
pendidikan dan
pelayanan kesehatan yang baik harus segera dilaksanakan.
Mengherankan, otsus Papua sudah berjalan hampir delapan tahun. Pada saat
bersamaan dana
yang dialirkan sebanyak Rp 18 triliun lebih, tetapi tidak mampu memperbaiki nasib
orang Papua
yang hanya berjumlah 1,5 juta. Aneh tetapi nyata. Lalu, di mana letak kekeliruan
pelaksanaan
otsus bagi Papua?
Pemerintah Indonesia perlu membuka dialog bagi orang Papua. Segala
kesepakatan yang
terkait kehidupan dan masa depan orang Papua harus dilahirkan melalui dialog.
Tanpa dialog,
deklarasi Papua Tanah Damai yang dicanangkan para pemimpin agama di tanah
Papua tidak
akan terwujud. Karena itu, pemerintah pusat perlu mendengarkan suara orang
Papua yang tiap
hari berteriak meminta dialog yang adil dan jujur di Papua. Dialog merupakan
solusi untuk
berbagai persoalan di Papua.
Apakah perdamaian dan kesejahteraan akan lahir di atas tanah Papua yang
hingga kini masih
dilanda penderitaan karena ketidakadilan?
Penulis: Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
Abepura, Papua
Sumber: Harian Kompas, Selasa 11 Agustus 2009
2/2

Pemuda Desak Lambang Daerah Papua Disayembarakan


Oleh : Alonzo Blue | 10-Jul-2008, 19:56:27 WIB

KabarIndonesia - Koalisi beberapa ormas pemuda seperti Gerakan Muda untuk Demokrasi,
Perhimpunan Pemuda Peduli Perdamaian Papua, Gerakan Muda Peduli Papua, Gerakan
Mahasiswa Papua Indonesia mendesak pemerintah agar supaya dilakukannya sayembara
bendera, lagu dan lambang daerah Papua.

"Pemerintah harus membentuk tim indpenden kemudian menjaring seluruh aspirasi dari
seluruh orang Papua," tegas Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Papua Indonesia (GMPI) Habelino
Sawaki kepada HOKI di Papua.

Adapun kriteria lanjut Habelino, yang harus ditetapkan oleh pemerintah yaitu seperti
pertanggungjawaban antropologis.

"Pemerintah harus memilih yang paling aspiratif karena Papua memiliki 250 suku yang berbeda.
Ini kekayaan yang harus di jaga dengan baik, kita juga jangan menerima saja pemberian orang
belanda," kata Habelino.

Menurut dia, bendera bintang kejora, lambang daerah burung mambruk dan lagu hai tanahku
Papua dinilai kurang tepat, karena menurut Sawaki sebuah lambang kultural seharusnya
memenuhi kriteria seperti karya orisinil orang Papua, ditetapkan oleh masyarakat adat dan
menggambarkan potensi yang ada dan menggambarkan harapan Papua baru seperti apa.

"Fakta sejarah, ketiganya ternyata bukan buah tangan asli orang Papua melainkan buatan orang
Belanda. Sebab itu kami merasa tidak mewakili, tidak aspiratif," ujar Habelino Sawaki.

menurutnya, menggunakan lambang-lambang seperti burung cenderawasih atau burung kasuari


lebih mudah diterima ketimbang bintang kejora.
Untuk itu, ia mengharapkan pemerintah dapat segera membentuk tim independen sayembara
lambang daerah. Karena menurutnya, lambang daerah seharusnya dapat berfungsi mengikat
persatuan dan perdamaian sebagai suatu bangsa.

"Kultur Papua tidak tunggal tetapi jamak, selayanya kita duduk sama-sama, bicara sama-sama
tentang lambang daerah ini. Karena negara tidak bisa dipersalahkan, yang bisa dipermasalahkan
adalah pemerintahannya dan orang yang duduk di pemerintahan. Sebab itu, hendaknya kritik
yang disampaikan adalah kritik yang konstruktif bukan yang dekstruktif," terang Sawaki.

Menjawab Tantangan Papua Dalam Bingkai NKRI


(Bagian I)

Submitted by gs_bhakti on Wed, 02/11/2009 - 07:18.

Oleh: Mayor (Inf) Agus Bhakti, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF

Pada tanggal 1 Desember 2008 lalu di Papua terjadi peristiwa yang mendapat
perhatian dari publik nasional maupun internasional, ketika Thaha Alhamid (Sekjen
PDP/Presidium Dewan Papua) yang mengatasnamakan rakyat Papua membacakan apa
yang disebut sebagai “Deklarasi Rakyat Papua”, yang ditandatangani oleh Tom Beanal
(Ketua Presidium Dewan Papua) dan Forkorus Yaboisembut (Ketua DAP/Dewan Adat
Papua) di hadapan massa yang berkumpul dengan mengibar-ngibarkan bendera Bintang
Kejora ukuran kecil di Lapangan Sentani, Jayapura ibu kota Provinsi Papua. Kegiatan
yang hampir rutin digelar oleh kelompok-kelompok pro Papua merdeka setiap tanggal 1
Desember dalam rangka memperingati HUT Papua Barat, namun terasa lain karena
pernyataan politik yang disampaikan begitu kontroversial, terdengar rasial, mengandung
unsur makar dan sangat provokatif.

Inti pokok deklarasi menyatakan bahwa masyarakat Papua sebagai rumpun Melanesia ras
negroid adalah bukan bangsa Indonesia rumpun Melayu; meminta kepada negara-negara
di dunia untuk mengakui Negara Papua Barat sebagai negara yang sah sejak 1 Desember
1961; serta menyatakan bahwa pelaksanaan Pepera 1969 adalah tidak sah. Akibatnya
dilakukan penangkapan beberapa orang tokoh penggerak aksi/kegiatan oleh Polda Papua
dan peristiwa tersebut telah mengundang berbagai tanggapan banyak pihak terkait isi
deklarasi. Beberapa tokoh Papua menyatakan bahwa peristiwa seperti ini sudah rutin dan
menganggapnya hanya sebagai asap yang diakibatkan karena adanya api ketidakadilan.
Reaksi keras yang menentang datang dari Bupati Merauke, John Gluba Gebze
mengatakan bahwa tokoh/pejabat di daerah tidak seharusnya menganggap kegiatan 1
Desember merupakan kegiatan rutin dan dianggap sebagai asap, karena sudah
mengancam keutuhan NKRI Sabang-Merauke. Mendeklarasikan Negara Papua Barat,
negara dalam negara, kalau asapnya saja sudah makar apalagi apinya. Jhon Gluba Gebze
juga menegaskan bahwa di Papua Selatan tidak terjadi hal-hal seperti itu. 1

Tuntutan Pelurusan Sejarah Papua

Provinsi Papua dan Irjabar2, dengan luas + 3,5 kali luas wilayah pulau Jawa dan
dihuni oleh 2,7 juta jiwa yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, baik pribumi
maupun suku pendatang, menunjukkan bahwa masyarakat Papua bukan merupakan
entitas yang homogen. Kalaupun komposisi dipersempit menjadi warga asli Papua, tetap
saja struktur masyarakat terdiri dari lebih 250 suku yang menggunakan berbagai jenis
bahasa yang berbeda-beda dimana satu sama lain memiliki kemandirian dan tidak
mengenal dominasi suku atau etnis tertentu. Dengan mencermati karakteristik tersebut,
tampaknya sangat wajar apabila tercetus secara spontan pernyataan Bupati Merauke yang
menyanggah tegas bahwa isu Papua merdeka tidak mendapat tempat di wilayahnya di
Selatan Papua. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar tuntutan Papua merdeka
adalah keinginan seluruh orang Papua ?

