Anda di halaman 1dari 5

Setelah Kebangkitan Itu: Suatu Senja di Kota Emaus

Lukas 24:13-35

Ketika membaca Injil Sinoptik setelah peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus -- yang kita
peringati beberapa minggu lalu -- kita sering lupa bahwa betapa sukarnya murid-murid Yesus
untuk mengaminkan atau memercayai apa yang sebenarnya mereka lihat dengan mata kepala
sendiri. Peristiwa ajaib sekitar 2000 tahun lalu, tanda kubur yang kosong, belum cukup untuk
meyakinkan mereka bahwa Yesus sudah bangkit. Bagi mereka, fakta atau kenyataan ini
hanya menunjukkan bahwa Yesus sekarang memang tidak berada di dalam kubur; hanya itu
saja. Bagi mereka, konsep kebangkitan Yesus masih jauh dari pemikiran; yang ada ialah
kemungkinan besar Yesus telah hilang dari kubur. Untuk meyakinkan para murid, rupanya
perlu pertemuan yang lebih banyak antara pribadi Yesus sendiri dengan mereka.

Selama 3 tahun menjadi murid, bergaul, dan pergi selalu bersama-sama, demikian juga
makan bersama-sama, suka-duka bersama-sama, dan masih banyak lagi yang mereka
kerjakan bersama-sama, ternyata belum cukup untuk mengenal pribadi Yesus lebih
mendalam. Seorang penulis yang bernama Frederick Buehner sangat terpesona melihat
kualitas dalam peristiwa penampakan Tuhan Yesus setelah minggu Kebangkitan. Tidak ada
malaikat di langit yang bertepuk dan bersorak menyanyikan pujian. Tidak ada raja yang
sengaja datang dari negeri yang jauh untuk membawa persembahan. Yesus menampakkan
diri dalam keadaan yang paling biasa; makan malam bersama antara dua orang yang berjalan
menuju Emaus.

Bagian Alkitab yang kita baca ini menceritakan tentang penampakan diri Yesus di Emaus.
Suatu desa yang kurang lebih 12 km (7 mil) jauhnya dari kota Yerusalem. Memang Lukas
sendiri tidak mengatakan bahwa kedua orang tersebut berjalan dari arah Yerusalem. Kedua
orang ini dikatakan sedang mempercakapkan tentang apa yang terjadi. Alkitab kita mencatat
bahwa mereka sedang "bertukar pikiran", yang boleh diterjemahkan dengan "berbantah-
bantah" atau "bersoal jawab" (lihat dan bandingkan dengan Lukas 22:23). Adakah
kemungkinan mereka tidak sepakat dengan isu-isu di luar sana? Desas-desus yang mereka
bicarakan rupanya bukan rahasia lagi, tetapi sudah diketahui oleh umum.

Yesus sekarang tidak lagi berada di dalam kubur; mereka semua sudah tahu, khususnya
informasi ini mereka peroleh dari para wanita yang sudah terlebih dahulu pergi ke kubur;
ditambah lagi Petrus sendiri sudah membenarkannya. Tetapi ternyata para murid tidak begitu
gampang menerima berita itu, bukankah baru kemarin Yesus mati tergantung di kayu salib?
Bagi para murid, pengharapan itu seakan-akan kosong dan hampa. Yesus yang mereka
harapkan menjadi pahlawan ternyata kalah dan babak belur di atas salib. Lukas sendiri
mencatat dalam ayat 21, "Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang
untuk membebaskan bangsa Israel." Ada nada kecewa terutama dari Kleopas dan temannya.
Senja di Emaus merupakan momen penting bagi Yesus untuk memperbarui konsep murid-
murid yang luntur. Ada tiga hal yang akan kita pelajari berkenaan dengan senja di Emaus.

I. Senja di Emaus mengubah yang ragu menjadi percaya.

Secara manusia, bagi murid-murid, peristiwa penyaliban Tuhan Yesus merupakan suatu
kekalahan yang besar. Yesus yang merupakan sang Guru Agung sekarang harus mati dengan
cara yang konyol dan mengenaskan, ini sesuatu yang tidak masuk akal. Itulah sebabnya
tatkala dikatakan bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit, tidak semua murid bisa menerima
begitu saja; dan Yesus mengetahuinya. Murid-murid-Nya menjadi begitu ragu akan
kemampuan Yesus. Benar, Ia dahulu pernah membuat air menjadi anggur. Benar, dahulu Ia
pernah menyembuhkan orang sakit dan lumpuh. Benar, Ia dahulu pernah membangkitkan
Lazarus yang mati. Benar, Ia dahulu pernah memelekkan mata orang buta! Tetapi sekarang,
Ia kalah dan tergantung di salib. Bagaimana mungkin Ia bisa bangkit? Padahal Yesus sendiri
sudah mengatakan peristiwa kebangkitan-Nya, yaitu pada hari ketiga, tetapi para murid tidak
menganggap hal ini serius; sehingga semua murid Yesus lupa akan hal ini.

