Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam suku, budaya, dan agama
selalu berhadapan dengan tantangan dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Salah satu
tantangan yang pernah dan masih dihadapi adalah gerakan separatisme. Pada tahun 2001
munculah sistem otonomi khusus yang diberikan pemerintah Indonesia kepada papua.
Dibentuknya undang-undang No. 45 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah tentang pemekaran
Irian Jaya (Sekarang Papua) menjadi Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat,
Kabupaten Paniai, Mimika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang ditolak oleh masyarakat
papua karena keputusan diambil tanpa konsultasi kepada masyarakat lokal dan masyarakat papua
merasa dikucilkan dalam perihal pengambilan keputusan. Setelah diberikannya otonomi khusus
oleh pemerintahan saat itu tidak menjamin pemberontakan yang dilakukan oleh OPM, alasan
karena sejarah masa lalu yang cukup kelam serta eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan
oleh Freeport Indonesia inc, dan tetap diterjukannya pasukan militer untuk menjaga wilayah
papua semakin mendesak gerakan OPM untuk tetap Melakukan pemberontakan. Pengibaran
bendera bintang kejora tetap dilakukan untuk memperingati pendirian organisasi tersebut serta
kemerdekaan papua barat setiap tanggl 1 Juli. Kemudian gerakan separatis OPM semakin
menguat, ajakan untuk melancarkan cita-cita kemerdekaan bagi papua barat terus didengungkan
melalui internet maupun media sosial lainnya.
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi separatis terori
yang didirikan pada tahun 1963 untuk selalu membuat kekacauan di Provinsi Papua dan
Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau dulu
dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan kelompok yang ingin Papua
melepaskan diri dari NKRI. KKB Papua sudah ditetapkan sebagai kelompok teroris sejak tahun
2021. Gerakan separatis KKB dengan menggunakan kekerasan dan senjata mematikan melalui
aksi perusakan hingga pembunuhan. Para korban berjatuhan bukan hanya dari warga setempat
maupun pendatang, namun juga aparat TNI dan Polri. Keberadaan KKB Papuasudah menjadi
kelompok separatis yang mengancam keutuhan negara. Bahkan merunut sejarahnya,
gerakan separatis ini sudah ada sejak tahun 1963 untuk selalu membuat kekacauan
di Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya. Gerakan KKB
biasa disebut juga KKSB dan KSTP (singkatan dari Kelompok Kriminal Bersenjata,
Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata, dan Kelompok Separatis Teroris Papua).
KKB berasal dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sayap militer dari OPM
sehingga kerap disebut TPNPB-OPM yang dibentuk pada 26 Maret 1973. Sejak 2012, TPNPB-
OPM dipimpin Goliath Tabuni yang diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat. OPM didirikan pada 1965 untuk mengakhiri pemerintahan
Provinsi Papua dan Papua Barat, yang sebelumnya disebut Irian Jaya. Mereka berniat
untuk melepaskan diri dari Indonesia. OPM pun kerap menyuarakan tentang
referendum supaya bisa merdeka dari NKRI. Dalam memperjuangkan keinginan
kelompok, mereka beberapa kali melakukan gerakan kriminal yang memakan korban
jiwa. Oleh sebab itu, pemerintah kemudian berinisiatif untuk membentuk Otonomi
Khusus bagi Papua dengan anggaran yang besar. Separatisme di Papua dimotori oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disusul pembentukan Presidium Dewan Papua
(PDP). Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan melakukan aktifitas secara sporadis
dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat.
Ketidakpuasan secara ekonomis itulah, yang memunculkan semangat untuk
memerdekakan diri. Pemerintah Pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua,
apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh Pemerintah Pusat untuk mengatasi
pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya justru banyak menimbulkan
pelanggaran HAM. Hal ini memperkuat rakyat Papua berkeinginan untuk melepaskan diri dari
NKRI. Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua di picu juga oleh konflik yang berakar dari
kekecewaan historis, peminggiran sosial budaya, nasionalisme Papua dan diskriminasi politik
dan hukum. Dalam perspektif kekecewaan historis, Ferry Kareth mempersoalkan keabsahan
Pepera. Ia berpendapat bahwa Pepera itu tidak sah, sebab dilaksanakan di bawah tekanan. Pepera
yang dilaksanakan tahun 1969 itu, dilaksanakan dengan perwakilan, bukan one man one vote
sesuai New York Agreement. Sejarah mencatat bahwa masuknya Papua ke NKRI karena direbut,
bukan atas dasar keinginan rakyat sendiri.
Separatisme di Papua dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disusul
pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP). Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan
melakukan aktifitas secara sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat.
Perlawanan yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa, pengibaran
bendera, penempelan pamflet, aksi pengrusakan dan pelanggaran lintas batas negara.
Kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di dalam Papua memaksa beberapa warga
Papua keluar meninggalkan negaranya. Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua
meminta suaka politik ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua
menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan di Indonesia. Mereka
bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil
Cape York, Australia. Selanjutnya, pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan Masalah-
masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal
sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka. Dengan demikian, keputusan
Australia di atas sangat melecehkan Papua dalam integritas NKRI.
Indonesia yang terdiri 17.4804 pulau besar dan kecil dan panjang garis pantai 95.181 km
membuat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Lebih jauh, dari sudut pandang
geografis Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi silang yang strategis, baik dari segi
lalu lintas perekonomian dunia, maupun dari segi geopolitik dan keamanan, karena Indonesia
terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia). Posisi geografi Indonesia tersebut, membuat masyarakat dunia mengakui
Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama (across the main commercial
shipping line) dan mempunyai dimensi maritim yang strategis dan sekaligus menjadi ajang
perebutan pengaruh. Dari posisi strategis tersebut akan berimplikasi terhadap kehidupan sosial,
politik, ekonomi dan kebudayaan
Karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada aspek
keamanan, strategi, dan kerjasama maritim regional. Sebagai konsekuensinya, keamanan dalam
dunia maritim, secara umum menjadi tanggung jawab dari semua negara untuk menjaganya dari
segala bentuk ancaman. Berdasar pada kondisi geografis dan geostrategis Indonesia, maka
dibutuhkan sarana pengamanan, selain untuk mempertahankan dan mengatasi segala
kemungkinan ancaman atau serangan melalui medan kelautan. Semakin luas wilayah perairan
laut suatu negara, semakin besar pula tugas dan tanggung jawab pemerintah dari negara tersebut.
Hal ini ditujukan dalam rangka menjaga kedaulatan territorial Indonesia dan mempersempit
ruang gerak pihak asing yang ingin memanfaatkan perairan Indonesia untuk kegiatan kejahatan
transnational crime seperti penyelundupan, perdagangan manusia (trafficking), terorisme dan
gerakan separatisme.
Adanya intra-state conflict, seperti konflik komunal dan gerakan separatis di Papua
merupakan lahan subur bagi penyelundupan senjata. Gerakan separatisme di Papua, serta konflik
horizontal di Poso dan Maluku telah membuktikan bahwa penyelundupan senjata ringan illegal
yang berasal dari luar negeri, merupakan tantangan tersendiri bagi TNI AL dalam rangka
memelihara keamanan maritimnya. Aktivitas OPM ini tentu menganggu keamanan dan
kedaulatan Indonesia. Sebab kelompok separatis ini berhasil menarik perhatian dunia
internasional dengan melalui lobby di forum internasional seperti Melanesia Spearhead Group
(MSG), melakukan kampanye negatif dengan mengangkat hak penentuan nasib sendiri (Self-
Determination), isu kekerasan dan pelanggaran HAM serta mengembangkan eksistensi
organisasi. Selain itu, masuknya organisasi-organisasi internasional seperti Amnesty
Internasional, Human Rights Watch dan media internasional seperti BBC (Inggris), ABC
(Australia) adalah sebuah ancaman bagi Indonesia kedepannya.
Pelanggaran HAM di Papua pernah terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. Dengan
penggunaan militer, masyarakat yang dianggap sebagai pemberontak/separatis ditumpas habis.
Namun saat ini sudah tidak ada lagi perilaku seperti itu. Kondisi Papua saat ini sudah cukup
kondusif, walaupun konflik antar suku dan tingkat kriminalitas masih cukup tinggi. Atas dasar
pelanggaran HAM, beberapa kelompok tertentu mengangkat itu tersebut ke ranah internasional.

