Anda di halaman 1dari 26

Minggu, 23 Februari 2003

HISTORIKA PAPUA
Papua, Hitam Nasibmu...
"SEKARANG saya tanya kepada Saudara-saudara, kepada dunia internasional. Mengapa pihak Belanda mejadikan Irian Barat sebagai satu negara boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian Barat menjalankan satu politik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zoogenamde.... Dengarkan Saudara-saudara, komando saya dengan tegas ialah gagalkan pendirian negara Papua ini. Apa komando saya lagi, hai seluruh rakyat Indonesia kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di Irian Barat itu. Siap sedialah akan datang mobilisasi umum. Mobilisasi umum mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Baratdari cengkeramanBelanda...." PERNYATAAN Bung Karno yang tertuang dalam buku Api Perjuangan Irian Barat itu disampaikan saat mengantar Trikomando Rakyat di Yogyakarta 19 Desember 1961. Presiden RI pertama ini rupanya tengah berupaya membakar semangat untuk merebut Irian Barat dalam waktu singkat ketika patriotisme dan nasionalisme sedang membara. Di perjalanan sejarah, terutama setelah 30 tahun Irian Jaya "terpinggirkan" dalam pembangunan nasional Orde Baru, pernyataan itu menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Ia dijadikan kerangka acuan bagi kalangan generasi Irian Jaya melontarkan aspirasi: menuntut kembali hak sebagai bangsa yang mereka anggap pernah berdaulat. Benarkah Irian Jaya pernah merdeka? "Mereka tidak mengerti sejarah," kata H Dr Subandrio dalam bukunya, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, yang pengantarnya oleh H Dr Roeslan Abdulgani. Sejak tahun 1828 Irian Barat, tulis Subandrio, sudah masuk Nederlands Indie. Hubungan politik kawasan ini dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia diperlihatkan oleh fakta bahwa sejak tahun 1927 Boven Digul di Irian Barat dijadikan tempat pembuangan beribu pejuang kemerdekaan RI. "Ini membuktikan bahwa wilayah itu adalah wilayah Hindia Belanda," tulisnya dalam buku yang diterbitkan November 2000 oleh Yayasan Kepada Bangsaku pimpinan H Amin Aryoso SH. CATATAN sejarah itu barangkali masih relevan dimunculkan sehubungan dengan adanya indikasi, sebagian tokoh pejuang Trikora, Pejuang 45, dan Pejuang Merah Putih-yang disebut Subandrio, separatis-mulai berbelok menuntut kembali kemerdekaan Irian Jaya (Irja): 1 Desember 1961. Mereka merasa sangat berdosa terhadap generasi sekarang karena perjuangan mereka dianggap gagal. Harapan akan Irja yang aman, makmur, sejahtera, dan seluruh rakyat memiliki sumber daya yang tinggi ternyata hanya impian belaka. Mereka merasa hasil-hasil alam dari sana dikeruk ke pusat. Irja tak mendapat apaapa. Contoh paling gamblang adalah: pemerintah pusat menyatakan kehadiran PT Freeport di Irja adalah untuk ekonomi masyarakat Irja, tetapi masyarakat setempat merasakannya sebagai bentuk eksploitasi dan penjajahan baru.

Masuknya Freeport tak lepas dari peran Amerika Serikat yang sangat besar dalam menentukan status politik Irja masuk ke dalam RI, yang dibantah langsung oleh Manajer Senior Komunikasi Perusahaan PT Freeport Siddharta Moersid. "PT Freeport Indonesia senantiasa berperan aktif dalam pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia maupun Provinsi Papua," katanya. Bantahan Moersid mau tak mau harus berhadapan dengan fakta berikut ini. Tahun lalu 1.565.571 dari 2.233.530 jiwa penduduk Irian Jaya, yang kemudian berganti nama menjadi Papua, masuk kategori miskin. Mereka rata-rata adalah petani dengan pendapatan per kapita hanya Rp 2 juta per tahun atau Rp 166.000 per bulan. Petani Papua, menurut Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Mansur Siradz, setelah Freeport masuk ke sana masih hanya mengenal sistem peladangan berpindah. Mereka belum mengenal pola budidaya tanaman intensif seperti di Pulau Jawa, malah lebih rendah dari subsistem. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua Rp 300 milyar (1999). Bandingkan misalnya PAD Irja itu dengan penerimaan pajak langsung negara dari PT Freeport Indonesia (FI), sebesar Rp 1,5 trilyun. Jumlah itu adalah 15 kali dari PAD Irja. Itu adalah pajak langsung dari PT FI yang mendapatkan keuntungan dari hasil pertambangannya di Papua. Itu artinya, pendapatan PT FI sebelum pajak saja sudah minimal mencapai Rp 4,5 trilyun, jika persentase pajak adalah 30 persen. Sekilas saja, dari data itu sudah terlihat jelas, keuntungan dari perusahaan yang beroperasi di Papua, tidak didapatkan langsung oleh warga Papua. Di Republik iniwalaupun tergolong negeri terkorup di muka bumi-mata banyak orang belumlah buta. Atau, meski mata sebagian orang telah buta, di dalam hati banyak orang, masih ada rasa. Rasa yang dibisikkan oleh nurani. Menanggapi gejolak dari timur yang kemudian melembaga menjadi gerakan budaya oleh Presidium Dewan Papua (PDP) menyusuli Kongres Rakyat Papua tahun 2000, pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. "Selama 30 tahun rakyat kita ditelantarkan, maka disepakati masalah Aceh dan Papua diselesaikan bersama," kata mantan Ketua Pansus RUU Otonomi Khusus Papua, Sabam Sirait, dari Fraksi PDI-Perjuangan. "Jalan keluarnya, dibuatlah UU Otsus Aceh dan UU Otsus Papua. Itulah jalan tengah yang komprehensif dan jangka panjang." Seperti yang tercantum dalam salah satu pertimbangan UU itu, secara tersirat pemerintah mengakui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belumlah optimal digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli. Ini yang menciptakan kesenjangan kesejahteraan antara Provinsi Papua dan daerah lain. Hebatnya, belum juga Otonomi Khusus ini berjalan seperti yang diharapkan, masyarakat Papua dikejutkan oleh munculnya Inpres No 1/ 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45/ 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

"Kami terkejut, kok tiba-tiba ada Inpres. Sementara kami mencari jalan untuk meminta kearifan dari pemerintah pusat, tiba-tiba datang radiogram memerintahkan Inpres itu dilaksanakan," kata Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (PPKTI) Michael Menufandu. KEJUTAN berikutnya adalah peresmian Provinsi Irian Jaya Barat pada Kamis 6 Februari di Manokwari oleh Pejabat Gubernur Abraham Octovianus Aturury di Manokwari. Peresmian ini dihadiri ribuan orang dari sembilan kabupaten. Tak seorang pun pejabat dari Jayapura maupun Jakarta yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Gubernur JP Solossa setelah melakukan aksi diam sejak Provinsi Irian Jaya Barat diresmikan akhirnya angkat suara dua minggu kemudian, Kamis 20 Februari. Ia tidak mengakui keberadaan provinsi itu sebab hanya ada satu provinsi di Papua. Hingga kini, menurut Solossa, belum ada petunjuk Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk mempersiapkan berbagai proses pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat. "Inpres tersebut membingungkan masyarakat. Mana yang harus dilakukan? Apakah otonomi khusus, pemekaran 14 kabupaten baru, atau pemekaran provinsi baru?"kata Ketua DPRD Papua Jhon Ibo. Pro-kontra muncul. Sebagian masyarakat menolak pemekaran provinsi, namun warga di daerah pemekaran mendukung langkah pemerintah tersebut. "Tuntutan dua kelompok masyarakat itu sangat berpotensi melahirkan konflik," kata Direktur Umum Solidaritas Perempuan Papua Ny Beatrix Koibur. Dalam kaitan ini Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno menjelaskan pemekaran Provinsi Papua perlu diadakan karena akan terjadi pemekaran jumlah kabupaten dan kota yang mencapai 28 daerah otonom. Namun, para tokoh agama se-Papua menolak pemekaran melalui satu pernyataan sikap bersama yang ditandatangani tokoh dari lima agama yang ada di Papua. Mereka menolak Inpres itu karena kehadirannya membingungkan dan memberi peluang terjadi kerusuhan antarwarga. "Ini membingungkan. Di dalam UU No 45/1999 tidak hanya pemekaran Irian Jaya Barat, tetapi Irian Jaya Tengah, dan Timur," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Demi Wakman. "Kalau Jayapura dan sekitarnya masuk Irian Jaya Timur yang sekarang menjadi Provinsi Papua, maka Irian Jaya Tengah dikemanakan. Sebab, dalam Inpres dinyatakan (ia dibuat) untuk merealisasikan UU No 45/1999, ternyata yang dimekarkan hanya Irian Jaya Barat." Beberapa anggota DPR, yang terlibat dalam pembuatan undang-undang itu merasa tertampar mukanya karena khawatir masyarakat menganggap mereka tidak mengerti, bahwa suatu kebijakan yang tingkatan hukumnya lebih rendah (Inpres) melanggar suatu UU. (Baca halaman 26) KEKHAWATIRAN akan terjadi konflik langsung jadi kenyataan. Selasa 18 Februari: dua kelompok massa yang pro dan yang kontra Inpres No 1/ 2003 nyaris bentrok di Jayapura. Beberapa juru bicara dari kelompok protampil. Origenes Antoh mewakili pemuda dan mahasiswa Sorong, Jack Kalem dari masyarakat Jayapura, dan Isak Wenda dari Jayawijaya. "Kami rindu pembangunan. Hampir 39 tahun tidak pernah ada pembangunan sama sekali baik di provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan desa," kata Origenes.