Mempermasalahkan sejarah proses kembalinya Papua ke pangkuan RI bukan kali ini


saja terjadi. Seiring dengan perkembangan di era globalisasi saat ini, tumbuh berkembang
pula kepekaan masyarakat Papua terhadap perspektif sejarah terutama cara pandangnya
dari aspek politik. Pemikiran dan cara pandang masyarakat Papua yang semakin kritis
saat ini telah disemrawutkan oleh berbagai kepentingan kelompok-kelompok elite Papua
yang bermain dengan mengeksploitasi masyarakat lokal sehingga menyebabkan konflik
di Papua semakin kompleks dan berkepanjangan. Hal ini juga diperparah dengan
munculnya berbagai pihak baik sebagai individu maupun kelompok LSM yang walaupun
notabene bukan orang Papua asli tapi dengan berbagai kepentingannya secara terang-
terangan memposisikan diri sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah RI dan
selalu mendukung separatis dalam memunculkan isu yang kontra produktif tentang
Papua. Melihat Papua dari perspektif sejarah, Ottis Simopiaref, salah satu tokoh pro
Papua merdeka yang meminta suaka ke kedutaan Belanda di Jakarta dan berdomisili di
Belanda sejak Maret 1984, menyatakan bahwa Papua tidak memiliki garis paralel dalam
perkembangan sejarahnya dengan NKRI sejak masa pendudukan Belanda sehingga
mendasari keinginan rakyat Papua untuk memerdekakan wilayahnya lepas dari NKRI.3
Benarkah demikian ?

Inspirasi Terbentuknya NKRI

Boven Digoel, salah satu wilayah di Papua yang saat ini sudah menjadi sebuah
Kabupaten merupakan tempat yang bersejarah. Ketika pada tahun 1933, Soekarno
dikirim ke tempat pembuangan di Ende, Flores, dua tahun kemudian pada Januari 1935,
Mohammad Hatta dan beberapa tokoh pergerakan nasional lainnya dibuang ke Boven
Digoel. Sekembalinya dari pembuangan, melalui perjuangan yang panjang, sejarah
menunjukkan bahwa Soekarno-Hatta telah tampil sebagai proklamator kemerdekaan
Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Boven Digoel yang digambarkan sebagai
tempat yang terpencil dan menyeramkan di tengah hutan belantara, pada kenyataannya
sudah memiliki andil dalam memberikan dorongan inspiratif bagi tokoh proklamator
mengantarkan NKRI mencapai kemerdekaannya. Dan ketika diproklamirkan oleh
Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
terbentuk bukan berdasarkan atas kesukuan, ras, bahasa atau agama tertentu, namun
terbentuk berdasarkan atas wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Dengan demikian jelas
Papua merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan RI sebagai konsekuensi logis
dari azas uti possidetis juris (batas wilayah Negara bekas jajahan yang kemudian
merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum Negara tersebut merdeka). Hanya karena
Belanda yang tetap bersikeras mempertahankan Papua sebagai salah satu wilayah
pendudukannya sehingga dalam beberapa kali perundingan RI-Belanda tidak pernah
mencapai kesepakatan.

Di Papua juga dikenal beberapa tokoh lokal, seperti Silas Papare kelahiran Serui 18
Desember 1918, yang memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi. Begitu mendengar
Indonesia telah merdeka kemudian bersama-sama teman-temannya yang tergabung dalam
Batalyon Papua pada Desember 1945 melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Silas
juga mendirikan beberapa organisasi lain sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda
seperti PKII (Partai Kemerdekaan Indonesia Irian) tahun 1946 dan Badan Perjuangan
Irian tahun 1949, termasuk menjadi salah satu anggota delegasi RI pada Perjanjian New
York 1962. Ada beberapa tokoh Papua lainnya yang berperan dalam sejarah perjuangan
Indonesia sebagai Pahlawan Nasional seperti Frans Kaisiepo (1921-1979) dan Marten
Indey (1912-1986)4 yang membuktikan bahwa sejak pendudukan Belanda rakyat Papua
sudah menjadi bagian dari NKRI dan berjuang bersama-sama melawan Belanda.

Bintang Kejora Ciptaan Belanda

Didorong oleh ANZAC Treaty 1948 dan Piagam PBB 1950 yang mengharuskan
negara yang masih memiliki wilayah pendudukan supaya memerdekakan wilayah
pendudukannya maka Belanda melakukan persiapan-persiapan untuk membentuk negara
Papua Barat yang terpisah dari NKRI, membuktikan sikap pengingkaran terhadap
kesepakatan dengan RI yang sudah menjadi negara yang berdaulat. Menteri Luar Negeri
Belanda saat itu, Joseph Luns, menyusun program 10 tahun untuk persiapan dan
pemberdayaan Papua. Selain membangun sektor pendidikan dan infrastruktur, Belanda
juga mengadakan pemilihan untuk menentukan perwakilan rakyat Papua dalam wadah
Dewan Papua. Tugasnya adalah membentuk komisi nasional untuk kemerdekaan,
menentukan bendera, lambang dan lagu kebangsaan. Maka ditetapkanlah bendera
Bintang Kejora sebagai bendera kebangsaan, burung Mambruk sebagai lambang negara
dan lagu Hai, Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan. Lambang-lambang ini berlaku
secara resmi berdasarkan surat keputusan Gubernur Plateel Gouvernementsblad van
Nederlands-Nieuw-Guinea tanggal 20 November 1961 Nomor 68 tentang bendera
Bintang Kejora sebagai bendera kebangsaan, Nomor 69 tentang lagu Hai, Tanahku
Papua sebagai lagu kebangsaan dan Nomor 70 tentang tata cara perlakuan bendera
Bintang Kejora yang harus dikibarkan sesudah bendera Belanda, diturunkan sebelum
bendera Belanda dan ditempatkan di sebelah kiri lebih rendah dari bendera Belanda.
Desain bendera Bintang Kejora sendiri dirancang oleh seorang Belanda bernama
Meneer Blauwitt dengan tiga bagian warna yang terdiri dari warna merah, putih dan biru
yang meniru bendera Belanda, ditambah ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan
ke-13 wilayah dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk. Adapun lagu Hai, Tanahku
Papua merupakan lagu berlirik bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, diciptakan oleh salah seorang misionaris Belanda bernama Ishak Samuel
Kijne. Dengan demikian, sangat tidak tepat apabila menempatkan lambang-lambang
buatan Belanda tersebut sebagai lambang yang dianggap representasi kultural dan adat
masyarakat Papua. Puncaknya pada tanggal 1 Desember 1961, bersamaan dengan
proklamasi kemerdekaan negara Papua Barat, bendera Bintang Kejora dikibarkan dan
lagu Hai, Tanahku Papua dikumandangkan untuk pertama kalinya. Inilah awal mula
benih fanatisme ke-Papua-an yang dengan sengaja disemaikan oleh Belanda dan masih
tumbuh berkembang sampai dengan sekarang.