Untuk menanggapi aktivitas OPM yang dilakukan baik secara internasional ataupun
secara nasional tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No. 65 Tahun 2011
tentang Percepatan Pembangunan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B), yang
pelaksanaanya adalah UP4B sesuai Perpres No. 66 Tahun 2011 (Kemenko Polhukam 2013,
hlm.2). Perpes ini dikeluarkan sebagai salah satu bentuk upaya Indonesia dalam mengatasi
aktifitas kelompok bersenjata (OPM) yang kerap kali menyerang TNI/Polri dan masyarakat sipil
di daerah pedalaman yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Perpres ini juga dijadikan
sebagai salah satu program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua.
Separatisme di Papua dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disusul
pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP). Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan
melakukan aktifitas secara sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat.
Perlawanan yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa, pengibaran
bendera, penempelan pamflet, aksi pengrusakan dan pelanggaran lintas batas negara.
Kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di dalam Papua memaksa beberapa warga Papua
keluar meninggalkan negaranya. Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta
suaka politik ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua
menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan di Indonesia. Mereka
bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi pantai Terpencil
Cape York, Australia. Selanjutnya, pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan Masalah-
masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal
sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka. Dengan demikian, keputusan
Australia di atas sangat melecehkan Papua dalam integritas NKRI.
Indonesia yang terdiri 17.4804 pulau besar dan kecil dan panjang garis pantai 95.181 km
membuat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Lebih jauh, dari sudut pandang
geografis Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi silang yang strategis, baik dari segi
lalu lintas perekonomian dunia, maupun dari segi geopolitik dan keamanan, karena Indonesia
terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia). Posisi geografi Indonesia tersebut, membuat masyarakat dunia mengakui
Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama (across the main commercial
shipping line) dan mempunyai dimensi maritim yangstrategis dan sekaligus menjadi ajang
perebutan pengaruh. Dari posisi strategis tersebut akan berimplikasi terhadap kehidupan sosial,
politik, ekonomi dan kebudayaan.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara separatism OPM dengan Konstitusi Indonesia?
2. Bagaimanakah Solusi mengatasi konflik tersebut?

B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara separatism OPM dengan Konstitusi Indonesia
2. Untuk mengetahui solusi agar dapat mengatasi konflik tersebut.

Sumber/dafpus:
Mulia, K. D. A., Afrizal, M. S., & PUTERA, L. D. H. (2020). Pertangungjawaban Pidana
Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sebagai Pelaku Makar. Justitia Jurnal
Hukum, 4(2).
SUGIYATNO, M. N. ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM) DALAM PERSPEKTIF
SUBJEK.
Marlina, A., & Muliyono, A. (2022). Konsekuensi Hukum Pidana Anggota Organisasi Papua
Merdeka (OPM) Yang Melakukan Kekerasan Pengrusakan ditinjau dari Hukum Adat
Papua. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, 10(01), 107-132.
Febrianti, S. W., Arum, A. S., Dermawan, W., & Akim, A. (2019). Penyelesaian Konflik Internal
antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Separatisme di Papua melalui Mekanisme
Horse-Trading. Society, 7(2), 83-100.

Anda mungkin juga menyukai