Di tengah "kampanye" pemekaran Papua itu tiba-tiba mantan tahanan politik Kalisoso, Saul Bomay, tampil memecah perhatian. "Ini rekayasa politik untuk memecah belah orang Papua. Kita diadu domba untuk kepentingan elite politik di Jakarta," katanya. Sebagian massa ternyata mendukung Bomay. Ratusan pemuda dan mahasiswa yang semula mendukung pemekaran tiba-tiba berbalik menghujat pendukung pemekaran. Mereka mencaci maki anggota DPRD dan para elite politik yang merekayasa dukungan terhadap Inpres itu. Papua dengan luas 421.981 kilometer persegi memiliki 13 kabupaten/kota, 3.980 desa, dan 225 kecamatan. Wilayah itu bagian dari bekas jajahan Belanda seperti wilayah Indonesia lainnya, sebab menurut hasil Konferensi Meja Bundar 23 Agustus-2 November 1949: semua daerah jajahan Belanda dikembalikan kepada Indonesia. Tahun 1961, di hadapan ratusan masyarakat Biak, Bung Karno secara transparan mengajak warga Irja bergabung dengan Indonesia. Ketika itu tokoh sentral Biak, Frans Kaisiepo, bersama beberapa tokoh lain dipilih Bung Karno menjalankan berbagai misi penggabungan Irian Barat ke dalam negara RI. Melalui New York Agreement 1962 yang dikuatkan oleh Resolusi PBB No 2504/1969, Irian Barat dinyatakan sebagai wilayah RI. Meskipun demikian, masih ada sebagian kecil kelompok masyarakat garis keras pada tahun 1961 melancarkan serangan terhadap Indonesia. Pemberontakan yang dipimpin Lodevik Mandacan di Manokwari, misalnya, disebut pemberontakan Mandacan. Para pengikut Mandacan kemudian melakukan perang gerilya yang akhirnya disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang secara resmi mulai dikenal pada tahun 1965 dipimpin Serma Permenas Ferry Awom. Di masa Orde Baru pijakan kaki militer Indonesia di sana makin kukuh. Reaksi balik pemerintah diktator Soeharto yang bersimbah darah itu terhadap gejolak OPM, seperti biasa, berlebihan. Di daerah-daerah yang dianggap membahayakan persatuan dan kesatuan diberlakukan daerah operasi militer (DOM). Irian Jaya tak luput. Hampir sama dengan nasib rakyat Aceh, banyak warga masyarakat tak berdosa di sana menjadi sasaran, Mereka kemudian dicap sebagai anggota OPM. AKHIRNYA, setelah 20 tahun pemberlakuannya, DOM di Irian Jaya dicabut pada 5 Oktober 1998. Akan tetapi, kekerasan, teror, dan intimidasi militer yang diperagakan pemerintahan Orde Baru telah menorehkan rasa sakit hati, benci, dan dendam paling dalam terhadap Pemerintah RI. Banyak orangtua, anggota keluarga, dan sanak keluarga menjadi korban. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi di mana-mana. Mama Yosefa Alomang (54), sebagai pejuang HAM di Irja, yang juga peraih penghargaan HAM Yap Thien Award 1999, mengatakan, pelanggaran HAM di Irja tidak pernah diproses di pengadilan. Dirinya adalah korban pelanggaran HAM paling besar. "Tengah malam, ketika tidur saya didatangi tentara lengkap dengan senjata. Saya bersama suami ditarik dari dalam kelambu ditendang dan dipukul berulang-ulang. Kami disiksa seperti binatang, dipukul, dan dicaci maki," kenang Alomang.

Segala bentuk aspirasi masyarakat menuntut hak sebagai warga negara selalu ditanggapi pemerintah Soeharto dengan stigmatisasi: kaki tangan OPM. Karena itu, warga Irja lebih baik memilih diam seribu bahasa dan hidup dengan situasi dan kondisi yang ada seperti dijalani nenek moyang mereka. Terinspirasi dari semangat reformasi, sejumlah daerah seperti Timor Timur, Aceh, dan Irja menuntut kemerdekaan. Januari 1999 Tim 100 dari Irian Jaya menemui Presiden BJ Habibie meminta Indonesia mengembalikan hak kemerdekaan orang Irian Jaya. Habibie berpesan kepada Tim 100, "Pulang dan renungkan baik-baik." Teriakan kemerdekaan Irian Jaya semakin nyaring setelah seluruh dunia mengarahkan perhatian ke Timor Timur untuk merealisasikan jajak pendapat 30 Agustus 1999. Irian Jaya mulai mencetuskan deklarasi kemerdekaan Papua yang berlangsung di kediaman Theys Hiyo Eluay pada 12 November 1999. Berawal dari deklarasi itu, aspirasi kemerdekaan semakin kuat mengakar di tingkat bawah. Seluruh rakyat Irian Jaya mulai bangkit secara damai menyuarakan aspirasi kemerdekaan, terwujud dalam peringatan hari lahir Irian Jaya pada 1 Desember 1999. Ribuan pemuda dan pemudi dari desa dan kota secara spontan masuk menjadi anggota satuan tugas (Satgas). Mereka inilah yang melakukan sosialisasi pengibaran bendera sampai ke tingkat desa. Hanya saja, dalam perjuangan itu, pihak Presidium Dewan Papua (PDP) dan OPM serta Tentara Nasional Pembebasan Papua (TNPP) tidak menyatukan kekuatan bersama. OPM berjuang sejak tahun 1965. Namun, bagaimana peta kekuatan OPM dan TNPP banyak orang yang tidak tahu secara pasti. Kekuatan Satgas Papua adalah 160.000 orang, di Jayapura 20.000 orang. Mereka adalah pemuda dan pemudi Irja. Sebaliknya, PDP yang baru disahkan melalui musyawarah besar Papua Februari 2000 telah mendapat "tempat" di tingkat nasional, regional, dan internasional. Setelah Theys Hiyo Eluay sebagai ketua PDP meninggal, tingkat diplomasi dan lobi-lobi dipercayakan kepada Tom Beanal, wakil ketua PDP, Willy Mandowen sebagai moderator PDP, dan Thoha Al Hamid sebagai sekjen PDP. Satgas Papua yang berasal dari masyarakat pantai lebih bersifat diplomatis dan dapat diajak berdialog. Satgas dari pedalaman yang menamakan diri "pasukan koteka" sangat sulit diajak berdialog. Mereka hanya mengedepankan kekerasan dengan mengandalkan senjata tradisional seperti panah, busur, tombak, dan parang. Tampaknya gejolak Papua belum mau mereda. Kalau sampai Jakarta melakukan reaksi balik, nasib hitam Papua mungkin semakin kelam. (KOR/BUR/DMU)

Inpres Itu Mengundang Emosi


BELAHAN Bumi ini disebut Papua. Kemudian Irian Barat. Lalu Irian Jaya. Kembali menjadi Papua. Sekarang malah jadi campur aduk. Sebagian ngotot menamakan Papua. Namun, sejak akhir Januari lalu pemerintah menyebut lagi Irian Jaya, ditambah dengan Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Inilah wilayah yang tak bisa memilih nama sendiri. KETIKA semua orang meneriakkan "Reformasi!" dan warga di wilayah ini mulai menggugat makna nasionalisme, nama menjadi penting untuk memulai sebuah sejarah. Dan, para tokoh politik serta pemegang kekuasaan di Jakarta merasa jargon kesatuan bangsa dan keutuhan kawasan tiba-tiba tak punya greget. Cemooh, caci maki, sampai unjuk rasa digelar ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan instruksinya yang pertama tahun ini, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003, yang mempercepat pemecahan Irian Jaya menjadi tiga provinsi dan pembentukan beberapa kabupaten baru. Sebagian tokoh politik atau politikus lokal di sana merasa keterlibatan mereka kini menjadi semacam keharusan dalam pengambilan kebijakan tentang Papua, termasuk Inpres No 1/ 2003 ini. Apalagi, Inpres ini bukan cuma mengejutkan warga Irian Jaya atau Papua- atau apalah namanya-bahkan beberapa anggota kabinet Megawati sendiri. Seorang ahli dari barat pernah menyebutkan Irian Jaya atau Papua-atau apalah namanya-sebenarnya cuma punya sedikit pertalian sejarah, etnis, linguistik, atau religius dengan bagian lain negeri ini. Namun, semua orang di negeri ini tahu Irian Jaya atau Papua adalah bagian dari bagian komitmen berbangsa, seperti terdengar dalam lagu "Dari Sabang sampai Merauke". Kita tahu inilah bagian dari keragaman yang ingin direkatkan kaum nasionalis. Mengapa? Karena kita semua masuk dalam wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Itu saja. Tak ada argumen lain. Jadilah para nasionalis waktu itu berjuang untuk apa yang disebut pembebasan Irian Barat. Bedil diangkat. Pahlawan berjatuhan. Tahun 1963 Irian Barat de facto menjadi wilayah republik ini. Namun, sejak itu pula aktivitas pemegang bedil mencengkeram kehidupan rakyat di sana. Lewat diplomasi yang digelar sampai ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), akhirnya secara de jure penguasaan wilayah itu diakui secara internasional. Sejak itu Irian Barat, Irian Jaya-atau apalah namanya- menjadi bagian dari pernyataan kesatuan berbangsa. Meski selama ini pembangunan dan modernisasi tak menyentuh bagian terbesar dari hidup mereka, penghuni wilayah itu adalah bagian dari persaudaraan sebangsa dengan wilayah lain negeri ini. Itulah hebatnya! Dengan kekayaan alam yang luar biasa, sebagian besar penduduk provinsi ini seperti hidup satu abad lebih mundur dari dunia luar. Sebagian besar penduduk di sana masih menjadikan sagu dan pinang sebagai makanan pokok. Mereka hidup dalam pola "makan cuma sekadar untuk hidup". Mereka adalah contoh hidup dari gelombang pertama teori Toffler. Era pasar bebas membuat mereka makin terpinggirkan, bahkan untuk hal-hal paling mendasar. Modernisasi tidak juga membuat mereka mengenal pengadaan pangan lewat sistem kultivasi. Tak ada kearifan lokal untuk mengelola tanaman pangan, berbudi daya ternak, atau mengatur sumber pangan. Untuk memperoleh makanan sagu atau pinang sekarang ini, mereka harus membeli dari para pendatang.

Sekitar 1,5 juta dari 2,3 juta penduduk asli di sana hidup dengan penghasilan rata-rata tiap keluarga Rp 80.000-an per bulan. Sekitar 700.000 lainnya bertaraf hidup lebih tinggi, tetapi hampir semuanya pendatang dari Jawa, Sulawesi, atau Sumatera. Toh, tidak ada gugatan berarti yang muncul selama 39 tahun wilayah itu bersatu dengan republik ini. Kehadiran para pemegang bedil sejak awal Orde Baru membuat mereka bisa tenang menerima fakta itu. Bila pun ada resistensi, itu cuma terjadi tahun 1984 ketika 11.000- an warganya eksodus ke Papua Niugini. Ada lagi sekelompok pemberontak OPM (Organisasi Papua Merdeka), yang dengan senjata seadanya bergerilya di hutan, atau sesekali menyerang militer di kota. Namun, kekuatan mereka jauh dari berarti, dan akhirnya lebih mirip disebut pelarian ketimbang separatis. Sejak 1990-an OPM sudah nyaris tak terdengar. PERUBAHAN besar terjadi ketika Soeharto jatuh tahun 1998 dan teriakan reformasi merembet ke seluruh wilayah negeri. Keputusan politik Presiden Habibie memberi pilihan bagi rakyat Timor-Timur untuk merdeka, serta meningkatnya daya desak separatis Gerakan Aceh Merdeka di provinsi paling barat negeri ini ikut memberi inspirasi warga di Irian Jaya. Mereka juga menaikkan daya desak mereka. Namun, justru berangkat dari pengalaman Timor Timur itu Presiden Habibie mengantisipasi persoalan di Irian Jaya dengan cara bersama-sama dengan DPR melahirkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Sayangnya, UU itu malah melahirkan protes masyarakat Irian Jaya yang waktu itu mulai mendengungkan nama Papua sebagai identitas mereka. Protes masyarakat berbuntut dengan pendudukan Gedung DPRD Irian Jaya yang membuat DPRD menggelar sidang khusus dan melahirkan sebuah keputusan menolak UU No 45/1999. Gubernur Irian Jaya menyampaikan penolakan itu ke menteri dalam negeri yang waktu itu Soerjadi Soedirja. Atas penolakan itu, pemerintah melalui Soerjadi Soedirja pada November 1999 menjawab dengan pernyataan memahami sikap warga Irian Jaya. Namun UU tidak dicabut. Naiknya KH Abdurrahman Wahid-waktu itu dikenal sebagai tokoh prodemokrasimenjadi presiden seolah memberi dorongan angin bagi warga Papua untuk makin menyatakan keinginannya. Para politikus Papua lalu mendeklarasikan berdirinya Presidium Dewan Papua (PDP). Belasan ribu penduduk dari pelosok Papua menghadiri pendirian PDP, yang dipimpin Theys Hiyo Eluay (alm). Inilah peristiwa politik terbesar yang pernah ada di Papua, begitu namanya sejak itu. Secara politis posisi Papua makin penting setelah dalam Sidang Umum 1999 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999 yang menegaskan Papua sebagai daerah otonomi khusus yang akan diatur dengan UU. Dengan momentum inilah mestinya masalah Papua dilihat secara politis. Ia bukan lagi perdebatan hukum atau teknis administrasi sebab otonomi khusus Papua sudah menjadi amanat dari pemegang kedaulatan tertinggi. Masalahnya, walaupun sudah menjadi komitmen di Tap MPR, di kalangan pemerintahan sendiri, terutama Departemen Dalam negeri, masih ada kegamangan memberikan otonomi khusus kepada Papua. Itu sebabnya ketika Departemen Dalam Negeri mengajukan RUU Otonomi Khusus Papua, DPR juga mengajukan RUU Inisiatif dengan mengadopsi rancangan bikinan tokoh-tokoh Papua dan konsultan independen Departemen Dalam Negeri.