Satu peringatan yang cukup keras yang dilontarkan sang Tamu yang tidak dikenal, yakni
"Yesus", ternyata tidak menyadarkan mereka. "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya
hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu yang dikatakan oleh para nabi!
Bukankah Mesias harus menderita untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya." Orang bodoh
yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak memunyai hikmat dan kebijaksanaan, dan
dalam hal ini boleh diterjemahkan sebagai iman. "Hai kamu yang kurang beriman, betapa
lambannya engkau semua?"
Berbicara tentang "orang bodoh", saya jadi teringat cerita anak sekolah minggu tentang
"Siapa yang merobohkan Tembok Yerikho?" Suatu hari, pendeta memunyai kesempatan
untuk mengunjungi kelas-kelas sekolah minggu. Lalu sang pendeta bertanya pada mereka,
"Siapakah yang meruntuhkan Tembok Yerikho?" Semua murid menjadi terdiam tidak ada
yang menjawab. Kemudian pendeta mengulangi lagi pertanyaannya, "Anak-anak, siapa yang
meruntuhkan Tembok Yerikho?" Murid-murid sekolah minggu tetap diam, dan semuanya
tertunduk. Untuk ketiga kalinya, pendeta kembali bertanya, "Veronica, siapa yang
meruntuhkan Tembok Yerikho?" Kemudian sambil sedikit memandang ke arah pendeta, ia
mengatakan, "Bukan saya, Pak?" Sang guru sekolah minggu merasa kasihan, lalu ia
mengatakan kepada pendeta demikian, "Benar, Pak Pendeta, Veronica anak yang baik, ia
tidak mungkin meruntuhkan Tembok Yerikho itu." Sang pendeta merasa kaget dan hampir
pingsan mendengar jawaban sang guru sekolah minggu itu.< /p>

Kita semua orang bodoh, kadang kala kita sama seperti murid Tuhan Yesus, terlalu sukar
untuk percaya. Apa lagi tatkala kita menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berlalu. Di
sana-sini penuh krisis, banyak orang yang bangkrut. Keadaan ekonomi tidak menentu. Kita
sudah berdoa bahkan berpuasa, namun kesulitan itu terus melanda; bagaimana kita bisa
percaya pada Yesus? Kita seakan-akan tidak gesit, lamban, dan ketinggalan. Kita merasa
gagal melayani Tuhan, padahal yang kita kerjakan sudah benar. Kita lupa siapa yang kita
layani. Jikalau kita memang benar-benar ingat siapa Yesus, siapa Tuhan kita, maka untuk hal-
hal yang baik, kita tidak perlu ragu melakukannya.

II. Senja di Emaus mengubah kesia-siaan menjadi kesempatan.

Murid-murid Yesus begitu terbuai dengan pengharapan mereka, sehingga tatkala apa yang
mereka harapkan itu tidak terwujud; mereka menjadi sangat kecewa. Seakan-akan apa yang
mereka lakukan itu sia-sia belaka. Contoh konkret misalnya Petrus, ia merasa lebih baik
kembali ke profesi masa lalu, yakni menangkap ikan. Tetapi cita-citanya tidak kesampaian;
Yesus menangkap dia kembali untuk menjadi penjala manusia. Sekarang Yesus sudah berada
di hadapan mereka, tetapi Yesus tidak dikenal. Ada yang mengatakan bahwa Yesus tidak
dikenal karena murid-murid itu berjalan ke arah barat dan mata mereka begitu silau karena
sinar matahari segera masuk, tetapi ini tentu tidak sesuai dengan jalan pemikiran penulis.
Lukas juga tidak mengatakan bahwa Tuhan Yesus datang dalam wajah yang lain, sehingga
tidak dikenal.

Menurut terjemahan baru, ada sesuatu yang menghalangi para murid; ayat 16 dalam bahasa
aslinya diterjemahkan "mata mereka tertahan dari mengenal Dia". Artinya mereka terhalang
untuk mengenali Dia. Pada saat makan, orang asing ini melakukan tindakan yang membuat
mereka tersentak. Ia memecahkan roti dan mata rantai yang hilang tiba-tiba masuk di
tempatnya. Jadi yang berjalan bersama mereka sejak tadi dan sekarang sedang duduk di meja
mereka adalah Yesus sendiri! Anehnya, begitu mereka mengenali Yesus, Ia langsung
menghilang. Untuk mengenal Kristus yang sudah bangkit, maka mata rohani setiap orang
harus dicelikkan. Jikalau mata rohani kita buta, jangankan mengenal Yesus yang bangkit;
mengenal Yesus saja sulit.

