Pendahuluan
Kembali lagi terjadi konflik di Papua yang tak kunjung mereda. Keputusan pemerintah yang
melabeli gerakan separatisme di Papua sebagai kelompok teroris menjadi diskursus yang
menarik untuk dikaji. Pelabelan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai respons atas
tingginya intensitas konflik dan kekerasan di wilayah tersebut sejak April 2021 yang
disebabkan oleh berbagai aksi penyerangan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM) terhadap aparat TNI-Polri yang bertugas. Yang paling menyita perhatian adalah
tewasnya Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya yang ditembak oleh
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Operasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pada April
lalu di Kabupaten Puncak, Papua, dan kini terjadi Pembantaian KKB Papua
Pelabelan teroris terhadap gerakan separatis OPM di Papua ini menimbulkan reaksi dari
beberapa pihak. Salah satunya adalah Komnas HAM yang khawatir kekerasan di Papua justru
akan semakin meningkat. Di sisi lain, berbagai kelompok masyarakat sipil mengkhawatirkan
bahwa pelabelan tersebut akan berdampak serius terhadap keamanan warga sipil yang ada di
Papua, termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi. Pemerintah
sendiri menggunakan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2003
tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang sebagai dasar pelabelan. Berdasarkan regulasi tersebut, siapapun
yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme disebut sebagai teroris.
Terlepas dari segala diskursus yang berkembang terkait pelabelan tersebut, pertama-tama yang
harus dilakukan adalah melihat secara jernih akar konflik yang ada di Papua, serta mengkaji
ulang efektivitas kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah. Persoalan di Papua sejatinya
adalah persoalan yang sangat kompleks dan penuh muatan kepentingan. Pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya tidak hanya berasal dari segitiga domestik saja, yakni masyarakat Papua,
pemerintah daerah Papua, dan pemerintah pusat, tapi juga ada pihak eksternal yang memiliki
kepentingan akan penguasaan sumber daya ekonomi, serta kelompok negara-negara Pasifik
yang selalu lantang menyuarakan kemerdekaan Papua di forum PBB. Dari sisi muatan,
persoalan Papua tidak berada pada ranah politik, ekonomi, dan keamanan saja, tapi juga dimensi
sosial-budaya yang sangat mendasar bagi masyarakat Papua karena terkait identitas dan
kesejarahan mereka.
Jika berbicara mengenai kebijakan pemerintah dalam “mendinginkan” konflik di wilayah ini,
tentunya kita akan berbicara mengenai kebijakan yang bersifat lintas rezim mengingat konflik
ini sendiri sudah berlangsung sangat lama. Masing-masing kebijakan merupakan respons atas
dinamika yang terjadi pada masanya. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid misalnya, yang
lebih banyak menyentuh aspek sosial-budaya demi membangun semangat ke-Indonesia-an di
tanah Papua seperti mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua demi mengobati luka psikologis
masyarakat Papua atas represi di era Orde Baru, serta mengizinkan pengibaran bendera bintang
kejora karena dianggap sekedar simbol budaya saja. Berbeda dengan kebijakan Presiden Gus
Dur, presiden sebelumnya, yakni B.J. Habibie, lebih menitikberatkan kebijakannya pada
konteks pembangunan ekonomi untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat lokal Papua.
Tonggak sejarah
Di tengah ragam kebijakan yang diambil oleh masing-masing rezim dalam mengatasi persoalan
Papua, secara garis besar ada dua tonggak sejarah yang sangat penting dan seyogianya menjadi
pijakan bagi pemerintah saat ini dalam perumusan kebijakan. Pertama, runtuhnya rezim
militeristik Soeharto telah menjadi titik awal perubahan mekanisme pengelolaan wilayah Papua
dari pendekatan militer atau berorientasi pada keamanan menjadi pendekatan yang berbasis
kesejahteraan yang dijalankan oleh pemerintah di era reformasi dan pasca reformasi. Kedua,
pemberian otonomi khusus kepada Papua yang notabene merupakan privilege secara politik
dan ekonomi sejak 2001 melalui penetapan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Papua. Kedua momen ini sejatinya menjadi tonggak penting agar pemerintah hari ini
tidak tergoda untuk melakukan pendekatan yang sifatnya represif dan militeristik seperti masa
lampau, serta secara cermat melakukan kaji ulang terhadap otonomi khusus yang sudah
diberikan. Kaji ulang ini menjadi sangat penting karena rencananya akan digulirkan otonomi
khusus jilid dua. Pemerintah dan parlemen harus memastikan bahwa jika benar akan
dilanjutkan, otonomi khusus tersebut benar-benar memberikan manfaat di segala lini bagi
masyarakat Papua, bukan segelintir elit lokal saja seperti yang terjadi pada otonomi khusus jilid
pertama.