Akhirnya, RUU Otonomi Khusus Papua yang ditunggu warga Papua disetujui DPR dan disahkan menjadi UU Nomor 21 Tahun 2001. Anehnya, walaupun sudah ada UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi, dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 juga diatur soal tata cara pemekaran wilayah, baik untuk provinsi maupun kabupaten. Yang istimewa dari UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah segala sesuatu yang akan dilakukan di wilayah Papua harus mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Di sinilah kekhususan otonomi Papua diletakkan. Masalahnya, hingga sekarang Majelis Rakyat Papua belum juga dibentuk dan UU itu tidak juga dilengkapi dengan peraturan pemerintah agar bisa dilaksanakan. Padahal, waktu itu MPR dan peraturan pelaksanaan UU dijanjikan selesai dalam satu bulan. Alih-alih melaksanakan UU Nomor 21 Tahun 2001, Presiden Megawati malah menghidupkan lagi UU dari zaman Habibie dengan mengeluarkan Inpres No 1/2003 tentang percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, dan beberapa kabupaten baru. Tak ada penjelasan mengapa Megawati seperti menihilkan otonomi khusus Papua. SEBAGIAN warga Papua tentu saja kaget dan emosi. Yang mereka tunggu sebenarnya pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tetapi yang muncul malah Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang melaksanakan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya. Apa mau dikata. Gubernur sudah ditunjuk. Provinsi Irian Jaya Tengah dipimpin Gubernur Herman Monim. Provinsi Irian Jaya Barat dipimpin pejabat gubernurnya Abraham Octovianus Aturury. Pada 6 Februari lalu, Irian Jaya Barat diresmikan oleh Abraham di Manokwari. Abraham juga melantik dirinya sendiri di depan ribuan orang dari sembilan kabupaten yang hadir dalam acara itu. Akan tetapi, tak satu pun pejabat dari Jayapura maupun pejabat dari Jakarta yang hadir. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) yang mestinya tanggal 5 Februari datang ke Papua untuk peringatan Hari Damai membatalkan kunjungan tanpa alasan yang jelas. "Kayaknya, Menko Polkam juga kaget ada Inpres Nomor 1 Tahun 2003, jadi kalau datang ke Papua posisinya sulit," kata seorang pejabat. Hanya dalam hitungan minggu, Inpres itu langsung meningkatkan intensitas konflik di kalangan warga Papua sendiri. Hari Selasa 18 Februari, sekitar 2.000 warga Papua nyaris terjebak bentrokan di halaman Kantor DPRD Papua ketika sebagian tokoh politik di sana melakukan kampanye mendukung Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Pernyataan mendukung Inpres maupun aksi yang menentang terus bermunculan, baik dari kalangan politikus, agamawan, serta tokoh-tokoh adat. Aksi pro-kontra terhadap Inpres itu tampaknya akan berlanjut terus seiring dengan kesulitan yang bakal dihadapi bukan cuma oleh pejabat Papua yang lama, tapi juga pejabat baru di provinsi baru. Di Jakarta banyak pejabat yang kaget. Apalagi ada isu, Departemen Dalam Negeri tidak mengusulkan Inpres itu dan tidak diajak rembukan sebelum diteken Megawati. Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Indonesia Timur malah sudah lama tidak diajak rembukan soal nasib Papua. Tentu saja isu tinggal isu. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno ketika ditanya soal ini cuma bilang, Presiden Megawati berhak mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003. "Inpres itu tidak bisa disebut mendadak karena didasarkan pada UU Nomor 45 Tahun 1999 yang sah. UU itu, kan, mengamanatkan pemekaran wilayah," katanya.

"Jadi, pemekaran sudah ada, peresmian sudah dilakukan dan pejabat gubernur sudah ada." Katanya lagi, tidak ada yang perlu disalahkan dari Inpres 1 Tahun 2003 yang didasarkan pada UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 21 Tahun 2001. Semua bisa dilaksanakan secara paralel. "Pemerintah pusat berpikir sederhana saja," kata Hari. "Satu daerah dengan geografi begitu luas perlu pengendalian dan manajemen baik. Pembangunan akan lebih efektif dan efisien kalau provinsinya dimekarkan." KAJIAN hukum bisa saja dimunculkan dalam kemelut Papua ini. Sabam Sirait dari Fraksi PDI-P yang dulu menjadi Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Otonomi Khusus Papua menyatakan sebenarnya awalnya di DPR sudah ada pemikiran untuk mencabut UU Nomor 45 Tahun 1999 agar tidak menimbulkan salah interprestasi. "Tapi, lalu kami sepakati UU 45 Tahun 1999 tidak perlu dicabut," kata Sirait. "Toh, dalam hukum ada tradisi, UU yang berlaku belakangan akan mengesampingkan UU sebelumnya." Namun, menurut Ferry Mursidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar, Inpres itu sebetulnya bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001. Otonomi Khusus Papua itu diterapkan pada satu Provinsi Irian Jaya, bukan tiga provinsi seperti yang dinyatakan UU Nomor 45 Tahun 1999. "Waktu pembahasan memang ada yang bertanya apakah dalam otonomi khusus dimungkinkan terjadi pemekaran, maka keluarlah Pasal 76 yang mengatur tata cara pemekaran wilayah. Maka, jadi aneh kalau keluar Inpres untuk percepatan pemekaran, karena bertentangan dengan UU Otsus (otonomi khusus)," kata Ferry. Jadi, dengan adanya UU Otonomi Khusus Papua, menurut anggota Fraksi Golkar Simon Patrice Morin, mestinya pemerintah merevisi UU Nomor 45 Tahun 1999 dengan menghapus klausul tentang pemekaran provinsi. Yang diatur UU Nomor 45 Tahun 1999 cukup pemekaran kabupaten atau kota. "Itu semua dibicarakan dalam pansus, termasuk oleh Mendagri Hari Sabarno. Jadi, kalau pemerintah sekarang pura-pura tidak tahu, ya kita cuma bisa berpulang pada moral dan etik," kata Simon. Problem yang akan muncul, menurut Ferry, UU Otonomi Khusus Papua memuat substansi yang sebagian besar aspirasi masyarakat Papua. Sejauh ini, tidak ada keinginan masyarakat Papua untuk dipecah menjadi tiga provinsi. "Ini, kan, repot. Bagaimana alokasi dana khusus, bagaimana pembagian sumber daya alamnya. Itu problem besar," kata Ferry. Tampaknya, pemerintah secara sadar telah melanggar UU dan Tap MPR. Mungkin dengan kekuasaan negara, the silent majority di Papua bisa dikalahkan. "Kami semua yang terlibat dalam UU ini seperti ditampar dan rakyat dibodohi," kata Simon. Kisruh hukum ini menimbulkan kesadaran bahwa persoalan Papua harus ditangani secara politik. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen politiknya untuk menampung aspirasi sebagian besar rakyat Papua sesuai dengan perintah Tap MPR Nomor IV Tahun 1999 dan UU Nomor 21 Tahun 2001. Penyusunan peraturan pemerintah dan pembentukan Majelis Rakyat Papua juga membutuhkan komitmen politik. Tanpa itu akan muncul aksi protes menentang pemekaran provinsi dan propaganda Presidium Dewan Papua. Organisasi ini sekarang terus mendengungkan tiga tuntutan: penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pelurusan sejarah Pepera, dan Referendum bagi Papua. Bukan tidak mungkin, gagasan separatis Papua kini justru menemukan momentumnya cuma karena salah bikin instruksi. Mau angkat bedil lagi? (BUR/EDN/NUG)

Menelusuri Redaksi Sebuah Instruksi


GAIRAH untuk membentuk keutuhan sebuah bangsa adalah gairah kesempurnaan banyak kaum nasionalis. Yang sering diabaikan adalah kenyataan bahwa nasionalisme kini tengah kehilangan momen etisnya sendiri. Perubahan dunia terbesar dalam dua dasawarsa ini adalah meluasnya kesadaran bahwa batas-batas negaramakin tidakrelevan. MENYUSUN RENTANG p harus yang utama kebutuhan adalah ekonomi daya sumber dan pasar akses pada kedekatan ini, sekarang seperti bebas era di Dan, tersebut. garis-garis akan rakyat berdasarkan dilakukan jika makna mempunyai hanya teritorial, garis beberapa dalam wilayah memecah dengan wilayah, sebuah atas kendali . Barangkali dengan pikiran itulah para wakil rakyat di MPR tiba-tiba memberi amanat penting dalam Sidang Umum tahun 1999, yaitu pemberian status daerah otonomi khusus kepada Irian Jaya. Komitmen politik itu dituangkan dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/MPR/ 1999, yang kemudian melahirkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Tawaran otonomi khusus itu juga yang disambut baik rakyat Papua ketimbang menuruti nafsu separatisme dari sekelompok orang yang konsepnya tidak lebih jelas, kecuali lepas dari Republik ini. Tawaran itu juga yang meluluhkan Presidium Dewan Papua pimpinan Theys Hiyo Eluay dari tuntutannya menggelar referendum di Papua. Sayangnya, janji otonomi khusus Papua tidak kunjung direalisasi. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus tidak juga disusun. Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak juga dibentuk. Yang dikhawatirkan adalah pada gilirannya otonomi khusus akan dijadikan batu loncatan rakyat Papua untuk memerdekakan diri, lepas dari bagian bangsa ini. Alih-alih memenuhi janji yang belum terbayar, Megawati malah menghidupkan lagi UU yang dikeluarkan pada zaman Presiden BJ Habibie, yaitu UU No 45/1999 tentang pemekaran Papua menjadi tiga provinsi dan pembentukan empat kabupaten baru. Tahun itu juga Abraham Aturury dan Herman Monim ditunjuk sebagai gubernur masingmasing untuk Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Seorang pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menyatakan, rentang kendali pusat terhadap daerah akan lebih baik dengan pemecahan provinsi. UU Otonomi Khusus justru bisa memberi jalan bagi rakyat Papua untuk membentuk cikal bakal negara. "Gejala intervensi luar negeri seperti Timtim sudah terlihat. Bulan depan, misalnya, ada delegasi dari Uni Eropa ke sana, agendanya apa belum jelas. Juli tahun lalu juga Gubernur Papua ke AS, mau apa dia? Kelihatannya dia mau melobi untuk mendukung Papua Merdeka," ujarnya. "Itu sebabnya Mendagri (Menteri Dalam Negeri) lalu memohon Presiden menentukan posisi tawar menghadapi tekanan di Papua." "Sayangnya, ketakutan terhadap separatis Papua membuat pemerintah membagi Papua seperti membagi kue, tidak memedulikan aspek sosiologis dan antropologis. Papua punya lebih dari 250 suku, yang tidak semuanya bisa hidup berdampingan

