Anda di halaman 1dari 14

ANTISIPASI PROPAGANDA DAN DISINFORMASI KONFLIK PAPUADALAM RANGKA

MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA

Pendahuluan

Dinamika perkembangan lingkungan strategis yang senantiasa selalu berubah


mengikuti perkembangan dan perubahan pada setiap tatanan kehidupan yang mengiringi
manusia. Perkembangan tersebut membawa perubahan terhadap setiap bentuk dan
dimensi ancaman yang akan semakin kompleks dan berimplikasi terhadap keamanan
nasional dan integrasi bangsa. Berbagai macam isu yang berkaitan dengan stabilitas
pertahanan dan keamanan nasional timbul di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), salah satunya adalah konflik di Papua, dimana sebuah gerakan
separatis terus berkecamuk dan berkepanjangan selama beberapa dekade terakhir ini
terhitung sejak kemerdekaan Indonesia hingga dewasa ini. Wilayah Papua merupakan
salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki konflik berkepanjangan baik itu konflik
vertikal antara sebagian rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia maupun konflik
horizontal antar sesama masyarakat di tanah Papua yang terkait dengan persoalan politik
ekonomi ataupun sosial budaya. Kompleksnya permasalahan di Papua disebabkan oleh
kebijakan publik yang terakumulatif di pulau yang kaya ini selama 50 tahun terakhir. (60
tahun sejak pemetaan geologis membuktikan keberadaan "Gunung Emas" di Papua).
Yurisdiksi Indonesia di pulau Papua (provinsi Papua dan Papua Barat) adalah salah satu
pulau terbesar di Indonesia dan salah satu cadangan mineral terkaya di dunia untuk
tembaga, uranium, emas dan perak.Untuk itu diharapkanadanya kebijakan yang dapat
mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli
Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan serta
mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh
pembangunan sehingga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua.
Namun, pada kenyataannyaberbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan
menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus disertai dengan
konflik yang berkepanjangan tanpa henti.
Dari latarbelakang diatas, didapatkan beberapa permasalahan diantaranya:
1)Bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia (Pusat/Daerah/TNI dan Polri) dalam
menyikapi munculnya dukungan dari beberapa negara terhadap gerakan sparatis
Papua?; 2) Bagaimana sikap Pimpinan TNI dalam mencegah propaganda dan
disinformasi isu Papua yang dapat menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa
dikalangan prajurit TNI?; 3) Bagaimana kebijakan pemerintahterhadap pembangunan
(pendidikan, kesehatan dan ekonomi) di Papua?; 4) Bagaimana dukungan luar negeri
terhadap keberadaan kelompok separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua?.
Berdasarkan identifikasi persoalan tersebut, maka permasalahan yang muncul adalah :
“Bagaimana Antisipasi Propaganda Dan Disinformasi Konflik Papua Sebagai Upaya
Mencegah Disintegrasi Bangsa?”
Pentingnya pembahasan antisipasi propaganda dan disinformasi konflik Papua
sebagai upaya mencegah disintegrasi bangsakarena jika propaganda dan disinformasi
konflik Papua dibiarkan bukan tidak mungkin bila provinsi paling Timur di Indonesia
tersebut akan memisahkan diri seperti halnya yang terjadi pada timor timur yang tentu
saja hal tersebut merupakan ancaman secara nyata yang harus ditanggapi serius oleh
pemerintah pusat.Adapun penulisan essay ini menggunakan metode deskriptif analisis
dan studi pustaka yang bersumber dari buku-buku, kajian ilmiah serta informasi dari situs
internet yang relevan dengan pembahasan.
Nilai guna dari penulisan essai ini diharapkan agar pasis mampu memperbaharui
dan menambah wawasan mengenai antisipasi propaganda dan disinformasi konflik papua
sebagai upaya mencegah disintegrasi bangsadengan maksud sebagai tambahan bahan
baca dan memberikan gambaran mengenai antisipasi propaganda dan disinformasi
konflik papua sebagai upaya mencegah disintegrasi bangsa serta bertujuan untuk
memberikan sumbang saran kepada komando atas terkait antisipasi propaganda dan
disinformasi konflik papua sebagai upaya mencegah disintegrasi bangsa.

