Anda di halaman 1dari 6

SVLK DALAM KEBIJAKAN REDD+

Oleh : Banjar Yulianto Laban Kata kunci : kebijakan, sistem, SFM, carbon trade.

KEGIATAN STRATEGIS Indonesia menggunakan dananya sendiri, mendeklarasikan komitmen mengurangi hingga 26% emisi karbon (CO2e) yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan dan hutan pada 2020. Memenuhi target pada komitmen global tersebut tidak gampang. Disamping keterbatasan target waktu (hanya tinggal sekitar 8 tahun), ada setidaknya 5 (lima) pokok kegiatan strategis yang harus dilaksanakan Kementerian Kehutanan untuk mengawal komitmen tersebut, yaitu : 1) Membangun komunikasi yang dapat meningkatkan kepercayaan dan partisipasi publik, LSM, Pemerintah Daerah dan lintas kelembagaan/kementerian di pusat; 2) Menjamin bahwa semua program kehutanan saling sinergi untuk membuka peluang/memperluas lapangan kerja; 3) Memastikan bahwa ketetapan kawasan hutan, terutama di luar Jawa, hanya melalui proses konvergensi program/ kegiatan dalam rangka penetapan dan pembentukan lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); 4) Memposisikan pemasaran produk dari kawasan hutan baik kayu, non kayu maupun jasa wisata/lingkungan adalah legal dari aspek dan mekanisme pelayanan ijin konsesi kawasan sesuai peraturan yang berlaku; 5) Menggunakan bentang alam, keanekaragaman hayati dan keunikan tipe ekosistem sebagai bahan pertimbangan utama dalam kontribusi penataan ruang di suatu wilayah. Berdasar butir butir kegiatan strategis diatas, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) bukanlah cara untuk memenuhi target 26% tersebut diatas, tapi hanyalah perintah. Memposisikan REDD+ sebagai cara, akan

menghilangkan arti dan peran para pihak yang selama ini telah melakukan cara cara konvensional untuk melaksanakan kegiatan strategis diatas, terutama yang terfokus pada upaya mengurangi emisi karbon (CO2e). Apabila deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, selama ini memicu 60 persen total emisi karbon (CO2e) di Indonesia itu benar secara ilmiah, maka tentunya harus disadari juga bahwa ada kesalahan secara hukum atau aturan, karena selama ini aturan telah memposisikan pemasaran produk dari kawasan hutan baik kayu, non kayu maupun jasa wisata/lingkungan adalah legal dari aspek dan mekanisme pelayanan ijin konsesi kawasan. Masalahnya adalah dalam hal pelaksanaan operasional perusahaan setelah ijin diberikan. Pada waktu itu, perhitungan untung rugi yang dilakukan sebagian besar pemegang ijin konsesi tidak lepas dari pembakaran limbah hutan yang terlalu sering untuk tidak terkendali, sehingga membakar hutan dan muncullah produk awal yang namanya CO2e penyebab utama efek gas rumah kaca dan perubahan iklim. Dengan demikian REDD+ sekarang ini, tidak hanya sekedar perintah tetapi dapat juga memberikan inisiatif kepada para pemegang konsesi untuk mengekang dan mencegah pembakaran limbah hutan. PEMBALAKAN LIAR Bicara pembalakan liar, saya sependapat bila ini lebih erat ke illegal logging, bukan ke REDD+ yang fokus ke CO2e di wilayah Indonesia. Hasil pembalakan liar, bila pada 2013 SVLK masih kecolongan, dapat terjadi ada kursi kayu tropis illegal yang terbakar di Belanda, sehingga CO2enya langsung tersebar di langit Eropa. Sebenarnya masih jauh, bila Para pakar menyebut REDD+ memiliki potensi untuk membantu mengurangi kegiatan illegal logging. Fakta di lapangan ditemukan banyak pelaksana DA

(Demonstration Activities) REDD+ melalui mekanisme hibah di hutan bergambut yang belum berusaha untuk membantu mengurangi illegal logging, dengan alasan bukan bagian dari komitmen, illegal logging menjadi kewenangan polhut/SPORC untuk memberantasnya. Bila pelaksana DA gamang menghadapi illegal logging yang ada di depan mata, maka bagaimana kita secara obyektif mendapatkan data base sebagai dasar menciptakan insentif keuangan untuk mendorong penegakan hukum, perubahan perilaku, dan reformasi tata-kelola kehutanan?. Saya lebih tertarik bila Pelaksana DA ikut berkolaborasi dalam memastikan bahwa ketetapan kawasan hutan hanya melalui proses konvergensi program/kegiatan dalam rangka penetapan dan pembentukan lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), khususnya di luar Jawa. Selanjutnya, SVLK untuk memerangi illegal logging dan illegal trade akan lebih efektif bila tidak diintervensi sistem lainnya. Permasalahan menurut pengamatan saya selama ini adalah SVLK berawal dari kawasan hutan dan berakhir di forum diskusi yang mencari pembenaran menurut sistem lainnya. Yang banyak dipertanyakan adalah apa dan bagaimana hubungan SVLK dengan POLRI, SVLK dengan TNI, SVLK dengan land tenure Masyarakat Adat dll. Saya setuju dengan peran SVLK dalam hal memastikan agar industri kayu mendapatkan sumber bahan baku dengan cara legal dari sebuah sistem pengelolaan sumberdaya hutan (SDH) yang lestari, yang mengindahkan aspek legalitas, pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management, SFM), dan tata-kelola Pemerintah yang transparan dan akuntabel. Peran dari sistem tersebut (SVLK) harus disosialisasikan ke para pihak, sehingga dapat menjadi bagian dari strategi membangun komunikasi yang dapat meningkatkan