Kembalinya Papua ke Pangkuan RI

18 hari kemudian tepatnya pada tanggal 19 Desember 1963, sebagai reaksi atas
pengingkaran Belanda terhadap status Papua maka Presiden RI Soekarno menyerukan 3
tuntutan yang dikenal dengan Trikora berisi : Gagalkan pembentukan negara boneka
Papua buatan Belanda; Kibarkan bendera merah putih di seluruh wilayah Papua; dan
Persiapan untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
bangsa. Mayjen Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala yang bertugas
untuk merencanakan, menyiapkan dan menyelenggarakan operasi untuk menggabungkan
kembali Papua dengan NKRI. Dalam kemampuan kekuatan militer yang minim dan
rendahnya tingkat kesiapan operasional, namun dalam beberapa operasi yang dilancarkan
TNI dapat memberikan tekanan yang cukup signifikan kepada Angkatan Bersenjata
Belanda yang terdiri dari kekuatan AL sebagai kekuatan tumpuan di wilayah perairan,
pasukan darat Koninklijke Landmacht dan Marine Luchtvaartdienst yang ditempatkan
tersebar di wilayah Papua. Pertempuran yang dikenal Pertempuran Laut Aru merupakan
pertempuran antara TNI AL dengan KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang dan KRI
Harimau, dimana Komodor Yos Sudarso yang berada di KRI Macan Tutul gugur
bersama-sama tenggelamnya kapal tersebut sebelum menyerukan pesan terakhirnya yang
terkenal “Kobarkan Semangat Pertempuran”. Operasi-operasi lain diselenggarakan
antara lain : Operasi oleh Brimob Polri yang tergabung dalam Resimen Tim Pertempuran
berhasil melakukan operasi raid penghancuran beberapa objek vital Belanda di Fakfak
dan sekitarnya; Operasi penerjunan Pulau Tenimbuan; Operasi penerjunan RPKAD di
Tanah Miring; dan Operasi Jayawijaya yang terkenal sebagai operasi amfibi terbesar
sepanjang sejarah TNI.5

Selain operasi militer, upaya diplomasi juga dilaksanakan untuk merebut kembali
Papua. Pendekatan terhadap negara-negara lain dan PBB untuk mendukung integrasi
Papua dilakukan. Sekjen PBB, U Thant, meresponnya dengan meminta salah seorang
diplomat AS, Ellsworth Bunker mengajukan usulan yang dikenal dengan Bunker
Proposal yang isinya mendesak pemerintah Belanda untuk segera menyerahkan Papua
kepada RI. Melalui proses perjuangan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda
sedikit mencapai titik terang dengan dilaksanakannya Perjanjian New York pada tanggal
15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB. Isi dari Perjanjian New York adalah Belanda
harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada PBB/United Nations Temporary
Executive Authority (UNTEA) yang selanjutnya akan menyerahkan Papua kepada RI
dengan syarat, pemerintah RI harus memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua
untuk mengambil keputusan secara bebas tetap bergabung dengan RI atau memisahkan
diri dengan RI. Untuk menyelenggarakannya, pemerintah RI akan dibantu oleh PBB dan
diberi batas waktu sampai dengan selambat-lambatnya akhir tahun 1969. Maka pada
tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan kepada
UNTEA atas Papua. Baru pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan peralihan UNTEA
menyerahkan Papua kepada pemerintah RI.

Proses pelaksanaan Pepera sendiri mulai dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai dengan
Agustus 1969. Dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak,
Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera
(DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP tersebut
terdiri atas 400 orang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang
mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi
kemasyarakatan. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia,
Fernando Ortiz Sanz bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Hasil dari Pepera
yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan
dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia.
Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang
hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua
memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor
2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30
negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional
6
sudah mengakui keabsahan Pepera 1969.

Permasalahan Pepera 1969

Pada saat memutuskan untuk menggelar Pepera tentunya PBB sudah


memperhitungkan bahwa konsekuensi dalam dinamika berdemokrasi akan muncul pro
dan kontra antara pihak yang menerima atau menolak hasil dari Pepera. Gugatan terhadap
keabsahan Pepera 1969 yang selalu didengungkan oleh OPM hanyalah usaha mencari
kambing hitam dengan berupaya menemukan celah sejarah yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingannya. Pepera 1969 sudah dilaksanakan sesuai kondisi medan/wilayah
dan perkembangan masyarakat yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara
“one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kecacatan, tapi pada
kenyataannya PBB melalui Resolusi No. 2504 telah menerima keabsahannya. Dunia
Internasional pun secara mutlak menerima Pepera ditandai dengan tidak ada satupun
negara yang menolak. Dalam konteks tersebut di atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB
untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa
Pepera telah dilakukan (walaupun dengan sistem perwakilan) dan hasil Pepera diterima
dengan baik sebagai suatu hal yang final.7
Seperti di Timor-Timur dalam jajak pendapatnya menunjukan bahwa walaupun
terjadi keberatan tentang penyelenggaraan jajak pendapat, ternyata PBB tetap pada
pendiriannya bahwa rakyat Timor-Timur telah memilih untuk berpisah dengan Indonesia.
Lebih lanjut pilihan ini diakui oleh masyarakat Internasional walaupun ada keberatan-
keberatan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Resolusi PBB No 2504 merupakan
penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua, dan karena itu setiap
upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap
hukum internasional yang berlaku, termasuk piagam PBB itu sendiri.

Laporan Khusus: Luka Setelah Pepera


By Inno Jemabut
Nov 29, 2005, 16:22

JAKARTA - Pada tanggal 15 Agustus 1962 bertempat di Markas Besar Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, disepakati sebuah persetujuan
antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tentang penyelesaian masalah Irian
Barat(kini Papua). Dengan kesepakatan tersebut wilayah yang dijajah Belanda sejak 24
Agustus 1828 itu diserahkan ke tangan PBB pada 30 September 1962.