Pembahasan
Papua merupakan wilayah paling timur Indonesia yang bergabung kedalam Negara
Kesatuan Replublik Indonesia (NKRI),melalui perjanjian internasional, yaitu perjanjian
New York pada 15 Agustus 1962. Hingga kinidi wilayah tersebut masih sering terjadi
Konflik, baik konflik vertikal antara sebagian rakyat papua,dengan pemerintah Indonesia
maupun konflik horizontal antar sesama masyarakat di tanah Papua, yang terkait persolan
politik, ekonomi ataupun sosial budaya. Papua dan ancaman disintegrasinya merupakan
ancaman secara nyata yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah pusat. Apalagi soal
keamanan di PT. Freeport Indonesia yang selama ini menjadi komoditi banyak pihak di
Jakarta maupun di Papua. Yang paling mengerikan adalah jika kredibilitas pemerintah
Indonesia dan kepentingan nasional yang lebih besar di Papua dikorbankan demi
melindungi kelompok tertentu karena kepentingan yang sama. Jika itu yang terjadi, kita
semakin yakin bahwa paradigma separatisme dan siklus kekerasan di Papua memang
yang akan senantiasa berulang.
Kebijakan Pemerintah Indonesia (Pusat/Daerah/TNI Dan Polri) Dalam Menyikapi
Munculnya Dukungan Dari Beberapa Negara Terhadap Gerakan Sparatis Papua
Berdasarkan data fakta yang ada, sejarah Papua menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui Penetapan PBB sebagai tindak lanjut hasil jajak
pendapat umum yang dilakukan pada tahun 1962. Seluruh wilayah Irian Barat (sekarang
Papua) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Republik Indonesia, Papua
merupakan pulau yang kaya akan kekayaan alam dan keragaman budaya, yang tidak
terpisahkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Permasalahan yang terjadi di
Papua bagi Indonesia, adalah merupakan masalah urusan dalam negeri yang menjadi
kewenangan Indonesia untuk menyelesaiakan, tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik
lagi.Namun demikian sejak bergabung ke Indonesia masih banyak menyisakan
permasalahan yang belum terselesaikan ataupun dianggap belum terselesaikan,
mengacu pada akar permasalahan yang terjadi dan implementasi solusi yang tepat
sangat penting dan harus segera diwujudkan sehingga tidak menjadi permasalahan yang
berlarut-larut.
Dukungan beberapa negara terhadap gerakan separatis Papua, disinyalir telah
dilakukan berulang-ulang baik di dalam negeri maupun di luar negeri dari teror hingga
dukungan terhadap upaya segelintir orang papua yang ingin melepaskan Papua dari
wilayah NKRI. Peranan kolonialis asing terhadap berkecamuknya isu Papua terus
berlangsung baik di dalam negeri misalnya ; meningkatnya konflik sosial antar suku dan
Pilkada, tingginya intensitas penembakan gelap kepada aparat Polri/TNI khususnya di
wilayah tambang PT. Freeport yang telah memakan korban jiwa dan lain sebagainya.
Sementara campur tangan asing di luar negeri juga tidak kalah agresifnya sejak zaman
Orde Baru hingga reformasi, Gerakan KKSB (FRONT POLITIK) terus bergerilya ke
beberapa negara untuk mencari dukungan politik atas kemerdekaan Papua. Langkah
diplomatik politiknya seperti menyebarkan aktifis/mahasiswa ke belahan negara (Eropa,
Kep. Pasifik, Australia, Amerika, dan lain-lain) dengan kedok studi padahal mereka
menanamkan dan menyebarkan ideologi kemerdekaan untuk Papua. Tidak hanya itu,
langkah politik berani belakangan ini adalah adanya 43 rakyat Papua mencari suaka
politik ke PNG dan Australia (2006), anggota Senator kongres AS dukung penyelesaian
damai Papua dan dukung otonomi khusus (2012), hadirnya 12.000 marinir AS di Darwin
dalam rangka mengimbangi Cina di perairan Asia Pasifik (2012), pembukaan kantor
perwakilan Parlemen KKSB (FRONT POLITIK) di London Inggris (1/5/2013), dan lain-lain.
Menanggapi uraian diatas, diharapkan kebijakan dari Pemerintah Indonesia
(Pusat/Daerah/TNI dan Polri) dalam menyikapi munculnya dukungan dari beberapa
negara terhadap gerakan separatis Papua mampu mengurangi bahkan menghilangkan
gerakan-gerakan separatisme hingga embrionya sehingga tidak akan melahirkan lagi
bibit-bibit separatisme lainnya melalui kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Berdasarkan data fakta dan keinginan/harapan penulis diatas, analisa mengenai
kebijakan Pemerintah Indonesia (Pusat/Daerah/TNI Dan Polri) dalam menyikapi
munculnya dukungan dari beberapa negara terhadap gerakan separatis Papua, terdapat
beberapa negara yang mendukung akan kemerdekaan Papua, seperti negara Solomon