10

begitu saja," ujar Deputi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Michael Menufandu. Akan tetapi, menurut Mendagri Hari Sabarno, pembagian provinsi sudah diatur secara rata. Sumber daya yang ada di sana dibagi rata. "Irian Jaya Timur memang belum dapat apa-apa, tetapi di Tengah ada Timika, di Barat ada Tangguh. Ini, kan, tinggal bagaimana nanti pembagian saja. Jangan berpikir kalau tak punya apa-apa lalu tidak kebagian. Dana pusat, kan, disebar ke daerah miskin. Semua ada aturannya," ujar Hari Sabarno. Namun ,Wakil Gubernur Papua Constant Karma menyatakan, ketakutan pemerintah pusat itu berlebihan. "Orang Papua, kan, orang Indonesia juga, jadi tidak ada pikiran untuk merdeka. Apalagi dalam UU Otonomi Khusus Papua sudah ada pasal yang mewajibkan MRP mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan RI, mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Pembentukan MRP yang diatur dalam UU Otonomi Khusus Papua, misalnya, sama sekali bukan lembaga politik, melainkan lembaga konsultatif," katanya. MRP adalah institusi representasi kultural orang asli Papua yang tidak berasal dari partai politik dan pemilu, tetapi dari perwakilan agama, adat, dan perempuan dalam jumlah yang sama. Setiap kabupaten mengirim tiga wakil yang dipilih dari tingkat distrik dengan cara musyawarah. KELUARNYA Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 memang bukan semata alasan rentang kendali dan keamanan. Sumber di Depdagri maupun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga mengakui, salah satu sumber masalah adalah mengalirnya dana otonomi khusus sebesar Rp 1,4 trilyun untuk Papua yang dikirim Departemen Keuangan ke rekening Gubernur Papua. Dari jumlah itu, ternyata Rp 900 milyar jatuhnya justru ke provinsi, Rp 300 milyar diberikan ke kabupaten dalam bentuk cash, dan Rp 200 milyar dalam bentuk proyek. Ini yang menimbulkan kegelisahan di kalangan bupati sehingga beberapa bupati mendesak agar bukan otonomi khusus yang diberikan ke Papua, tetapi pemekaran provinsi. Menurut Staf Ahli Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional Moch Ikhwanuddin Mawardi, penggunaan dana otonomi khusus itu mestinya diatur peraturan daerah khusus. "Ini yang belum berjalan sesuai UU Otonomi Khusus. Sebab, peraturan daerah khusus itu harus dibuat gubernur bersama DPRD dengan persetujuan dan pertimbangan MRP. Karena MRP belum dibentuk, ya mekanismenya tidak jalan," ujar Ikhwanuddin. Dari kekurangan itulah, kata Ikhwanuddin, sebenarnya Bappenas berinisiatif membuat aturan sementara (in between) berupa inpres untuk pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua agar proyek-proyek percepatan pembangunan di Papua bisa dijalankan, dengan aturan dan kontrol yang lebih baik. Setelah Kepala Bappenas Kwik Kian Gie melapor ke Presiden Megawati Soekarnoputri, akhirnya disetujui untuk menyusun rancangan inpres. Maka digelarlah rapat-rapat pejabat Bappenas, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, serta pejabat Sekretariat Negara, dan Polkam. Drafnya dari Bappenas, yang intinya percepatan pemberlakuan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Penyusunan rancangan inpres oleh pejabat-pejabat ini berlangsung hingga 26 Januari 2003.

11

"Yang saya kaget dan bingung, draf Inpres itu belum selesai, tiba-tiba muncul Inpres No 1/2003 yang isinya bukan otonomi khusus, tetapi pemekaran provinsi," ujar Ikhwanuddin. "Saya cuma diberi tahu Deputi Seswapres bahwa Inpres No 1/2003 adalah hasil rapat lain, pada 26 Januari malam, lalu diteken Presiden 27 Januari 2003. Siapa pesertanya, saya tidak tahu." Isu yang lalu sempat muncul adalah usulan Inpres No 1/2003 berasal dari Badan Intelijen Negara (BIN). Namun, Kepala BIN AM Hendropriyono membantah isu tersebut. "Tidak, dong. Inpres itu yang membuat Menteri Kehakiman dan HAM. Itulah kalau (pers) curiga melulu. Tidak ada itu. Tidak benar," ujar Hendropriyono. SIAPA pun yang menyusun rancangan Inpres tersebut, bahasa redaksionalnya memang diwarnai dengan beberapa kesalahan yang tidak perlu. Inpres tersebut lengkapnya tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Jadi, Inpres ini mestinya cuma ditujukan untuk dua provinsi, tiga kabupaten, dan satu kota. Akan tetapi, dalam pertimbangannya huruf (a) disebut, ...pelaksanaan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat...perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi perangkat daerah, dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan dalam huruf (b) yang disebut cuma satu provinsi, yaitu ...sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah Provinsi Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan. Bagaimana dengan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Irian Jaya Tengah tidak dicantumkan. Keanehan juga terlihat pada pihak yang menerima instruksi. Dalam Inpres itu, instruksi selain ditujukan kepada Mendagri dan Menteri Keuangan, juga ditujukan kepada Gubernur Provinsi Papua dan bupati/wali kota se-Provinsi Papua. Namun, tidak jelas wilayah mana yang dimaksud dengan Provinsi Papua dan bupati se-Provinsi Papua. Sementara itu, dalam instruksi pertama huruf (b) disebutkan instruksi presiden agar mempersiapkan penetapan dan penyesuaian batas-batas wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, dan Provinsi Irian Jaya. Penyebutan provinsi yang ketiga, yaitu Irian Jaya, juga tidak jelas merujuk wilayah mana. Begitu juga di dalam instruksi ketiga, disebutkan gubernur memberikan dukungan pelaksanaan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Barat... Di sini disebut Provinsi Irian Barat, istilah yang dipakai pada zaman Soekarno dulu. Dengan demikian, jika ditotal, dalam Inpres ini ada empat provinsi yang disebut, tetapi tidak dijelaskan batasannya, yaitu Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Irian Jaya, dan Papua, ditambah penyebutan satu provinsi yang tampaknya salah ketik, yaitu Irian Barat. Petikan dokumen kenegaraan resmi inilah yang dikirimkan melalui faksimile dari Jakarta ke DPRD Papua lewat sebuah kios telepon bernama Wartel Ana, yang diduga berada di sebuah mal di Jakarta. Selain nama Presiden Megawati, dalam Inpres tersebut juga tercantum nama Deputi Sekretariat Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan Lamboek V Nahattands. "Saya kenal Pak Lamboek sebagai orang yang sangat teliti dengan bahasa hukum dan sudah amat berpengalaman dengan soal-soal begini. Saya rasa, Inpres itu juga bukan disusun Lamboek. Ini seperti rancangan Inpres yang nyelonong ke Presiden," ujar seorang pejabat di Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.

12

Kesalahan redaksional yang tidak perlu ini pasti jauh dari kesengajaan penyusunnya. Namun, sejauh mana kekeliruan juga terjadi pada rumusan substansinya tidak ada yang tahu. Dalam bahasa teknis hukum, kekeliruan dalam Inpres ini bisa saja menyebabkan gugatan pada keabsahannya. Kegairahan pada kesempurnaan, yang dilakoni dengan ketidaksempurnaan prosedur, memang suka mengesalkan. (EDN/ODY/NUG)

Terpuruk di Tanah Leluhur


SIMON Waropka (56) harus berjalan sejauh 50 kilometer melewati jalan setapak di punggung bukit, gunung, dan jurang di antara Dumpasik, kampung halamannya ke Distrik Okbibab, Kabupaten Jayawiya, Provinsi Papua, untuk mencari buku tulis anaknya. Uangnya diperoleh dari sumbangan gereja setempat karena bapak beranak delapan ini tergolong penduduk miskin. SEHARI-HARINYA, pria yang mengaku hanya tamat kelas dua sekolah dasar ini adalah petani ubi jalar dan pencari ikan/udang di sungai. Tiap hari ia tidak pernah memegang uang, sebab hasil tanamannya tak laku dijual. Tetangganya yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tidak membutuhkan hasil tanaman itu karena mereka juga bertanam ubi jalar. Cara bertani pun sangat tradisional yakni menanam dan membiarkannya tumbuh bersama semak belukar sampai tiga-empat bulan, lalu dipanen dengan hasil yang sangat rendah. Untuk mendapatkan garam, gula pasir, dan korek api mereka minta ke gereja, terutama menjelang Natal. Mereka hidup semata-mata dari alam dan tidak aneh kalau banyak warga di kampung itu sakit gondok. Pasangan suami istri Simon Waropka-Maria (46) merupakan sosok penduduk asli yang terkurung di antara gunung dan jurang terjal Papua. Mereka hanya mampu menyaksikan matahari terbit dan terbenam setiap hari. Kalau mereka merindukan perubahan/pembangunan ibarat "si cebol merindukan bulan". Makanan utama meraka adalah umbi-umbian hutan dan pakaian mereka adalah "koteka" atau "awur/rumbai". Irama kehidupan mereka sama mirip dengan kehidupan satwa-satwa di hutan rimba. Tetapi, itulah ironi kehidupan, sebab bumi yang mereka pijak adalah tanah Papua, sebuah pulau yang terkenal sangat kaya kandungan alam. Mineral, bahan tambang, kekayaan laut, hutan hingga keindahan puncak pegunungan Cartenz dengan salju abadi, ada di sana. Tidak ada daratan, pegunungan, lembah, sungai, dan laut di Papua yang tidak menyediakan potensi kehidupan bagi para penghuninya. Tetapi, mengapa banyak warga miskin, tertinggal, terbelakang, telanjang, dan bodoh. Memang, tidaklah bijak kalau berbicara siapa salah dan siapa benar dalam menyikapi kondisi yang menusuk hati nurani ini. Akan tetapi, kenyataan itu merupakan tanggung jawab seluruh warga Indonesia, terutama mereka yang ada di Papua. Menurut data statistik, dari 2.233.530 penduduk Papua (2000) sekitar 1.460.846 jiwa atau 65,41 persen orang Papua, sisanya adalah warga pendatang. Tetapi, 80 persen penduduk Papua tinggal di pedalaman terpencil, hanya 20 persen yang berada di kotakota kabupaten. Kota-kota provinsi, kabupaten, dan kotamadya, 90 persen dihuni warga pendatang. Jumlah penduduk terbesar ada di Jayapura 134.138 jiwa, dari jumlah ini penduduk asli hanya 47.825 orang. Timika 89.861 jiwa, tetapi penduduk asli hanya 35.813 orang.