Dalam Perjanjian Lama, tatkala kedua belas orang pengintai itu diutus untuk menyelidiki
keadaan kota Kanaan, apa yang terjadi? Kesepuluh orang pulang dengan bersungut-sungut,
mereka mengatakan bahwa sulit untuk merebut Kanaan, di situ banyak raksasa dan
sebagainya. Tetapi lain halnya dengan Yosua dan Kaleb, mereka pulang dengan muka
berseri-seri. Mereka yakin akan menang. Apakah kedua belas orang itu buta? Tidak! Mereka
semua sehat matanya, tetapi ada sepuluh orang yang mata rohaninya buta. Mata rohani yang
buta akan membuat "kesempatan menjadi kesia-siaan", tetapi sebaliknya; mata rohani yang
terbuka akan membuat "kesia-sian menjadi kesempatan".

III. Senja di Emaus mengubah kegagalan menjadi kemenangan.

Tuhan Yesus terus-menerus memperlihatkan diri-Nya kepada murid-murid, kurang lebih dua
belas kali. Tatkala kedua orang itu bergegas kembali ke Yerusalem, mereka menemukan
sebelas murid berkumpul di dalam rumah dalam keadaan pintu yang terkunci. Mereka
menceritakan kisah menakjubkan itu, yang mendukung apa yang sudah diketahui oleh Petrus,
Yesus ada di luar sana dan ternyata masih hidup. Tanpa peringatan, bahkan ketika para
"peragu" itu memperdebatkannya, Yesus sendiri muncul di tengah-tengah mereka. "Aku
bukan hantu," kata-Nya, "sentuhlah luka-Ku." Bahkan pada waktu itu, keraguan masih belum
hilang, sampai Yesus bersedia makan sepotong ikan bakar. Hantu makan ikan, fatamorgana
tidak bisa membuat makanan itu lenyap.
Selama 6 minggu, Yesus senantiasa datang dan lenyap secara tiba-tiba. Penampakan diri-Nya
tidak dalam bentuk roh yang dapat membuat para murid-Nya merasa ketakutan. Yesus
menampakkan diri-Nya dalam bentuk tubuh dan daging. Di situ masih ada luka-luka-Nya. Di
situ masih ada lubang paku di tangan dan kaki-Nya. Di situ masih ada lubang bekas tombak
di lambung-Nya. Di situ masih ada bekas luka di kepala karena dipaksa mengenakan mahkota
duri. Yesus menyesuaikan diri terhadap tingkat keragu-raguan murid-murid-Nya. Terhadap
Thomas yang ragu akan penampakan diri-Nya, Yesus bahkan mempersilakan dia untuk
memegang dan meraba. Untuk Petrus, perlu kasih dari seorang sahabat; yang akhirnya
membuat Petrus menjadi seorang pengkhotbah besar. Ayat 33 mencatat, "Sesungguhnya
Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon." Mulai ada pengakuan di
tengah-tengah keragu-raguan.

Seorang penulis novel terkenal yang bernama John Updike menulis sebuah puisi pendek
dengan kata-kata demikian, "Jangan salah, kalau benar Ia bangkit, maka itu dalam bentuk
tubuh-Nya. Kalau sel-sel larut dan tidak bertaut kembali, molekul-molekul tidak terjalin
kembali, asam amino tidak menyala kembali, gereja akan runtuh." Senja di Emaus telah
mengubah kegagalan menjadi kemenangan, suatu kemenangan yang berlaku bagi semua
orang asal dia mau percaya kepada-Nya. Jikalau cerita dongeng seperti "Star Wars",
"Aladdin", "The Lion King", dan "Hercules" kita percaya begitu saja, mengapa kebangkitan
Yesus masih kita ragukan? Perlukah Yesus datang seperti Dia datang kepada Thomas?
Perlukah Yesus memperlihatkan diri-Nya baru Anda percaya? Saya rasa tidak perlu. Biarlah
senja di Emaus bukan merupakan senja kelabu, tetapi suatu senja yang akan memperbarui
kita supaya hari ini, esok, dan lusa, kita lebih mengenal Dia, lebih percaya pada Dia, bahkan
lebih semangat melayan i Dia. AMin

Anda mungkin juga menyukai