dan Vanuatu. Dukungan yang diberikan oleh negara Vanuatu dan Solomon tentunya
terdapat agenda terselubung yang menyertainya. Solomon dan Vanuatu sendiri masuk ke
dalam negara termiskin oleh Bank Dunia. Mulai dari krisis bahan bakar dan keuangan
pada tahun 2009, penurunan jumlah ekspor logistik, serta terjadinya perang sipil yang
membuat negara tersebut hampir saja bankrut. Tentu saja dengan lepasnya Papua dari
Indonesia secara langsung maupun tidak langsung akan menguntungkan bagi kedua
negara itu. Lebih lanjut, Vanuatu dan Solomon juga bisa saja menjadi perpanjangan
tangan negara besar dalam proxy war. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Papua
merupakan area terbesar menjadi pertarungan para kolonialis asingdalam penguasaan
sumber daya alam dan hayati.
James Canto dalam buku Exstreme Future menjelaskan bahwa AS dan sekutunya
menyadari peperangan dimasa mendatang adalah teknologi dan informasi dalam
penguasaan pangan (food),air dan perubahan iklim. Maka peperangan tidak lagi antara
AS vs Rusia tapi ASmelawan Cina dan India yang disokong Jepang dan Korea. Papua
dinilai strategissebagai batu loncatan guna menghadang produk-produk Cina, India,
Korea danJepang yang menguasai pasar Indonesia dan ASEAN. Dilihat dari kondisi
tersebut apabila dikemudian hari terdapat keterlibatan antara Vanuatu dan Solomon
dengan negara-negara yang disebutkan diatas maka tidak mengherankan apabila Papua
dijadikan arena Proxy warmelalui negara-negara yang mendukung gerakan separatis di
Papua.
Papua merupakan area terbesar menjadi pertarungan para kolonialis asing dalam
penguasaan sumber daya alam dan hayati. Menurut James Canto di buku Exstreme
Future menjelaskan bahwa AS dan sekutunya menyadari peperangan di masa
mendatang adalah tehnologi dan informasi dalam penguasaan pangan (food), air dan
perubahan iklim. Maka peperangan tidak lagi antara AS vs Rusia tapi AS melawan Cina
dan India yang disokong Jepang dan Korea. Papua dinilai strategis sebagai batu loncatan
guna menghadang produk-produk Cina, India, Korea dan Jepang yang menguasai pasar
Indonesia dan ASEAN. Penguasaan sumber pangan seperti sudah menjadi kenyataan
dengan dibukanya proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang disokong oleh Cina. Disinilah
pertarungan korporasi pangan dan energi terbesar di Papua sedang berlangsung.
Semua ini memperlihatkan bahwa kekacauan terselubung, kekerasan yang
diciptakan tidak bisa dilepaskan dari pertarungan kolonialisme asing itu sendiri. Namun
demikian dengan Amerika Serikat tidak akan mau kehilangan segala keuntungan yang
telah didapatkan selama ini. Di sisi lain Inggris dan Australia terus berusaha untuk bisa
turut menanamkan pengaruhnya disana dan menikmati keuntungan termasuk kekayaan
alam tanah Papua yang berlimpah. Sementara itu Cina sebagai pendatang baru juga
mencari-cari kesempatan emas dalam melakukan ekspansi kapitalnya.
Terdapat Kendala dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang timbul di
Papua terutama perihal dukungan beberapa Negara terhadap Gerakan Separatis
Papuadiantaranya meliputi: 1) Kurang tegasnya sikap Pemerintah terhadap berbagai
bentuk intervensi asing; 2) Kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kebudayaan
lokal; 3) Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak seimbang dan tidak merata;
4) Pendekatan keamanan berbasis kekerasan; 5) Kesenjangan antarkelompok
masyarakat.
Dihadapkan pada kendala diatas, upaya yang dapat dilakukan adalah,
meningkatkan upaya diplomasi politik Internasional terhadap negara-negara terkait.
Dalam proses diplomasi tersebut tentunya melibatkan PBB karena berdasarkan catatan
sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini
kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda
diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB. Selanjutnya, PBB
merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement untuk
memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat
melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan
kabupaten pada masa itu. Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk
bersatu dengan pemerintah Indonesia sehingga Papua merupakan bagian NKRI dan
sudah keputusan final yang diakui dunia internasional, baik secara de facto maupun de
jure. Dalam upaya diplomasi politik tersebut tentunya pelibatan PBB sangat krusial agar
Indonesia mempunyai pondasi yang kuat dalam menyikapimunculnya dukungan dari
beberapa negara terhadap gerakan sparatis Papua.