13

Ini menunjukkan, warga pendatang 90-95 persen menguasai pusat perkotaan termasuk perdagangan, perekonomian, perbankan, tenaga kerja, transportasi, kantor-kantor swasta, dan usaha bisnis lain termasuk bar, karaoke, dan diskotek. Di pasar-pasar tidak ada orang Papua yang tampil sebagai pedagang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua (2000), dari 70.896 pedagang di Papua penduduk asli hanya 5.275 orang yang hanya mampu menjual sayur dan umbi-umbian di pinggir pasar atau di sisi jalan. Mereka tidak bisa menikmati fasilitas jalan, pasar Inpres, sekolah, jembatan, pelabuhan, dermaga, dan terminal, yang dibangun pemerintah daerah (pemda). Kenyataan ini diketahui jelas pemda dan semua pejabat pusat yang datang ke Papua, tetapi tidak pernah mencari satu terobosan baru memecahkan masalah ini. Mantan Kepala BPS Provinsi Papua Mansur Siradz mengatakan, orang asli Papua adalah kelompok minoritas di kota. Mereka terdesak ke pinggir kota, atau kembali ke habitat di hutan sebagai pengembara, karena tidak mampu bersaing dengan warga pendatang yang memiliki modal kuat, dan pandai bergerilya mencari celah untuk berdagang, bisnis, dan mengejar keuntungan seperti dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia. "Saya menilai, Papua ini kaya, tetapi mereka menjadi penonton di tanah air sendiri. Apa yang dimiliki warga Papua di dalam kota-kota di Papua, tidak ada. Coba tanyakan siapa pemilik toko, hotel, restoran, dan biro perjalanan di setiap kota di Papua," katanya. MELKY Suebu Ketua Inkindo (Ikatan Pengusaha Konstruksi Indonesia) Papua mengatakan, mental dan gaya hidup nomaden masyarakat Papua masih melekat kuat. Mental itu tidak hanya menguasai masyarakat tingkat bawah, tetapi juga para pejabat daerah setempat. Selain itu, mental korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sangat kental melekat di kalangan pejabat Papua, tetapi dana hasil KKN dimanfaatkan tidak terarah. Sebagian besar dana mengalir ke pusat hiburan seperti bar, diskotek, minuman, dan pusat pembelanjaan. Menurut Suebu, sikap seperti itu dapat tercipta karena mental dan gaya hidup nomaden masih ada di dalam hati dan pikiran orang Papua. Apa yang diperoleh hari ini, akan dihabiskan hari ini juga. Kebutuhan hari esok akan dicari di tempat lain. Mereka tidak pernah berpikir mengenai bagaimana menabung, menyimpan, menanam, dan membangun hidup secara modern. Sistem gerilya dari kantor ke kantor untuk memeras pejabat dan pengusaha, bersumber dari mental bawaan dari hutan, yakni gaya hidup nomaden tersebut. Di pendopo Kantor Wakil Gubernur, Bupati, Wali Kota, Sekda Papua, hampir setiap hari antara 50-200 orang duduk di depan kantor. Mereka antre menghadap pejabat bersangkutan untuk meminta bantuan dana. Karena itu, di setiap kantor para pejabat daerah harus menyiapkan dana antara Rp 500.000-Rp 5 juta setiap hari. Adolf Gim Perangin Ketua Komisi B DPRD Papua mengatakan, sudah saatnya para pejabat dan anggota DPRD membasmi mental mengemis yang dimiliki rakyat. Rakyat harus diajari hidup mandiri dengan cara kerja keras demi kesejahteraan hidup dan keluarga. "Di Komisi ini saya tidak pernah memberi mereka uang, walau terus digeranyang dengan permintaan bantuan dan pengajuan proposal. Saya ingin agar mereka mandiri,

14

tidak bergantung terus pada orang lain. Tetapi, masih banyak anggota dewan dan pejabat daerah yang memberi bantuan dana dan memberi janji - janji yang dengan sendirinya membangun mental bergantung dan pemalas," kata Perangin. Mabuk dan seks bebas menjadi irama kehidupan yang tidak pernah terpisahkan. Virus HIV/AIDS pun makin menggerayang rasa hidup yang aman dan tenteram masyarakat. Tetapi, perilaku hidup tidak pernah berubah, baik pejabat daerah maupun masyarakat bawah. Data per Januari 2003, sekitar 1.400 orang sudah positif menderita HIV/AIDS. Ini diperparah lagi dengan beredarnya judi "kupon putih" dari provinsi sampai ke desa-desa di Papua sejak 1999. Judi-judi ini semakin merusak mental orang Papua yang tadinya pemalas dan ingin mendapat keuntungan besar dalam waktu singkat. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih (Uncen) Drs Bern Kambuaya MM mengatakan, Pemda harus berani membuat gebrakan untuk membangun ekonomi rakyat Papua. Gebrakan itu dimulai dari sikap dan prilaku pejabat sendiri. Kedisiplinan mengelola uang dan melayani masyarakat menjadi unsur pokok membangun orang Papua. "Membangun ekonomi rakyat bukan membagi-bagi uang, tetapi selama ini ada kebijakan seperti itu. Ini sama dengan membina mental santai, bergantung dan pemalas," kata Kambuaya. Menurut Kambuaya di Papua sumber daya alam mulai laut, sungai, danau, hutan dengan satwa dan flora, pertambangan, dan sampai ke keindahan Puncak Cartenz dengan salju abadi dapat menghasilkan uang. Tetapi, pemda belum memiliki satu program terpadu membina masyarakat memanfaatkan sumber daya tersebut. Lahan perkebunan/pertanian di Papua sangat luas, tetapi sampai hari ini belum tergarap. Hanya sebagian kecil dikuasai pengusaha dari luar, terutama pengusaha kelapa sawit. Penduduk asli belum memiliki perkebunan rakyat seperti kebanyakan daerah lain. "Semua wilayah di Papua sangat potensial dengan tanaman karet, pala, sawit, jeruk, kelapa, cengkeh, cokelat, dan buah-buahan. Jeruk, sawo, rambutan, mangga, pisang, nangka, salak dan berbagai jenis buah-buahan dapat tumbuh dan berkembang di Papua. Tetapi, belum ada program terpadu memacu rakyat mengembangkan tanaman itu," kata Kambuaya. Menurut Kambuaya, Papua perlu belajar pada Pemda Sulawesi Selatan (Sulsel) mengenai gerakan menanam satu juta pohon. Kebijakan itu perlu dikembangkan di Papua, sehingga daratan Papua yang masih kosong, dapat dimanfaatkan untuk perkebunan dalam skala besar. Kerja sama antara Pemda Papua dengan Pemda Sulsel dan Sulawesi Utara sangat penting, mengingat jarak antara kedua provinsi dekat dan tenaga penyuluh dari daerahdaerah itu dapat didatangkan ke Papua, kalau tenaga penyuluh di Papua tidak mampu. Jika sektor pertanian dan perkebunan telah dibangun, maka pembangunan 14 ruas jalan strategis akan sinkron dengan program itu. Membangun jalan tanpa dukungan perkebunan dan pertanian, dan tidak ada pemukiman pada ruas jalan tersebut, akan mubazir. Misalnya, pembangunan 580 kilometer ruas jalan Jayapura-Wamena. Jalan itu rampung pada tahun 1996 namun tidak dimanfaatkan sehingga rusak. Ini karena tidak didukung oleh pengembangan ekonomi rakyat lokal.

15

Tidak hanya menanam, tetapi pemda juga mencari pemasaran dengan membuka jaringan kerja sama dengan pemda provinsi lain, atau ke luar negeri, guna menadah produksi perkebunan atau pertanian dari Papua. Dengan demikian produksi perkebunan (pertanian) tidak mubazir tetapi benar-benar dapat memberi manfaat bagi petani. Jenis tanaman unik di Papua seperti "buah merah", kayu gaharu, dan pohon "matoa" harus mendapat perhatian khusus. Jenis tanaman ini memiliki nilai sangat tinggi di pasaran, tetapi sampai hari ini tidak dibudidayakan, dan dimasyarakatkan. Para pengusaha berusaha mengambil keuntungan dari jenis-jenis tanaman unik Papua ini untuk kepentingan pribadi. Buah merah misalnya, saat ini dijual dengan harga Rp 1,5 juta per botol (1,5 liter) oleh pengusaha pendatang. Menurut Rektor Uncen Ir Frans Wospakrik, warga Papua tidak bisa dibiarkan sendiri. Mereka harus terus diajari bagaimana mengolah tanah, menanam, memupuk, menyiram, dan merawat tanaman. Kemudian proses memetik hingga menyimpan hasil panen. Partisipasi aktif dari masyarakat selama ini nyaris tak ada. Ada kesan masyarakat sibuk dengan kegiatan sendiri, dan pemerintah mempunyai program sendiri. Seolah-olah pembangunan itu hanya milik pemda, sedangkan masyarakat hanya tunggu menikmati. Ini keliru. Masyarakat harus dilibatkan dalam pembangunan. Karena itu, berbagai proyek pemda di setiap kecamatan dan desa harus melibatkan masyarakat. Menurut Ketua F-PAN DPRD Papua, Sinjalala, selama ini banyak proyek mubazir karena tidak ada pengawasan dan pengontrolan. Laporan akhir tahun anggaran selalu 100 persen, pengerjaan fisik dan alokasi dana pun 100 persen. Tetapi, kenyataan di lapangan kosong. Bahkan, banyak proyek fiktif tetapi tidak diproses secara hukum. Semua ini disebabkan pekatnya mental KKN pejabat di samping kebiasaan mabuk dan judi. Mental ini selama berpuluh tahun telah merusak pembangunan dan menyengsarakan warga Papua. (KORNELIS KEWA AMA)

Sekilas Kata Dunia tentang Freeport


CHIEF executive officer (CEO) FreeportMcMoRan Inc bernama James Robert Moffett pernah memberikan kontribusi dana untuk pembangunan sebuah gedung yang ada di University of Texas, Austin, Amerika Serikat (AS). Oleh karena itu, pengelola universitas (The University of Texas System) mengumumkan bahwa sebuah bangunan untuk departemen biologi molekul akan dinamai James Robert Moffett. PEMBERIAN nama seperti itu adalah hal biasa di berbagai universitas di AS. Di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, AS, misalnya, juga ada MIT Sloan School of Management. Hal itu untuk mengenang Alfred P Sloan, yang memberikan kontribusi pada MIT. Sloan adalah seorang insnyiur alumnus MIT angkatan 1895, yang kemudian menjabat sebagai kepala dan pengembang General Motors. Akan tetapi, pengumuman itu langsung menyulut protes keras dari mahasiswa, dosendosen dan komunitas University of Texas. Profesor Antropologi dan Musik Steven Feld dari University of Texas memberikan argumentasi mengapa protes itu terjadi. Dia juga adalah Direktur Center for Intercultural Studies in Folklore and Ethnomusicology di University of Texas, Austin.