Kesepakatan di New York tersebut mengatur cara masyarakat Papua menentukan masa
depannya, apakah bergabung dengan Indonesia atau tidak, sebab Indonesia di bawah
pemerintahan Soekarno mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negara
Indonesia yang harus direbut dari Belanda. Ini yang kemudian melahirkan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 29 Juli 1969 yang diadakan oleh pemerintah
Indonesia dengan disaksikan oleh PBB.

Pepera adalah sebuah gambling bagi negara induk kalau hitungannya matematis. To be or
not to be! Jika hasilnya sebuah pemisahan diri maka malapetaka bagi sebuah negara
induk, tetapi sebaliknya jika menghasilkan sebuah pengukuhan akan menamatkan riwayat
para gerilyawan yang ingin mengambil pilihan merdeka. Pasalnya, negara punya alasan
sah untuk menggunakan kekuatannya.

Tapi bagaimana kalau mekanisme penentuan pendapat rakyat itu dilanggar dan hasilnya
menguntungakan satu pihak dan merugikan pihak lainnya? Tentu Pepera bukan sebuah
penyelesaian. Memikirkan sebuah negosiasi ulang bagi kedua belah pihak mungkin bisa
jadi pilihan. Apa yang terjadi di Irian Barat bisa jadi seperti ini. Setelah Pepera,
pemasalahan tak kujung usai.

Dalam pasal XXII persetujuan antara Indonesia dan Belanda 43 tahun lalu ditegaskan
bahwa "UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan Indonesia akan
menjamin hak-hak bebas berbicara, bebas bergerak dan berkumpul dan bersidang.

Hak-hak ini akan mencakup hak-hak penduduk dari wilayah yang telah ada pada waktu
penyerahan pemerintahan pada UNTEA (ayat 1). Setelah Indonesia mengambil
pemerintahan, Indonesia akan menempati janji-janji tersebut yang tidak bertentangan
dengan kepentingan perkembangan ekonomi rakyat wilayah tersebut (ayat3)". Dalam
pasal XV disebutkan bahwa tugas utama pemerintah Indonesia adalah mempergiat lebih
lanjut pendidikan rakyat, pemberantasan buta huruf, kemajuan perkembangan social
kebudayaan dan ekonomi.

Penentuan pendapat rakyat pada hakikatnya adalah wujud demokrasi langsung di mana
setiap penduduk dewasa memiliki hak untuk memilih dan tidak dapat diwakilkan oleh
siapapun. One man one vote! Tetapi apa yang terjadi di Papua saat itu sebaliknya.

Dengan alasan mengkuti sebuah kebiasaan bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan,


masyarakat yang belum paham dengan Pepera serta kondisi wilayah yang tidak
memungkinkan untuk bisa berkumpul membuat Pepera diwakili oleh sebuah dewan.
UNTEA adalah perwakilan dari PBB yang sengaja dibentuk untuk menangani masalah
Papua.

Demikian juga dengan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (DM Pepera)
hanya dikenal dalam penentuan pendapat rakyat di Papua untuk mewakili suara rakyat
yang
sebetulnya tidak dapat diwakilkan.

Di belahan dunia lain, kita tidak mengenal dewan yang bertugas untuk mewakili suara
rakyat seperti ini dalam hal penentuan pendapat. Lebih lagi, penentuan dewan ini
tidak melibatkan masyarakat sendiri. Masyarakat Papua tidak mengenal dari mana
datangnya DM Pepera tersebut sebab dalam persetujuan sama sekali tidak disebutkan
bagaimana warga memilih dewan tersebut.

Negosiasi Ulang
Penulis buku An Act of Free Choice, Profesor Pieter Drooglever yang meneliti masalah
Pepera mengaku banyaknya kelemahan yang terjadi dalam melaksanakan Pepera. Meski
ia
juga mengatakan belum cukup alasan agar proses tersebut bisa diulang kembali.

Baginya, masa depan Papua dengan Indonesia sangat tergantung pada bagaimana
Indonesia memperlakukan wilayah tersebut. Sulit untuk memungkiri kalau Pepera telah
memperdayai setidaknya 700.000 penduduk yang tidak ikut menentukan sendiri
pendapatnya karena adanya dewan perwakilan.

Dengan merujuk ke tulisan Pieter Drooglever itu saja cukup untuk mengatakan bahwa
adanya negosiasi ulang antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua saat ini
adalah sesuatu yang mendesak.

Memang kita tidak bisa mengabaikan usaha pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan
masalah ini. Lihat saja betapa banyaknya undang-undang yang sudah dihasilkan agar
masalah di Papua bisa tuntas, baik ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Namun,
sejauh mana penghargaan terhadap hak asasi dalam upaya tersebut mesti dipikirkan
kembali.
Tentu dengan merujuk kembali pada persetujuan 43 tahun lalu di atas. Pasal XIV
menegaskan "Undang-undang dan peraturan baru atau perubahan-perubahan pada
undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah ada dapat dijalankan menurut jiwa
persetujuan ini". Adakah ini yang terlupakan dalan setiap kali pemerintah mengeluarkan
undang-undang untuk Papua? Mampukah pembuat undang-undang di Indonesia
sekarang menangkap semangat persetujuan tersebut? ***

___________________

Sejarah Papua Barat

Temuan Prof Drooglever: Pepera 1969, Satu ”Manipulasi Sejarah”


By Dr. Phill Erari
Nov 22, 2005, 03:40

JAKARTA—Penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 suatu “manipulasi sejarah”.


Demikian kesimpulan Prof P.J. Drooglever dalam Seminar “Act of Free Choice”, di Den
Haag, 15 November 2005, dengan membedah buku berjudul “Daad van Vrije Keuze, de
Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht”
(tindakan bebas memilih dari orang Papua di Nieuw Guinea Barat, dan batas-batas
penentuan nasib sendiri).

Karya ilmiah setebal 700 halaman dengan 14 bab itu dimulai tahun 1999 atas perintah
Menlu Jozias van Aartsen, yang diamanatkan pula oleh parlemen Belanda. Penugasan
kepada sang profesor sejarah itu tidak lepas dari suatu gerakan politik Belanda, terutama
yang dimotori oleh Partai Gereformeed Politiek Verbond atau Christen Unie.

Gerakan politik tadi mendapat angin segar setelah Gus Dur berkunjung ke Belanda pada
Februari 2000. Gus Dur sebagai Presiden, dengan wawasan politik yang luas dan
demokratis, telah mengubah paradigma Jakarta yang cenderung tertutup terhadap aspirasi
rakyat Papua. Nama Papua dikembalikan kepada rakyat, bahkan mengizinkan pengibaran
bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya dan identitas orang Papua, bukan
sebagai bendera nasional.
Sikap Gus Dur tadi tentu tidak disambut baik oleh hardliners di Jakarta, di antaranya
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang merasa Gus Dur telah mengkhianati
perjuangan Bung Karno, yang telah memberi nama Irian kepada tanah dan bangsa yang
tinggal di bekas koloni Belanda, Nederlands Nieuw Guinea.