Opsi Penyelesaian.
Analisa dengan pendekatan psikologi terorisme dianggap sebagai salah satu pendekatan yang
penting untuk memahami terorisme, terutama berkaitan dengan bagaimana memahami proses
psikologis dan psikososial hingga seseorang menjadi teroris. Kajian yang umumnya digunakan
dalam pendekatan psikologi dalam memahami proses seseorang menjadi teroris lebih
menitikberatkan pada motivasi atau proses psikologis. Kajian terorisme dengan menggunakan
pendekatan terorisme dianggap sebagai bidang kajian dan penelitian yang rumit terutama
karena kesulitan-kesulitan yang dialami peneliti dalam meneliti motivasi perilaku kaum teroris.
Bahkan di awal berkembangnya kajian psikologi terorisme ada kesulitan tersendiri dalam
menyepakati definisi terorisme. Namun, untuk kepentingan penelitian ini, diambil suatu definisi
terorisme yang baku digunakan dan disepakati di kalangan para sarjana dan peneliti bidang
terorisme, yaitu suatu varian khusus penggunaan ancaman kekerasan untuk melawan kekuasaan
pemerintah (Crenshaw, 2007) Di Indonesia, kajian tentang proses menjadi teroris atau jalur
menuju terorisme atau anak tangga menuju aksi terorisme tidak banyak dilakukan oleh
akademisi karena dipandang sulit dan susah untuk dicapai, padahal sebenarnya hal sangat
penting dan diperlukan. Kajian dan penelitian yang komprehensif tentang hal itu akan sangat
berguna dan dapat membantu pemahaman kita tentang bagaimana mencegah dan memberantas
terorisme. Harus diakui telah banyak ditulis buku-buku tentang terorisme atau yang berkaitan
dengan terorisme dan para teroris, bahkan ada juga yang ditulis oleh para pelaku teror itu
sendiri. Kendati demikian, tidak banyak orang yang mencoba melakukan analisa psikologis
terhadap buku-buku tersebut, padahal kandungan yang terdapat di dalamnya dapat memberikan
informasi dan data psikologis yang penting mengenai proses panjang keterlibatan seseorang
dalam aktivitas terorisme. Penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan,
yaitu: Pertama, kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan
reduksionis-positivistik pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut
akan memungkinkan kita untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika. Kedua,
kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi
dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks
memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia.
Kembali ke konteks pelabelan teroris kepada gerakan separatis Papua atau Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB)-nama yang disematkan sebelumnya. KKB Papua adalah kelompok yang
ingin Papua melepaskan diri dari NKRI. Oleh karena itu, menurutnya kelompok tersebut sudah
bisa disebut sebagai gerakan separatis. Identifikasi teroris kepada gerakan separatis Papua akan
mengundang kehadiran TNI dalam jumlah besar untuk melakukan Operasi Militer Selain
Perang (OMSP) dalam rangka mendukung pendekatan keamanan yang dilakukan Polri.
Kehadiran TNI dalam jumlah besar ini diyakini akan menjadi solusi atas lambannya
penanganan terhadap kelompok separatis karena hambatan geografis atau medan tempur di
Papua. Namun demikian, di sisi lain, ekses-ekses negatif sangat mungkin terjadi seperti yang
dikhawatirkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil. Penting bagi para aparat negara yang
bertugas untuk selalu bekerja efektif dengan meminimalisasi sekecil mungkin ekses negatif
yang mungkin muncul, khususnya ekses negatif yang diderita oleh masyarakat sipil. Kita semua
berharap akan ada dialog komprehensif yang mendudukkan semua pihak untuk mencari solusi
jangka panjang bagi konflik di Papua. Kita juga tak henti berharap agar ada perdamaian di bumi
Papua.