16

Menurut Feld, adalah sesuatu yang memalukan untuk menamai sebuah bangunan di universitas dengan nama seorang dari perusahaan Amerika yang banyak mengotori lingkungan dan tergolong kriminal. Sebagai tambahan dari kegelisahan itu adalah, Freeport sebagai pemilik tambang AS di luar negeri menjalankan bisnis yang menggiurkan karena hubungan "mesra" dengan pemerintahan Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia atas rumpun Melanesia di Irian, jelas terdokumentasikan di Amnesti Internasional dan kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia tingkat dunia lainnya. Feld juga mengecam konflik kepentingan antara Freeport dengan sesepuh University of Texas bernama William Cunningham, yang mendapatkan bayaran tinggi karena menjabat sebagai dewan direksi Freeport. Departemen geologi University of Texas juga banyak mendapatkan kontrak penelitian dari Freeport, yang dinilai sebagai buah dari konflik kepentingan antara Cunningham dengan Freeport. Oleh karena itu, kata Feld, kampus dan komunitas Austin menghujat pencemaran University of Texas dengan penggunaan nama eksekutif dari Freeport-McMoran Inc di sebuah bangunan universitas itu. Dikatakan, gedung biologi tersebut lebih bagus dinamai sebagai "Amungme Hall". Itu untuk menghormati 12.000 orang yang dinamai sebagai Amungme. Amungme merupakan pemilik tradisional lahan termasuk lokasi beroperasinya Freeport Indonesia. "Amungme telah kehilangan kehidupan dan lahan yang menjelma dalam bentuk keuntungan Freeport Indonesia. Demi menghormati mereka, seharusnya gedung tersebut dinamai Amungme Hall," demikian papar Feld. SEBAGAIMANA penduduk asli Irian (yang juga disebut sebagai Papua), kata Feld, "Amungme telah menderita penindasan brutal dari penjajah Indonesia dan tidak memiliki hak atas lahan, tidak bisa menolak "pembangunan ekonomi" di lahan mereka untuk kepentingan pertambangan, tidak bisa menolak penggusuran dan program penempatan yang telah membuat mereka tercabut dari akarnya demi keuntungan Freeport Indonesia." Menurut Feld, hanya segelintir warga Amungme yang diuntungkan. "Lainnya hanya dibayar kecil selama pembangunan konstruksi pada tahap awal. Ketika Amungme melakukan pemberontakan karena frustasi pada tahun 1977 dan meledakkan jalur pipa, pasukan keamanan melakukan penyerangan balik." "Kebun-kebun dan rumahrumah dihancurkan, beberapa orang Amungme dibantai dan dibunuh," kata Feld mengenang sebuah peristiwa tahun 1977 di sekitar lokasi Freeport. Feld menambahkan, Indonesia mengumumkan 900 orang jumlah yang mati. Namun data tidak resmi menunjukkan korban sebenarnya dua kali lipat. Apa yang harus dilakukan Indonesia dan Freeport soal kejadian tahun 1977 itu? "Retorika mereka tetap saja sama, yakni dengan menekankan pentingnya integrasi nasional dan pembangunan ekonomi di Irian Jaya. Integrasi nasional? Arti sebenarnya dari itu adalah sebuah invasi dan dominasi orang kuat dari luar di Irian. Ekonomi pembangunan? Artinya itu adalah pendudukan, pemaksaan dan pencurian sumber daya," demikian kata Feld dalam tulisannya yang bernada keras itu.

17

"Ekonomi pembangunan dan integrasi nasional adalah bungkus dari program pemerkayaan dan penguatan aparat keamanan dan perusahaan transnasional seperti Freeport. Hasil dari program itu adalah kemakmuran luar biasa pihak luar, yang di sisi lain adalah juga kemiskinan luar biasa bagi penduduk lokal." "Yang kehilangan adalah penduduk asli Melanesia di Irian, termasuk warga Amungme. Lahan-lahan mereka telah dirampas dan kemakmuran mereka disedot. Mereka tidak menerima sewa tanah dan royalti. Mereka sungguh tidak memiliki hak hukum, politik, dan sumber daya ekonomi atas penyingkiran itu. Pembangunan ekonomi dan integrasi nasional telah membuat Amungme, seperti pendudukan lain di Irian, menjadi miskin dan minoritas yang lemah di tempat tinggal mereka sendiri," kata Feld. Setiap pengembangan pertambangan Freeport Indonesia, terjadi gangguan lebih jauh terhadap kehidupan Amungme. Contoh, pada tahun 1980 Indonesia dan Freeport menempatkan kembali beberapa warga Amungme di sebuah dataran rendah dan mendorong mereka melakukan budi daya tanam yang jauh dari daerah asal. Hanya beberapa tahun setelah penempatan itu, 20 persen dari anak-anak Amungme meninggal karena penyakit malaria. Sebabnya, sebagai penghuni dataran tinggi, mereka memiliki kerentanan terhadap penyakit yang ada di dataran rendah. Contoh lain lagi, di tahun 1984 Freeport Indonesia menawari Amungme sebuah kesepakatan. Sebagai imbalan terhadap pembangunan seperti klinik untuk Amungme, lokasi tambang di Tembaga Pura dan semua fasilitas Freeport terlarang bagi Amungme. Feld menambahkan, Freeport memiliki versi sendiri-soal program penempatan penduduk Amungme itu-yang menekankan soal tanggung jawab sosial dan bantuan kemanusiaan. Akan tetapi, yang luput dari versi Freeport itu adalah soal sejarah kelalaian, katakanlah seperti penyebab munculnya penyakit baru di daerah tujuan mereka. Sebagian dari penyakit itu, muncul karena penggunaan secara besar-besaran bahanbahan kimia beracun. Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan Amungme tidak pernah dimonitor dan ditelaah. Pertambangan Freeport di teritori Amungme adalah lokasi cadangan emas terbesar di dunia dan ketiga terbesar di dunia untuk tambang tembaga. Dengan cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons emas dan 70 juta ons perak, nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport diberikan jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun. Lagi, jika menemukan tambahan kekayaan mineral di atas 4,1 juta hektar di tanah sekitarnya akan menjadi hak eksklusif Freeport. Akan tetapi nihil, bantuan yang dibagikan ke pihak Amungme. Darah Amungme telah dikorbankan demi dollar AS, yang sebagian disumbangkan ke gedung biologi molekul universitas. "Mulai sekarang, mari kita sebut gedung itu sebagai Amungme Hall," kata Feld. Namun, di universitas tersebut, toh tetap ada bangunan yang bernama Louise James R Moffetts Building. Bedanya, ada nama Louise sebagai tambahan. Akan tetapi, cobalah lihat keterangan Freeport yang juga bisa disimak di http://www. ftfi.co.id. Di sana, bisa kita baca secara lengkap soal program sosial Freeport di Irian. Bahkan, ada tulisan berjudul "Dana Freeport Bagi Pembangunan Papua". Misalnya,

18

dikatakan telah ada bantuan 62 juta dollar AS yang disumbangkan oleh Freeport sejak tahun 1996 hingga sekarang untuk Papua. HEBOH soal "ketertindasan" Irian Jaya sebenarnya bukan barang baru. Sebuah kisah serupa sudah pernah dituliskan soal Irian Jaya berjudul "Perubahan Sosial-Ekonomi di Irian Jaya", yang diterbitkan PT Gramedia, Jakarta, tahun 1979. Buku itu ditulis oleh dua orang profesor dari Australia National University (ANU) yakni Ross Garnaut dan Chris Manning. Di dalam buku ditulis, beberapa daerah di Irian Jaya telah mengalami transformasi karena hubungan intensif dengan dunia luar selama satu abad dan pembiayaan pemerintah yang tidak sedikit untuk perbaikan sosial ekonomi selama dua dasawarsa. Akan tetapi, sebagian besar penduduk Irian yang berdiam di desa-desa, hidup dalam struktur perekonomian yang sangat sederhana dan tidak mendapatkan manfaat besar dari transformasi sosial ekonomi yang terjadi. "Mereka tetap mempergunakan semacam tongkat untuk menggali dan alu untuk menumbuk sagu. Irian mengenal suatu sistem perekonomian yang benar-benar dualistis," demikian sebuah kutipan dari buku itu. Ditambahkan, pembangunan di Irian Jaya lebih banyak memanfaatkan penduduk yang datang dari provinsi lain di Indonesia. "Dengan demikian, penduduk asli Irian Jaya semakin tersingkir dari perekonomian modern." Perkembangan ekonomi yang seharusnya memberikan pengaruh lebih besar ke masyarakat setempat, tidak terjadi di Irian Jaya. Itu sebuah keadaan yang berbeda dibandingkan dengan perkembangan di Papua Niugini, tetangga Irian Jaya. Kenyataan itu, demikian pesan penulis, perlu disadari dalam perumusan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk asli. "Usaha yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Irian memerlukan alokasi anggaran dan program-program khusus untuk kesejahteraan kampung," lanjut isi buku itu. Pemerintah Indonesia telah menyadari masalah itu sehingga dibentuk satuan tugas untuk menjalankan program yang diperlukan. Akan tetapi, demikian tertulis dalam buku tersebut, tidak ada koordinasi antara instansi pemerintah di Irian Jaya, dan program itu ditangani oleh orang-orang yang tidak kompeten. LALU apakah ada perubahan di Irian Jaya yang benar-benar telah memakmurkan orang Irian Jaya sendiri. "Sampai sekarang tidak ada perubahan mendasar bagi warga setempat," demikian kata seorang yang sangat hafal dengan kondisi Irian Jaya, yang tidak mau disebutkan namanya. Menyadari hal itu, kini berbagai upaya dicoba dilakukan untuk mendorong proses reformasi dan demokratisasi di Irian. Bantuan itu kini antara lain datang dari US Agency for International Development (USAID). Center for Institutional Reforms and Informal Sector (IRIS), baru-baru ini membantu penyelenggaraan acara Dialog Kawasan Papua untuk membantu pencarian masalahmasalah pembangunan ekonomi, sehubungan dengan pemberian otonomi khusus pada Irian Jaya. Bank Dunia dan lembaga internasional lainnya juga turut urun rembuk mencari jawaban tentang bagaimana mengembangkan Irian.