Dua Konteks
Dua konteks yang mendorong penelitian itu dilakukan adalah, pertama karena Kongres II
Rakyat Papua, Mei 1999 mendesak perlunya pelurusan sejarah, karena rakyat Papua
merasa jalan sejarahnya menuju kemerdekaan sebagai suatu bangsa, telah dibelokkan
oleh kepentingan politik Jakarta. Kedua, tampilnya Gus Dur sebagai pemimpin Indonesia
yang lebih demokratis.

Drooglever menyebut Sekjen PBB waktu itu, U Thant, dalam laporan akhirnya kepada
Majelis Umum PBB, tidak punya pilihan lain kecuali menyimpulkan Pepera 1969 itu
adalah suatu penentuan pendapat rakyat. Dijelaskan sebetulnya dalam Perjanjian New
York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, tapi belakangan diubah menjadi
the act of free choice, yakni hak untuk menentukan nasib Papua. Masalahnya ialah Ortiz
Sans, yang ditugaskan PBB sebagai pengawas Pepera, meragukan the act of free choice
atau Pepera itu bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Artinya, apakah benar-benar
sesuai dengan azas yang diakui oleh dunia internasional. Ortis Sans menyatakan proses
itu bukan suatu act of free choice. Jadi dia mengambil jarak terhadap apa yang terjadi di
Papua, dan sikap itu juga diambil oleh Sekjen PBB U Thant. Ini berarti pula ada
keberatan yang serius dari masyarakat internasional. Drooglever menyusun bukunya
berdasarkan penelitian di Belanda, PBB, arsip nasional Amerika Serikat, narasumber,
para saksi sejarah dari Papua, Belanda dan saksi sejarah lainnya. Ia menggunakan bahan-
bahan dokumentasi yang sebelumnya hampir tidak dipakai.

Bagi Drooglever, act of free choice adalah suatu peristiwa historis di abad modern ini,
sebagaimana dialami oleh masyarakat di Papua, tatkala oleh kekuatan super power seperti
Amerika Serikat, di era perang dingin 1962-1969, melakukan suatu konspirasi politik
tingkat tinggi dengan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan act
free choice bagi kepentingan Indonesia.

Masyarakat dunia kini dapat mendengar dan menyaksikan seorang mahaguru yang
berhasil mengungkapkan sebuah kebenaran sejarah yang terkubur selama 43 tahun.
Kebenaran itu kini tersingkap, betapa rakyat Papua terpaksa menelan pil pahit, karena
janji untuk berdaulat sebagai negara yang merdeka telah berubah menjadi suatu tragedi
kemanusiaan.

Anti “Amber”
Droogelever memaparkan antara 1962-1969 terjadi suatu proses penyimpangan dari
ketentuan New York Agreement, dimana rakyat Papua dijamin berdasarkan praktik
internasional untuk memilih sesuai hati nurani, apakah merdeka atau bergabung dengan
Indonesia.

Buku Pepera terdiri dari 14 pasal, secara historis menuturkan bagaimana orang Papua
yang baru bersentuhan dengan dunia modern di abad 16 oleh bangsa Spanyol. Antara
abad 16 hingga akhir Perang Dunia II Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia
Belanda, tak punya niat untuk memperhatikan Papua, karena secara ekonomis wilayah itu
tak punya arti.

Kendati demikian, tak boleh disangkal peranan para misionaris barat yang memulai
gerakan penginjilannya di Papua di tahun 1855. Era baru bagi Papua, dimulai oleh
semangat pekabaran injil, dan inilah proses dimana Tanah Papua dikuasai oleh para
penginjil asal Jerman, Belanda dan penginjil serta guru jemaat asal Maluku dan Kei.
Drooglever mengungkapkan fakta di masa lalu, bahwa orang Papua dipandang lebih
rendah oleh orang Ambon dan Kei. Sebaliknya, orang Papua bersikap mencurigai orang
Ambon dan Kei sebagai “amber” (sebutan untuk pendatang) sebagai mereka yang
merampok, dengan mengingat perang hongi yang penuh darah dan perbudakan.

Sentimen anti “amber” berkembang sejak awal abad 20 dan dari waktu ke waktu belum
sempat mengalami proses pertobatan dan rekonsiliasi. Drooglever menggarisbawahi
sentimen anti “amber” itu tetap hidup subur, kendati perjumpaan orang Papua dengan
para pendatang itu semakin besar, pasca-Perang Dunia ke II.

Papua, Semangat Berdaulat Dirontokkan Bung Karno


Kontrol Belanda terhadap wilayah Papua, barulah terasa efektif setelah PD II (1950-
1961). Papua dibebaskan oleh tentara AS dari kekuasaan Jepang, dan untuk seterusnya
kepada Belanda diserahkan untuk diurus.

Dalam kurun waktu 11 tahun itu, dan ini terutama setelah Commisioner Van Eckhout
membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua dianggap sah menjadi
koloni Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan merupakan
fokus dalam kurun waktu tadi, dan Belanda yakin Papua harus dipisahkan dari Indonesia
yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Rakyat Papua tidak tinggal diam. Suatu gerakan Messianis yang lahir di awal abad 20
terus menampakkan perlawanan terhadap Belanda dan Jepang. Gerakan ini ternyata
bukan saja suatu fenomena agama adat, tetapi juga merupakan resistensi budaya dan
politik untuk mempertahankan identitas orang Papua.

Pada tahun 1961, Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang


menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai lambang, dan lagu “Hai Tanahku Papua”
sebagai nyanyian kebangsaan, bersamaan dengan Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea
Raad) yang sudah efektif sejak 1960.

Semangat yang sempat lahir dan harapan untuk berdaulat sebagai satu bangsa, tiba-tiba
dirontokkan oleh Bung Karno melalui pidato Trikora 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Tujuan Trikora ialah membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda”.

Drooglever menggambarkan interaksi tingkat elite antara PM Luns dari Belanda dan
Presiden AS, John F Kennedy asal Partai Demokrat, dimana Luns pada awalnya meminta
PBB agar proses internasionalisasi Papua tidak melibatkan pihak Indonesia.

Nampaknya Bung Karno tidak tinggal diam. Ia melirik dukungan militer Uni Sovyet.
Ancaman Indonesia untuk memperoleh dukungan Rusia, telah membuyarkan harapan
Belanda mendapat dukungan politik dan militer dari sekutunya.

Setelah Bung Karno mendeklarasikan invasi militer ke Papua dan rencana aneksasi
secara menyeluruh rakyat dan militer, Belanda terpaksa tunduk atas desakan AS untuk
menyerah, karena AS akan sangat sulit terlibat dalam suatu konfrontasi militer, jika
terjadi perang baru di kawasan itu. Pada 2 Januari 1962 Belanda bersedia melibatkan
Indonesia dalam perundingan tentang masa depan Nieuw Guinea, Papua.