Sikap Pimpinan TNI Dalam Mencegah Propaganda Dan Disinformasi Isu Papua
Yang Dapat Menyebabkan Ancaman Disintegrasi Bangsa Dikalangan Prajurit TNI
Perkembangan Ilpengtek saat ini membawa perubahan yang sangat amat besar,
dimana dampak dari Ilpengtek tersebut memberikan dampak negatif dan positif yang
mengarah pada isu integritas suatu bangsa. Dihadapkan pada ancaman disintegrasi
bangsa di wilayah Papua khususnya, terdapat data fakta, pada tanggal 23 September
2019 bertempat di SMA YPGRI Wamena, Jln. Bhayangkara, Distrik Wamena, Kab.
Jayawijaya telah berlangsung aksi demo serta penyerangan oleh oknum mahasiswa,
pelajar dan kelompok KNPB Kota Wamena ke sekolah Yayasan Pendidikan Islam
(YAPIS) Kota Wamena Kab. Jayawijaya yang kemudian berkembang menjadi aksi anarkis
yang dilakukan oleh sekitar 3.000 massa terkait informasi tentang pengucapan/ perkataan
seorang guru pada saat mengajar dikelas dengan mengeluarkan kata kata kera/monyet
yang terjadi pada hari Rabu tanggal 18 September 2019 di SMA YPGRI Wamena. Akibat
dari isu tersebut, pada tanggal 23 september 2019 bertempat di Jl. Yos Sudarso, Distrik
Wamena, Kab. Jayawijaya telah terjadi aksi unjuk rasa oleh warga masyarakat yang
menyebabkan terjadinya kerusuhan dibeberapa tempat antara lain Jl. Yos Sudarso,
Distrik Homhom, Jl. Patimura, Woma, Jl. Ahmad Yani, Kab. Jayawijaya dengan massa
berjumlah 3.000 orang.
Melihat kasus tersebut, sikap pimpinan TNI yang tepat menjadi keinginan dan
harapandalam mencegah propaganda dan disinformasi isu Papua yang dapat
menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa terutama dikalangan prajurit TNI karena
disini peran pemimpin sangatlah krusial dalam mengambil sikap terlebih ancaman
disintegrasisekarang merupakan ancaman yang nyata.
Dari data dan fakta tersebut, dapat dilakukan analisis bahwa TNI sesuai undang-
undang memiliki tugas pokok untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan
terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Salah satu metode peningkatan semangat
Nasionalisme diwujudkan melalui Strategi pertahanan negara sebagai tahapan dalam
upaya mencegah, menangkal dan mengatasi berbagai potensi ancaman dan gangguan
baik dari dalam maupun dari luar terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara
dalam berbagai bentuk dan perwujudannya dengan sasaran mengembangkan
kemampuan TNI sebagai komponen utama yang didukung komponen cadangan dan
komponen pendukung, sehingga memiliki kesiapsiagaan yang tinggi.
Memahami Papua memang tidak boleh sepenggal melalui kasus-kasus yang
muncul di permukaan. Adanya isu teror, pelanggaran HAM, konflik antar suku, dan atau
penembakan gelap yang jarang terselesaikan oleh aparat keamanan secara tuntas
disinyalir merupakan “permainan dan provokasi asing” serta bagian dari modus dan
metode kolonialisme.Provokasi dan permainan asing tidak hanya satu dua kali saja
terjadi, bahkan dilakukan berulang-ulang baik di dalam negeri maupun di luar negeri dari
teror hingga dukungan terhadap upaya segelintir orang papua yang ingin memisahkankan
Papua dari wilayah NKRI. Peranan kolonialis asing terhadap berkecamuknya isu Papua
terus berlangsung baik di dalam negeri misalnya ; meningkatnya konflik sosial antar suku
dan Pilkada, tingginya intensitas penembakan gelap kepada aparat Polri/TNI khususnya
di wilayah tambang PT. Freeport yang telah memakan korban jiwa dan lain sebagainya.
Hasil penelitian LIPI antara tahun 2004-2009, menyebutkan ada empat akar
permasalahan di Papua, yaitu: 1) Status politik integrasi Papua ke Indonesia, 2)
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), 3) Pembangunan yang tidak merata, dan 4)
Marjinalisasi.Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak puas dengan kebijakan pemerintah
Indonesia selama Papua terintegrasi dengan Indonesia. Perjuangan OPM adalah untuk
melapaskan diri dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Perkembangan dari pergerakan
dan perjuangan OPM terjadi di berbagai tempat di Papua yang berlangsung sejak 1967
hingga 2001. R Z. Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit
pada 19921
Sikap pimpinan TNI dalam mencegah propaganda dan disinformasi isu Papua
yang dapat menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa dikalangan prajurit TNI dilakukan
melalui sikap tegas untuk membatasi informasi yang beredar dan didapat prajurit TNI,
melalui pembatasan penggunaan Handphone pada saat pelaksanaan tugas, serta
melakukan koordinasi dengan Kemeninfo untuk melakukan pencegahan dan antisipasi
beredarnya isu hoax.
Berdasarkan dari uraian analisa diatas, terdapat kendala dan hambatan, mulai
dari : 1) Massif dan bebasnya informasi yang masuk tanpa penyaring / filter sehingga
diserap dengan terbuka tanpa memilah terlebih dahulu nilai kebenaran dari informasi yang
ada, 2) Sulitnya mengantisipasi informasi yang masuk.
Dihadapkan pada kendala dan hambatan tersebut, upaya yang dapat dilakukan
meliputi : 1) Pimpinan TNI dapat memberikan komando dan kebijakan yang komprehensif
dan mantap terutama dalam aspek kesiapan dan kecakapan prajuritnya dalam upayanya
Mencegah Propaganda Dan Disinformasi Isu Papua Yang Dapat Menyebabkan Ancaman
Disintegrasi Bangsa, 2) Inisiatif mempelajari ciri-ciri sebuah hoax yang disebar di internet
terutama yang berkaitan dengan Propaganda dan disinformasi isu Papua. Disini,
kemahiran teknis seorang pimpinan TNI juga sangat diperlukan terutama dalam
mengidentifikasi bagaimana hoax seputar propaganda dan disinformasi isu Papua
disebar. Lebih lanjut, pimpinan TNI bersinergi dengan ahli teknologi dan informasi yang
kompeten di bidangnya. Dengan menguasai teknologi yang menjadi penyebaran hoax
tersebut, maka pimpinan TNI dapat mencegah propaganda dan disinformasi isu Papua