19

Mereka yang turut membantu penyelesaian masalah Irian itu adalah United Nations for Development Program (UNDP), The Asia Foundation dan lainnya. Sejauh ini, ada beberapa usulan yang dihasilkan dari dialog yang diselengaran IRIS. Misalnya, diperlukan penciptaan Sekretariat Koordinasi di dua universitas negara di Irian untuk memperkuat jaringan komunikasi antara universitas dengan daerah yang menjadi pelayanan mereka. Usulan lain, perlunya pemerintah mendorong minat berbagai donor untuk berpartisipasi dalam pembangunan sosial ekonomi Irian. Tidak jelas, apakah semua itu akan mampu menyelesaikan masalah, ataukah Indonesia tetap terjebak dalam jargon- jargon, atau sekadar melanjutkan proyek coba-coba, namun nihil hasilnya. (MON)

"Keanehan" Masyarakat Papua dan Inkonsistensi Pemerintah


Laode Ida UPAYA sebagian elite dan kelompok Papua yang melakukan protes dan demonstrasi penolakan terhadap Inpres Nomor 1 Tahun 2003 mengenai pelaksanaan UndangUndang (UU) Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemekaran provinsi di ujung timur Indonesia itu dengan dua tambahan baru, yakni Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah, terasakan dan terkesan "aneh". Soalnya, sikap mereka itu memiliki perbedaan yang signifikan bila dikaitkan dengan trend yang ada sekarang, seperti halnya terjadi pada daerah-daerah lain. PADA kasus yang terjadi di daerah-daerah lain, yang demonstrasi justru mereka yang menginginkan agar pemerintah pusat dan DPR menyegerakan pemekaran atau pembentukan daerah-daerah otonom baru. Kita masih ingat, misalnya, pada tahun lalu terjadi serangkaian demonstrasi masyarakat Kepulauan Riau (Kepri) hanya karena pemerintah (pusat) dan DPR lambat menyahuti tuntutan mereka membentuk Provinsi Kepri. Demikian juga dengan pembentukan/pemekaran sejumlah daerah otonom baru (kabupaten/kota) akhir-akhir ini, diupayakan oleh para elite daerah itu dengan berbagai caranya, termasuk dengan pengorbanan materi yang dikuras dari kas daerah itu sendiri. Keinginan untuk memekarkan daerah setelah keluarnya UU No 22/1999 memang terasakan sangat menonjol, kendati kelayakan dari segi ekonomi untuk pembiayaan daerahnya-utamanya daerah-daerah yang minus dari segi sumber daya alam dan PAD (pendapatan asli daerah) masih perlu dipertanyakan. Tak perlu pula mempertanyakan sejauh mana dampaknya terhadap peningkatan kualitas pelayanan masyarakat setelah terbentuknya daerah-daerah otonom baru itu. Karena, bagi para elite, penambahan suatu daerah merupakan peluang yang sangat dinanti-nantikan, karena di sana sudah pasti tersedia jabatan, kekuasaan, dan materi. Akan tetapi, sebaliknya bagi masyarakat Papua, menambah daerah dengan berbagai peluang jabatan, kekuasaan, dan materi bagi para elitenya itu, justru ditolak. Ini bisa diartikan pula bahwa mereka menolak peluang kekuasaan dan materi yang ditawarkan oleh pemerintah pusat. Di sinilah letak ke-"aneh"-annya yang sangat berbeda dengan kondisi dan mimpi para elite dari daerah-daerah lain. KETIKA kebijakan pengelolaan daerah otonom dikeluarkan, era pasca-Soeharto, memang, posisi tawar masyarakat Papua kian menguat. Posisi pemerintah pusat yang secara relatif melemah di tengah maraknya tuntutan sebagian daerah untuk

20

melepaskan diri dari Indonesia (apalagi kasus lepasnya Timor Timur dianggap sebagai suatu preseden yang menyemangati keinginan dan gerakan masyarakat daerah untuk juga independen dari Indonesia), menjadikan masyarakat daerah Papua dengan berbagai keunikan dan potensinya itu semakin tak bisa diabaikan. Bahkan, sebaliknya, haruslah mendapat perhatian khusus. Beberapa permintaan mereka pun, seperti pergantian nama dari Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua, kemudian diakomodasi oleh pemerintah pusat, di mana perubahan nama itu sendiri secara psiko-sosial sangat berpengaruh dalam menciptakan kesolidan masyarakat etnis asli daerah itu. Kondisi intern dan psikologi jajaran aparat keamanan yang cenderung mengalami keretakan faksional di tengah berbagai hujatan dan penurunan citra akibat kebijakan dan tindakan-tindakan mereka selama Orde Baru, menjadikan gerakan-gerakan masyarakat Papua lebih leluasa dan semakin tidak mudah untuk tunduk pada kebijakan pemerintah pusat. Soalnya, kalau di era Soeharto peran jajaran aparat keamanan yang dengan bisa leluasa melakukan berbagai upaya represif terhadap pengekspresian aspirasi dan gerakan masyarakat, apalagi di Papua (Irian Jaya, saat itu) yang sudah memiliki embrio gerakan "separatis"-OPM dan kekuatan lain pendukungnya. Dengan kata lain, akibat perubahan politik yang terjadi pasca-Soeharto, jajaran aparat keamanan tak bisa seleluasa dulu lagi. Dan sebaliknya masyarakat Papua secara relatif menikmati kebebasan. Posisi tawarnya, sekali lagi, semakin menguat. Oleh karena itu, tidak heran ketika UU No 45/1999 dikeluarkan, serta-merta kebanyakan masyarakat Papua saat itu menolak, seraya mengancam untuk memperkuat gerakan untuk merdeka atau keluar dari Indonesia. Maka, di bawah Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid, diupayakan alternatif jalan tengah, dengan menjadikan Papua dikelola sebagai daerah otonomi khusus, hingga sampai disahkannya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Konsekensi logis dengan keluarnya UU No 21/2001 itu sebenarnya pemerintah sudah harus membatalkan UU No 45/ 1999. Karena, pemerintah sudah memberi pengakuan kepada masyarakat dan pemerintah Papua untuk mengatur dan menentukan dirinya sendiri melalui MRP (Majelis Rakyat Papua). Atau segala kebijakan yang hendak diambil dan dilakukan oleh pemerintah, hendaknya terlebih dahulu melalui proses penggodokan dan persetujuan MRP. Tidak sekonyongkonyong mengeluarkan dan hendak mengimplementasikan suatu kebijakan yang lepas dari dialog dengan kekuatan yang legitim Papua. AKAN tetapi, agaknya Pemerintahan Megawati juga memiliki siasat yang berbeda. Pemerintah (Megawati) masih mengulur implementasi Otsus Papua itu, karena hingga saat ini belum ada satu PP (peraturan pemerintah) pun yang dikeluarkan sebagai dasar operasional UU No 21/2001 itu. Makanya dengan seenaknya pula ia mengeluarkan Inpres No 1/2003 itu, tanpa merasa perlu berkonsultasi dengan MRP atau dengan stakeholders masyarakat Papua sendiri. Karena, ia merasa memiliki otoritas tunggal yang bisa dengan seenaknya mengatur seluruh daerah di Indonesia tanpa kecuali Papua, kendati ia sudah secara terbuka menunjukkan inkonsistensinya sendiri. Padahal, pola-pola seperti ini jelas menunjukkan watak pemerintah yang selalu melakukan sesuatu secara top down atau bahkan supper imposed (dipaksakan dari atas), seolah-olah tidak mau tahu kalau masyarakat daerah pun sudah demikian kritisnya dalam memberi respons terhadap kebijakan pemerintah.

21

Sikap Megawati seperti itu, bagi masyarakat Papua yang tidak setuju dengan pemekaran, merupakan bagian dari dampak atas keterpengaruhannya terhadap pendekatan militeristis dalam mengelola Papua. Apalagi, para pejabat yang terkait dengan pemekaran itu-di mana mereka mempengaruhi Presiden Megawati, karena latar belakang dan posisinya, dianggap oleh masyarakat Papua sebagai potensi untuk melakukan berbagai cara yang militeristis. Mereka adalah Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Badan Intelijen Negara AM Hendro Priyono. Maka, menurut persepsi ini, pemekaran Papua merupakan upaya militer untuk bisa melakukan kontrol secara efektif di daerah-daerah provinsi baru, hingga ke basisbasis masyarakatnya yang dicurigai sebagai "pemberontak untuk merdeka". "Proyek" aparat keamanan seperti itu, akan berwujud berupa penempatan para elitenya ke dalam pos-pos strategis sebagai konsekuensi dari penambahan teritorial baru (versi militer dan kepolisian), apalagi memang peran politik mereka sudah secara signifikan dikurangi dan dikontrol oleh kekuatan sipil. Memang tidak semua masyarakat Papua menolak pemekaran provinsi. Tetapi, kecuali mereka yang sudah terpengaruh akibat "pendekatan-pendekatan khusus" yang dilakukan oleh pihak pemerintah pusat, di mana kemudian mereka cenderung berhadapan dengan kekuatan elite dan massa yang menolak pemekaran, terdapat juga kekuatan elite yang, hemat saya, lebih moderat. Yakni, mereka yang berpendapat, bahwa pemekaran daerah mereka itu tidaklah menjadi prioritas, karena yang terpenting dilakukan sekarang adalah pengefektifan unitunit pelayanan, sehingga Otsus dirasakan manfaatnya secara signifikan oleh masyarakat lokal, dengan terlebih dahulu mengimplementasikan UU Otsus Papua. Tanpa itu, masyarakat Papua hanya akan merasa sebagai "terus diobok-obok dan dibohongi oleh pemerintah Indonesia", yang selanjutnya bisa mengarah pada ketidakpuasan mereka dengan konsekuensinya kelak akan semakin tingginya tuntutan untuk disintegrasi. Akan tetapi, secara umum, upaya sebagian elite dan massa Papua yang ingin tetap berupaya mempertahankan keunikan mereka dalam Otsus, merupakan kenyataan di mana mereka berupaya menjadikan Papua sebagai suatu entitas komunitas yang utuh dengan kekhasan kulturalnya, sebagai sebuah modal sosial berbasis budaya komunitas warisan yang tetap eksis di daerah itu. Pemekaran bagi mereka, bisa merupakan malapetaka karena bisa mengancam eksistensi modal sosial. Singkatnya, mereka tak ingin retak, mau tetap utuh sebagai sebuah komunitas dengan budaya khas. Apalagi pemerintah sudah mengeluarkan UU Otsus bagi Papua, yang kalau kemudian dimekarkan, berarti pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri. Laode Ida Direktur Pusat Studi Pengembangan Kawasan/PSPK, Jakarta, salah seorang fasilitator Perhimpunan Indonesia Timur.

22

Apa Kata Mereka?