Bunker’s Plan
Konfrontasi militer yang hampir pecah dan menyulut perang terbuka Belanda-Indonesia,
akhirnya diatasi oleh proposal Bunker, Duta Besar AS di PBB. Inti rencana Bunker ialah
Papua akan dialihkan dari Pemerintah Belanda ke Indonesia, di bawah pengawasan PBB.

Perdebatan di parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa setelah transisi tersebut,


rakyat Papua masih akan menentukan hak untuk berdiri sendiri. Drooglever menyebutkan
tentang drama memperebutkan dan mempertahankan Papua, oleh Belanda dan Indonesia,
akhirnya berakhir pada Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini
mengatur bahwa Papua akan segera dialihkan oleh Belanda kepada PBB, dan di akhir
1969 akan dilakukan an act of free choice.

Kelemahan besar Belanda adalah, proses administrasi dalam masa transisi itu hanya
dikelola Indonesia, dan tidak akan ada lagi jaminan bahwa act of free choice bakal
berlangsung di bawah standar internasional. Belanda masih bisa mengatakan telah
melakukan yang terbaik bagi Papua, tetapi masyarakat Belanda mencurigai Perjanjian 15
Agustus 1962 di New York itu adalah awal dari kegagalan Belanda memenuhi janjinya
kepada rakyat Papua untuk dapat menentukan nasibnya sendiri secara adil dan benar.

Drooglever dalam studinya melakukan wawancara dengan ratusan tokoh Papua. Ia


mencatat bahwa rakyat Papua sejak awal menyangsikan peralihan Papua kepada PBB
(UNTEA) dan rencana act of free choice tidak membawa harapan bagi orang Papua.
Mereka saksikan kekuatan PBB secara militer sangat lemah, apalagi penempatan pasukan
perdamaian PBB asal Pakistan hanya bertahan setahun.

Sementara itu pengiriman pasukan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara dari
Jakarta begitu banyak, dimana sulit dibayangkan Indonesia akan melepaskan Papua
menjadi negara yang berdaulat. Kehadiran personel UNTEA sengaja dibatasi atas
desakan Indonesia, sementara itu Ortiz Sans diberi ruang gerak yang sempit, bahkan
jumlah stafnya diperkecil.

Ketika Ortiz Sans melaporkan kepada Sudjarwo Tjondronegoro bahwa terjadi perlakuan
yang tidak benar oleh petugas Indonesia, termasuk militernya, Tjondronegoro, sebagai
pengantara UNTEA dan Indonesia, menganggapnya pantas untuk ditanggapi. Niat untuk
melakukan suatu act of free di Papua, secara sistematis dan berencana dialihkan ke suatu
proses yang direkayasa oleh Jakarta.
Ortiz Sans tidak diperkenankan mengambil peran yang signifikan dalam proses persiapan
maupun ketika diimplementasikan Pepera pada Juli-Agustus 1969. Drooglever mencatat
semua saksi orang Papua, para wartawan luar negeri, para diplomat, khususnya para
pengamat mancanegara, menyimpulkan apa yang terjadi dengan act free choice adalah
tindakan yang memalukan.
Tjondronegoro dipandang sebagai artistek yang cerdik dan tangkas memanfaatkan Pepera
untuk kepentingan Indonesia.
Dalam wawancara Drooglever dengan Radio Nederland, Drooglever mengatakan dirinya
sadar bahwa hasil penyelidikan tentang act of free choice dan kebenaran yang ia
temukan, akan membuat semacam iritasi di pihak RI, bahkan tidak ia maksudkan bahwa
studinya akan menjadi alasan untuk terancamnya NKRI. Kendati begitu, buku ini telah
menyingkap sebuah noktah hitam dalam sejarah Kerajaan Belanda, terhadap rakyat yang
pernah dijajah, di Nederlands Nieuw Guinea, tapi berakhir dengan peristiwa yang
memalukan.
_________________
Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologia GKI Abepura dan anggota eksekutif
Partnership for Governance Reform Indonesia.

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Sejarah Papua Barat

Dua Politisi Belanda Beda Pendapat Soal Sejarah Papua


By http://www2.rnw.nl/rnw/id
Nov 18, 2005, 13:44

Sebastiaan Gottlieb, 16 November 2005

Di Negeri Belanda, laporan Profesor Pieter Drooglever tentang Pepera di Papua tahun
1969 menyebabkan ketegangan politik antara Menteri Luar Negeri Ben Bot dengan
pendahulunya, Jozias van Aartsen yang sekarang memimpin partai konservatif VVD.
Menlu Bot menolak menerima laporan Profesor Drooglever, karena menurutnya laporan
itu tidak ditugasksan oleh pemerintah tapi oleh parlemen Belanda de Tweede Kamer.
Jozias van Aartsen membantahnya dan memandang penelitian itu sebagai penugasan
pemerintah.

Bukan inisiatif pribadi

Ketika menjabat Menteri Luar Negeri pada tahun 2000,


Jozias van Aartsen menugaskan Institut Sejarah Belanda ING
untuk meneliti kejadian persisnya bagaimana Negeri Belanda
pada tahun 1962 sampai setuju menyerahkan Papua kepada
Indonesia. Keputusan penugasan itu diambil berdasarkan
mosi Eimert van Middelkoop, dari fraksi partai kristen kecil
GPV, sehingga menurut Van Aartsen itu bukan inisiatif Ben Bot (kiri) dan Van
pribadinya. Aartsen (kanan)
Penelitian Profesor Drooglever menyimpulkan bahwa Negeri Belanda tidak berbuat
banyak dalam menolong orang Papua. Di bawah tekanan Amerika Serikat, Belanda pada
tahun 1962 akhirnya setuju menyerahkan Papua yang waktu itu disebut Irian Barat
kepada Indonesia. Syaratnya adalah, orang Papua harus menyatakan apakah mereka
memang bersedia untuk masuk NKRI. Menurut Drooglever, Pepera yang diadakan tahun
1969 adalah sandiwara belaka. Indonesia memanipulasi dan menindas rakyat Papua
sehingga referendum itu secara unanim menghasilkan dukungan bagi kekuasaan
Indonesia di Papua.

Inti perbedaan pendapat

Baik Menteri Luar Negeri Bernard Bot maupun pendahulunya Jozias van Aartsen setuju
bahwa penelitian sejarah ini tidak akan membawa dampak politik. Keduanya tidak
melihat alasan untuk mengubah kebijakan pemerintah Belanda terhadap Papua dan
integritas wilayah Indonesia. Yang jelas, perbedaan pendapat antara Bot dengan Van
Aartsen hanya berkisar pada pertanyaan apakah penelitian itu atas penugasan pemerintah
Belanda atau tidak. Bot menyangkal pemerintah Belanda mengeluarkan penugasan itu,
karena itu ia tidak bersedia menerima hasil akhirnya. Terutama juga karena ia tidak ingin
mengorbankan hubungan Belanda dengan Indonesia. Sehari sebelumnya Ben Bot sudah
mengeluarkan kertas kerja tentang kehendaknya untuk memperlebar hubungan bilateral
Jakarta dengan Den Haag.