1
Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit pada 1992
yang dapat menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa dikalangan prajurit TNI.

Kebijakan Pemerintah Terhadap Pembangunan (Pendidikan, Kesehatan Dan


Ekonomi) Di Papua

Terdapat data fakta yang menjelaskan bahwa Peta Pembangunan Papua hingga
kini dinilai belum merata dari setiap aspeknya dan masih sangat jomplang jika
dibandingkan dengan pembangunan di Pulau lainnya di Indonesia.Di bidang pendidikan
kondisi papua juga masih membutuhkan perhatian besar menurut Badan Pusat Statistik
(BPS), pada tahun ajaran 2013/2014, terdapat 117.529 siswa sekolah dasar (SD) dan
39.529 siswa sekolah menengah atas (SMA) di provinsi Papua Barat. Sementara di
provinsi Papua, terdapat 336.644 siswa SD dan 94.897 siswa SMA.Fakta yang ada di
lapangan jauh dari sekadar angka.Kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis
menjadi batasan bagi banyak anak-anak di wilayah timur Indonesia untuk mendapatkan
pendidikan dasar sekalipun.Selain nilai HDI yang rendah, angka inflasi di Papua Barat
dan Papua cukup tinggi.Banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena mereka
harus bekerja demi menunjang ekonomi keluarga. Data dari United Nations Children's
Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP
mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus
sekolah. Kondisi geografis merupakan salah satu faktor yang menyulitkan warga Papua
untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah di kota-kota besar di Papua mungkin tak
memiliki kesulitan yang sama dengan yang dialami sekolah-sekolah di pedalaman.
Namun masih ada persoalan lain yang menghalangi pendidikan di Papua yaitu kebutuhan
tenaga pengajar yang berkompeten dan berkomitmen untuk mengajar di pedalaman,
disamping itu kondisi infrastruktur yang juga perlu perbaikan. Di bidang kesehatan juga
dinilai butuh perhatian yang serius,
Pembenahan kebijakan pemerintah yang tepat terhadap pembangunan
(pendidikan, kesehatan dan ekonomi) di Papua menjadi harapan dan keinginan agar
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti yang tertuang dalam pancasila sila
ke 5 dapat terwujud.
Berdasarkan data fakta serta harapan penulis, analisa kondisi pembangunan
(pendidikan, kesehatan dan ekonomi) di Papua saat ini masih belum optimal. Hal ini
bukan karena sikap pemerintah baik pusat/daerah yang seakan acuh akan kondisi
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Papua melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kucuran anggaran yang
digelontorkan oleh negara pun tidak main-main yang hampir mencapai Rp. 40 Triliun per
tahun. Akan tetapi, memang terdapat masalah yang menyertainya. Pemberlakuan
kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang
signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service),
membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.
Selain masih ada kekurangan dari sisi pemerintah, terdapat hal yang perlu
diperhatikan, dimana masyarakat Papua memiliki karakter yang berbeda dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Pemahaman akan pentingnya pendidikan dan
kesehatan masih terbatas, selain itu keinginan untuk melakukan kegiatan ekonomi-pun
masih terbatas dimana masyarakat Papua masih menggunakan sistem barter daripada
menggunakan mata uang resmi. lebih daripada itu, mayoritas warga Papua belum melek
teknologi yang menyebabkan kurangnya informasi yang didapat dan keinginan untuk
mengembangkan diri.
Berdasarkan analisa diatas, pelaksanaan pembangunan pendidikan, kesehatan
dan ekonomi di Papua sampai dengan saat ini masih belum optimal, disebabkan karena
kendala dan hambatan, diantaranya: 1) Penegakkan hukum dan HAM yang belum
optimal; 2)kualitas kehidupan sosial ekonominya yang relatif terbelakang jika
dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia; 3) Ketertinggalan di bidang pelayanan