Disebutkan menurut salah satu tokoh Indonesia, Strategi Mewujudkan Perdamaian yang pantas
dalam menyelesaikan konflik KKB Papua adalah :
1. Rekonsiliasi Nasional
Gagasan utama dari rekonsiliasi nasional dapat disimpulkan pada dua hal.
Pertama, penyelenggaraan dialog nasional dan kerjasama pada tingkatnasional maupun
daerah, yang melibatkan semua komponen bangsa, baikformal maupun informal, yang
mewakili kemajemukan agama, suku dan kelompok masyarakat lainnya untuk menampung
berbagai sudut pandangguna mencari titik-titik persamaan pandangan dalam rangka
mencari solusi dari berbagai konflik kekerasan dan krisis sosial politik yang ada di Papua.
Kedua, penyelenggaraan suatu program terlembaga dalam rangka mengungkapkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak azasi manusia pada masa lampau, dan
menegakkan keadilan serta kebenaran,berlandaskan hukum serta perundang-undangan
yang berlaku. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan
denganpengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian,penegakan
hukum, amnesti, rehabilitasi, atau cara-cara lain,dengan memperhatikan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat dan persatuan nasional.
2. Menghargai Keberagaman
Indonesia yang terdiri dari berbagai unsur danbermacam-macam kelompok, hanya akan
terpelihara eksistensinya, apabila ada kerelaan untuk saling menerima keberagaman dari
setiap komponen bangsa terhadap komponen atau kelompok lainnya. Setiap warga negara
mesti menyadari, tidak mungkin kedamaian dibangun secara hakiki, apabila suatu
kelompok agama tertentu menganggap dirinya adalah kelompok agama yang lebih
istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Salah satupotensi besar dalam menyumbang
terhadap perdamaian adalah dengankembali kepada ajaran-ajaran pokok setiap agama
dapat berbagi ruang hidup secara lapang dada dengan menerima keanekaragaman agama-agama
(pluralisme agama) di Indonesia.
3. Dialog Perdamaian
Dalam dialog perdamaian ini, sekali lagi harapan dibebankan kepada parapemeluk-
pemeluk agama. Hal ini didasarkan oleh kenyataan, bahwa sudahbegitu banyak kekejaman
dan kekerasan yang dilakukan oleh manusiaterhadap manusia lainnya di seluruh dunia,
termasuk Indonesia, justru dengan justifikasi yang berasal atas ajaran agama-
agamatertentu. Apalagiagamalah tampaknya yang paling sering menjadi alat politik
untukmembenarkan kelompoknya sendiri. Padahal, setiap orang beragamaumumnya
sepakat, bahwa pesan inti agamaadalah memelihara kehidupandamai serta saling
mengasihi antar sesammanusia. Untuk itulah dialogperdamaian antar agama perlu
dilakukan secara terus-menerus dengansemangat saling menghargai serta sikap yang
dilandasi ketulusan dankejujuran,diharapkan besar kemungkinan akan memberikan
sumbanganberarti bagi perdamaian.
Lembaga pengadilan merupakan suatu lembaga yang mempunyai peran untuk mengadili dan
menegakkan norma-norma hukum yang berlaku di yurisdiksi hukum nasional dan juga sebagai
alat yang menegakkan keadilan. Tindakan “menghabisi” atau “melenyapkan” KKB di Papua
tentu saja akan mencederai HAM. Negara seharusnya bertanggung jawab, menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM atas pelanggaran HAM, dan bukan menjadi
pelaku pelanggaran HAM. Apabila benar dilakukan “pelenyapan” KKB di Papua, pemerintah
dapat dikatakan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Dengan kondisi KKB di Papua, sudah seharusnya pemerintah mengedepankan upaya
pendekatan lunak melalui upaya dialog baik jangka menengah maupun jangka panjang,
membangun kesejahteraan, dan pencerahan ideologi serta berbagai upaya damai lainnya, atau
juga dapat melakukan pendekatan keras yang dilakukan dengan opsi penegakan hukum.
Daftar Pustaka