Bot patut disalahkan

Eimert van Middelkoop anggota partai protestan kecil GPV yang sekarang bernama
Christen Unie menyebut Bot patut disalahkan karena tidak hadir pada peluncuran buku
rofesor Drooglever. "Menlu Bot seharusnya bisa menggunakan kesempatan untuk
melanjutkan karya ayahnya," demikian van Middelkoop. Maklum ayah Menlu Bot
pernah menjadi pegawai negeri Belanda di Hindia Belanda dan pada tahun 1959 sampai
1963 juga pernah menjabat Menteri Muda urusan Papua.

Diam saja

Parlemen Belanda, de Tweede Kamer, juga tidak ingin berbuat apa-apa dengan laporan
Profesor Drooglever. Parlemen Belanda tidak ingin mengutik-utik integritas teritorial
Indonesia. De Tweede Kamer berpendapat Indonesia harus melanjutkan rencana
pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Walaupun semua pihak setuju
bahwa laporan itu tidak layak mendapat langkah politik, beberapa kalangan di Papua
justru mendesakkan kemerdekaan wilayahnya. Menlu Bernard Bot kembali bergegas
untuk menyatakan bahwa Negeri Belanda tidak akan mendukung kehendak semacam ini.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa laporan Profesor Drooglever tidak lebih dari
lampiran kesekian kalinya dalam sejarah kolonial Belanda, tanpa ada tindak lanjutnya,
apalagi upaya memperbaiki perlakuan tak terpuji Belanda terhadap rakyat Papua.

HASIL PENELITIAN SEJARAH PAPUA


By Radio Nederland
Nov 15, 2005, 20:51

Belanda Repot Sikapinya


Wawancara Ranesi, Hilversum, 15 November 2005

Pepera, Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 adalah sebuah "kasus yang
dimanipulasi." Demikian kesimpulan laporan Prof. Pieter Drooglever berjudul Een Daad
van Vrije Keuze atau "Tindakan Bebas Memilih" yang diluncurkan Selasa (15/11) di Den
Haag. Penelitian ini dimulai tahun 2000 atas perintah Menteri Luar Negeri saat itu, Jozias
van Aartsen. Apa dampak laporan ini bagi hubungan Indonesia - Belanda? Radio
Nederland bertanya kepada Prof Dr. Nico Schulte-Northolt, pakar hubungan Indonesia
Belanda dari Universitas Twente. Pertama ditanyakan latar belakang penugasan
penelusuran sejaran Papua ini.

Gerakan politik Belanda


Nico Schulte-Northolt [NSN]: "Ini sebetulnya muncul dari satu gerakan politik yang agak
lama di dalam parlemen Belanda, terutama yang didorong oleh partai kecil yang dulu
GVP, Gereformeerd Politiek Verbond dan kemudian
disebut Christen Unie, partai protestan yang reformistis.
Tidak lebih dari tiga sampai empat kursi saja di
parlemen. Tapi secara tekun sejak tahun 1970an mereka
selalu mengangkat tematik bahwa pemerintah Belanda di
awal tahun 1960an khususnya dengan New York
agreement, mengkhianati rakyat Papua."

"Kemudian pada Februari 2000, Gus Dur sebagai


presiden Indonesia mengunjungi Belanda. Menjelang
kunjungan itu wakil dari Partai Christen Unie itu,
Middelkoop angkat tema ini lagi dan sebelum itu dibahas
di dalam parlemen, jadi sebelum ada keputusan parlemen
menteri Jozias van Aartsen mengambilalih dan dia
sendiri menugaskan Instituut voor Nederlandse
Geschiedenis (ING) di Belanda, dan khususnya profesor
Drooglever. Mereka diminta untuk menulis riwayat keterlibatan Belanda dalam proses
intergrasi Papua Nieuw Guinea (nama Papua pada waktu itu red.) di dalam tubuh Negera
Kesatuan Republik Indonesia."

"Sehingga sebetulnya penugasan itu tidak lain daripada mendokumentir prosesnya. Tetapi
karena itu seorang menteri yang menugaskannya. Dan setelah Gus Dur diganti oleh
Megawati dan Alwi diganti Hasan dan khususnya aliran nasionalis serta hardliners
(kalangan garis keras red.) dalam pemerintah Megawati menjadi dominan, maka
penugasan penulisan keterlibatan Belanda itu dianggap sebagai tindakan pemerintah
sahabat yang tidak bersahabat."

Gus Dur tak marah


Radio Nederland [RN]: "Pak Nico, apakah Gus Dur ketika itu menyetujuinya?"
NSG: "Dia tidak memberi izin. Tetapi memang itu alasan mengapa Menteri Luar Negeri
Jozias van Aartsen merasa aman, adalah pada awalnya tahun 1999, dalam kongres Papua
ada satu keputusan yang diambil, yaitu agar ada usaha untuk meluruskan sejarah. Dan
tentang tuntutan itu memang Gus Dur pada waktu dia tampil sebagai presiden, terutama
pada waktu dia pada akhir tahun 1999 ikut menghadiri millenium di Jayapura, bersama
dengan rakyat Papua, dia bersikap simpatik terhadap tuntutan untuk meluruskan sejarah.
Apalagi kemudian tahun 2000 ia mensponsori sendiri kongres itu. Sehingga memang ada
sikap pemerintah Belanda, khususnya menteri luar negeri, bahwa Gus Dur tidak akan
menjadi marah."

Pemerintah tak berdaya


RN: "Ketika Menteri Luar Negeri waktu itu Jozias van Aartsen memerintahkan untuk
melakukan penelitian tentang prosesnya. Apakah pemerintah Belanda menyadari apa
hasilnya nantinya?"

SN: "Nah di situ saya khawatir bahwa mereka tidak mengantisipasi pergantian
pemerintahan di Indonesia begitu cepat. Sehingga pada waktu itu ditugaskan akhir 1999
menjelang kunjungan awal Februari Gus Dur ke Belanda, tentu pemerintah Belanda
menghitung Gus Dur akan menjabat presiden lima tahun. Sehingga tugas ini juga
diperkirakan selesai dalam waktu dua atau tiga tahun saja. Tapi ternyata Gus Dur digeser
oleh usaha hardliners di Indonesia yang terutama sangat kuatir tentang sikap Gus Dur
terhadap gagasan federasi itu, sehingga pada waktu dia diganti baru dari Jakarta ada
sinyal-sinyal bahwa mereka sama sekali tidak senang dengan penugasan itu."