kesehatan; 4) Kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis menjadi batasan bagi
banyak anak-anak Papua untuk mendapatkan pendidikan dasar sekalipun.
Adanya hambatan dan kendala tersebut, upaya yang dapat dilakukan melalui : 1)
Membuat dan melengkapi Regulasi pelaksanaan Otonomi Khusus, sebagaimana yang
diamanatkanperaturan perundang-undangan; 2) Menetapkan target capaian yang terukur
atas pelaksanaan otonomi khusus; 3) Struktur pelaksana pengelolaan dana dilengkapi
dengan rincian tugas dan mekanisme kerja yang memadai, beserta target ouput kinerja
yang terukur; 4) Penggunaan dana harus sesuai sepenuhnya dengan ketentuan
peruntukan masing-masing sumber dana; 5) Melaksanakan monitoring dan evaluasi
dengan memadai; 6) Memadai dengan sepenuhnya pelaksanaan fungsi pengawasan
terkait pertanggungjawaban penggunaan dana; dan 7) Mengoptimalkan pelaksanaan
otonomi khusus dalam meningkatkan ukuran kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua
dan Papua Barat. Dengan membenahi kebijakan pemerintah melalui Otonomi khusus
terebut maka pembangunan (pendidikan, kesehatan dan ekonomi) di Papua akan
terlaksana dengan baik.
Dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok separatis/teroris/kriminal
bersenjata di Papua
Berdasarkan data fakta, dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok
separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua cukup agresif sejak zaman Orde Baru
hingga reformasi, Gerakan KKSB (FRONT POLITIK) terus bergerilya ke beberapa negara
untuk mencari dukungan politik atas kemerdekaan Papua. Langkah diplomatik politiknya
seperti menyebarkan aktifis/mahasiswa ke belahan negara (Eropa, Kep. Pasifik, Australia,
Amerika, dan lain-lain) dengan kedok studi padahal mereka menanamkan dan
menyebarkan ideologi kemerdekaan untuk Papua. Tidak hanya itu, langkah politik berani
belakangan ini adalah adanya 43 rakyat Papua mencari suaka politik ke PNG dan
Australia (2006), anggota Senator kongres AS dukung penyelesaian damai Papua dan
dukung otonomi khusus (2012), hadirnya 12.000 marinir AS di Darwin dalam rangka
mengimbangi Cina di perairan Asia Pasifik (2012), pembukaan kantor perwakilan
Parlemen KKSB (FRONT POLITIK) di London Inggris (1/5/2013), dan lain-lain.
Negara-negara yang memiliki kepentingan di Papua, memiliki standar ganda dalam
melihat persoalan Papua. Satu sisi melalui agen NGO dengan berkedok aktifis HAM,
relawan kemanusiaan dan penggiat sosial budaya memberikan dukungan penuh terhadap
gerakan separatisme KKSB (FRONT POLITIK) untuk menuntut kemerdekaan sementara
di satu sisi melalui pemerintahannya mendukung Papua masuk kedalam NKRI. Menelisik
misi terselubung FFWP, ada banyak fakta bahwa pelanggaran HAM tidak hanya terjadi
pada rakyat Papua melainkan juga menimpa aparat keamanan Polri/TNI, kelas pekerja
tambang dan lainnya. Ada kesan subyektif yang dilakukan oleh kelompok NGO asing
dalam menyoroti persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM yang seakan telah usang
tertelan zaman. Jikalau pengungkapan kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu terus
diungkit, tentunya kita dan rakyat Papua akan terjerembab pada konflik sosial yang tidak
akan usai.
Mengetahui dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok
separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua menjadi keinginan dan harapan agar
persoalan terkait Kelompok separatis/teroris/kriminalbersenjata di Papua dapat ditangani
dengan baik.
Berdasarkan data fakta dan keinginan/harapan diatas, analisa terkait dukungan
luar negeri terhadap keberadaan kelompok separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua
saat ini masih berjalan. Organisasi FFWP sebagai agen Non Government Organization
dengan berkedok aktifis HAM merupakan kepanjang tangan dukungan luar negeri
terhadap keberadaan kelompok separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua. Disini tidak