Abdurrahman Wahid MANTAN Presiden RI KETIKA akhir tahun lalu Presiden Megawati Soekarnoputri beranjangsana ke Papua bersama rombongan besarnya, para pejabat pemerintah, sejumlah pemuka kepala suku Papua malah pergi ke Jakarta. Mereka mendatangi mantan Presiden Abdurrahman Wahid. "Jauh-jauh datang dari Papua rupanya mereka membawakan saya oleh-oleh, sebuah "batu bakar". Saya kaget, namun saya terima saja. Batu bakar itu batu biasa dipakai pada upacara adat penting. Persembahan batu bakar oleh kepala suku itu berarti penghormatan terhadap orang yang diberi. Jadi akhir-akhir ini saya berurusan dengan "bakar" ini: sebelumnya dengan dengan Abu Bakar Baasyir, sekarang dengan batu bakar. Ha,.. ha,.. ha," tutur Gus Dur disusul tawa terbahak- bahak sampai tubuhnya terguncang-guncang. Pemekaran Provinsi Papua adalah keputusan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat Papua. Itu bukan pemecahan masalah, namun sumber masalah baru. Kita ini (sebagai orang Jakarta) jangan sok paling mengerti. Jangan sok main instruksi, nanti malah ditertawakan orang sana. Mestinya kita ini melihat dulu, yang disebut dengan pemekaran itu apa. Bagaimana dampaknya, sejauh mana gagasan itu bisa diterima. Marilah kepala-kepala suku itu diajak bicara, ditanyakan kepada mereka bagaimana sebaiknya. Pendapat sebagian besar mereka itulah yang dipakai sebagai dasar bertindak. Gereja juga sangat berpengaruh di sana. Meminta pertimbangan pada pemimpin agama merupakan soal penting juga di sana. Pola hubungan pemimpin formal dan pemimpin adat itu bukan hal baru bagi sejarah negeri ini, seperti misalnya keterlibatan tokoh NU KH Wahid Hasyim dalam proses pendirian Republik Indonesia. Itu artinya, pemerintah harus mengerti kondisi kebudayaan setempat, tidak main menang-menangan saja, seolah-olah birokrasi pemerintahan bisa mengatasi segala masalah di sana. Tidak bisa. Barnabas Suebu MANTAN Gubernur Irian Jaya Masalah Papua bukan masalah rentang kendali seperti yang diembuskan pemerintah pusat sebagai dasar mempercepat pemekaran Provinsi Papua. Tetapi kendala pembangunan Papua itu yakni soal pelayanan pemerintah terhadap masyarakat Papua dan masalah isolasi yang bisa diperangi dengan membuka jalur-jalur informasi dengan teknologi telekomunikasi untuk mendekatkan provinsi dengan kampung. Di samping itu, bagaimana menciptakan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemerintahan yang kuat serta pemerintahan jujur. Sedangkan dalam masalah pelayanan pemerintah terhadap masyarakatnya bukan berarti dengan pemekaran provinsi maka pelayanan akan langsung terjawab. Sebab, pemekaran yang harus dilakukan itu bukan pada tingkat provinsi, tetapi yang langsung menyentuh masyarakat akar rumput yakni pada tingkatan distrik (kecamatan) dan kampung (desa). Atau bisa juga pada tingkatan kabupaten.

23

Pemekaran provinsi hanya akan membengkakkan struktur di tingkat atas. Dan sesuai pengalaman, di mana pun makin membesarnya struktur di tingkat provinsi justru yang ada hanya birokrasi yang korup. Jadi masyarakat sama sekali tidak akan merasakan dan melihat pembangunan sebab dananya sudah habis di tingkat provinsi. Apa lagi untuk Papua itu jumlah penduduknya belum genap dua juta jiwa. Akhirnya, hanya struktur pemerintahannya saja yang besar, tapi fungsinya tidak ada karena hanya mengurusi beberapa gelintir orang. Jadi, alasan rentang kendali itu hanya bisa dipakai di Jawa saja. Kalau di Papua sini ada kampung yang tersebar di bukit-bukit dan lembah pegunungan, di pedalaman maupun pesisir pantai. Justru itu lebih membutuhkan pemekaran kampung dan distrik, bukan provinsi. Oleh sebab itu, pemekaran provinsi sendiri memang bisa dilakukan bila memang provinsi yang ada sudah benar-benar kuat. Di samping sudah sungguh-sungguh siap sumber daya manusianya serta kuat dukungan ekonominya. Kalau sekarang ini, Pemerintah kita sedang dalam kesulitan ekonomi tentu dari segi dukungan ekonomi saja sudah tidak akan memenuhi syarat. Jacobus Pervedia Solossa GUBERNUR Papua Saya merasa terkejut dengan keluarnya Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-Undang 45 tahun 1999 yang begitu mendadak. Akan tetapi, sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah jelas kita hanya bisa menunggu petunjuk lebih lanjut dari Pusat. Sambil tetap melaksanakan tugas seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Cuma yang saya khawatir dengan keluarnya Inpres tersebut justru akan muncul reaksi yang berbeda di masyarakat. Ini dapat menjadi sumber konflik horizontal di Tanah Papua yang justru belakangan ini tidak terjadi apa-apa lagi. Para tokoh agama juga sudah mengingatkan kepada umat mereka masing- masing agar ikut secara aktif menciptakan Tanah Papua sebagai Tanah Perdamaian yang bebas dari konflik apa pun. Jhon Ibo KETUA DPRD Papua Pihak DPRD Papua sama sekali tidak tahu isi Inpres Nomor 1/2003. Salinan Inpres yang kami dapat pun ternyata diperoleh dari faksimile Ana Wartel yang katanya terletak di Plaza Indonesia, Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Jadi kami dapat salinan dokumen negara yang bersejarah itu bukan dikirim dari sekretaris presiden atau staf presiden di Jakarta sana yang mengurus tentang Inpres bersangkutan. Makanya, kami meragukan proses keluarnya Inpres Nomor 1 tahun 2003 ini, apa memang diketahui presiden. Atau presiden hanya sekadar meneken tanpa mengetahui isi dari inpres bersangkutan. Apa lagi sampai saat ini presiden sendiri tidak pernah memberikan komentar apa pun tentang inpres yang ditandatanganinya sendiri. Begitu juga dengan pembantunya yang terkait dengan masalah tersebut. Sebagian anggota Dewan merasa kaget dengan isi inpres tersebut. Apa lagi belakangan muncul Brigadir Jenderal (Mar) (Pur) Abraham Octavianus Aturury ke sini dan menyatakan kepada saya kalau dia diperintahkan oleh AM Hendropriyono yang juga orang nomor satu dari Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menjadi Gubernur Irian Jaya Barat.

24

Jelas hal ini menyalahi tata tertib kenegaraan. Sebab yang saya tahu, yang menentukan seseorang menjadi gubernur itu hanya Presiden RI bukan Kepala BIN atau pimpinan instansi lainnya. Dia juga sempat bilang kepada saya, agar saya segera bilang kepada Gubernur Papua (Jacobus Pervedia Solossa), supaya dia jangan macam-macam kalau ia tidak mau dijadikan seperti Freddy Numberi. Saya tidak tahu apa maksud dijadikan seperti Freddy Numberi. Apa diberhentikan dan kemudian dijadikan duta besar atau yang lainnya. Soal pemekaran Provinsi Papua sebenarnya sudah ditolak sejak Oktober 1999 lewat keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 11/DPRD 1999 tanggal 16 Oktober setelah masyarakat Papua mendesak DPRD segera melakukan Sidang Istimewa untuk penolakan pemekaran sesuai isi Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999. Hasil rapat tersebut sudah disetujui oleh Menteri Dalam Negeri yang saat itu masih dijabat Jenderal (Pur) Surjadi Soedirdja. Thaha Alhamid SEKRETARIS Dewan Presidium Papua (PDP) Turunnya Inpres Nomor 1 tahun 2003 kembali memperlihatkan bahwa Pemerintah selama ini terus-menerus hanya memaksakan kehendaknya kepada orang Papua. Mulai dari dulu sampai pemaksaan Otonomi Khusus dan terakhir dengan Inpres percepatan pelaksanaan Undang-Undang 45 tahun 1999 tentang pembentukan dua provinsi berikut tiga kabupaten dan satu pemerintahan kota baru. Pemerintah dengan seenaknya mengklaim kalau pemekaran itu atas permintaan sebagian orang Papua, maka kemudian dikeluarkanlah inpres-nya. Saya rasa agar semuanya berlaku adil dan tidak hanya asal mengklaim, sebaiknya pemerintah melakukan dengan cara penentuan pendapat dari setiap orang Papua. Poin yang harus dipilih terserah apa yang ditetapkan pemerintah lah. Mau bikin Otonomi Khusus, Pemekaran Provinsi atau pilihan lainnya, terserah saja. Kemudian yang paling banyak itu yang harus dilaksanakan. Dengan begitu, kita semua tahu apa yang menjadi pilihan orang Papua. Inpres Percepatan Pemekaran ini juga merupakan bagian dari skenario besar untuk menjadikan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Karena ada sejumlah kejadian sebelumnya yang terus diupayakan institusi tertentu di negara ini untuk dapat mengembalikan cap atau stigma kalau di Papua ini ada pemberontakan bersenjata. Termasuk di antaranya penembakan tiga karyawan PT Freeport Indonesia (dua di antaranya warga Amerika Serikat) di Mile 62,5 Timika-Tembagapura, di Kabupaten Mimika. Menurut keterangan TNI, pelaku penembakan tersebut OPM. Anggota OPM itu berhasil ditembak mati oleh TNI di lokasi kejadian sehari sesudahnya. Cuma anehnya, luka yang berada di jenazah tersebut sudah berbelatung. Saya perlu mengingatkan bahwa selama OPM berjuang tidak pernah OPM membunuh orang asing. Tidak mungkin OPM memiliki peluru hingga ratusan jumlahnya dan hanya dihambur-hamburkan seperti terjadi di Mile 62,5 Timika- Tembagapura, dan Wutung yang layaknya sandiwara saja. Tom Beanal WAKIL Ketua PDP Pembagian tiga provinsi seperti yang dilakukan pemerintah pusat itu pendekatannya lebih pada masalah ekonomi saja. Tetapi itu wajar sebab memang Indonesia selalu melihat Papua ini sebagai masa depan mereka untuk meneruskan kehidupan mereka dengan kekayaan sumber daya alam yang ada di tanah ini.

25

Makanya tidak heran ketika membagi Papua menjadi tiga provinsi pun seperti yang tertuang dalam Undang-Undang 45 tahun 1999, dilakukan tanpa landasan kajian yang ilmiah. Berbeda dengan apa yang dilakukan Belanda yang pernah membagi Papua menjadi tujuh bagian berdasarkan etnis yang ada di tanah ini. Masing-masing Afdeling Hollandia dengan Ibu Kota Hollandia sekarang Jayapura. Afdeling Geelvinkbaai dengan Ibu Kota Biak. Afdeling Centraal Nieuw Guinea beribu kota di Ekari. Afdeling Grote Vallei dengan Ibu Kota Wamena. Afdeling Zuid Nieuw Guinea dengan Ibu Kota Merauke. Afdeling Fak-Fak dengan Ibu Kota Fak-Fak. Afdeling West Nieuw Guinea dengan Ibu Kota Manokwari. Makanya, kalau kami akan memekarkan sampai tujuh bukan cuma menjadi tiga provinsi saja. Saya ingatkan agar semua orang Papua jangan termakan isu politik adu domba. Decky Asmuruf SEKWILDA Provinsi Papua Percepatan pemekaran seperti yang tertuang dalam Inpres Nomor 1 tahun 2003 itu mempunyai lima poin utama. Pertama, mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Kedua, memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah hingga ke desa. Ketiga, menciptakan iklim persaingan antar ketiga provinsi untuk membangunan wilayahnya masing-masing. Keempat menciptakan lapangan kerja baru. Kelima hal yang paling penting dan merupakan alasan politisnya yakni memecah aspirasi Papua Merdeka yang bila tidak dilakukan justru akan menjadi pemicu benturan antara masyarakat dengan pemerintah. (nic/ody)

26

Anda mungkin juga menyukai