kepercayaan dan partisipasi publik, LSM, Pemerintah Daerah dan lintas kelembagaan/kementerian di pusat ke Kementerian Kehutanan. SVLK dan REDD+ dapat berperan memperbaiki tata kepemerintahan kehutanan apabila langkahnya benar, mudah dipahami, strategis dan aplikasi sistemnya berdampak positif. Menggabungkan sistem dengan perintah tidak mungkin terjadi, tetapi perintah untuk menggunakan sistem sangat boleh jadi. Oleh karena itu dalam rangka REDD+, sistem SVLK harus diaplikasikan melalui mekanisme koordinasi pusat daerah yang seharusnya sudah tidak bermasalah lagi semenjak terbitnya PP 19/2010 yang disempurnakan dengan PP 23/2011. Melalui PP tersebut Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, wajib menggalang koordinasi dan sinkronisasi pembangunan dan kegiatan bagi kepentingan nasional di wilayahnya. Konsekuensi lanjut adalah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi harus mengkoordinasikan kegiatan UPT UPT Kementerian Kehutanan dan Dinas Dinas Kabupaten/Kota yang menangani SVLK di wilayah kerjanya. REDD+ adalah perintah untuk memposisikan konsentrasi CO2e dunia dari Indonesia turun 26% mulai 2009 sampai dengan tahun 2020. Perintah ini harus dapat dipenuhi antara lain dengan mengaplikasikan SVLK, sehingga pemasaran produk kayu dari kawasan hutan selalu legal dari aspek dan mekanisme pelayanan ijin konsesi kawasan, termasuk SFM. Legalitas kayu sebagai performance pengelolaan hutan lestari (SFM) dapat menjadi dasar perhitungan skema kredit pembiayaan untuk memenuhi perintah REDD+ dalam sistem carbon trade.

EMISI KARBON (CO2e) REDD+ adalah perintah untuk mengurangi emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Akan halnya SVLK, adalah sistem yang harus diaplikasikan untuk menyelamatkan potensi dan kawasan hutan dari merosotnya cadangan karbon karena perbuatan illegal, penyebab perubahan iklim. SVLK dan REDD+ tidak bisa berjalan seiring, tetapi berjalan dalam konteks berbeda. REDD+ berjalan dalam konteks perintah, kebijakan dan politis. SVLK berjalan dalam konteks prosedur, operasional dan teknis. Kedua konteks tersebut harus saling mendukung dan memenuhi, tidak saling beriringan seperti rel kereta api yang jika ketemu akan terjadi tragedy. Salah satu penyebab melemahnya sumberdaya hutan adalah pembalakan liar. Hal ini lebih dekat ke sistem pengelolaan yang tidak berjalan sempurna dari pada kebijakan yang belum tentu dapat dilaksanakan, atau dapat dilaksanakan tapi sesaat. Dalam rangka intensifikasi pengawasan atas transaksi asal-usul kayu dalam kerangka pengelolaan hutan, menyebabkan orang tak lagi asal menebang pohon, asal menjual, dan asal membeli kayu. Pengawasan dalam SVLK yang mengarah ke mandatory, yaitu wajib dilakukan pemerintah melalui lembaga sertifikasi yang diakreditasi KAN (Komisi Akreditasi Nasional) diharapkan dapat memberi manfaat ekologis, yaitu sebagai salah satu cara untuk mengendalikan potensi karbon (green-carbon stock) melalui monitoring peredaran kayu, khususnya pada satuansatuan wilayah kayu tersebut berasal (KPHP KPHP). kebijakan REDD+ pada tataran nasional dan penerapannya di daerah melalui sistem dan mekanisme SVLK pada 2013 tidak lagi dalam proses pemahaman bersama dan belum tuntas terus menerus. Lebih baik SVLK dipercepat aplikasinya melalui

mobilisasi sumber daya Kementerian Kehutanan yang ada pada sisa 2012 ini, agar 2013 sistem tersebut dapat optimal dioperasionalkan di lapangan daripada mendiskusikan REDD+ yang senyatanya lebih cenderung sebagai perintah, bahkan ber KEPRES dan ber INPRES yang memerlukan Menteri Koordinator atau Menteri Lingkungan Hidup untuk koordinasi langkah berikutnya. Apakah benar, salah satu faktor yang menghambat REDD+ adalah kosongnya kekuatan pemaksa ?. Terobosan SVLK ke ruang publik yaitu dari hutan ke industri dan pemasaran hasil hutan kayu (dari hulu ke hilir) dapat dimaknai sebagai langkah terukur menuju SFM yang notabene menjadi ruang lingkup kebijakan REDD+. Hal ini penting untuk menjawab pertanyaan bisakah SVLK menjadi unsur penilaian tingkat keberhasilan kebijakan REDD+?. Jawabnya adalah bisa, karena stabilitas ekologis kawasan hutan yang fluktuatif dalam rangka REDD+ memenuhi syarat kecukupan data riil untuk measuring, reporting, and verification (MRV) SVLK. Dalam konteks perdagangan karbon (carbon trade), MRV SVLK harus dapat berperan sebagai indikator yang obyektif dan dapat dipercaya dalam negosiasi pendanaan REDD+, baik untuk perusahaan maupun negara. Dengan demikian carbon trade akan memberi manfaat ganda, yaitu :kompensasi REDD+ dan menutup biaya sertifikasi SVLK, yang berarti sekali untuk SFM dan stabilitas supply demand bahan baku industri perkayuan di Indonesia. Bogor, 31 Agustus 2012.

Anda mungkin juga menyukai