jelas terlihat apakah pemerintah Australia sendiri yang mendukung organisasi tersebut
atau bukan. Provokasi-provokasi yang menyangkut isu Hak Asasi Manusia (HAM),
kebebasan (freedom), demokratisasi, kemiskinan, korupsi dan sebagainya sejatinya
dijadikan senjata dalam melancarkan aksinya memecah belah masyarakat Papua. Disini
tidak jelas terlihat apakah pemerintah Australia sendiri yang mendukung organisasi
tersebut atau bukan. Tentu saja dengan adanya NGO tersebut pemerintahan disibukkan
karena serangan melalui ideologi yang ditanamkan kepada aktifis KKSB (FRONT
POLITIK) lebih berbahaya daripada serangan dengan senjata karena dapat
menghancurkan NKRI dari dalam.
Belakangan kelompok yang mengatasnamakan Freedom Flotilla West Papua
(FFWP) dari Australia dengan membawa misi perdamaian dan kegiatan sosial budaya
yang tentunya patut dipertanyakan apakah misi perdamaian dan kegiatan sosial budaya
menjadi prioritas kelompok FFWP yang notabenenya adalah kelompok aktifis
berwarganegaraan Australia yang getol memberikan ruang kepada aktifis KKSB (FRONT
POLITIK) dan memberikan dukungan dengan melakukan kampanye terbuka tentang self
determination/kemerdekaan untuk Papua Barat di Australia. Yang pasti kedatangan
kelompok FFWP ke Papua Barat tidak lain adalah untuk mendukung separatisme KKSB
(FRONT POLITIK) dengan tidak hanya membawa misi damai dan kegiatan sosial budaya
melainkan ingin membuka tabir pelanggaran HAM dan Kekerasan yang dilakukan
Pemerintahan RI kepada rakyat Papua selama ini. Melalui agen NGO dengan berkedok
aktifis HAM, relawan kemanusiaan dan penggiat sosial budaya memberikan dukungan
penuhterhadap gerakan separatisme KKSB (FRONT POLITIK).
Dihadapkan pada analisa diatas, terdapat kendala/hambatan untuk
mengantisipasi dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok
separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua, meliputi : 1) Isu HAM menjadi jalan mulus
para NGO masuk kewilayah Papua, 2) Standar ganda negara seperti Inggris dan Australia
dimana secara negara mendukung Papua tetap dalam NKRI, namun menggerakkan NGO
untuk memperkeruh suasana di Papua melalui isu HAM.
Dihadapkan kendalam tersebut, upaya yang dapat dilakukan meliputi : 1) Upaya
diplomasi terhadap aktor-aktor intelektual yang berpengaruh terhadap pola pikir rakyat
Papua seperti tokoh adat dan tokoh agamaserta memberikan pernyataan resmi terhadap
berbagai klaim yang menyudutkan Indonesia dari berbagai Negara yang mendukung
kemerdekaan Papua tanpa mengetahui akar pokok permasalahan yang sebenarnya, 2)
Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas untuk menolak NGO yang memiliki
kepentingan lain di wilayah Papua.
Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, kebijakan pemerintah Indonesia
(Pusat/Daerah/TNI dan Polri) dalam menyikapi munculnya dukungan dari beberapa
negara terhadap gerakan separatis Papua dapat dilakukan dengan meningkatkan
diplomasi politik dan interopabiltas antar instansi terkait. Sikap Pimpinan TNI dalam
mencegah propaganda dan disinformasi isu Papua yang dapat menyebabkan ancaman
disintegrasi bangsa dikalangan prajurit TNI melalui Bintal dan pengelolaan kompetensi
yang baik dari setiap prajurit dalam kemampuan mengakses dan menerima informasi
yang valid. Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan (pendidikan, kesehatan dan
ekonomi) di Papua terus dilaksanakan dan ditingkatkan dibarengi dengan upaya
sosialisasi. Dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok separatis/ teroris/
kriminal bersenjata di Papua masih berjalan melalui negara maupun NGO (Non
Government Organization).
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memberikan saran, agar sinergitas
pemerintah pusat/daerah/TNI dan Polri terus ditingkatkan, selain itu masyarakat Papua
harus dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.
Demikian essai ini dibuat, kiranya dapat menjadi tambahan bahan bacaan dan
membukan wawasan serta ide bagi pembaca.