"Tetapi pada waktu itu pemerintah Belanda sudah tidak bisa mengubah, karena sudah
secara kontraktuil dilakukan. Hanya Menteri Luar Negeri sekarang ini Ben Bot, dia dari
awal sangat menjauhkan diri dari penugasan dulu. Sehingga dia sangat dingin dan itu
juga berarti pada waktu peluncuran buku, ternyata fihak pemerintah sama sekali tidak
muncul, tidak hadir dan tidak mau menerima itu."

Kenaifan politik menlu Bot


RN: "Apa itu artinya?"

SN: "Untuk menunjukkan kepada pemerintah Indonesia bahwa pemerintah Belanda


sekarang tidak mau diidentifikasikan dengan apa yang dilakukan dulu oleh Van Aartsen.
Dan juga parlemen Belanda bersikap demikian karena penugasan itu tidak terjadi atas
dasar permohonan parlemen, meskipun diawali oleh gerakan satu partai. Tetapi tidak
diambilalih oleh keputusan parlemen. Maka sekarang sikap parlemen juga adalah "kami
tidak akan membahas isi laporan ini. kerena bukan parlemen yang minta laporan ini."

"Dan ini memang tanggung jawab van Aartsen dan Van Aartsen sekarang yang hanya
ketua fraksi saja (VVD Liberal, red.) Dia tidak punya kuasa lebih dari itu, tapi ini
memang menurut penilaian pribadi saya suatu kenaifan politik yang luar biasa besar dari
seorang menteri luar negeri itu."
Demikian Prof. Dr. Nico Schulte-Northolt pakar hubungan Indonesia-Belanda.

© Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved


__________________
Source Link:
http://www2.rnw.nl/rnw/id/topikhangat/arsipaktua/belanda/penelitian_sejarah_papua0511
15?view=Standard&version=1

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Top of Page Email this article Printer friendly page

Sejarah dan Politik Dalam Perjuangan Rakyat Papua


By http://www2.rnw.nl
Nov 15, 2005, 20:46

Wawancara Ranesi, Hilversum, 15 November 2005

Peluncuran buku sejarah Pepera di Irian Barat tahun 1969 yang dilakukan di Den Haag
(15/11), Negeri Belanda, penting bagi nasionalisme Papua. Perjuangan rakyat Papua
memang merupakan contoh baik keterkaitan antara sejarah masa lampau dengan politik
zaman sekarang, seperti berikut dijelaskan oleh Dr. Richard Chauvell dari Universitas
Victoria, Australia yang hadir pada peluncuran buku itu. Berikut Dr. Richard Chauvell.

Tak ubah politik


Richard Chauvell [RC]: "Hari ini memang hari penting untuk orang Papua, khususnya
sebab dengan muncul lagi gerakan kemerdekaan di Papua sejak jatuhnya rezim Soeharto
di Indonesia 1968, sejarah menjadi bagian penting ideologi nasionalisme dari gerakan
kemerdekaan Papua. Sebab itu hari ini penting."

"Dan sebab penelitian dari Prof. Drooglever mungkin merupakan penelitian yang paling
lengkap mengenai apa yang terjadi dengan Pepera itu. Sebab Pepera dan New York
Agreement 1962 menjadi elemen-elemen pokok dari interpretasi sejarah gerakan
kemerdekaan di Papua, khususnya sejarah presidium, keputusan resolusi kongres Papua
yang jelas menolak Perjanjian New York dan juga menolak hasil Pepera. Oleh faktor-
faktor itu, hari ini memang penting. Tapi kita juga harus menyadari bahwa penelitian
tidak akan mengobah politik dan suasana politik."

Perjuangan politik
Radio Nederland [RN]: "Ya persis itu yang akan saya tanyakan. Penting bagi Papua, jadi
apa artinya bagi perjuangan mereka. Apakah ini suatu angin yang kuat?"
RC: "Memang itu boleh dikatakan angin yang kuat. Dan itu bisa lihat bahwa begitu
banyak orang Papua yang hadir seminar ini. Itu tanda yang jelas bagaimana mereka coba
memanfaatkan penelitian ini untuk perjuangan politik sekarang. Ini contohnya baik
sekali. Bagaimana hubungan sejarah dengan politik kontemporer. Dan sering kali
sejarahnya dan khususnya interpretasi tertentu sejarah dapat dimanfaatkan untuk
perjuangan politik kontemporer. Sebab faktor-faktor itu hari ini penting."

Partisipasi Papua penting


RN: "Jadi apakah juga suatu tahap baru bagi nasionalisme Papua? Kita tahu ada
nasionalisme yang pro Indonesia zamannya Sam Ratulangi dan Sugoro, orang Jawa itu.
Dan kemudian ada nasionalisme yang seolah-olah diletakkan oleh Belanda. Bagaimana
tahapan nasionalisme Papua ini?"

RC: "Saya lebih cenderung untuk memikir bahwa ini angin baru. Saya lebih menduga,
sebab saya belum baca penelitian atau buku Drooglever selengkap-lengkapnya, tetapi
saya menduga bahwa interpretasi sejarah Papua, seperti ditentukan Kongres Papua pada
tahun 2000, tidak akan banyak berubah."

"Tapi untuk saya yang jadi faktor mendasar adalah proses partisipasi. Kalau ada
komitmen pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengatasi masalah Papua, saya
rasa itu prinsip dasarnya. Harus melibatkan masyarakat Papua dalam proses itu."

RN: "Itu paling pokok ya?"

RC: "Paling pokok. Kalau kita mengambil kesimpulan dari semua sejarah pada waktu
persengketaan Indonesia dan Belanda, yang rasanya jadi katalis untuk nasionalisme
Papua itu kesadaran bahwa mereka tidak terlibat."

RN: "Mereka selalu diatur dunia luar?"

RC: "Ya betul. Dan kalau juga dengan pembentukan politik Jakarta sekarang, kalau itu
dari Jakarta ke Papua yang tidak melibatkan masyarakat Papua, saya tidak melihat
bagaimana politik yang disusun di Jakarta saja, dapat menyelesaikan masalah ini, secara
politik, secara damai."

Pesimis
RN: "Anda pesimis?"

RC: "Sedikit pesimis, sebab kesan saya bahwa tidak banyak kelompok-kelompok
pemerintah di Jakarta yang menerima prinsipnya itu. Bahwa prosesnya yang harus
melibatkan masyarakat Papua. Dan saya tidak lihat kemungkinan untuk menyelesaikan
masalah itu tanpa keterlibatan itu."

Demikian Richard Chauvell dari Victoria University di Melbourne, Australia.


__________________________
Source link:
http://www2.rnw.nl/rnw/id/topikhangat/arsipaktua/indonesia/sejarah_politikpapua051115
?view=Standard

© Copyright 2003-2005 by watchPAPUA

Top of Page Email this article Printer friendly page

Anda mungkin juga menyukai