Lampiran :
1. Alur Pikir
2. Daftar Pustaka
Lampiran – 1
ALUR PIKIR
ANTISIPASI PROPAGANDA DAN DISINFORMASI KONFLIK PAPUA SEBAGAI UPAYA MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA

1. PANCASILA
2. UUD 1945
3. Undang-Undang Nomor. 34 tahun 2004 tentang TNI
4. Undang-undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua

PROSES ANALISA

ANTISIPASI PROPAGANDA DAN ANTISIPASI PROPAGANDA ANTISIPASI PROPAGANDA DAN


DISINFORMASI KONFLIK PAPUA DAN DISINFORMASI KONFLIK DISINFORMASI KONFLIK PAPUA
SAAT INI PAPUAYG DIHARAPKAN DAPAT MENCEGAH DISINTEGRASI
BANGSA

PERSOALAN

 Bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia (Pusat/Daerah/TNI dan Polri) dalam


menyikapimunculnya dukungan dari beberapa negara terhadap gerakan sparatis Papua ?
 Bagaimana sikap Pimpinan TNI dalam mencegah propaganda dan disinformasi isu Papua
yang dapat menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa dikalangan prajurit TNI ?
 Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pembangunan (pendidikan, kesehatan dan
ekonomi) di Papua ?
 Bagaimana dukungan luar negeri terhadap keberadaan kelompok
separatis/teroris/kriminal bersenjata di Papua ?
Lampiran – 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Nomor 34/2004 tentang TNI


2. Undang-undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
3. Naskah Departemen Nomor 52-07-C1-B VI.0203, Keputusan Danseskoad Nomor
Kep/141/XII/2019 tanggal 26 Desember 2019, Teori dan Strategi Perang
4. https://www.deliknews.com/2019/09/21/mewaspadai-manuver-licik-negara-
pendukung-separatis-papua/ diunduh pada tanggal 3 Juli 2020
5. Leirissa dalam buku “Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya” yang terbit pada 1992

Anda mungkin juga menyukai